Jun 28, 2011

RELAKSASI GEMPA BESAR MASIH ANCAM INDONESIA : Geologi Disaster


RELAKSASI GEMPA BESAR MASIH ANCAM INDONESIA

Oleh : M. Anwar Siregar



Letak kondisi geologi bumi ruang Indonesia telah diidentifikasi adanya “kawasan pertumbuhan baru” gempa diatas kekuatan 8.0-9.0 SR dalam 10 tahun mendatang dan merupakan daerah yang akan menghasil “musim panen” bencana gempa oleh efek perubahan siklus gempa singkat dan akan mengubah kawasan peta gempa di Asia Tenggara menjadi bencana kematian dari kegempaan Pantai Barat Sumatera.
PROSES GEOLOGI
Informasi geologi dapat digunakan untuk memahami proses dan kondisi karakteristik struktur geologi yang menghimpun suatu wilayah antara lain : Pertama, memahami proses waktu dan kondisi geologi batuan dari aktivitas lempeng bumi sebagai peristiwa siklus/proses (daur ulang) geologi kegempaan dalam mengakumulasi energi penahan oleh pergeseran dengan energi pendorong dengan rentang pelepasan energi ratusan tahun, puluhan tahun, teratur, pelan tapi pasti, suatu saat kemudian menghasilkan periodesasi gempa yang dahsyat. Buktinya, dapat dilihat gempa di kota Bam , Iran terjadi gempa dengan siklus 2000 tahun.
Kedua, memahami proses kontrol dan rotasi pergerakan lempeng ke zona subduksi sepanjang pertemuan lempeng tektonik, mempelajari ruang daerah tersebut apakah terdapat patahan terkunci, terutama dibatas konvergensi lempeng Indo-Australia dengan subduksi Sumatera-Jawa-Nusa Tenggara dan akibat-akibat pemekaran laut oleh arus panas untuk melakukan penghancuran terhadap lapisan luar padat, dengan adanya proses geologi yang teratur memungkinkan wilayah Indonesia mengalami perubahan geologi batuannya untuk membentuk tatanan geologi yang baru dan kompleks luar biasa.
Bahwa proses daur ulang terhadap stabilitas struktur geologi yang memayungi suatu tata ruang wilayah dapat diinterprestasikan melalui perubahan kekuatan blok batuan yang telah sensitif terhadap responsif dari gerak relaksasi gempa-gempa terdahulu, bila gempa kembali terjadi lagi pada lokasi yang sama maka energi gempa akan lebih mudah melewati dan menghancurkan batuan yang belum kondusif, menghasilkan efek goncangan berganda yang lebih keras, karena ditemukan ruang yang memisahkan batuan menjadi beberapa blok batuan. Tiap blok Batuan menghimpun suatu kawasan permukaan bumi bisa mencapai 400-2200 km tidak tahan terhadap guncangan gempa berikutnya sehingga tidak aman bagi kehidupan manusia terutama menjadikan sebagai daerah hunian padat. Fakta, gempa yang terjadi di Bengkulu, Sumatera Barat, Simeulue dan Nias dalam periodesasi gempa singkat.
FREKUENSI GEMPA MENINGKAT
Terbentuknya daerah kritis gempa di pantai Bengkulu dengan ditemukan pegunungan raksasa bawah laut, maka wilayah Indonesia semakin terancam dari kehancuran gempa. dan menempatkan Indonesia sebagai kawasan seismik yang tinggi berperingkat nomor 1 (satu) dunia sejak gempa Bengkulu tahun 2000 dan Aceh tahun 2004 hingga gempa Simeulue-Mentawai (2008-2010) telah mengalami eskalasi frekuensi semakin tinggi dalam banyaknya terjadi gempa, bisa mencapai 870.000 kali dalam setahun (Sumber USGS 2010) dan terdapat 90 persen dari semua gempa dunia yang tercatat sebelumnya mencapai 650.000 kali tergolong gempa tektonik merusak dengan rata-rata kekuatan gempa antara 3.5-7.7 SR berlangsung 450 kali di Indonesia (Sumber BMKG 2009), sehingga Indonesia membutuhkan biaya rekonstruksi dan rehabilitasi daerah sebesar 20 triliun rupiah.
Frekuensi relaksasi gempa meningkat disebabkan oleh lajur sumber panas bumi yang membentang sepanjang 5.600 km mulai dari Palung Laut Dalam Andaman-Nikobar hingga ke Busur Banda Timur lalu menerus lagi ke wilayah Maluku hingga ke Sulawesi Utara ke batas Lempeng Philipina, tercatat lebih dari 45 zona subduksi dengan lebih 1200 titik rawan  gempa tektonik didaratan dan lautan dan 45 daerah tsunami maut, 28 Gunungapi aktif type A dari total 400 gunungapi di Indonesia. Jadi , Indonesia masih aktif mengalami musibah bencana maut gempa, gunungapi, gerakan tanah dan tsunami maut akibat relaksasi gempa bumi belum berhenti di wilayah Bumi Indonesia kerena titik keseimbangan belum stabil.
Data statistik frekuensi gempa penulis catat, sejak terjadi gempa Aceh tahun 2004 berkekuatan 9.1 SR dengan gempa susulan berkekuatan 4-5 Skala Richter (SR) sebanyak 20 kali yang dirasakan oleh masyarakat. Gempa Nias tahun 2005 dengan kekuatan utama 8.7 SR diiringi gempa susulan sebanyak 48 kali dengan kekuatan 3.5-4.9 SR. Gempa Yogya dengan 5.9 SR tahun 2006 terjadi 58 kali gempa susulan berkekuatan 3.5-4.9 SR yang dirasakan oleh masyarakat dan memicu sesar-sesar daratan Jawa yang lama tertidur. Gempa Pangadaran disertai tsunami berskala 6,3 SR ke atas dengan gempa susulannya 60 kali lalu terjadi gelombang kuat dalam waktu bersamaan di tiga lokasi yang berbeda di Selat Sunda. Peningkatan frekuensi gempa ini telah memicu terjadinya gempa tremor diwilayah Lampung dan Bengkulu hampir setiap hari selama 3 bulan dari Bulan Juli-September 2006 hingga terjadi gempa cukup kuat di Muara Sipongi Desember 2006, lalu disusul gempa 5,8 SR dan 6.0 SR di Sumatera Barat Maret 2007, gempa susulannya berlangsung 350 kali yang dirasakan masyarakat. Gempa Bengkulu September dan November 2007 dengan gempa utama berkekuatan 7.9 SR dengan gempa susulan berlangsung 450 kali dan diantaranya terdapat gempa cukup kuat diatas 6.0 SR, Gempa Bengkulu mengguncang Aceh, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Utara, Batam, dan Singapura. Gempa Simeulue Februari 2008 dengan kekuatan utama 7.3 SR mengguncang Sumatera Utara-NAD, lalu mentransfer energi gempa susulan ke blok gempa Bengkulu sehingga terjadi gempa dengan kekuatan 6.8 SR. dengan gempa susulan mencapai 105 kali dengan kekuatan dibawah 3-4.5 SR
Susulan transfer energi gempa ke Sumatera Barat dengan terjadi gempa tahun 2009, kekuatan 7,6 SR, gempa susulan mencapai 450 kali, energi relaksasi gempa terus menekan zona patahan Mentawai dengan terjadi gempa kuat sepanjang tahun 2010 di Simeulue, Meulaboh dengan kekuatan 7,2 SR. Puncak penghunjung tahun 2010 terjadi tsunami maut di Mentawai dengan kekuatan 7.2 SR, gempa susulan masih berlangsung dan penulis catat sudah berlangsung 20 gempa susulan hingga gempa terjadi lagi kedua kali di Pagai.Selatan dengan 5.8 SR dalam kurun sebulan. Diperkirakan pada tahun 2011 relaksasi gempa bumi akan berlangsung lebih cepat karena siklus deformasi patahan saat ini dalam kondisi remuk dan masih dalam “keadaan pusing”.
Peningkatan intensitas tersebut telah memperingatkan bangsa ini untuk selalu mempersiapkan diri karena riwayat gempa yang tecatat tidak pernah menurun tapi meningkat tajam. Dari data USGS Earthquake menyebutkan intensitas gempa Indonesia jauh lebih sering dibandingkan gempa bumi di Jepang, Rusia dan Iran, terlihat dari intensitas gempa terjadi sejak tahun 2000 hingga ke tahun 2010 tercatat 80 kali gempa kuat yang merusak ataupun yang dirasakan langsung oleh masyarakat dengan kekuatan 6.0-9.0 SR. Data BMKG juga mencatat posisi Indonesia paling sering mengalami gempa dahsyat hingga dalam setahun mencapai 870.000 gempa.
RELAKSASI GEMPA BESAR
Umumnya daerah penghasil “musim panen” gempa terletak dipinggiran pertemuan subduksi Lempeng Benua-Samudera dan posisi Lempeng Sumatera-Jawa berada dibatas konvergen dua lempeng tersebut sehingga relaksasi gempa besar yang diakibatkan oleh tumbukan dua lempeng besar diprediksi suatu saat berpotensi menghasilkan gempa strategis ke berbagai kawasan dunia melalui beberapa zona kerentanan geologis yang tinggi dan dalam kondisi “matang” antara lain; 1. Mulai rapuhnya palung Laut Jawa yang berbatas ke Selat Sunda disebabkan oleh berbagai tekanan dari beberapa lempeng yang mengeliligi Indonesia . Penghancuran sistimatis telah dimulai oleh efek perobekan gempa Aceh-Nikobar-Nias-Bengkulu-Simeulue setelah gempa 2004, telah memecah daerah blok batuan (lempengan) seluas 200.000 km bersambung ke patahan Burma hingga mendekati zona patahan Pantai Timur Thailand dan Malaysia, tekanan-tekanan dan pergerakan frontal lempeng telah mengaktifkan patahan daratan diwilayah “ring of fire”, antara lain Pegunungan Himalaya yang membentang sepanjang 4000 km hingga daratan Semananjung Malaya melalui patahan daratan Burma serta patahan Mergui dan bersambung ke pantai Timur Sumatera yang masih bersentuhan dengan patahan menyilang Aceh-Bahorok (Sumut). Memberikan kecepatan penjalaran energi responsif penghancuran batuan tua ke muda lebih cepat lagi sehingga akan ada pertumbuhan kawasan gempa baru dengan periodesasi gempa singkat dan kuat, terlihat pada gempa Bengkulu 2007, 2008 dan gempa Simeulue tahun 2005, 2008, 2010, Gempa Nias 2005, Gempa Sumatera Barat 2007, 2009 dan 2010 di Mentawai.
2. Potensi terjadinya gempa dan tsunami di sejumlah pantai di Indonesia akan semakin meningkat terus. Hal ini disebabkan beberapa titik rawan tsunami memasuki percepatan periode ulang kritis pelepasan energi gempa dalam waktu singkat dan bersamaan. Faktanya : Pantai Barat Sumatera telah ada perubahan bentuk pantai dan batimetri (topografi) kelautan oleh pembentukan gunung bawah laut oleh pembenturan lempeng bumi, di Laut Maluku-Sulawesi telah ditemukan pembentukan zona retakan bumi oleh gunungapi bawah laut, dan Laut Maluku-Papua terdapat pergerakan tekanan seismik yang tidak pernah berhenti akibat “terlumat”nya lempeng Maluku dan menjadikan Kepulauan Maluku suatu saat menjadi “Aceh kedua”.
Daerah kritis “musim panen” gempa serentak antara lain Aceh-Sumut tahun 1873,1892,1921,1928,1936,1941,1987.2004, Patahan Enggano tahun 1850,1905. Patahan Mentawai tahun 1797,1881,1883. (2010 telah dilepaskan dengan tsunami mencapai 12 meter). Patahan Selat Sunda tahun 1883,1870,1921,1959,1994. Patahan Laut Jawa tahun 1867,1900,1958. Patahan Selat Bali-Nusa Tenggara tahun 1896,1954. Patahan Kepulauan Maluku tahun 1810,1883. Sulawesi tahun 1967,1969. Patahan Papua 1887,1976,1982,1996. Variasi siklus dapat terjadi 2-10 tahun, 15-70 tahun dan 100-200 tahun.
 Gambar : Relaksasi gempa besar masih mengancam Padang ke depan, [Sumber : berbagai sumber dan internet ]

SIAPKAH KITA?
Siapkah kita dalam menghadapi musim panen gempa tersebut? Tidaklah mengherankan bila terjadi “musim panen” tsunami, vulkanik, tektonik dan gerakan tanah disertai banjir secara serentak terjadi di 2-3 propinsi pada tahun ini dan menimbulkan jumlah korban mendekati ribuan jiwa dan rekonstruksi tata ruang menelan biaya diatas 20 trilium, angka ini bukan “angka mimpi”, sejarah sudah mencatat itu bagaimana Indonesia semakin miskin karena ada korban menjadi miskin dan menambah deretan pengangguran, sumber-sumber daya semakin menipis akibat bencana, disebabkan juga oleh kerakusan menguras berbagai sumber-sumber daya didaerah bencana. Jadi, siapkah kita menghadapi panen bencana dari beberapa kawasan kritis siklus gempa tersebut diatas di tahun depan dalam waktu bersamaan?

M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer
Tulisan ini sudah pernah dimuat atau dipublikasi di Harian "WASPADA" Medan 
http://www.waspadamedan.com/opini

Jun 14, 2011

Memilimalisasi Bencana Lingkungan Geologi Berbasis Mitigasi : Geologi Disaster[

MEMINIMALISASI BENCANA LINGKUNGAN GEOLOGI BERBASIS MITIGASI

Oleh : M. ANWAR SIREGAR

            Tata ruang lingkungan merupakan sesuatu tempat ruang manusia beraktivitas didalam suatu kerangka ruang dan waktu yang telah ditata sesuai kondisi lahan yang melingkupi lingkungan itu terbentuk dengan menyelaraskan kemampuan tata ekosistem ekologi dan tata ruang hunian serta infrastruktur lingkungan agar ditemukan keseimbangan hidup.
Situasi beberapa bulan terakhir ini telah menyibukkan berbagai kalangan diakibatkan kerusakan lingkungan oleh tidak konsistennya penegakan aturan perencanaan tata ruang, penegakan hukum lingkungan dan aturan UU tata ruang lingkungan, penataan ruang terbuka hijau, aturan building code dan zoning regulation code. Dampaknya telah jelas menyebabkan kerumitan bagi Pemerintah dengan banyaknya lingkungan pemukiman di perkotaan yang jauh dari sehat dan bersih, terlihat diberbagai sudut kota-kota di Indonesia akan terdapat kawasan pemukiman kumuh, pencemaran air disekitar DAS, bangunan dibangun disisi tebing sungai bahkan ada dibibir jurang pantai. Degradasi daya dukung kualitas lingkungan, pelanggaran izin dan berbagai kegiatan illegal lainnya dapat menimbulkan “bom waktu” dimasa mendatang bila tidak ditata ulang kembali.
MITIGASI BERBASIS KERENTANAN BAHAYA
            Merumuskan konsep tata ruang yang dinamis dalam meminimalkan kehancuran tata ruang geologi lingkungan harus merumuskan konsep tata ruang yang bersinergi dengan kawasan-kawasan pertumbuhan melalui kerangka strategis pengendalian pemanfaatan ruang-ruang hijau sebagai faktor utama dalam mengamankan berbagai prasarana dan sarana vital dari berbagai gangguan bencana. Dalam suatu tata ruang, beberapa kejadian bencana seperti banjir dapat dicegah bila daerah itu telah dipetakan sesuai dengan karakteristik bentang alam, begitu juga dengan upaya meminimalisasi kemungkinan risiko gempa bumi bila suatu tata ruang wilayah yang telah direncanakan sudah mengidentifikasi data-data geologi kegempaan lokal agar dapat mengembangkan tata ruang yang berketahanan terhadap kejadian bencana.
Dalam konsep mitigasi berbasis kerentanan geologis yang tinggi menurut Sanderson (1997) meliputi bebarapa faktor antara lain Bahaya (Hazard), Vulnerability (kerentanan) dan Ketahanan atau kapasitas penanggulangan, oleh penulis menambahkan dengan pemulihan atau merekonstruksi model-model pembangunan fisik sesuai dengan karakteristik geologi daerah serta aspek psikologis atau berhubungan mental traumatik. Yang dijelaskan dalam tulisan ini hanya berhubungan dengan aspek bahaya dan kerentanan beserta analisis risiko kerentanan dalam perencanaan tata ruang berketahanan bencana.
Dalam konsep identifikasi tingkat bahaya dapat diberikan beberapa faktor yang harus diperhatikan antara lain pertama, menyangkut data informasi dan identifikasi daerah yang berpotensi menghasilkan bencana berikutnya, dan telah diketahui bahwa wilayah Indonesia diidentifikasi berada diatas 3 (tiga) patahan tektonik yang bekerja aktif yakni Eurasia, Indo-Australia dan Carolina-Pasifik termasuk struktur tanah yang di identifikasi tersusun oleh material vulkanik dan endapan alluvium, potensi dari segala jenis bencana geologi antara lain rawan gempa bumi, tanah longsor, letusan gunung berapi, serta koridor patahan tektonik yang sangat panjang diwilayah Indonesia berada dilepas Pantai Barat Sumatera, lepas Pantai Selatan Jawa, Selat Bali-Nusa Tenggara, lepas Pantai Utara pulau burung Papua dan Laut antara Kalimantan dengan Sulawesi, serta Sulawesi dengan Kepulauan Maluku, Dengan sebaran 400 buah gunung berapi, dan diantaranya 128 masih bekerja aktif.
Kedua, daerah-daerah rawan tersebut di plot ke berbagai jenis peta-peta bencana wilayah dengan melakukan pengaturan pembagian peta daerah kerentanan atau zonasi makro dan mikro (Zoning System Map), yang dibagi tingkatan bahaya, yaitu tingkatan bahaya utama dan tingkatan bahaya ikutan yang disesuaikan dengan karakteristik kondisi geologi yang memayungi daerah tersebut. Dan harus disebarluaskan kepada masyarakat dan investor guna memahami kendala tata ruang dan pengembangannya bila dilakukan rekonstruksi dan rehabilitasi pasca bencana ke daerah bencana sesuai siklus kegempaan dan gerakan tanah.
Ketiga, selanjutnya diperlukan analisis risiko gempa berkelanjutan melalui identifikasi daerah rawan bencana baru, karena telah diketahui saat ini, bahwa arah deformasi pergerakan gempa bumi saat ini telah berubah siklus dari sedang ke pendek (singkat). Dan diketahui lebih lanjut beberapa pantai yang tidak memiliki karakateritik zona kegempaan tinggi kini mengalami gejala-gejala gerakan tanah yang semakin intensif akibat resonasi dan responsif energi seismik gempa semakin menekan daerah yang tadinya stabil, yaitu disekitar pantai Timur Sumatera, daerah Selatan dan Utara Laut Jawa, Pantai Timur Kalimatan Barat.
            Keempat, perumusan perencanaan dan pengendalian tata ruang mitigasi berketahanan bencana geologi dengan memperhitungkan sistem prioritas pencegahan atau mengurangi dampak risiko ketika bencana berlangsung didaerah kerentanan (vulnerability) dengan fokus utama kepada aspek fisik spasial yang mencakup perencanaan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang didaerah yang telah diidentifikasi berpotensi sebagai daerah rawan menghasilkan bencana berikut. Proses perencanaan tata ruang didaerah kerentanan dapat dijelaskan dengan pendekatan sistem yang melibatkan Input (masukan), Proses dan Output (keluaran) berupa rencana tata ruang yang merupakan hasil dari intervensi dan pemetaan (peta zonasi) untuk menghasilkan ruang yang aman dalam beraktivitas, produktivitas dan berkelanjutan dengan memadukan pilar ekonomi, sosial budaya dan lingkungan.

MITIGASI BERBASIS RUANG TERBUKA HIJAU

            Tata ruang lingkungan di Indonesia saat ini dalam kondisi kritis, kritis tata ruang terjadi karena pembangunan dilakukan disuatu wilayah masih sering mengabaikan masalah ekologi tanpa mengikuti pola perencanaan geologi tata lingkungan dan menyebabkan perubahan lingkungan yang tidak sesuai lagi untuk mendukung kehidupan manusia karena daya dukung lingkungan telah mengalami kerusakan dan tidak memenuhi standar perencanaan tata ruang yang telah ditetapkan oleh Peraturan Perundang-undangan.
            Dalam mengendalikan tata ruang lingkungan dari kehancuran akibat bencana geologi dan ulah manusia serta masih berhubungan dengan pengendalian kerentanan geologi dapat dilakukan upaya mitigasi berbasis ruang-ruang hijau terbuka antara lain : Pertama. RDTR atau rencana detail tata ruang diperlukan dalam pengendalian pemanfaatan tata ruang yang berhubungan dengan bencana geologi seperti bencana banjir bandang, dapat dilakukan apabila perangkat pendukung berupa penataan ruang-ruang hijau terbuka tetap dipertahankan pada daerah-daerah penyanggahan seperti kawasan pantai sebagai penahan laju gelombang pasang dan ancaman tsunami dan banjir pada kawasan hijau pusat inti kota dan RTBL hunian yang telah disiapkan. Dan setiap pemanfaatan tata ruang untuk pembangunan fisik harus mempunyai izin terlebih dahulu berupa IMB, dilanjutkan proses pengujian perizinan atas lokasi pemanfaatan pada suatu kawasan untuk pembangunan terlebih dahulu agar ada kesesuaian RTRW, RDTR Kecamatan dan RTBL kawasan khusus, bila layak maka izin diberikan, dan harus dilanjutkan dengan pembuatan Amdal, UKL dan UPL serta site plan. Hal ini penting untuk menghindari pemaksaan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkannya. Dan ini salah satu penyebab terjadinya kerusakan lingkungan dan banjir begitu mudah terjadi, padahal curah hujan tidak begitu deras, dan kita telah melihatnya di berbagai kota di Indonesia.
            Kedua, Perencanaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota harus juga disesuaikan dengan kemampuan status perekonomian masyarakat agar tidak terjadi dampak padat penduduk ke kawasan hijau pusat inti kota dan merupakan bagian dari pengendalian eskalasi urbanisasi. Hal ini juga perlu disiapkan karena berhubungan dengan pengendalian pembangunan kawasan kumuh oleh penduduk pendatang terhadap ruang terbuka hijau yang saat ini semakin terbatas sekali, akibatnya menimbulkan pergusuran ke kawasan-kawasan pinggiran kota yang masih menyisahkan daerah hijau yang luas. Selain itu, peningkatan pertumbuhan penduduk di kota dan pembangunan kota mengakibatkan harga-harga tanah naik tajam sehingga memerlukan tanah yang memadai. Erat hubungannya daya dukung lahan dan masalah lingkungan hidup. Maka tanah menjadi sumber konflik karena ketersediaan yang terbatas berakhir pada kemunculan kawasan kumuh diberbagai wilayah perkotaan. Ketiga, strategis konsep terpadu penataan ruang terbuka hijau, yaitu mengendalikan kehancuran lingkungan akibat “pembalakan” lahan bagi sumber-sumber daya alam dalam peningkatan perekonomian dan perluasan pembangunan fisik fasilitas perkotaan, kemajuan teknologi, industri dan transportasi, dapat dipadukan dengan berbagai kebijakan menyentuh segala lapisan dengan konsep tata ruang yang berwawasan lingkungan antara lain tata guna lahan pertaniaan abadi, RTBL tiap Kecamatan, dan pemanfaatan ruang kawasan lindung taman margasatwa dan sempadan air sungai, bagian dari ruang-ruang hijau ini harus diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi, guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh ruang terbuka hijau suatu kota yaitu pengendalian daerah-daerah rawa yang sebagai resepan air, berfungsi sebagai bioengineering dan biofilter bagi keseimbangan ekosistem dan tata ruang yang aman bagi kehidupan.


MITIGASI BERBASIS BUILDING CODE
            Pentingnya perencanaan tata ruang yang berbasis building code dalam mengantisipasi pengendalian kerentanan daya dukung tanah semakin menurun oleh sebab-sebab gempa, gempa adalah refleksi “kekerdilan” dalam memberi izin perluasan pembangunan fisik ke daerah yang sudah diidentifikasi rawan bencana, contohnya daerah gempa di Yogya, bangunan yang dibangun tidak tahan mengalami guncangan walau kekuatan gempa tidak begitu kuat namun mampu menelan korban dan infrastruktur yang banyak karena berada diatas tanah yang lunak dan mengakibatkan efek guncangan berganda terhadap pembangunan prasarana dan sarana infrastruktur kota, penataan ruang-ruang fasilitas yang tidak mendukung konsep building code serta karakteristik yang membentuk bentangalam daerah dimana tata ruang yang akan direncanakan untuk pembangunan tersebut.
            Dalam konteks peraturan daerah (building code) dalam penataan ruang untuk meminimalisasi dampak bencana, diperlukan suatu proses dan kemampuan untuk menakar risiko berdasarkan perencanaan yang dirumuskan setiap sektor dalam kebijakan peraturan bangun-bangunan dalam suatu Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) yang harus dikontrol pemberian izin pembangunan infrastruktur dengan mengadopsi konstruksi bangunan tahan gempa termasuk sabuk hijau/greenbelt bagi kawasan industri. Sebab, tidak jarang diketahui suatu keluputan dalam memberi izin pembangunan gedung dan rumah disekitar lereng pegunungan, bangunan hotel persis dibibir jurang, tempat dimana bangun-bangunan tersebut seharusnya diperuntukan ruang terbuka hijau. Building code diperlukan untuk  memberikan gambaran kekuatan bangunan dan daerah lokasi bangunan kepada masyarakat untuk lebih berhati-hati menempati suatu bangunan dan lingkungan dalam menghadapi bencana alam universal.
MITIGASI BERBASIS MANEGEMEN RISIKO
Mitigasi meliputi tindakan untuk mencegah bahaya dan mengurangi dampak yang akan ditimbulkan dari akibat bencana. Managemen risiko bencana diperlukan dalam mengurangi risiko kerentanan sosial penduduk yang bermukim diwilayah dan atau kawasan rawan bencana melalui media informasi dan teknologi. Pengembangan informasi manajemen risiko diperlukan dalam mitigasi bencana antara lain :
Gempa Bumi, Tsunami, dan Vulkanik, mengidentifikasi tata ruang yang aman dari gempa dengan melakukan analisis gempa yaitu seismitas dari kedalaman dan kekuatan episentrum, jarak jangkauan pelemparan material batuan dan debu vulkanik, tipe-tipe tanah beserta gerakan tanah dan struktur geologi seperti perlipatan, sesar, kekar dan perlapisan ke dalam peta-peta bencana wilayah tata ruang yang kemungkinan akan kembali terjadi siklus bencana. Memberikan informasi tata ruang yang aman untuk pembangunan fisik dengan standar berbasis mitigasi bencana. Mengembangkan teknik-teknik konstruksi tahan gempa didaerah rawan bencana beserta jaringan pendeteksi dini. Pencegahan pembangunan infrastruktur dikawasan tsunami dan bekas jejak vulkanik, mempersiapkan rute dan daerah evakuasi serta mengalokasi daerah yang aman dari gempa tektonik, dan pelemparan material vulkanik serta tsunami seperti daerah perbukitan, menginformasikan daerah yang akan tergenang dan menjadi sebuah area danau.
Gerakan tanah dan Banjir, dengan mengidentifikasi daerah rawan longsor, model gerakan tanah, daerah area getaran gempa dan vulkanik dan jenis tanah yang menyusun landscape tata ruang, memanfaatkan wilayah rentan gerakan tanah sebagai RTH untuk pengendalian banjir dan pengontrolan lahan dengan mengembangkan divertifikasi lahan yang produktif bagi keberlanjutan pertanian abadi yang tahan terhadap banjir atau menyesuaikan musim tanam dan reboisasi daerah banjir dan pengadaan jalur evakuasi yang aman.
Konsistensi dari perencanaan penataan ruang merupakan komitmen bersama yang telah disusun dengan program-program yang dilakukan oleh berbagai sektor pembangunan harus ada pertimbangan aspek teknis yang dilengkapi dengan adanya partisipasi masyarakat secara berkelanjutan agar pemanfaatan tata ruang yang telah disusun tetap mengacu kepada rencana tata ruang yang telah disepakati bersama sehingga dengan demikian pembangunan tata ruang lingkungan dikota dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana, dan berkelanjutan karena ada rasa memiliki dari masyarakat terhadap investasi yang diperuntukan untuk masyarakat dan bukan merupakan kepentingan pemerintah.


M. Anwar Siregar
Geologist, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer
Tulisan Saya ini sudah pernah dimuat/diterbitkan langsung di Harian Surat Kabar "ANALISA" MEDAN Pada Tanggal 9 September 2009. Harap Pembaca Memaklumi jika ada tulisan sama di blogger lain.

Related Posts :