Oct 31, 2011

Gempa Tsunami di Selat Malaka


GEMPA-TSUNAMIS DI SELAT MALAKA
Oleh M. Anwar Siregar
Meneropong kejadian gempa sepanjang tahun 2011 ini, mungkinkah dapat terjadi gempa-tsunami ke Selat Malaka? Tulisan ini bukan meramalkan akan terjadi tsunami melainkan mengingatkan kita agar tetap waspada dan faktor-faktor apa yang dapat memicu terjadinya gempa yang diiringi tsunami ke Selat Malaka, agar diantisipasi dan sebagai bahan masukan kepada masyarakat agar mengetahui kondisi tempat tinggal mereka diwilayah tersebut agar sekali lagi tetap waspada. 
Jika melihat fakta kejadian gempa dari tahun 2004 hingga 2011 maka bukan mustahil dapat saja terjadi, sebab kejadian gempa tsunami Chili dengan kekuatan 8.5 SR mampu menjangkau areal 900 km ke pantai Tonga dan Utara Pulau Biak pada tahun 2010, lalu gempa tsunami melanda Jepang (11/3/20011) dengan kekuatan 9.0 SR menjangkau wilayah 1.100 km ke pulau-pulau Pasifik Selatan, gempa Aceh-Andaman dengan kekuatan 9.2 SR mengirimkan “pesan maut” ke Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Pantai Timur Afrika sejauh 5.000 km. Tsunami di Selat Malaka akan lebih dahsyat dari kejadian tsunami manapun yang pernah terjadi di muka Bumi.
Sebabnya, Selat Malaka itu menyimpan potensi lebih maut karena sepanjang Selat Malaka memiliki kondisi ideal tempat jalur tol bagi air bah raksasa, terletak ditengah jalur perairan antara dua pulau dengan luasan Selat yang sempit, dibeberapa tempat bagian Selat itu ada ukuran mencapai 5 km, bentuk morfologi pantai dengan topografi ke daratan tiap lintasan tsunami dapat mencapai 5-15 m karena daratan di sepanjang Selat Malaka ketinggiannya di permukaan air laut mencapai 5-12 meter. Maka siapkan perisai.
STRATEGIS TSUNAMI
Mengamati strategi tsunami ke Selat Malaka dapat terjadi melalui berbagai mekanisme aktivitas pergerakan tekanan tektonik Lempeng Indo-Australia ke Lempeng Eurasia yang menimbulkan efek patahan, menimbulkan anomali guncangan air dan menyebabkan tekanan pecahan patahan ke lempeng mikro Burma menjadi air raksasa ke Selat Malaka.
Asumsi pertama yang juga bukti ilmiah yang sangat jelas adalah sejak terjadi gempa maut Aceh dengan “sms tsunami” ke kawasan Asia Tenggara, Asia Selatan dan Pantai Timur Afrika tahun 2004 dengan terjadinya pecahan Lempeng Burma seluas 200.000 km persegi menjangkau Pantai Timur Sumatera ke Serdang Bedagai dan Phuket.
http://gempapadang.files.wordpress.com/2012/05/tsunamiandasea.jpg?w=500
Gambar : Srategi Tsunami Ke Selat Malaka

Asumsi kedua, beberapa kejadian gempa setelah gempa di Jepang tahun 2011 kini menekan pusat patahan di kawasan daratan Semenajung Asia Tenggara terutama yang masih berkorelasi dengan Patahan Sagaing di lembah utara Burma dengan terjadi gempa Burma 6,4 SR tahun April 2011 dan Patahan Mergui, atau penghancuran di berbagai patahan bergempa India seperti pada patahan Bhuj Gujarat atau patahan didaratan Tinggi Tibet yang masih satu jalur patahan besar postdam yang meliputi India, Pakistan, China dan sebagian Burma, lalu terjadi tekanan pembalikan ke dan dari refleksi seismik di kaki pegunungan Himalaya ke daratan China dengan perbatasan Burma terutama di patahan gempa Sichuan yang mengakumulasi energi ketegangan pada patahan di ruas daratan Burma hingga kembali kaki pegunungan Himalaya dengan gempa India 18/9/2011 telah menewas lebih 30 jiwa di India dan Nepal.
Asumsi ketiga. Data empiris sejarah gempa di daerah China dan India selalu menerus ke daratan Burma dalam kurun lima tahun terakhir sering terjadi gempa dahsyat membidik ke lempeng Asia Tenggara, telah memberikan akumulasi tekanan kuat ke patahan daratan Sumatera yang masih dalam jalur rangkaian sistim busur vulkanik mediteran dan sirkum pasifik yang melintas dari kaki pegunungan Himalaya yang tertancap di lima negara yaitu India, Afgahanistan, Burma, China dan Nepal yang memiliki hubungan karakteristik yang saling terpicu dan terus ke wilayah daratan perairan Asia Tenggara melintasi Patahan Phuket, Patahan Sagaing, Patahan Mergui, Patahan Andaman lalu Selat Malaka dan membentuk lingkaran arahan gelombang seismik di gugus Patahan Baharok dan Patahan Aceh di sebelah Timur yang membelah kawasan Aceh dan menyilang ke Utara Aceh di Pulau Weh (Sabang) dan tertimbun di Selat Malaka dan hampir bersentuhan dengan pecahan Lempengan Burma akibat gempa Aceh 2004 lalu dengan kawasan pantai Semenanjung Asia Tenggara. Dengan melihat sejarah fenomena tsunamis 2004 yang melintas zona pantai di Phuket dan Johor-Malaysia, terbayang bagaimana air bah melintas zona patahan yang berada di sepanjang Selat Malaka dengan luasan sempit jika terjadi dan terulang kembali. Maka jagalah hutan bakau di pantai agar dapat memecah gelombang tsunami.
Asumsi keempat, terjadi perubahan batimetri kelautan di Pantai Timur Sumatera akibat lanjutan pemecahan lempeng kecil Burma menuju Semenanjung Asia Tenggara ke Selat Malaka dengan pusat gempa di wilayah Kepulauan Andaman dan Palung Laut Dalam di Nikobar hingga menuju ke Utara Sumatera yang terdesak oleh Lempeng Indo-Australia, menumbuk Lempeng Mikro Burma, terjadi pelengkungan kuat di Utara Sumatera, desakan Lempeng Indo-Australia itu telah memberikan efek tekan pada patahan sepanjang ujung utara Pantai Barat Sumatera semakin melengkung mendekati 45o. Data dapat dilihat dari GPS dan citra satelit.
 Gambar : Strategi tsunami dari Patahan Aceh menjalar ke Selat Malaka  
(sumber : Internet dan berbagai sumber
Asumsi kelima. Dengan mempertimbangkan fakta empiris, bahwa wilayah di Aceh saat ini telah mengalami pergeseran sejauh 11 cm akibat gempa-gempa di Pantai Barat Sumatera ke arah daratan Asia, sehingga wilayah di Utara Aceh dan Nikobar membentuk struktur berarah Utara-Selatan akibat aktivitas Lempeng Australia di Utara Sumatera dengan penekanan pergerakan 50 mm/tahun ke arah daratan Semenanjung Malaya untuk melakukan pengompresan kuat. Fakta yang masih aktual pada akhir tahun 2010 lalu menunjukan terjadi gempa kuat dengan kekuatan 4,5 SR dengan koordinat 06,65 LU-096 BT di Sabang 15 Desember 2010 dan gempa Andaman dengan kekuatan 5,9 SR berpusat 180 km timur laut kota Sabang dengan kedalaman 104 km. Pecahan lempengan itu dapat mengubah batimetri kelautan di Utara Sumatera hingga ke Pantai Timur Sumatera.
Bukti-bukti gempa terdahulu telah banyak mengubah titik-titik koordinat atau terjadi pergeseran pulau-pulau vulkanik di sepanjang Pantai Barat Sumatera sejauh 30 millimeter karena ada korelasi antara subduksi patahan dan sesar geser yang akan mengakumulasi energi besar di utara Pantai Barat Sumatera sehingga akan menghasilkan energi pergeseran lateral terhadap lempeng yang lebih tua di Pantai Timur Sumatera dengan kekuatan geser mencapai 15 mm per tahun. Pergeseran lempengan bumi di dasar laut di bagian Utara Sumatera dan bergerak ke arah Kepulauan Nicobar dan Pulau Sabang dengan jarak yang belum diketahui, menunjukkan bahwa lempengan-lempengan lebih dari 20 kilometer di bawah dasar samudera telah bergeser. Memberikan indikasi strategis tsunamis ke Selat Malaka.

GEMPA SELAT MALAKA
Serangkaian gempa yang mengejutkan sepanjang Tahun 2010-2011 dengan ”perkiraan” titik koordinat seperti sedang mengincar Selat Malaka. Gempa Sabang berada pada patahan Pulau Weh yang berhubungan dengan patahan utara kota Banda Aceh dan sebagian tertimbun di perairan Andaman oleh akibat kegiatan tektonik yang diduga sebagai kelanjutan Patahan Seulimeun. Gempa Andaman berpusat pada Andaman Trench dengan kekuatan gempa mencapai 6,4 Skala Richter (SR) pada 20 Desember 2010 yang melintasi kota Pelabuhan Blair berada dalam jalur tumbukan Lempeng India dan Mikro Burma. Dan sebagian pulau Nikobar merupakan bentangalam yang terbentuk dari erupsi gunungapi bawah laut, satu garis zona subduksi di Utara Sumatera 

Gambar : Pusat zona gempa strategi ke Semananjung Asia Tenggara dari Kaki Pegunungan Himalaya melalui Patahan Besar Potsdam (Postdam Great Fault Zone).

(sumber gempa Rickipohan).
Diperkirakan akan terdapat 400.000-700.000 jiwa populasi terancam karena kota-kota sepanjang Selat Malaka hingga artikel ini ditulis belum memiliki benteng pertahanan terhadap ”serangan fajar” tsunami, dan kondisi kota-kota di Selat Malaka dominan menjorok ke arah lautan dan sebagian pulau merupakan pulau dengan ketinggian tidak lebih 100 meter, pembangunan kota juga merupakan hasil timbunan pasir dan pemadatan dari pulau yang dikorban dan memudahkan alur kecepatan gelombang raksasa tsunami mencapai daratan lebih cepat.
Kapan terjadi gempa maut di Selat Malaka? Bergantung pada durasi kegempaan yang tinggi di utara Pantai Barat Sumatera dari kawasan pulau-pulau vulkanik Sumatera hingga ke utara Andaman dan Sri Lanka.
Dari gambaran tersebut, Pemerintah sebaiknya mempersiapkan mitigasi tsunami untuk pertahanan dalam bentuk kombinasi tata ruang alamiah (mangurove, hutan konservasi, tumpukan batu alamiah dan terumbu karang) dan beton (dam, tembok keras-tinggi) guna meredam air bah raksasa itu ke dalam inti kota sepanjang Pantai Timur seperti kawasan NAD, Sumut, Kepri, Jambi dan Babel. Dan masyarakat harus memahami kondisi tersebut dengan mempersiapkan diri berupa pemahaman perlindungan terhadap serangan tsunami dan tidak termakan isu-isu tidak benar. Sekali lagi tulisan ini bukan ramalan gempa besar.

M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Tata Ruang Lingkungan dan Geosfer. Tulisan Sudah Dimuat di Harian ANALISA MEDAN, 14 Oktober 2011.

Gunungapi Sumatera Pesta Maut : Geologi Disaster


MEWASPADAI GUNUNGAPI SUMATERA “PESTA MAUT”
Oleh M. Anwar Siregar

Fenomena bencana alam yang terus melanda Indonesia dewasa ini semakin menegaskan bahwa Indonesia adalah negeri yang dilahirkan di daerah rawan bencana, fenomena bencana alam seharusnya memberikan sebuah inspirasi perencanaan pembangunan yang berwawasan bencana, karena itu diperlukan kemauan politik pemerintah dan segenap pemangku kepentingan bersama agar dapat menyelaraskan rancang bangun tata ruang daerahnya sesuai dengan karakteristik tatanan geologinya.
Mengingat 81 % gempa bumi yang terjadi di Indonesia (kecuali Kalimantan Barat) disebabkan oleh proses relaksasi gempa bumi masih dalam pencarian titik keseimbangan karena tidak membesarnya bumi maka harus ada ruang untuk di desak. Dengan kata lainnya, bahwa bumi tidak mekar walau pergerakan lempeng terus bergerak dan bertumbukan dan menimbulkan kejadian bencana gempa besar dan kecil terus terjadi, wilayah paling rentan terjadinya ”pesta tarian” gempa adalah sepanjang lingkaran busur api atau ring of fire yang membentang sepanjang 40.000 kilometer mulai dari Peru,Cile (Amerika Selatan), Amerika Tengah, Kepulauan Aleutian, Kepulauan Kuril, Jepang, Filipina, Indonesia, Tonga, hingga ke Selandia Baru.
KENANGAN MASA LALU
Gempa vulkanik jarang terjadi bila dibandingkan dengan gempa tektonik. Gempa vulkanik terjadi karena adanya letusan gunung berapi yang sangat dahsyat. Ketika gunung berapi meletus maka getaran dan goncangan letusannya bisa terasa sampai dengan sejauh 20 mil. Sejarah mencatat, beberapa gunung api di Indonesia bertanggung jawab akibat ”pesta tarian maut” atas banyaknya korban yang pernah ditimbulkan di masa lalu, ”pembunuhan” oleh gunungapi Indonesia dan perubahan tatanan geologi di mulai oleh Super Gunungapi Toba Purba dengan letusan pertama dimulai 840 juta tahun lalu. Letusan ini menghasilkan kaldera di selatan Danau Toba. Letusan kedua yang memiliki kekuatan lebih kecil, terjadi 500 juta tahun lalu, letusan ini membentuk kaldera di utara Danau Toba, yang ketiga terkenal dengan erupsi mega-kolosal yang menyebabkan suatu katastrofi yang dahsyat sekitar 70.000-74.000 tahun yang lalu. Erupsi ini telah menurunkan temperatur lingkungan permukaan Bumi 3-3.5 derajat Celsius secara signifikan selama beberapa tahun dan juga penyebab macetnya arus populasi migrasi manusia dikenal dengan peristiwa reduksi populasi manusia yang masif, memusnahkan banyak manusia yang sedang bermigrasi keluar dari Afrika dan menyisakan 10.000 individu yang hidup terisolasi.
Mega kolosal kedua dari gunungapi super Indonesia adalah hasil letusan gunungapi Krakatau Purba atau induk Krakatau yang meletus tahun 1883, Krakatau Purba diketahui juga ikut andil dalam perubahan kondisi tatanan geologi Indonesia yang membentuk Selat Sunda sekarang dengan ledakan yang maha dasyat dengan pemisahan Sumatera dan Jawa pada tahun 416, lalu disusul ledakan kedua oleh Krakatau tahun 1883, menelan korban lebih 34.000 jiwa, tsunami sejauh lima km kedalam daratan Jawa dan Sumatera, dan perubahan kondisi iklim bumi oleh hembusan dan pelemparan material erupsi mencapai Australia dan Kolombo atau 2/3 permukaan bumi terdengar dan tertutup oleh debu dan asap ledakan Krakatau. Tatanan geologi hancur sedalam 10 km membentuk kaldera, bagian dari titik lemah bola bumi Indonesia.
Mega kolosal ketiga yang mengubah kondisi iklim dunia dan melakukan pembantaian terhadap manusia adalah letusan Gunungapi Tambora pada tahun 1816 yang dikenal sebagai ”tahun tanpa musim panas” karena redupnya sinar matahari oleh penutupan erupsi debu dan asap vulkanis Tambora dan menyebabkan penyebaran wabah penyakit serta kelaparan akibat gagal panen di seluruh dunia, dengan radius pelemparan mencapai 600 km yang menjadikan dunia gelap gulita dalam seminggu lamanya. 
Letusan terdengar melebihi jarak 2000 km dan suhu Bumi menurun beberapa derajat dan mengakibatkan bumi menjadi dingin akibat sinar matahari terhalang debu vulkanis selama beberapa bulan. Sehingga daerah Eropa dan Amerika Utara mengalami musim dingin yang panjang. Sedangkan Australia dan daerah Afrika Selatan turun salju di saat musim panas. Jumlah korban meninggal mencapai 5000 jiwa lebih. Tatanan geologi akibat letusan Tambora membentuk kaldera berdiametar kurang 8 km dan kedalaman 5,6 km dari bibir kawah teratas (sumber wikipedia Indonesia)
FAKTA PESTA
Benturan-benturan kuat antar lempeng yang menyebabkan gempa pada zona subduksi di Samudera Hindia seperti Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia dapat mempengaruhi kekuatan dan kemampuan termodinamika magma dalam menahan laju desakan seismik pada akhirnya dapat meningkatkan aktivitas letusan gunungapi.
Faktanya beberapa gunungapi di Jawa dan Sumatera mengalami peningkatan aktivitas magma bahkan meletus seperti pada kejadian gempa di Yogya dan Jawa Tengah tanggal 27 Mei 2006 bersamaan dengan letusan Gunung Merapi yang menyemburkan awan panas, Gunung Kaba meletus bersamaan dengan gempa tektonik Bengkulu berkekuatan 7,8 SR tahun  2000  dan tahun 2010 ketika terjadi gempa Mentawai beberapa gunungapi di Pulau Sumatera mengalami peningkatan status dari Waspada ke Siaga II, faktanya Anak Gunung Krakatau, Talang, Dempo dan Kaba mengalami kenaikan pergerakan magma ke permukaan.
Korelasi peningkatan intensitas gempa di Pantai Barat Sumatera terhadap peningkatan intensitas suhu magma dibeberapa gunungapi Sumatera perlu diwaspadai antara lain 1. Seulawah Agam, 1.726 m di Aceh Besar 2. Peuet Sague, 2.780 m di Sigli 3. Bur Ni Telong, 2.624 m di Aceh Tengah 4. Sorik Marapi, 2.145 m di Mandailing Natal  5. Marapi 2.891,3 m di Sumatera Barat, 6. Tandikat 2.438 m di Sumatera Barat, 7. Talang 2.597 m di Solok  8. Kerinci, 3.805 m di Jambi, 9. Sumbing Sumatra, 2.508 m di  Jambi, 10. Kaba, 1.952 m di Propinsi Bengkulu, 11. Dempo, 3,159 m di Propinsi Sumatera Selatan, 12. Kumpulan Gunung Anak Krakatau 1250m di Selat Sunda, di Propinsi Lampung, 13. Sibayak 2.094 m di Sumatera Utara, 14. Sinabung, 2.460 m di Prop. Sumatera Utara, 15. Rajabasa, 1281m di Lampung (Sumber PVMBG, Badan Geologi).
KETINGGALAN ZAMAN
Peralatan teknologi kegunungapian di Sumatera Utara masih “ketinggalan mode” dalam mengikuti dan mengantisipasi “pesta dansa” gunungapi sehingga manusia yang semakin padat akan menjadi “ladang pembantaian” khususnya dikawasan Sumatera yang rentan mengalami pembenturan lempeng-lempeng bumi, getaran “dentuman” dapat menggetarkan lantai dasar “dapur magma” gunungapi untuk bergeliat dengan melepaskan hawa panas yang berupa “kerlap-kerlip lampu panas” alias kembang api bom panas.
Khususnya keberadaan tujuh gunungapi di Sumatera Utara harus diwaspadai, gunungapi Sinabung, telah memperlihatkan peningkatan letusan akibat tekanan seismik gempa, “kemampuan” saat ini naik “kelas” dari tipe B ke Tipe A, ketujuh gunungapi tersebut antara lain Sorik Merapi, Sinabung (Tipe A), Sibayak, Sibual-buali, Lubuk Raya, Pusuk Buhit (Tipe B) dan Hella Toba (Tipe C). Dari ke tujuh gunungapi tersebut khususnya gunungapi Sibual-buali dan Lubuk Raya dari pengamatan penulis baik melalui geologi citra satelit maupun tinjauan lapangan sampai saat ini, peralatan seismograf buatan Belanda, dalam bentuk analog, tingkat keakuratan pencatatan data terbatas dan tidak real time, sudah hampir rusak, sistim monitoring tidak menggunakan alat teropong digital serta tidak ada alat sirene tanda bahaya, pos jaga lebih banyak kosong kegiatan.
Bayangkanlah apabila ada peningkatan intensitas gempa sedangkan pengukuran keakuratan sangat terbatas tingkat kedalamannya dan mendadak magma sudah mendekati permukaan baru terdeteksi? Akankah Sibual-buali berikutnya?
Pemerintah harus ”mereformasi” penataan ruang wilayah berbasis bencana dari ancaman berbagai jenis bencana, antara lain pertama, menyusun tata ruang ke dalam integrasi multi bencana, dengan menyediakan ruang evakuasi dan ruang sanggahan berbagai jenis bencana seluas 10 % dari total 30 persen luas daerah hijau dari total luas per kecamatan. Kedua, menyusun aturan zonasi ruang inti kota utama maupun ruang inti kota perbatasan, harus ada ruang khusus lahan abadi bagi ketahanan pangan dan sumber air bersih berkelanjutan, ketiga, fisik infrastruktur, hunian masyarakat dan industri harus dirancang bangunan berketahanan bencana melalui kajian pemetaan geologi yang komprehensif (bawah, permukaan dan udara), untuk mengurangi dampak kemiskinan fisik (biaya rekonstruksi dan rehabilitasi yang menguras cadangan devisa negara) dan non fisik (jumlah kemiskinan tidak bertambah) akibat bencana. keempat, penegakan hukum aturan perundang-undangan yang tegas dari pemerintah dan menjadikan semua aturan itu adalah kepentingan bersama, masyarakat wajib disadarkan dan dipartisipasikan bahwa aturan ini bukan untuk kepentingan pemerintah tetapi masyarakat luas.

M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer, Tulisan ini sudah dikirim ke Harian Medan

PEMBELAJARAN BANGSA DARI KERUGIAN BENCANA GEOLOGI : Geologi Disaster


PEMBELAJARAN BANGSA DARI KERUGIAN BENCANA GEOLOGI
Oleh : M. Anwar Siregar

Bangsa Indonesia belum juga sadar sebagai bangsa yang berkesadaran bencana, tidak belajar dari sejarah kerugian bencana lingkungan geologi, seharusnya sudah mampu menekan dampak kerugian fisik terhadap kerusakan lingkungan geologi karena tidak menata ruang lingkungan yang berketahanan bencana. Dilain pihak, estafet kedahsyatan bencana lingkungan geologi masih akan berlanjut ke tahun 2011 dengan kejadian banjir dibeberapa daerah termasuk Medan, musibah bencana diprediksi masih berlanjut lebih dahsyat dalam lima tahun berikutnya. Sebab, eskalasi bencana gempa akan meneruskan tradisi ”maut”. Pusat-pusat subduksi gempa maut Samudera Pasifik telah melepaskan 3 kali energi maut di Selandia Baru (2/2011) China dan Jepang (3/2011), dan Samudera Hindia giliran melepaskan ”energi kepenatan” gempa di Singkil, dan Bali dan menjadikan Indonesia tetap negeri bencana.
KERUGIAN BENCANA
Bukti sejarah kehancuran bencana lingkungan geologi telah ”berbicara” bagaimana bangsa ini belum berkesadaran bencana lingkungan terjerumus ”kemiskinan semakin dalam” akibat tidak mempersiapkan segala-galanya. Pertama, ada peningkatan jumlah kemiskinan masyarakat, dampak kehilangan pekerjaan, tempat tinggal, hilangnya surat-surat penting, buku rekening bank, akte kelahiran, surat asuransi, jaminan usaha yang berharga dan ijazah akademis dan kursus. Kedua, peningkatan dana pembangunan rekonstruksi dan rehabilitasi tata ruang yang hancur sehingga menguras cadangan devisa negara. Misalnya, rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh-Nias telah menelan biaya 45 triliun rupiah, rekosntruksi gempa Yogya-Jawa Tengah mencapai 30 triliun rupiah tahun 2006, Sumbar menelan 1,08 triliun tahun 2007, Bengkulu-Sumbar tahun 2009 menghabiskan dana 1,87 triliun rupiah. Belum lagi rekonstruksi Mentawai dan Merapi-Yogya yang pasti menelan biaya ratusan milyar rupiah. Rekonstruksi Dairi dan Pakpak Barat akibat gempa Singkil 2011 bisa mencapai ratusan milyar.
Sebagai perbandingan kerugian yang disebabkan oleh bencana geologi di Indonesia sejak 1961dapat dilihat pada tabel dibawah ini, disari dari berbagai sumber yang penulis kumpulkan sejak gempa Liwa (1994).
No
Tahun Bencana
Jenis Bencana Geologi
Jumlah Kerugian
1.
1961-2011
Gempa Bumi-Tsunami
-   Korban meninggal hampir mencapai 5,000,000 jiwa, luka parah-berat-ringan 1,1 juta orang dalam 50 tahun.
-   Pengungsian mencapai 1 juta jiwa
-   Kehilangan rumah tinggal 1 juta unit lebih, kerugian ditaksir mencapai Rp 37,5 triliun lebih
-   Korban berbagai jenis ternak mencapai 1,2 juta ekor lebih, ditaksirkan kerugian mencapai 2 triliun
-   Total kerugian Infrastruktur berat-ringan menelan dana sebesar Rp 1 triliun
-   Biaya rekonstruksi dan rehabilitasi per Kota /Kabupaten mencapai minimun Rp 150 milyar dan maksimal Rp 45 triliun dari toral kota yang mengalami bencana gempa dalam setahun sebanyak 3-5 kota/kabupaten (dari masa tahun 1990 sekarang).
-   Dana rekonstruksi bisa mencapai lebih Rp 500 triliun dalam 11 tahun ini (data rekonstruksi ini baru sampai tahun 2011, belum kejadian tahun 60 an- s/d 90 an)
2.
1982-2011
Letusan Gunungapi
-   Korban bencana mencapai 1.000 jiwa, luka berat-ringan 2.000 orang
-   Pengungsian mencapai 500 ribu jiwa
-   Kehilangan rumah tinggal 3000 unit per satu gunungapi meletus, kerugian mencapai Rp 200 M.
-   Korban berbagai jenis ternak mencapai 100 ribu ekor, kerugian ditaksir mencapai Rp 30 M.
-   Kerusakan Infrastruktur berat dari satu gunungapi meletus mencapai Rp 300 milyar
-   Infrstruktur ringan mencapai Rp 175 milyar dalam kurun 10 tahun
-   Dana rekonstruksi dan rehabilitasi ataupun pergantian kerugian bisa mencapai Rp 150 triliun.
3.
2000-2011
Gerakan Tanah
-    Korban meninggal akibat bencana mencapai 1000 jiwa, luka berat-ringan mencapai 4000 jiwa
-    Kerusakan Rumah Tinggal mencapai 200 unit dengan kerugian mencapai Rp 50 milyar
-    Kerusakan sarana dan prasarana mencapai Rp 500 milyar untuk 5-7 kejadian gerakan tanah dalam setahun bisa terjadi sebanyak 2-3 kali dalam satu propinsi meliputi 3-4 kota/kabupaten.
-    Rekonstruksi dan rehabilitasi lahan dan tata ruang dan pergantian biaya kerugian mencapai Rp 15  triliun dalam kurun 11 tahun

Data ini baru kejadian bencana geologi, belum lagi dampak kerugian akibat kejadian bencana klimatologi yaitu banjir, banjir bandang, musim kemarau panjang serta angin puting beliung, jumlah kerugian semakin meningkatkan bencana ”kemiskinan” dan bencana finansial serta daftar utang negara semakin ”bergunung”.
Dan upaya yang dilakukan oleh pemerintah belum maksimal untuk melindungi penduduknya dari ancaman bencana alam di bumi maupun di geosfer. Istilah masyarakat sekarang yang masih aktualitas yaitu pemerintah “bohong”. Disebutkannya, bahwa pemerintah sudah mempersiapkan tatanan ruang yang berketahanan bencana.
POTENSI BENCANA
Akibatnya, pemerintah semakin lamban dalam mengentaskan kemiskinan, sebab ada tiga persoalan yang harus dituntaskan pemerintah dalam waktu bersamaan yaitu : pertama, mencegah lebih luas dampak finansial agar tidak terjadi krisis ekonomi dan keuangan, kedua, pengendalian pembangunan agar daya serap pasar dalam negeri dan peningkatan daya saing ekspor tetap stabil, ketiga, mencegah anarkis struktural dan sosial akibat ketidakberdayaan masyarakat karena tuntutan dan biaya hidup yang terbatas dan mahal.
Beberapa daerah yang berpotensi sebagai daerah rawan bencana yang menimbulkan kerugian infrastruktur dan lingkungan geologi dimasa depan antara lain 30 wilayah rawan gempa bumi di Indonesia yaitu : Aceh-Simeulue, Sumatera Utara bagian Barat, Sumut bagian Timur-Selat Malaka, Sumbar-Mentawai, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat bagian Selatan, Jawa Tengah bagian Utara dan Selatan (Cilacap), Yogyakarta, Jawa Timur bagian Selatan dan Timur, NTB, NTT, Bali, Maluku Tenggara/Kep. Aru, Maluku Utara, Maluku Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sangir-Talaud, Papua Utara, Jayapura, Nabire, Wamena, Kalimantan Timur. Dan 18 daerah rawan tsunami di Indonesia antara lain Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah bagian Selatan, Jawa Timur bagian Selatan, Bali, NTB, NTT, Sulut, Sulteng, Sulsel, Malut, Masel, Biak, Pak-Pak, dan Balikpapan.
Fakta sejarah gempa-tsuanmi, sejak terjadi gempa-tsunami Aceh, Indonesia menempati peringkat pertama dalam jumlah korban dan peringkat ketiga dalam jumlah kejadian 253 setelah Jepang mencapai 443 kejadian dalam setahun (termasuk tahun 2011) dan Amerika Serikat mencapai 287 kejadian.
Belajar dari sejarah bencana sangat penting mengingat 90 persen wilayah Nusantara adalah daerah rawan bencana, potensi-potensi bencana sudah harus direduksi dengan memahami arah pembangunan lingkungan, dengan kata lainnya, harus menjadi bangsa yang sadar bencana lingkungan. Harus sadar dampak kerugian yang ditimbulkan
SADAR BENCANA
Bencana gunung api dan gempa bumi seringkali terjadi di Indonesia tidak hanya menimbulkan kerugian harta benda dan jiwa tetapi juga dapat menyebakan Indonesia semakin miskin karena harus menguras sumber-sumber devisa negara dalam menata dan merekonstruksi tata ruang yang mengalami bencana.
Mengamati fenomena bencana geologi tersebut, banyak pertanyaan yang sering diajukan masyarakat yang hidup di daerah rawan bencana geologi yaitu haruskah selalu mengungsi dan mendapatkan kerugian yang besar seperti pada kejadian letusan gunung Merapi, baik dalam jumlah korban jiwa maupun harta benda, dalam setiap kejadian bencana geologi dan klimatologi? Apakah pembangunan yang ada justru makin memperparah dampak bencana akibat tidak memperhitungkan dampak kerentanan dalam menata perencanaan tata ruang wilayah dari aspek kebencanaan pembangunan?
Pembangunan semestinya harus sadar dan belajar dari sejarah kejadian bencana tersebut dengan memperhitungkan aspek kerugian tata ruang lingkungan apabila berada didaerah rawan bencana dan bukan dibangun untuk memodernisasi daerah yang tertinggal tetapi juga harus memperhitungkan peningkatan kualitas fisik lingkungan bangunan untuk segala aktivitas kehidupan dari berbagai aspek seperti ekonomi, sosial dan lingkungan geologi yang harus dijalankan dalam pelaksanaan pembangunan secara seimbang.
Selanjutnya, untuk dapat bersaing dengan bangsa lain dimuka bumi, Indonesia harus menjadi bangsa yang sadar bencana terlebih dahulu agar sumber daya alam, manusia, ekonomi dan keuangan tidak terkuras sia-sia, pembangunan harus memiliki perencanaan yang sinergi di segala bidang pembangunan, memiliki kebijakan dan strategi tentang pemahaman sebagai negara yang dilahirkan sebagai bangsa yang rawan bencana, serta program-program yang berakar kepada aspek multi bencana ketataruangan yang dapat dilakukan sebagai upaya meningkatkan kewaspadaan dalam menghadapi bencana universal serta mengendalikan dampak kerugian fisik akibat “serangan bencana”.

M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energ-Geosfer. Tulisan ini Sudah dimuat Surat Kabar Harian :ANALISA MEDAN, Tanggal 18 Oktober 2011

Related Posts :