Sep 28, 2011

INDONESIA MALAS BELAJAR SEJARAH GEMPA


INDONESIA MALAS BELAJAR SEJARAH GEMPA
OPINI
M ANWAR SIREGAR


Indonesia merupakan negara yang berada di jalur Ring of Fire atau negara yang rawan bencana alam geologi seperti tsunami, gunung api, gempa tektonik, gerakan tanah dan bencana klimatologis seperti banjir dan perubahan iklim serta cuaca. Bencana ini datang dengan tiba-tiba tanpa peringatan sehingga memerlukan kemampuan kesiapsiagaan, mitigasi fisik dan non fisik serta sosialisasi penanggulangan secara berkala kepada masyarakat agar dapat menyelamatkan diri dari ancaman bencana.

Jika direnungkan lebih arif dari apa yang telah terjadi dari sejarah dan peringatan akan adanya bencana seperti tanda-tanda bencana gempa oleh para ahli geologi dan geofisika sebelum bencana itu terjadi. Tetapi pemerintah tidak pernah dan lamban mengantisipasi serta kita tidak terlalu menghiraukan temuan mereka.

Sebagai contoh sejak tahun 2000 dan terakhir pada Seminar tentang Tsunami Disaster pada awal 2004 Dr. Danny Hilman Natawijaya, ahli gempa bumi alumni California Institute of Technology (sumber Kompas, 9/1/05), memprediksi bahwa gempa bumi besar akan muncul di pesisir Barat pulau Sumatera. Namun prediksi ini hanya ditanggapi dingin oleh pemerintah.

Prediksi tersebut memang telah terbukti dengan terjadinya gempa besar berkekuatan di atas 7.0 skala richter di Aceh Desember 2004, Pulau Nias 2005, lalu disusul ke Provinsi Bengkulu dan Sumatera Barat pada tahun 2007 dan berlanjut pada tahun 2009 serta diselang selingi gempa berkekuatan sedang di daratan Sumatera. Seperti gempa di Muara Sipongi dan Tapanuli (2008), sekarang dengan kejadian berikutnya di tahun 2010 di Aceh (Sinabang dan Meulaboh, 7.0 SR dan 7.2 SR) dan Panyabungan berlangsung 3 kali dengan durasi 3-6 jam dari gempa utama yang terasa cukup kuat dengan kekuatan 6.0 SR yang goyangannya terasa di Provinsi Riau.

Belum lagi kejadian gempa-gempa kuat di wilayah Timur Indonesia yang berlangsung terus menerus dan kemampuan pemerintah baik pusat maupun daerah belum mampu mengatasi kendala bantuan sehingga hidup masyarakat semakin sengsara karena manejemen tangga darurat begitu lamban. Semua hal ini bisa diatasi bila “rajin belajar”.

Hidup tanpa peringatan
Bertitik tolak dari prediksi yang dikemukan oleh para ahli geologi dan geofisika, seharusnya pemerintah mengubah cara pandang atau paradigma dalam mengambil keputusan pembangunan fisik. Dengan meningkatkan kemampuan pengadaan jaringan teknologi peringatan dini bagi masyarakat di daerah rawan bencana. Karena terdapat 1200 daerah rawan bencana yang masyarakatnya hidup tanpa teknologi peringatan dini.

Hal ini penting, berdasarkan posisinya di permukaan bumi, Indonesia banyak menyimpan potensi terjadinya bencana alam antara lain gempa bumi, gunung berapi meletus, gerakan tanah dan banjir. Sehingga  Indonesia ke depan masih akan banyak menghadapi bencana.

Dari fenomena uraian tersebut, seharusnya pemerintah telah mempersiapkan rakyat untuk lebih selaras menyesuaikan kondisi dan kebijakan rencana pembangunan ketataruangan bagi kepentingan masyarakat. Dari pengamatan selama kurun 10 tahun terakhir ini sejak terjadinya bencana gempa bumi di Bengkulu (2000) kemampuan analisis serta sepak terjang pemerintah dalam mengelola bencana membuat kita harus mengelus dada. Pemerintah belum mampu menjamin keselamatan para penduduknya.  Dan tanggap darurat dan pengambilan keputusan serta manajemen penyaluran bantuan bencana sangat panjang melalui berbagai rantai birokratis yang berbelit dan penuh dengan nuansa politik dan korupsi dana bantuan.

Pemerintahan Indonesia tidak dirancang sebagai pemerintah yang berkesadaran bencana. Hal ini dapat kita lihat dari sering terlambatnya antisipasi pemerintah bila ada bencana walau sekecil sekalipun. Tetapi bencana masih dilihat sebagai takdir yang berharap tidak akan pernah datang.

Karenanya, kesiapsiagaan pemerintah merespon bencana boleh jadi nir-sistim. Pemerintah belum memiliki sistim pengelolaan bencana yang terpadu, yang ditandai dengan ketiadaan kebijakan dan kelembagaan yang pasti, banyak peraturan dan kebijakan pemerintah, serta masih ada dalam bentuk konsep. Justrunya menghambat manajemen bencana, kapasitas sumber daya manusia yang tidak terlatih, infrastruktur dan peralatan dan dana riset yang amat terbatas dan tidak ada sistem peringatan dini di wilayah-wilayah rawan gempa.

Maka bertumbanganlah korban-korban yang tidak berdosa. Kita justrunya menghasilkan dosa besar karena kemalasan yang tidak mau belajar dari kesalahan terdahulu. “Apakah Tuhan mulai bosan dengan tingkat laku kita, yang bangga dengan dosa-dosa”, (Ebiet G Ade). Sehingga ditimpahkan bencana mengerikan di negeri ini.

Riset gempa kecil
Membangun sebuah kota memerlukan perencanaan yang komprehensif dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu dan partisipasi masyarakat memberikan masukan informasi. Keberadaan suatu lokasi hunian yang telah ditempati dari generasi ke generasi penting sebagai bahan rujukan tentang kejadian geologi yang pernah berlangsung di suatu wilayah yang belum tercatatkan sejak era teknologi pencatatan gempa. Hal ini dapat digunakan untuk menelusuri keberadaan kejadian gempa kecil yang dianggap remeh dan umumnya yang dicatat adalah kejadian gempa besar sekaligus dijadikan kalkulasi prediksi (patokan) gempa dimasa mendatang.

Kejadian gempa kecil itulah dapat memberikan gambaran yang lebih jelas di suatu wilayah dalam penataan ruang wilayah walau tata ruang wilayah itu belum pernah mengalami kejadian luar biasa bencana gempa. Namun suatu saat dapat memberikan unsur kejutan. Penyebabnya, akumulasi kekuatan bumi selalu bergerak dan bergeser, melalui retak-retakan yang kecil dan berukuran pendek.

Namun apabila ada responsibilatas energi seismik yang ada di sekitarnya akan memberikan stimulus lebih lanjut dari kelanjutan ukurannya. Bila diibaratkan dalam suatu roda kendaraan off road yang menggunakan sistim penggerak 4 x 4, maka tekanan yang disebabkan oleh retakan ke daerah yang memikul beban berat atau tumpukan beban lempeng berupa blok-blok batuan yang bergeser dan menumpuk di atas beban yang lebih tua (blok batuan lebih tua dan rapuh). Maka tekanan roda ban akan dipindahkan ke roda yang tidak menanggung beban berat agar ditemukan keseimbangan. Begitu juga tekanan blok batuan yang terhimpun di lakosi tertentu akan mendesak dan membentuk retak-retak tapi suatu saat akan rapuh. Seperti halnya ban mobil suatu saat mengalami penggembosan maka terjadi suatu ledakan.

Riset dari gempa kecil jarang dilakukan oleh perencana pembangunan fisik untuk infrastruktur dan sering dianggap remeh serta umumnya dimasukan sebagai kategori gerakan tanah. Padahal gerakan tanah masih berhubungan langsung dari gempa bumi tremor. Gempa bumi tremor yaitu gempa yang sering berlangsung terus menerus dalam skala sangat kecil dan tidak terasa oleh manusia dan berubah menjadi besar bila sering berlangsung gempa-gempa besar dengan dampak gerakan tanah di berbagai lokasi. Ini disebabkan fisik tanah telah mengalami “pengayakan” atau menjadi lembek yang kemudian berubah menjadi longsoran material tanah dan batuan.

Diperlukan penelitian bagi wilayah yang belum pernah mengalami gempa besar tapi sering mengalami gempa kecil melalui pemahaman informasi geologi bawah permukaan. Caranya dengan meningkatkan dana riset geologi bawah permukaan sebagai kajian zonasi lahan untuk pembangunan sarana infrastruktur berat.

Contoh kasus ini, kejadian jalan tol Cipularang, atau juga disepanjang jalan Kotanopan ke Kabupaten Pasaman, jalan Aek Latong, jalan Kecamatan dari Sipirok ke Saipar Dolok Hole. Di Kecamatan SDH memang belum pernah mengalami guncangan gempa dahsyat diatas 4.0 SR namun karena kondisi geologinya berada di dekat lokasi pertemuan tumbukan lempeng blok batuan Sumatera di Sipirok, alhasil tekanan itu mendesak dan membentuk retak-retak pendek di bawah permukaan bumi. Ini akibat akumulasi waktu pengumpulan energi puluhan tahunan sehingga menghasilkan gerakan tanah 100 meter di bawah permukaan dan efek penjalaran penyebaran retakan baru memberikan kelanjutan ukuran dibawah permukaan menjadi hampir 1 km.

Efek likuafaksi dapat dilihat dari sarana bangunan dengan adanya pergeseran serta pengangkatan jalan dan hancurnya sarana ibadah. Lokasi tata ruang wilayah itu bila dilihat kasat mata nampak sangat “bagus” untuk pembangunan fisik namun menyimpan potensi bencana.

Harus belajar
Pemerintah harus belajar dari kejadian bencana-bencana terdahulu sebagai cerminan persiapan pembangunan di masa mendatang. Jika diperumpamakan sebagai pelajar, jika ingin naik kelas maka dituntut untuk memahami materi pelajaran yang sudah diajarkan. Pelajaran yang diberikan akan memberikan gambaran kemampuan siswa tersebut untuk mengantisipasi kelemahannya sekaligus akan memberikan gambaran mengatasi kesulitan dia dalam hidup untuk mempertahankan kehidupan.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, bangsa yang seharusnya mengambil hikmah yang telah dianugerahkan Pencipta Alam Semesta. Merenungkan bagaimana Bangsa Indonesia hidup selaras dengan memahami semua kejadian alam sebagai ”pekerjaan rumah” yang berupa materi ”pelajaran sejarah bencana”. Maka Indonesia harus lulus ujian pelajaran bencana yang diberikan ”sang guru alam” yaitu dengan mengurangi dampak korban serta menciptakan teknologi ramah lingkungan dan peringatan dini tsunami yang disebarluaskan ke daerah rawan dan non rawan bencana.

Belajar dari pengalaman ini, pihak pemerintah daerah yang memiliki wilayah pesisir yang rawan gempa, tsunami, dan tanah longsor hendaknya menata kembali wilayahnya. Caranya dengan tidak membangun wilayah permukiman, fasilitas ekonomi, dan industri di dekat pantai. Menata ulang tata ruang hunian dan infrastruktur vital dari kehancuran bencana. Selain itu, perlu dipersiapkan peralatan teknologi dini tsunami, seismograf  dan sirene di setiap daerah rawan bencana, jalur evakuasi untuk penyelamatan penduduk dari ancaman tsunami dan dibangun lokasi pengungsian serta depo untuk bahan makanan dan obat obatan bagi para pengungsi.

Sosialisasi edukasi informasi geologi daerah rawan bencana perlu dilakukan secara berkala. Dari semua itu, pemerintah seharusnya sudah memahami pelajaran yang sudah diberikan namun kenapa juga “bandel” dengan tidak menyelesaikan dan menetapkan RUU kegeologian sebagai UU agar dapat memberikan efek lebih keras bagi segenap lapisan masyarakat. Pemerintah ataupun stakeholder untuk mengendalikan nilai “rapor merah” (baca : korban yang banyak) sehingga Indonesia dapat dianggap sebagai bangsa yang berhasil ”lulus ujian”.

DITERBITKAN PADA HARI Wednesday, 04 August 2010 06:02 HARIAN WASPADA MEDAN

SUMUT WASPADA BENCANA GEOLOGI : Geologi Disaster


SUMUT WASPADA BENCANA GEOLOGI
M ANWAR SIREGAR

Sumut sekarang benar-benar mengalami kejadian bencana geologis dengan meletusnya gunung Sinabung pukul 00:08 WIB (Waspada 29 Agustus 2010). Sumut masih akan diselimuti berbagai jenis bencana geologis di masa mendatang sesuai “tradisi” di negeri seribu bencana. Setelah gerakan tanah, menyusul bencana banjir, lalu bencana gempa datang tanpa permisi kemudian hadir lagi bencana maut gunung api ikut berpesta pora.

Bahwa bumi yang sebagai satu sistim yang melingkupi lingkungan geologi di tempat dimana manusia hidup beraktivitas terdiri dari sistim atmosfir. Ini berasal dari berbagai gas mengeliling bumi menghasilkan perubahan temperatur udara, oleh pantulan radiasi infra merah dan gas rumah kaca. Sistim samudera (hidrosfir) yang merupakan lingkungan perairan luas yang menahan panas lalu diserap dari radiasi matahari lebih lama dibandingkan daratan akan menghasilkan intraksi dengan atmosfir. Ini mengubah siklus-siklus harian dan musiman serta mempengaruhi iklim dan kondisi setempat.

Sistim bumi masih terdapat dalam satu lingkup saling berhubungan antara lain sistim siklus hidrogeologis yaitu sistim penataan pola air atas dan bawah permukaan bumi. Ini dapat mempengaruhi kondisi lingkungan kelembaban bumi dan tempat manusia menjalankan rutinitas kehidupan dikenal sistim biosfir yaitu antara daratan tanah (litosfir) dan bagian atas kerak bumi dengan udara (lapisan bagian bawah atmosfir) dan hidrosfir. Juga serta sistim daratan (litosfir) yang menopang berbagai ekosistim kehidupan dalam ratusan bahkan ribuan tahun hingga mengalami evolusi yang menghasilkan jenis kebencanaan geologis dan klimatologis seperti sekarang.

Kebencanaan Sumut
Sumatera Utara termasuk salah satu provinsi di Indonesia memiliki karakteristik tingkat kebencanaan geologis yang sangat tinggi. Ini dicerminkan oleh tingkat kerentanan dan kerawanan kondisi geologi yang membentuk wilayah Sumatera Utara dan Pulau Sumatera keseluruhan. Dengan ditemukan berbagai jenis sumber ancaman alamiah, terdapat zona penumbukan lempeng yang menghasilkan gempa besar di daratan dan di lautan.

Zona jalur sirkum pegunungan muda yang bertemu di wilayah Indonesia, menghasilkan zona subduksi vulkanik yang membelah daratan Sumatera Utara dan terdapat. Juga rangkaian pegunungan bawah laut di Pantai Barat Sumatera Utara yang menghasilkan gempa dan tsunami dahsyat. Selain itu Pantai Barat Sumatera Utara terdapat berbagai perbedaan densitas anomali perubahan cuaca sangat tinggi yang menghasilkan hujan salah musim. Pantai Timur Sumatera terdapat ancaman bencana perubahan anomali kekuatan angin dengan bencana angin puting beliung serta tingkat curah hujan yang rata-rata tinggi menghasilkan bencana banjir.

Tinjauan kebencanaan alam dari segi oceanografis dan metorologis di wilayah Sumatera Utara mencakup aspek perbedaan sensitif terhadap perubahan angin musiman, gelombang pasang, arus pasang surut di sebalah Barat dan Timur yang memiliki perbedaan sangat kontras. Bagian Barat Pantai Sumatera Utara sampai ke Pulau Jawa terdapat dua kutub Lautan Hindia (Indian Ocean Dipole/IOD). Satu Kutub berada di kawasan Pantai Sumatera sampai Jawa. Sedangkan Kutub lain berada di kawasan Pantai Timur Afrika.

Interaksi sistim samudera yang mempengaruhi bahaya kebencanaan alam klimatologis dengan sistim daratan (litofir) bagi provinsi Sumatera nampak jelas. Yaitu hujan salah musim yang sekali muncul di Pantai Barat dan Timur Sumatera Utara yang menyebabkan banjir yang tidak merata. Implikasinya yang harus diperhitungkan dimasa mendatang sebagai tingkat kewaspadaan yaitu ENSO (El Nino South Ossilation) yang dapat menghasilkan gelombang pasang yang tinggi disekitar Pulau Nias dan Teluk Sibolga. Ini karena ada gangguan (disturbance) di palung laut di Selatan Jawa akibat tekanan perubahan gerak lempeng bumi. Kemudian gerak ini menghasilkan gempa bumi dan perubahan batimetri (topografi) kelautan dan perubahan titik-titik koordinat pulau-pulau di sepanjang Pantai Barat Sumatera Utara akibat gempa.

Tekanan lempeng bumi yang saling menumbuk itu telah menekan hingga menerobos jantung benua Australia yang menghasilkan destabilitas energi bagi ENSO akibat tidak ada energi pendorong ketika mendekati puncak (peak fhase). Maka wilayah di Pantai Barat Sumatera terutama di Utara Sumatera dan Aceh akan mengalami berbagai ketidakpastian kondisi cuaca yang ekstrim. Ini telah diperlihatkan oleh ketidakteraturan intensitas curah hujan, angin kencang, tinggi gelombang dan perubahan temperatur udara  yang tinggi bagi kota Medan dan sekitarnya mencapai 35oC.

Kritis gempa daratan
Sumatera Utara dilalui tiga segmen patahan daratan yakni Patahan Renun sepanjang 220 km, Patahan Toru sepanjang 95 km, dan Patahan Angkola sepanjang 160 km atau total sepanjang 475 km. Ketiga patahan ini membelah dan mencacah-cacah bentangalam geologi Sumatera Utara sehingga banyak ditemukan lembah-lembah tektonik dan graben-graben disertai juga depresi vulkano-tektonik yang dapat menghasilkan kekuatan gempa dahsyat dengan jangkauan perambatan energi seismik dalam ratusan kilometer.

Patahan Renun berada di wilayah Aceh Tenggara, Dairi, Tapanuli Utara dan daerah pemekarannya, melintasi sebagian wilayah Tanah Karo. Patahan Renun memiliki kelanjutan pasangan yang terpotong diwilayah Langkat, Karo, Humbahas, hingga ke Tapanuli Tengah. Patahan Toru melintasi wilayah Tapanuli Selatan, Paluta, Palas, Padangsidimpuan. Patahan Angkola membelah wilayah Tapanuli Selatan, dan sebagian Mandailing Natal.

Pemerintah Sumatera Utara sudah harus memperhitungkan akumulasi beberapa ruas patahan yang saat ini dalam kondisi kritis gempa dibeberapa wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, Karo, Langkat dan Mandailing Natal. Kekuatan gempa yang tercatat di daratan Sumatera Utara mencapai 7.2 Skala Richter dan rata-rata 6.2 SR. Daerah kritis gempa yaitu Tapsel-Tapteng (1936), Karo (1921), Taput (1987), Madina 1892, Humbahas-Tobasa 1941. Nias (2005).

Diperkirakan dalam 5 tahun ke depan Sumatera Utara akan “panen gempa”, perhitungan hasil panen gempa itu dapat di kalkulasi dari masa waktu tahunan pelepasan “energi tenaga dalam” yang tercatat di masa lalu yaitu antara 5-10 tahun dan 50-80 tahun dan kita perlu diingatkan bahwa akhir-akhir ini deformasi bumi mengalami “gangguan tahunan” siklus yang tidak teratur lagi, contoh gempa di Aceh sepanjang 2010 dengan kekuatan diatas 7.0 Skala Richter dengan gempa dahsyat Aceh-Nikobar pada tahun 2004. begitu juga dengan gempa yang berlangsung di sekitar Pulau Nias dan Mentawai.

Waspada bahaya gunung api
Gunung api terbentuk pada empat busur, yaitu busur tengah benua, terbentuk akibat pemekaran kerak benua; busur tepi benua. Terbentuk akibat penunjaman kerak samudara ke kerak benua; busur tengah samudera, terjadi akibat pemekaran kerak samudera; dan busur dasar samudera yang terjadi akibat terobosan magma basa pada penipisan kerak samudera.


Gambar : Letusan Gunung Sinabung 29 Oktober 2013, (Sumber : Foto SR. Wittiri, Geomagz, edisi 2014)

Lokasi Gunung Sinabung dan Kompleks Kaldera Toba
(Sumber :  http://rovicky. files.wordpress.com/2013)


Meningkatnya aktivitas beberapa gunungapi di kawasan Sumatera karena ada keterkaitan antara gempa di Pantai Barat dan daratan Sumatera. Ini merupakan bagian dari pinggiran lempeng benua yang tipis oleh adanya gangguan oleh getaran responsibilitas energi seismik yang kuat dan mengusik ketenangan reservoir magma yang kosong sehingga mengalami pengisian penuh.

Letusan gunung api Sinabung terjadi karena gempa sering berlangsung di daratan Sumatera Barat dan menekan ruas patahan di bagian Sumatera Utara yang saling bersentuhan langsung dengan jalur patahan Renun. Ini membelah dan memotong Tanah Karo, sehingga gunungapi Sinabung mengalami tekanan kuat.

Selain itu, lokasi pembentukan gunung api ini masih berada dalam keselarasan pembentukan gunung api di Sumatera Utara di masa lalu. Ini saling terkait dengan proses pembentukan karakteristik jalur-jalur sesar geovultektonik-geomorfologi di daratan tinggi Bukit Barisan di sebelah barat disekitar Danau Toba sekarang.

Gunung api Sinabung merupakan salah satu gunungapi yang telah memberikan peringatan bagi pemerintah daerah bahwa masih akan ada bencana kegunungapian yang dalam satu “kelas” yaitu Tipe B. Diklasifikasikan sebagai gunung api yang sesudah tahun 1600 belum lagi mengadakan erupsi magmatic. Namun memperlihatkan gejala kegiatan seperti kegiatan solfatara antara lain gunungapi Sibual-buali, gunungapi Lubuk Raya/Hella Toba Tipe C di Tapanuli Selatan, gunungapi Pusuk Buhit di Samosir dan gunungapi Sibayak di Tanah Karo yang mesti diperhitungkan sangat ini karena lokasi sangat berdekatan dengan gunungapi Sinabung.

Aparatur pemerintah dalam memitigasi masyarakat harus bersikap persuasif terus menerus dengan memberikan imbauan yang menyejukan dan menguasai permasalahan yang ada serta koordinasi dengan instansi terkait. Apa yang terjadi di Tanah Karo itu ternyata masih ada yang belum mampu memberikan informasi yang akurat sehingga terjadi kebingungan bagi masyarakat dengan alasan peristiwa tersebut hal biasa dan masyarakat tak perlu panik (Waspada, 29 Agustus 2010).

Padahal tanda-tanda letusan gunungapi sudah diperlihatkan oleh adanya awan panas dan keluarnya lahar sebagai petunjuk untuk mengunsikan masyarakat. Bila dalam waktu 5 hari ke depan jika tidak ada tanda-tanda lontaran bom sebagai gejala letusan mulai terjadi maka masyarakat bisa kembali ke pemukiman. Tetapi yang terjadi di Karo terbalik, sehingga masyarakat masih banyak yang tinggal disekitar kaki gunung api Sinabung dan mengalami lahar panas.

Pemerintah Sumatera Utara sudah harus mempersiapkan simulasi mitigasi masyarakat dalam menghadapi kebencanaan gempa-tsunami serta gunung api secara berkala. Karena energi pelepasan seismik dalam kondisi matang berada di wilayah Tapanuli Selatan dan Tanah Karo dengan meletusnya gunungapi Sinabung. Kedua wilayah ini terdapat banyak gunungapi yang diperkirakan masih aktif. Sumatera Utara sebenarnya dalam waspada bencana geologi beberapa tahun ke depan. Mari kita siapkan diri menghadapi bencana dengan pengetahuan dan peralatan yang siap dipergunakan.
Penulis adalah Geolog, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer. Tulisan sudah dimuat di harian WASPADA MEDAN 2010
http ://www. waspadamedan.com/opini

Sep 12, 2011

Refleksi Mitigasi Ruang Pascagempa Singkil :Geologi Mitigasi

REFLEKSI MITIGASI RUANG PASCAGEMPA SINGKIL
Oleh M. Anwar Siregar
Tekanan terhadap kerak bumi pulau-pulau vulkanik oleh proses geotektonik lempeng di Samudera Hindia yang terus menerus bergerak, berarti ada “sesuatu terjadi“ di wilayah pantai barat sumatera akan mengakibatkan terus menerus bertukar tempat atau posisi koordinat tanah dan batimetri laut/pantai bergeser sehingga hal ini dapat menyebabkan peramalan perubahan laut di masa mendatang semakin sulit.
Kejadian gempa yang sering terjadi di wilayah blok Aceh-Nias meliputi kawasan pulau-pulau Banyak, Simeulue. Singkil dan Nias merupakan bagian dari integrasi yang masih berlangsungnya proses relaksasi dan isostasi (keseimbangan) seismik gempa di pantai barat sumatera terutama gempa masih berpolarisasi di wilayah utara sumatera adalah dampak akumulasi perubahan struktur kerak samudera yang berubah-ubah dengan ditemukan perubahan bentuk dasar tanah/batuan yang ikut bergeser dan terangkat serta turun oleh kejadian gempa dahsyat Aceh-Nias tahun 2004-2005, sehingga diwilayah deretan pulau-pulau vulkanik Aceh dan Nias itu masih berlangsung gempa hingga ke detik ini.
GEMPA SINGKIL
Gempa masih berlangsung diwilayah Aceh terutama di Kepulauan Simeulue merupakan akumulasi gerak relaksasi bumi yang belum seimbang, disebabkan oleh mobilitas Lempeng Indo-Australia masih terus melakukan ’’perkelahian abadi“ dengan Lempeng Eurasia.
Fakta dari kejadian sejarah gempa yang pernah berlangsung dalam kurun satu dasawarsa sejak gempa Bengkulu 2000 hingga ke gempa Singkil 2011 yang berkekuatan 6,7 Skala Richter semakin menegaskan bahwa ada perubahan struktur kerak samudera oleh proses epirogenesa pembentukan gunung bawah laut. Akumulasi dari kejadian gempa dapat dilihat dari bukti yang ditemukan selama kejadian berlangsung, yaitu : pertama, efek gempa Aceh-Nikobar 2004, terdapat zona robekan patahan sepanjang 600 km menuju ke selatan Jawa, dan memicu pemecahan lempeng seluas 200.000 km persegi ke lempeng mikro Burma. Kedua, gempa Nias-Simeulue tahun 2005, ada perubahan lanjutan akibat gempa Aceh dengan pengangkatan dan penurunan pulau-pulau vulkanik disepanjang pantai barat Sumatera. Salah satunya adalah terjadinya anomali kerentanan seismik di seismik gap antara Nias dengan Mentawai. Ketiga, gempa Bengkulu dalam periode lima tahun telah memberikan akumulasi tekanan pembentukan kerak “sembulan“ disebelah tenggara Bengkulu disepanjang Trench-Java-Sumatera, yang dicirikan adanya gejala peruntuhan tebing dan pembentukan gunung bawah laut raksasa dan merupakan bagian dari kelanjutan patahan sepanjang 1600 km di daratan membentuk akresi prisma di ujung pulau Sumatera di Selat Sunda. Keempat, gempa di Sumatera Barat dan Mentawai, membentuk polarisasi penyerapan energi seismik dan menekan pelengkungan bagian tengah ke utara pulau sumatera mendekati benua Asia. Kelima, gempa Meulaboh-Singkil, menunjukkan adanya proses daur ulang kedudukan tatanan geologis di daerah vulkanik akibat dampak gempa Sumbar oleh pelengkungan utara Sumatera sehingga anomali seismik diujung perbatasan lempeng mengalami berbagai model tekanan, regangan dan peremukan sehingga batuan dasar mengalami distabilisasi pondasi dalam mencari “tumpukan“ agar tidak bergeser.
Dan ini salah satu dari berbagai fakta yang menyebabkan mengapa Aceh, Nias, Sumbar dan Bengkulu masih sering ’berlangganan gempa“. Dan bahwa Pemda wajib meninjau ulang tata ruang daerahnya dengan mereflesikan tata ruang tahan gempa.
REFLEKSI PENATAAN RUANG
Mengingat pengaturan lokasi kegiatan dalam bentuk perencanan tata ruang (RUTR/RTRDW) relatif terlambat dibandingkan dengan perkembangan eskalasi kegiatan ekonomi dan bisnis dalam kawasan industri, serta pemukiman dan penghancuran daerah kawasan hijau yang pesat sehingga akan terlihat lokasi penataan ruang untuk industri relatif masih berbaur dengan dengan kawasan padat kegiatan sosial dan ekonomi didaerah rawan bencana, akan sering menimbulkan kerentanan bencana lingkungan geologi.
Pembangunan tata ruang umumnya selalu mengikuti perilaku penataan ruang untuk relokasi industri di Indonesia belum sadar pemahaman daya dukung lingkungan terhadap bahaya besar yang mungkin saja terjadi secara tiba-tiba, terutama dalam ancaman bencana gerakan tanah yang di “bantu” oleh gempa bumi. Kultur ini juga belum terbangun dikalangan masyarakat luas dalam penataan ruang dan menempatkan sarana fisik dilokasi berbahaya yang bukan untuk peruntukkannya.
Pemerintah daerah di Sumatera seharusnya mereflesikan tata ruang wilayahnya dari kejadian-kejadian gempa di Darat dan Laut Pulau Sumatera termasuk pada kejadian gempa Singkil bahwa tata ruang yang ada perlu “direformasi” dalam bentuk tata ruang berbasis kerentanan geologis bagi kawasan pesisir darat dan laut kepulauan, dengan menyusun suatu landasan pembangunan tata ruang berkarakteristik bencana geologi. Gempa di Singkil yang mampu merusak sarana jalan lintas sumatera itu merupakan pelajaran berharga karena mengingat lokasi pusat kejadian gempabumi cukup jauh ternyata mampu memberi “tamparan” peringatan bagi semua perencana pembangunan tata ruang wilayah.
Refleksi penataan ruang yang berbasis mitigasi di Sumatera sudah harus diimplementasi dalam standar bangunan dan inrfrastruktur tahan gempa, kuncinya adalah penerapan dan pemetaan kerentanan seismik suatu tata lahan yang dikembangkan melalui penelitian gelombang seismik dan kekuatan geoteknik batuan dasar sebagai informasi dasar untuk pembangunan kewilayahan.
Refleksi penataan ruang dapat diadaptasi untuk mengurangi dampak perubahan tatanan geologi bawah permukaan yang merupakan bagian dari cermin data geologi permukaan dalam dua model tata ruang yang bersinergi yaitu pola pembangunan infrastruktur darat-pesisir dan pola penataan ruang pemukiman-infrastruktur (seperti pelabuhan) melalui tata ruang laut kepulauan. Dalam tata ruang darat, semua sarana infrastruktur sudah harus berpedoman bangunan tahan gempa, yang meliputi aspek geologi, penyebaran penduduk, dan garis patahan yang membentuk geomorfologi tata ruang serta mengacu pada peta geo-spasial. Ini berarti pemerintah dan DPR harus menyusun UU Tata Ruang (UUTR) yang komprehensif dari berbabagi disiplin ilmu.
Pola penataan ruang Laut Kepulauan didasarkan pada pengembangan sarana vital yang berlandaskan kepada kearifan lokal yang membentuk kultur penduduk di daerah tertentu dengan mengembangkan pola ruang keragaman dan kekhasan alam yang membentuk karakter pulau-laut. Hal ini dibutuhkan agar tidak terjadi eksploitasi yang melampaui daya dukung lingkungan pulau yang rentan mengalami perubahan deformasi geologi oleh penghancuran dan penumbukan antar lempeng dijajaran pulau di Samudera.
Semua pola pembangunan tersebut sudah harus memiliki berbagai model peta rawan bencana yaitu peta tematik, yang dibuat secara spesifik untuk keperluan khusus dalam penataan ruang darat-pesisir dan laut-pulau.
TEKNOLOGI MITIGASI
Yang lebih penting dari semua model pola pengaturan tata ruang adalah pemerintah wajib menyediakan prasarana dan sarana sistim peringatan dini berupa teknologi seismograf, teknologi tsunami, teknologi pasang surut, teknologi panas air laut, teknologi GPS, teknologi pengolahan data yang real time disetiap provinsi dan teknologi broakband diseluruh pantai Indonesia.
Yang paling penting dari penggunaan teknologi mitigasi ada dua yang menjadi faktor prioritas bagi semua pemerintah daerah di Indonesia yaitu : Mitigasi dalam bentuk tata ruang yang berbasis bencana geologi, dan Simulasi mitigasi dalam bentuk kurikulum pendidikan yang berbasis masyarakat.
Faktor teknologi hanya merupakan alat penunjang, faktor utama ada pada manusianya, sehingga teknologi canggih apapun belum mampu meminimalisasi jumlah korban bila kesiapan sumber daya manusia masih tertinggal. Maka jumlah korban dan infrastruktur akan tetap ada dalam jumlah besar.
Gempa Singkil harus sekali lagi dijadikan renungan pembangunan tata ruang kehidupan berbasis bencana dengan landasan utama pembangunan fisik berwawasan lingkungan.
M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan-Geosfer, Tulisan ini sudah dimuat dalam harian "WASPADA" MEDAN Tanggal 8 September 2011

Gempa Bumi Di Era Teknologi Kekerasan


GEMPA BUMI DI ERA TEKNOLOGI KEKERASAN
Oleh : M . Anwar Siregar

Bencana (disaster) dalam pandangan orang, dilihat dari kejadian tiba-tiba yang tidak bisa diprediksi dan dapat merusak dalam skala besar dan bersifat pembunuh secara alami. Bencana sebenarnya adalah proses, bukanlah kejadian tiba-tiba, diperlukan informasi kerentanan multisektoral. Bencana masih bisa diantisipasi untuk mengurangi jumlah korban bencana dengan meningkatkan produk teknologi sistem peringtan ini. Bukan senjata kekerasan seperti sekarang ini masih berlangsung dan berjatuhanlah korban-korban yang memilukan nurani hingga ke detik ini.
Manusia belum juga sadar untuk melakukan introspeksi dalam kajian penerapan teknologi yang ada di bumi. Perusakan Bumi dengan perlombaan teknologi Nuklir yang mendominasi berita-berita surat kabar dunia, sehingga manusia di era globalisasi ini masih terus dihantui berbagai kecemasan oleh perlombaan persenjataan dan perseteruan perbedaan politik yang berakhir pada teknologi kekerasan di berbagai belahan dunia dan diiringi oleh kemurkaan alam Bumi. Ternyata belum mampu diantisipasi oleh teknologi manusia yang ada sekarang dan berjatuhanlah korban-korban yang memilukan nurani.
TELITI DULU BUMI
Berulangkali alam memberi tanda kepada manusia melalui ”unjuk rasa” untuk mempelajari Bumi, secara tiba-tiba telah menelan korban bencana sampai ratusan jiwa dan triliun rupiah kerugian harta dan infastruktur fisik seperti yang kita lihat dalam kurun 10 tahun terakhir ini telah merenggut hampir 1 juta jiwa korban hingga sekarang ini. Ternyata tidak mendapat perhatian serius dibandingkan penjelajahan angkasa hingga manusia ingin sekali bisa menetap disana. Teknologi angkasa lebih berkembang dan maju serta di lengkapi dengan “senjata pamungkas” tetapi begitu terjadi bencana alam di negara ”angkasa”, ternyata tidak mampu dan tidak berdaya mengatasi jumlah korban becana yang diakibatkan gempa serta tsunami, inikan tragis sekali.
Seharusnya kepintaran manusia lebih baik digunakan untuk meneliti bumi lebih mendalam. Agar mampu memprediksi dan mengurangi jumlah korban, uang miliaran dollar AS yang digunakan untuk membuat laboratorium ruang angkasa sebaiknya dialihkan untuk mempersiapkan teknologi prediksi gempa yang lebih baik.
PENANGKAL GEMPA
Intensitas gempa bumi yang masih terus menerus berlangsung dan merupakan akumulasi energi di perbatasan lempeng disebabkan oleh penabrakan, penghancuran dan pematahan batuan yang menyusun kerak bumi tidak pernah berakhir, menambah kecemasan manusia karena akhir-akhir ini teknologi penangkal bencana gempa sepertinya tertinggal jauh dari teknologi perlombaan persenjataan nuklir dan ruang angkasa.
Teknologi manusia sudah mampu ke Bulan dan Mars atau menjelajah angkasa, seharusnya teknologi manusia sudah mampu menyempurnakan teknologi bangunan tahan gempa. Bukankah pesawat angkasa serta persenjataan nuklir untuk menghancurkan benda-benda yang membahayakan bumi saja mampu dibuat!
Gempa memang tidak bisa dicegah karena bersifat tiba-tiba dan alamiah, tetapi jumlah korban dapat diminimalisir sekecil mungkin dengan cara bantuan teknologi mitigasi, terutama untuk penentuan pemetaan lokasi kerawanan bencana dengan satelit yang memotret pola pergerakan kerak bumi atau lempeng-lempeng yang saling bergerak. Sebaiknya anggaran setiap negara lebih diperioritas untuk menciptakan teknologi penangkal gempa yang lebih baik seperti pemasangan sistem peringatan dini di kawasan Samudera Hindia, tidak cukup menggunakan teknologi satelit. Inilah seharusnya menjadi perhatian masyarakat dan pemimpin dunia.
TEKNOLOGI KEKERASAN
Mewaspadai bencana alam terutama gempa bumi mutlak diperlukan, karena prediksi gempa sampai sekarang ternyata masih mampu mengurangi keterbunuhan manusia beserta mahluk hidup lainnya. Manusia justrunya semakin berlomba-lomba untuk pamerkan kekerasan melalui perang dan pembunuhan hanya untuk memburu seorang diktator maupun seorang teroris dengan menyerang negara tertentu secara pengecut yang kemudian bergejolak dan perdamaian dunia semakin jauh dari harapan. Tidak bisakah dana pembuatan senjata kekerasan itu dialihkan saja untuk kepentingan umat manusia dalam penangkal bencana? Karena bencana dan perang sama-sama memberikan unsur traumatik bagi kehidupan manusia hingga menimbulkan pertentangan kejiwaan untuk melakukan tindakan ultra kekerasan yang terbukti melalui ”bom bunuh diri”.
Kemajuan luar biasa teknologi manusia di abad sekarang ini, ternyata belum ada satupun yang mampu mengontrol alam. Rupanya kemajuan teknologi yang ada sekarang lebih ditonjolkan untuk melakukan ”pembunuhan” hanya karena perbedaan pandangan hidup dan ideologi politik. Maka berhamburanlah teknologi senjata kekerasan itu ditembakkan hingga ke detik ini. Kemajuan industri persenjataan dari tahun ke tahun semakin canggih ternyata lebih menonjol dibandingkan penemuan lain, yang gaungnya sangat menakutkan kehidupan di bumi dan menenggelamkan penemuan lain. Teknologi senjata nuklir dapat mengundang keinginan negara miskin untuk membeli, bukannya dimanfaatkan untuk penciptaan teknologi penangkal gempa yang lebih baik.
Alhasil, bumi semakin murka dengan mendatangkan kepedihan bagi manusia yang semakin sombong, karena terus menerus memproduksi senjata kekerasan, alat teknologi yang cenderung menghancurkan bumi itu sendiri. Sementara teknologi yang mampu memprediksi bahaya bencana semakin kedodoran, akibatnya banyak korban bertumbangan. Kalau manusia ingin mengurangi dampaknya, Buat senjata teknologi yang memberi kedamaian dimuka bumi ini dan tinggalkan teknologi kekerasan itu.
DIPERLUKAN KEARIFAN
Saatnya dunia berpikir lebih arif dalam mengatasi bencana, terutama diperlukan kearifan dari pemimpin dunia untuk menghilangkan budaya kekerasan hanya karena alasan untuk memburu satu orang teroris lantas ramai-ramai mambawa ”mesin pembunuh”.
Diperlukan kearifan untuk memulai secara komprehensif ditingkat global untuk menciptakan teknologi yang berhubungan dengan penyelamatan, pencegahan dan penanganan bahaya bencana yang hadir sepanjang tahun. Sedangkan datangnya bencana itu tidak pernah mengenal ras, agama, politik negara dan bangsa-bangsa yang mendiami bumi ini terutama dalam pengeluaran anggaran negara, bukan untuk penciptaan senjata kekerasan (biaya teknologi perang), senjata pemusnah massal yang tidak ada urgensinya bagi dunia di abad sekarang. Tetapi anggaran negara dialihkan untuk kepentingan umat yang lebih luas, yaitu pembangunan dan penanganan teknologi bencana. Karena bumi terus menerus menghadirkan bencananya untuk peringatan bagi manusia agar bersikap arif dalam memanfaatkan segala isi bumi.
Bumi telah memberikan peringatan bencana kepada munusia agar belajar dari sejarah bencana global sepanjang umur bumi, agar manusia tidak lebih cepat ”menggali kuburan sendiri” sebelum waktunya, Harus dianggap sebagai tanda bahaya yang lebih besar lagi yaitu datang untuk mengancam dan menghilanghkan keberadaan umat manusia sebagai khalifah dimuka bumi.

M. Anwar Siregar
Geologi, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer, Tulisan ini sudah dimuat di Harian 'ANALISA' MEDAN, Tanggal 9 September 2011

Sep 7, 2011

Kaya Energi, Antri BBM : Geologi Recources

KAYA ENERGI, ANTRI BBM
Oleh : M. Anwar Siregar
Disparitas harga BBM di Indonesia dan dunia sangat dipengaruhi oleh gonjang-ganjing politik di Timur Tengah dan perseteruan Amerika Serikat. Pemerintah seharusnya memahami hal ini, karena dapat menyebabkan gejolak dan kelangkaan BBM, dan cerita lama terulang lagi. Setiap menjelang bulan ramadhan ataupun kalau sudah berlangsung 2 tahun tidak ada kenaikan harga BBM maka para pengusaha melakukan tindakan “pengoplosan” dan penyeludupan BBM keluar negeri, peningkatan pemakaian konsumsi BBM di Tanah Air memang salah satu penyebab beberapa SPBU mengalami kelangkaan karena kemampuan daya beli masyarakat memiliki kendaraan pribadi meningkat tajam. Namun hal ini bukan faktor yang signifikan penyebab utamanya, tetapi pemerintah itu yang lambat dalam meregulasi pemanfaatan energi-energi terbarukan secara massal, dapat mengurangi ketergantungan energi konvensional atau bahan bakar solar untuk pembangkit energi PLN dan industri serta sarana transportasi.
Pemerintah “lebih suka” melakukan pembatasan dan penghematan penggunaan BBM. Pemerintah seharusnya sudah memahami hal ini karena gejolak BBM dan TDL di Indonesia merupakan kebijakan yang tidak elok bagi masyarakat, mengundang unjuk rasa dan anarkis rakyat.
ENERGI ALTERNATIF
Dari hasil penelitian dan pemetaan geologi SDA oleh ahli geologi Indonesia telah tercatat, beberapa sumber daya energi alternatif yang dapat digunakan hingga dua abad tanpa harus bergantung dengan sumber bahan bakar minyak bumi (energi konvensional). Beberapa energi alternatif yang sudah terdiskripsi dengan baik, hingga dapat dilaksanakan pengeksploitasian dan pengeksplorasian, yaitu :
1. Dipantai bagian barat Sumatera, terdapat sumber daya bumi berupa hidrat gas dan gas biogenik. Berbentuk energi beku yang tersimpan didalam sedimen laut dalam, yang merupakan senyawa inklusi yang mengandung kristal dan membentuk suatu campuran air dan gas metana dalam bentuk es. Satu meter kubik hidrat gas jenuh sama dengan 190 meter kubik standar gas metana.
Satu wilayah laut Indonesia yang teridentifikasi mengandung hidrat gas, oleh hasil peneliti geologi BPPT adalah terdapat di Pantai Sumatera bagian Barat, Jawa Barat disisi selatan Laut Hindia, seluas 22.000 km persegi. Begitu juga terdapat di Laut Sulawesi seluas 18.000 km persegi serta Laut Sulu di garis Wallace yang mengandung kira-kira 14.000 km persergi. Total seluruhnya dapat mencapai 218 juta TCF2 untuk pemakaian lebih 180 tahun.
2. Energi-energi di lautan, terdiri dari energi gelombang lautan, energi pasang surut, energi panas laut, energi angin laut, energi ini banyak terdapat diseluruh perairan lautan teritorial Indonesia. Menurut guru besar kelautan IPB Rokmin Dahuri, bahwa energi-energi dilautan Indonesia mampu mengatasi kelangkaan BBM dan energi listrik dengan memanfaatkan energi laut untuk pembangkit listrik di Indonesia. Tidak ada wilayah tanah air tanpa ada lautan dan angin.
Energi gelombang laut di Indonesia dapat menghasilkan tenaga listrik sebesar 2-3 juta MW (mega watt). Energi gelombang ini terjadi karena angin yang bertiup akan menyebabkan permukaan laut berguncang dan bergelombang, panjang gelombang cukup lama dan periode waktunya cukup tinggi serta rapat. Pada daerah pesisir pantai seperti yang ada di Pulau Biak, di pantai barat Sumatera dan Kepulauan Riau, utara Sulawesi dan Jawa dapat menghasilkan densitas gelombang sebesar 55 MW per mil ke pesisir pantai dan dapat mengalirkan energi listrik untuk 2100 rumah nelayan di daerah tersebut.
Energi Pasang surut, yang terjadi karena perbedaan permukaan air laut sepanjang waktu yang diakibatkan gaya gravitasi bulan dan matahari dan pergerakan rotasi bumi. Wilayah laut tanah air terdapat beberapa Samudera dapat menghasilkan energi sebesar 1800 MW. Selain energi tersebut diatas Indonesia dapat menghasilkan Energi dari Panas Laut (ocean thermal energy) dari panas Matahari, karena lapisan permukaan bumi tidak pernah mengalami pendinginan sejak terbentuk hingga sekarang. Pancaran sinar matahari yang mencapai wilayah Laut Indonesia sebesar 4.000.000.000.000.000 kilowatt jam tiap hari, jumlah yang sangat besar untuk pembangkit listrik di Indonesia yang belum dimanfaatkan. Yang jumlahnya dapat menyamai cadangan energi yang terkandung didalam perut bumi Indonesia sebesar 265 bilium barel minyak bumi (Sumber, BPPT Geoteknologi, 2001).
Energi panas matahari yang diserap dilaut dapat diubah menjadi tenaga listrik. Sinar matahari yang datang dapat diubah menjadi kalor (panas) yang memanaskan lapisan air laut di daerah tropis kira-kira 30oC dan kira-kira 600 meter dibawah permukaan suhu kurang lebih dari 150C agar dapat memanaskan gradien panas, perbedaan suhu, untuk menjalankan sebuah turbin dan menghasilkan listrik.
Pembangunan Jaringan Energi Panas Matahari di darat dapat dikembangkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di daerah terisolir akibat kondisi geografis yang terjal dan jaringan PLN, perlu dikembangkan setiap tahun karena setiap wilayah Propinsi di Indonesia terdapat 10 persen wilayah dengan karakteristik terjal dan terisolir dengan tingkat gradien panas matahari diatas suhu 32oC seperti kondisi cuaca saat ini. Pemanfaatan pembangunan energi PLTS dengan jaringan energi panas laut di lautan Indonesia masih sangat terbatas termasuk di Provinsi Sumut sehingga Indonesia tetap tertinggal jauh dari negara yang memiliki kapasitas sumber daya energi laut terbatas seperti Norwegia, Belanda dan Jerman. Mungkin sebentar lagi kita “antri energi listrik”.
Energi Angin Laut dan Darat, panjang garis pantai Indonesia seluas 86.000 km dengan iklim daerah tropis seharus kita mampu memanfaatkan Energi yang dihasilkan oleh Angin Laut dan Darat dan sangat cocok bagi daerah pesisir dan pulau-pulau terpencil diperbatasan lautan teritorial Indonesia untuk konsumsi energi listrik. Menurut BMKG, bahwa kecepatan angin di Indonesia rata-rata 2 m/detik sampai 6 m/detik. Kalau diasumsikan, dengan kisaran 3 meter/detik, maka potensi yang dapat dimanfaatkan diperkirakan sebesar 100.000 MW, asalkan dengan menggunakan teknologi baru yang mampu menggerakan turbin. Hasil penelitian Brown (2004), hingga tahun 2003 lalu (termasuk data tahun 2010 masih sama dalam urutan penggunaan), negara paling besar menggunakan energi angin adalah Jerman sebesar 13.500 MW dari sekitar 21% dari kebutuhan energi Nasional, selain menggunakan energi biodiesel dan etanol termasuk terbesar kedua setelah Brasil. Spanyol sebesar 4.800 MW, Amerika Serikat sebesar 4.700 MW, Denmark sebesar 2.900 MW dan India 1.700 MW. Sedangkan Indonesia baru dapat memanfaatkan sebesar 0.4 MW.
Sangat ironis sekali dinegeri kaya energi alternatif yang diberikan alam secara “gratis” tersebut diatas tapi malas memanfaatkan secara maksimal kelebihan yang ada akibatnya sekarang banyak antri BBM, dan merupakan salah satu akar permasalahan terjadinya kelangkahan BBM karena ini dapat mendorong pengusaha “bermain minyak”. Mereka tahu pemerintah “bisa diatur”.  3. Energi Batu Bara dan Gambut.  Dalam resolusi PBB No. 33/148, tanggal 01 Desember 1978, dinyatakan bahwa salah satu sumber energi yang baru dan terbarukan. Bahan bakar yang sumbernya tidak dapat diperbaharui dan terjadi dari proses pembentukan yang sangat lambat 20-80 cm/100 tahun, pada daerah tanah rawa maupun pada tanah berlumpur.
Menurut laporan Euroconsult (1983 dan 1999) yang lalu bahwa potensi gambut di Indonesia diperkirakan sebesar 8.801.500 hektar dengan ketebalan lebih dari 2 meter. Tersebar di Sumatera dengan potensi 4.762.000 hektar, Kalimantan dengan jumlah cadangan 3.194.500 hektar dan Papua terdapat 845.000 hektar yang dapat dimnfaatkan untuk energi. Masa habis 100 tahun belum dimanfaatkan secara maksimal terutama dalam pengembangan jaringan teknologi gambut bagi pembangunan ketenagalistrikan di Desa-desa tertinggal sesuai dengan karateristik geologi di kawasan Indonesia Timur.
Indonesia memiliki jumlah cadangan batu bara yang teridentifikasi dari hasil pemetaan geologi yaitu 12.780.000 ton. Belum teridentifikasi sekitar 12.594.184 ton tersebar diseluruh Nusantara. (sumber Deptamben, 1998, 2006). Dengan kapasitas sebesar ini maka masa habisnya sekitar 300-400 tahun. Namun hal ini justrunya menimbulkan ironi karena penggunaan batubara sebagai energi alternatif di Asia, Indonesia pada abad 21 ini baru sekitar 12,80% dan urutan ketiga setelah Taiwan (26, 3%), Thailand sekitar 18,2% dan Malaysia sekitar 7,3%, lebih tragis lagi ketiga negara tersebut hanya memiliki jumlah cadangan batubara sebesar 6 juta ton.
4. Energi panas bumi, sebagai daerah vulkanik, potensi panas bumi Indonesia mampu membantu mengatasi krisis energi terutama energi listrik, terdapat disepanjang jalur Pulau Sumatera, Pulau Jawa, NTT, NTB, hingga kepulauan di Laut Banda, Halmahera, Pulau Sulawesi dan sebagian Kalimantan. Disepanjang jalur vulkanik ini terdapat 70 daerah sumber energi panas bumi yang seharusnya telah dieksplorasi dari 251 lokasi panas bumi di Indonesia yang prospektif untuk dikembangkan dengan potensi total energi sebesar 27.000 MW dan terbesar di dunia, tetapi baru digunakan 800 MW.
5. Energi Biodiesel dan Etanol, sebagai negara penghasil kelapa sawit yang terluas di dunia dan penghasil tebu kedua setelah Brazil, seharusnya Indonesia sudah mampu memiliki pusat pengisian umum bahan bakar biodiesel dan etanol. Limbah-limbah sawit dan tebu dan tumbuhan hijau dapat digunakan untuk pembuatan bahan bakar alternatif untuk mengganti enegi konvensional yang sangat merusak lapisan geosfer, ternyata masih sangat minim dimanfaatkan untuk energi alternatif dimasa sekarang, akibatnya BBM bisa dipermainkan selama pemerintah tidak meregulasi pemanfaatan energi alternatif secara massal dan murah. Maka kelangkaan dan antri BBM akan selalu ada dan menimbulkan gejolak ekonomi.
 6. Energi Air Terjun, Indonesia memiliki karakteristik geologi yang rumit dan sebagian wilayahnya hampir ditemukan unsur pergeseran batuan yang membentuk beragam jenis patahan, indikasi ada patahan maka dapat diketahui didaerah itu akan banyak ditemukan beragam jenis air terjun sebagai gejala adanya pembendungan air di dalam dan di atas permukaan, yang dapat di manfaatkan untuk energi Pembangkit listrik Tenaga Mikrohidro bagi desa-desa terpencil dan jauh dari jaringan listrik negara.
7. Energi Nuklir, Pengembangan energi Nuklir hanya dapat dimanfaatkan apabila sumber-sumber energi yang ada telah mendekati masa habis sehingga Indonesia dapat melakukan peningkatan kesejahteraan rakyat dengan adanya investasi dari sumber energi alternatif tersebut. Pemerintah tidak perlu menunggu gejolak di masyarakat hanya merugi investasi dan pembangunan yang sedang berlangsung.
M. Anwar Siregar
Geologist, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer, Tulisan ini sudah dimuat pada Harian "WASPADA" Medan tanggal 26 Juli 2011


Related Posts :