Dec 3, 2012

Gempa Mentawai Masih Ancam Padang : Geologi Gempa

GEMPA MENTAWAI MASIH ANCAM PADANG 
Oleh M. Anwar Siregar 
Gempa Sumatera Barat 30 September 2009 dan Gempa Mentawai Oktober 2010, merupakan gempa dengan titik bidik yang lebih kuat di tujukan ke tata ruang kota-kota besar di Pulau Sumatera terutama Padang yang memiliki kontur topografi yang rendah dimasa mendatang. Dalam rentang dua tahun kejadian gempa, ancaman gempa Mentawai belumlah final, melainkan masih dalam taraf pemanasan, diperkirakan sebelum tahun 2033, siklus pelepasan energi yang hebat sebenarnya menunggu waktu, dalam rentang waktu itu pemerintah Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Bengkulu maupun NAD sebaiknya mempersiapkan tata ruang pesisir yang berbasis kegempaan lokal. 
Banyak faktor yang membuktikan hal tersebut bisa saja terjadi dengan tsunami maut terjadi lagi di Pantai Barat Sumatera dalam jangka waktu yang belum dipastikan dengan berbagai asumsi ilmiah yaitu asumsi pertama menyebutkan terlebih dahulu terjadi pematahan kulit bumi Palung Laut Jawa khususnya dalam koridor sepanjang patahan regional Pantai Barat Indonesia dengan adanya gempa gunung vulkanik di bawah laut yang masih aktif dengan memberikan tekanan efektif dan kuat ke patahan Mentawai dari Pagai Selatan ke Utara lalu megatrush gempa Nias ke patahan megatrush Aceh-Nikobar, 
Hal tersebut dipicu oleh pengaruh tektonik jalur Andaman-Nikobar yang memanjang dari Utara Pulau Sumatera hingga ke Pantai Timur. Terlebih kota Padang yang berjarak 100 kilometer dari zona patahan Mentawai diantara Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan dan sebagai zona penahan (locking zone) terhadap desakan subduksi di jalur Benioff (jalur bergempa) di Lempeng Australia disebelah selatannya dan ketinggian topografi kota Padang mulai 5-25 meter dari permukaan air laut (dpl).

 Gambar : Ancaman Mentawai megathrust ke Daratan Padang dan Sumatera, jalur Sunda Megathrust yang memanjang dari utara Simeulue ke Enggano, cermin begitu kuatnya enerhi gempa yang akan dilepaskan
(sumber gambar dari berbagai literatur)

Tsunami Mentawai dapat ditimbulkan jika pusat gempa tersebut terjadi ke arah timur ke Padang dengan kedalaman 10 kilometer dibawah dasar laut. Asumsi kedua, gempa yang terjadi tahun 2010 lalu masih merupakan gempa dengan pelepasan energi skala kecil, energi yang dilepaskan itu tidak menerus ke utara Pulau Pagai Utara karena kejadian gempa Mentawai tahun 2010 terjadi di selatan dan tertahan berbagai rangkaian pulau-pulau kecil dan terserap oleh energi penahan gempa di sekitar Siberut dan tidak menggeser ke zona tranch java-sumatera, sebab pergeseran dan pergerakan dari segmen-segmen patahan di Pagai Selatan ke arah barat Pulau Simeulue bergeser lebih aktif ke arah Pagai Utara. 
Energi kerentanan seismik di Pagai Utara itulah yang paling membahayakan wilayah Sumatera Barat terutama ancaman bagi tata ruang Padang dan sekitarnya sebagai penahan energi yang paling matang. 
SEBELUM 2033 
Berdasarkan penilaian siklus gempa dari data sejarah gempa disekitar Mentawai, Danny Hilman Natawijaya dari LIPI menjelaskan didapatkan siklus seismik gempa bumi besar tahun 1381, tahun 1608 dan terakhir 1883, para ahli geologi dunia memprediksi bahwa gempa berkekuatan besar strategi akan terulang di wialayah Sumatera bagian utara dari zona patahan Mentawai. 
Diprediksi terjadi lagi gempa Mentawai pada tahun 2033, namun ada kesepakatan dan akurasi perkiraan ini dalam geologi gempa besar itu bisa terjadi dengan pelepasan eenergi pemanasan dan rentang waktu kisarannya tidak lebih dari 30 tahun sebelum tahun 2033. Aktivitas seismik di zona subduksi itu telah mengangkat naik pulau-pulau Mentawai sekitar 2 meter. Melihat siklus kegempaan Mentawai, yang telah berada diujung pelepasan energi gempa yang lebih besar dari tahun 2010. Hanya saja energi yang besar yang berkekuatan 9.0 SR itu belumlah lepas. Jadi ancaman pelepasan energi ini yang harus diwaspadai. 
Gempa tahun 2010 hanyalah bagian pelepasan energi kecil. Ini bukan berarti gempa 2010 adalah akhir dari siklus gempa di kawasan tersebut, tetapi energi yang tersimpan sejak 1797 dan 1833 telah berkurang. Sisa dari energi yang terakumulasi ini masih cukup besar yang kemudian akan dilepaskan dalam waktu dekat.
Dengan kata lainnya, periode kegempaan di Mentawai relatif masih ada karena kemampuan menyimpan energi lebih tinggi. Yang terendah adalah kepulauan Batu diantara Nias dan Siberut dengan daya menahan dibawah 30 persen. Karena daerah itu tidak ada pengumpulan energi gempa. 
Ini ditunjukkan oleh frekuensi gempa yang banyak namun intensitas rendah, dan gempa 26 Desember 2004 telah menimbulkan pergeseran yang bervariasi pada segmen-segmen sesar di Barat Sumatera akibat mobilisasi kerak lempeng berubah menjadikan robekan. Adanya potensi gempa dan tsunami terbesar di segmen Mentawai disebabkan oleh potensi pergerakan bidang lempeng yang belum terlepaskan melalui kejadian gempa di P. Siberut dan P. Sipora (Pagai Utara). Posisi Sumatera tidak menguntungkan seperti semacam “engsel” naik turunnya gugusan pulau di Mentawai dari keganasan tsunami ke daratan dengan pusat gempa tepat di bawah Selat Mentawai terutama di Pagai Utara yang sangat berdekatan dengan Patahan Pulau Nias yang memiliki anomali gravitasi dari energi gempa yang terkumpul, daya tahan patahan per segmen juga berbeda-beda. Patahan Mentawai merupakan zona penahan dengan daya serap energi mendekati 100 persen karena desak-desakan yang terus menerus akibat gempa yang berlangsung dari utara Sumatera dan Selatan dari Jawa dan pendesakan kuat dari Lempeng Indo-Australia memungkinkan akan ada pelepasan energi gempa mendekati kekuatan 9.0 SR atau setara energi gempa Aceh yaitu 10.000 giga ton bom atom. 
PADANG HARUS SIAP 
Mengapa Mentawai masih dianggap mengancam? Dari data tersebut dapat disimpulkan pertama, bahwa efek gempa Aceh itu telah memobilisasi arah pergerakan lempeng bumi sedemikian rupa sehingga ada perubahan dan anomali koordinat pulau-pulau di busur vulkanik cekungan busur belakang sumatera akibat tumbukan lempeng dengan sesar geser vertikal, merobek kerak patahan sepanjang 600 km sehingga membentuk rangkaian sembulan bawah laut disepanjang selatan Bengkulu hingga Sumatera. 
Selain dua segmen di utara patahan Aceh-Simeulue juga ikut bergerak dan robek, melepaskan energi. Pergerakan di segmen Patahan Andaman memicu gerakan tekanan daya tekan pada segmen Nikobar. Maka ada elastis rebound pada segmen tersebut, bersama melepaskan energi karena ketiga segmen tersebut itu berelaksasi ke arah selatan Mentawai. 
Dengan terjadinya gempa tahun 2010. Kedua, segmen patahan dibagian selatan Mentawai meliputi patahan di blok Jawa Timur saat bergerak ke arah patahan blok Jawa Barat dengan pemusatan energi di Selat Sunda. Segmen patahan ada saling menekan dan membentuk poros kesatuan kesamaan gerak ke Pagai Selatan. Kejadian gempa di lokasi kepulauan seperti ini dapat membangkitkan tsunami di sepanjang Pantai Barat Pulau Sumatra. Kota besar seperti Padang dengan penduduk yang padat (900 ribu jiwa) memiliki resiko yang sangat tinggi jika tsunami besar terjadi. Bandingkan dengan populasi Aceh sebelum tsunami yang kira-kira 400 ribu jiwa dimana pada tahun 2004 gempa berkekuatan 9.2 membangkitkan tsunami dan menelan korban jiwa hampir 130 ribu orang. 
Padang dan kota-kota besar di Sumatera harus lebih siap menata tata ruangnya, bahwa pelajaran bencana terdahulu telah memberikan gambaran kehancuran sarana infrastruktur lebih disebabkan oleh peletakan tata ruang berada dalam radius ancaman gempa, atau tepatnya berada dalam kawasan zona patahan gempa, contohnya untuk kota Padang berada dalam sub segmen patahan sianok bagian dari patahan sumatera. Padang harus memadukan aspek teknologi deteksi dini gempa (early earthquaked warning) dan tsunami, seismograf gempa dan vulkanik, stasiun sensor broadbank di darat dan kepulauan, infrastruktur fisik tahan gempa dengan peredam guncangan, penambahan kekuatan struktur bangunan yang telah ada (refrofit), pemetaan daerah kegempaan lokal untuk basis aturan zonasi rehabilitasi keruangan, taman dan jalur lintasan evakuasi yang jelas, sistim sirene diberbagai tempat serta kesiapsiagaan masyarakat lebih intensif dengan meningkatkan pelatihan mitigasi secara berkala 4 kali dalam setahun maupun pusat penyebaran informasi dan komunikasi pada interval 10 km dalam tiap kecamatan. 
Karena gambaran gempa tahun 2007, 2009 dan 2010 belum mencerminkan kemampuan pemerintah daerah mengendalikan kehancuran infrastruktur dan pelatihan simulasi tsunami dan gempa masih belum optimal sehingga masih banyak korban bencana. Jadi Padang sudah harus siap menghadapi Mentawai sebelum tahun 2033 atau mungkin lebih cepat? 

M. Anwar Siregar Pemerhati Tata Ruang Lingkungan-Geosfer

Nov 19, 2012

Tata Ruang Dinamis : Geologi Mitigasi

TATA RUANG SUMUT : DINAMIS DAN SINERGIS LINGKUNGAN 
Oleh : M. Anwar Siregar 

Memasuki milenium ketiga abad ke 21, Indonesia semakin rentan bencana geologi dan klimatologi, rakyat Indonesia dituntut untuk memahami semua kejadian bencana tersebut. Salah satu upaya perlu dilakukan rakyat terhadap pemerintah adalah menekan pemerintah untuk menata ruang kota yang berwawasan lingkungan bencana geologi dan klimatologi. 
RUANG GEOMORFOLOGI 
Pembangunan tata ruang detail wilayah di Sumut seharusnya mengikuti aturan zonasi kerawanan dengan mengidentifikasi bahaya dan risiko serta membagi zona-zona kerentanan sesuai karakteristik lingkungan tektonik dan geomorfologi tempat keberadaan suatu lokasi perencanaan tata ruang kota. 
Penataan ruang lingkungan bagi kota-kota di Sumatera Utara (Sumut) yang telah berkembang harus memperhitungkan jangka pemakaian dan penggunaan lahan lingkungan tektonik-geomorfologi dengan metode fleksibilitas geologi terhadap kawasan rawan bencana dengan merumuskan pola strategis keruangan yang dapat mengurangi jumlah korban dan kerugian akibat bencana (risk reduction). 
Sumut termasuk propinsi paling rawan bencana geologi yang terjadi setiap tahun, sehingga banyak sarana infrastruktur yang rusak dan lingkungan fisik banyak mengalami degradasi seperti rusaknya topografi lingkungan geomorfologi, meningkatnya erosi tanah, penurunan kualitas dan kuantitas air bersih sebagai sumber daya bagi suatu kota yang berdampak pada pengembangan penataan ruang geologi yang berkelanjutan semakin terbatas. 
Untuk mengendalikan kerusakan tersebut, maka penataan ruang harus mengintegrasikan tata ruang multi bencana lingkungan dengan mengkaji suatu area yang akan dikembangkan melalui pembagian aturan zonasi perencanaan komprehensif dengan bertumpuh pada kajian geohazard dan georisk sesuai dengan kondisi tata ruang suatu kota Sumut serta memperhitungkan dua faktor proses kebencanaan tektonik-geomorfologi dalam suatu tata ruang kota yang berwawasan bencana geologi, yaitu Faktor Proses Internal lingkungan tektonik-geomorfologi, yaitu tatanan kondisi geologi suatu tata guna lahan yang terbentuk dari berbagai ancaman bencana geologi dari dalam wilayah berupa lintasan patahan gempa tektonik, zona tektonik gunung berapi, dan pembagian satuan geomorfologi dari satuan daratan rendah-pesisir hingga ke daratan geomorfologi terjal. 
Faktor Proses Eksternal lingkungan tektonik geomorfologi, disesuaikan dalam perencanaan penataan bagian luar ruang suatu kota yang akan dikembangkan, memperhitungkan aspek kebencanaan geologi dari luar wilayah daratan satuan geomorfologi yaitu letak lingkungan tektonik yang berupa zona lintasan subduksi kegempaan besar dilautan, bentuk morfologi teluk/pesisir daratan terhadap gelombang tsunami, pusat jalur gunungapi di lautan dan didaratan serta pembagian satuan geomorfologi dari satuan pendataran pesisir pantai ke daratan topografi perbukitan rendah. 
DINAMIKA GEOHAZARD-RISK 
Dari faktor tersebut, maka disusun suatu master plan dinamika geohazard dan georisk tata ruang kota Sumut yang di integrasi dengan pembagian zonasi tata ruang multi bencana yaitu pertama, zonasi tata ruang percepatan puncak gempa batuan dasar yang bersifat lokal terhadap penataan ruang lingkungan untuk bangunan dan prasarana fisik yang disesuaikan dengan kondisi kemampuan bangunan pada skala kekuatan seismik lingkungan, sebagai panduan rancang bangun suatu kawasan untuk mengendalikan dampak kerusakan akibat adanya efek-efek likuafaksi dan ground shaking terhadap bangunan sekitarnya. 
Dalam zonasi percepatan puncak percepatan gempa batuan dasar yang perlu diperhitungkan antara lain mengidentifikasi daerah rawan diantara paling rawan, memperhitungkan lajur patahan/sesar beserta identifikasi rekahan baru akibat gempa bumi, daerah kegempaan aktif vulkanik, zona subduksi tsunami dan vulkanik dimasa lalu hinggga sekarang, terutama bentuk kekuatan tanah, kekar, lipatan dan retakan, pertumbuhan terumbu karang yang menceritakan sejarah kehancuran gempa terhadap tata ruang kota di masa lalu serta pengaturan bangunan dengan disain tahan gempa. 
Kedua, zonasi penggunaan tata ruang lahan yang existing dan berkelanjutan sesuai dengan data hasil pemetaan mikrozonasi kegempaan, merupakan standar penyusunan tata ruang RDTR (rencana detail tata ruang), RTRW (rencana tata ruang wilayah), RTBLRTH (rencana tata bina lingkungan dan ruang hijau terbuka) dan RUTRK (rencana umum tata ruang kota). 
Hingga saat ini, peta RDTR dari hasil kajian geohazard dan georisk serta pemetaan kerentanan geologis lokal yang tinggi masih di bawah 5 % dari seluruh Kota di Sumut dalam pembuatan peta spasial. Ketiga, pengaturan ekologi rehabilitasi lahan hijau akibat gempa dan gerakan tanah dalam jangka tertentu. Yang dijabarkan dalam bentuk penataan rehabilitasi suatu lahan yang telah mengalami gangguan bencana, fokus pada pengembangan rehabilitasi lahan yang berbasis mitigasi ruang hijau terbuka untuk zona sanggahan bencana dan bebas dari bangunan apapun, mitigasi pengembangan lahan untuk ekologi berkelanjutan seperti pertanian abadi, konservasi hutan abadi dan daerah tangkapan air bersih berkelanjutan. 
DINAMIS RUANG BENCANA 
Pembangunan tata ruang kota yang diintegrasi multi bencana belum cukup jika tidak “mendeteksi” arah dan proses bencana dalam kerangka ruang dan waktu. Deteksi bencana dapat dikembangkan dalam model pembangunan fisik tata ruang dibagi dua model struktur tata ruang mitigasi yaitu tata ruang mitigasi fisik (disain bangunan dan infrastruktur tahan gempa baik alamiah maupun buatan), serta tata ruang mitigasi non fisik (pemetaan kerentanan, peta resiko, relokasi tata ruang, zonasi tata ruang dan guna lahan, penyadaran masyarakat dan pelatihan atau simulasi bencana). 
Dari 28 Kota terdapat 65 persen kota dalam Propinsi Sumut yang memiliki karakter tata ruang sesuai dengan kondisi lingkungan internal yaitu dimana kota tersebut dikelilingi oleh dua bencana geologis dan bencana ikutan seperti letusan gunungapi dan lintasan patahan gempa bumi aktif dan gerakan tanah akan lebih intensif jika bumi terus berlangsung, contoh kota Brastagi, Kabanjahe, Sipirok, Sibolga, Panyabungan, Padangsidimpuan, Pakpak Barat, Simalungun, Sidikalang, Pematang Siantar dan Dairi. 
Begitu juga kota dengan tatanan geologi lingkungan eksternal dari ancaman luar daratan yaitu topografi rendah ke pantai rawan ancaman tsunami dan kegempaan strategis. Kota Sibolga, Madina, Gunung Sitoli, Teluk Dalam, TapTeng, Medan, Tanjung Balai, Sergai dan Langkat, berada pada jalur dua lintasan strategis tsunamis dari cekungan busur muka dan cekungan busur belakang melalui pantai Barat dan Timur yang mengelilingi Sumut. 
Kota-kota yang memiliki tatanan geologi seperti tersebut diatas seharusnya mempersiapkan tata ruang zonasi yang detail, dipastikan kota tersebut tidak ditemukan jalur-jalur evakuasi yang berupa ruang hijau terbuka yang mantap dan luas, jalur zonasi hijau khusus lokasi depot bahan makanan dan obat-obatan, buffer zone khusus dari ancaman letusan gunungapi dan tsunamis, jalur hijau abadi sebagai geo-biodiversity kota serta peta infratruktur fisik yang ideal, merangkum aspek peta tata ruang bawah dan atas permukaan. Tanya, Medan-Sumut ada tidak perencanaan tata ruang seperti ini? 
SINERGIS LINGKUNGAN 
Untuk mewujudkan tata ruang kota yang berketahanan dan berwawasan bencana lingkungan geologi di Sumut yaitu pertama, pemetaan tematik sumber daya alam dan ekologi lingkungan hidup matra darat-laut kepulauan (Nias-daratan Sumut), penelitian dan pengembangan geodesi-geomatika dan geologi dinamika, melakukan pemantauan peristiwa gempa melalui pemetaan sesar aktif yaitu diperlukan untuk pembuatan peta kerentanan geologis lokal seperti peta mikrozonasi gempa untuk tata ruang, peta tata ruang hijau terbuka seluas 30 persen tiap kecamatan kota/kabupaten dari total luas kota yang berfungsi sebagai daerah hijau publik, daerah hijau konservasi hutan lindung, daerah hijau pertanian agromarinpolitan, daerah resapan air bersih dan daerah cadangan rehabilitasi untuk pengembangan tata ruang berkelanjutan, daerah jalur evakuasi, daerah penyaluran atau lokasi pembuatan depot dan obat-obatan bantuan bencana, jalur dan taman evakuasi dan zona sanggahan bencana gunungapi, tsunami dan gerakan tanah serta dapat digunakan untuk bahan rujukan pengembangan peta infrastruktur fisik yang diperlukan untuk pembangunan prasarana jalan, jembatan, gedung dan kawasan perkantoran serta transportasi yang berbasis building code dengan melakukan kajian fleksibilitas geologi. 
Kedua, Pengembangan jaringan sistem deteksi dini bencana tsunami maupun seismograf ditingkat daerah dan masyarakat serta pemantapan koordinasi riset tata ruang antar wilayah. Ketiga, mempersiapkan kompabilitas dan optimalisasi pola ruang secara fleksibilitas dengan sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan untuk memperkuat sistim utama ekonomi ketika terjadi bencana dengan memperhitungkan aspek fisik spasial daya dukung lingkungan agar dapat bersinergi mencegah bencana lingkungan. 
Hal ini penting, walau dalam satu zona gempa, kondisi tanah dan geologi ditiap kota Sumut sangat berbeda. Tata ruang berketahanan bencana sudah harus diimplementasikan sekarang, dan jangan menambah beban mental traumatik menjadi Sumut bencana di negeri yang memang sudah “langganan” bencana. 

M. Anwar Siregar Geolog, Pemerhati Lingkungan dan Geosfer.Diterbitkan tgl 24 Oktober 2012

Oct 2, 2012

Tata Lingkungan Medan : Geologi Mitigasi

TATA LINGKUNGAN MEDAN BERKETAHANAN MITIGASI 
Oleh M. Anwar Siregar 

Kota Medan dan Indonesia secara umum hidup dan berada di daerah rawan bencana, harus mengubah sikap dan pola berpikir bahwa bencana geologi dan klimatologi merupakan faktor yang sudah sangat jelas mengancam kehidupan. Pola pikir dalam membangun sarana infrastruktur dalam suatu tata ruang di daerah yang telah diidentifikasi kerawanannya sudah harus dihilangkan dalam rangka meminimalisasi kerentanan dan bahaya lingkungan geologi. Dan perencanaan pembangunan lingkungan dalam tata ruang kota Medan belum mampu memberikan rasa aman dari potensi ancaman bencana di masa mendatang, seperti pada kejadian bencana banjir yang lalu. 
PERENCANAAN MITIGASI 
Medan belum siap menghadapi bencana dahsyat (Analisa, 24/2/2011), dilatar belakangi oleh banyaknya terjadi bencana banjir dan kota Medan memerlukan mitigasi sebagai langkah awal yang sangat mendesak, mengingat pada kejadian banjir besar telah pernah terjadi pada tahun 2004, berulang kembali pada tahun 2011. Mitigasi sebagai upaya untuk pengurangan risiko (disaster risk reduction management). 
Tujuan utamanya untuk mengurangi dan/atau meniadakan korban dan kerugian yang mungkin timbul, maka titik berat perlu diberikan pada perencanaan lingkungan dalam suatu tata ruang kota Medan adalah tahap sebelum terjadinya bencana, yaitu kegiatan penjinakan/peredaman atau mitigasi ketataruangan kota dari berbagai ancaman bencana geologi dan klimatologi. Contohnya adalah mencegah banjir dan mengidentifikasi berkurangnya daerah resapan. 
Beberapa kawasan lingkungan dalam tata ruang kota Medan telah di identifikasi sebagai daerah rawan bencana banjir (bencana klimatologi) dan ancaman strategis tsunamis (bencana geologi) di back arc basin di Selat Malaka, serta zona bahaya erupsi gunungapi dari zona vulkanic arc basin di Tanah Karo yang menempatkan masyarakat dalam ancaman bahaya dalam suatu tata ruang wilayah sehingga memerlukan perencanaan mitigasi lingkungan (mitigation enviroment plan) dapat dilakukan sebagai berikut: 1. Perencanaan lokasi (land management) banjir yaitu pengaturan penempatan penduduk di kawasan Medan Utara yang diidentifikasi sebagai kawasan banjir, intrusi air laut dan tsunami memerlukan suatu tata ruang hijau sebagai daerah sanggahan bencana (buffer zone disaster), dalam melindungi tata ruang pesisir pantai di Selat Malaka ke daratan pinggir ke dalam kawasan inti kota dengan melakukan perbaikan lingkungan geologi kota dengan maksud menyerap energi dari gelombang tsunami serta membuat early warning sistem di Medan Utara. 
2. Building code yaitu memperkuat bangunan dan infrastruktur dengan disain bangunan yang sesuai peruntukkan lahan dalam jangka tertentu, di daerah yang telah diidentifikasi tingkat pergeseran tanah cukup tinggi berada di inti kota yang telah padat. Gempa dikawasan inti kota lebih rawan dibandingkan dipinggiran kota terutama dikawasan pusat pemerintahan, bisnis dan perdagangan, laju penurunan tanah antar 0,5-1,5 cm/tahun diberbagai inti kota. Refleksi dari kejadian gempa di inti Kota Meksiko, San Fransisco, Bam serta Cristchurch (Februari 2011). 
3. Zonasi rehabilitasi lingkungan tata ruang air dan infrastruktur yaitu melakukan usaha preventif tata ruang dengan merealokasi aktifitas yang tinggi ke daerah yang lebih aman dengan mengembangkan pemetaan mikrozonasi sesuai dengan karakteristik geologi lingkungan internal dan eksternal tatanan geologi tektonik dan satuan fisiografis lingkungan geomorfologi yang menyusun suatu kawasan tata ruang kota yang diidentifikasi aman bagi keberlanjutan tata ruang air dan rehabilitasi tata guna lahan sebagai zona relokasi apabila terjadi kerentanan diwilayah yang lama. 
4. Mengeidentifikasi wilayah rawan jangkauan erupsi gunungapi Sibayak dan Sinabung ke wilayah Kota Medan dalam rangka mereduksi dampak bencana fisik dan alamiah kepada penduduk secara berkala. 
KAJIAN MITIGASI KOTA 
Mengkaji tingkat kerentanan dan kerawanan infrastruktur fisik dalam lingkungan tata ruang kota Medan dari risiko bencana geologis sangat penting, karena dengan mengetahui tingkat kerentanan fisik (infrastruktur) suatu sarana kawasan tertentu dalam tata ruang kota Medan akan dapat memberikan gambaran perkiraan tingkat kerusakan terhadap hasil pembangunan fisik bila ada faktor berbahaya (hazard) tertentu. 
Kajian dan pengelolaan kerentanan fisik harus dilakukan Pemko Medan secara menyeluruh melalui survey investigation design dan perencanaan yang dilengkapi dengan detail engineering design yang sesuai dengan kondisi geologi bawah permukaan maupun geologi permukaan setempat secara terukur oleh berbagai instrumen kekuatan bangunan dan beban geoteknis tanah, pergerakan seismik terhadap lingkungan tata ruang, pengaturan dan kemampuan kelayakan bangunan berbasis beban gempa terhadap suatu kawasan lingkungan, tingkat kepadatan sosial dan kependudukan (demografi), serta kemampuan sumber daya ekologi, sumber daya geologi, dan sumber daya ekonomi untuk keberlanjutan pembangunan dan pengembangan penataan ruang di perkotaan. 
Beberapa indikator kerentanan geologis lokal yang tinggi dapat digunakan dalam pemahaman mitigasi perkotaan bagi kota Medan sebagai berikut : Pertama, kajian mitigasi persentase kawasan terbangun; yaitu laju kepadatan bangunan pada kawasan inti; jumlah bangunan konstruksi darurat seperti jalur dan taman evakuasi atau taman hijau terbuka yang luas di inti kota belum banyak dan banyak terabaikan akibat laju pembangunan mal dan gedung sehingga menimbulkan kerentanan banjir dan beban pergeseran tanah, laju kerusakan tata ruang air bersih dan peningkatan laju seismik ke permukaan tanah akibat beban pondasi bangunan bila terjadi gempa yang telah padat dan sumber daya geologi dan ekologi semakin terbatas.
Kedua, kajian mitigasi pengembangan jaringan utilitas (listrik, kabel telekomunikasi), jaringan PDAM pada daerah jalur hijau dan jalan raya dan jalan KA, lapangan terbang memerlukan luasan tata ruang lahan hijau baru untuk pengembangan selanjutnya dan zona rehabilitasi daerah hijau kota baik dalam bentuk areal maupun dalam bentuk jalur koridor. 
Ketiga, kajian mitigasi eskalasi urbanisasi yang membentuk tata ruang kumuh ke inti dan pinggiran kota Medan, dapat menimbulkan kerentanan yang tinggi, termasuk juga dalam kemampuan pengadaan master plan baru bagi pemindahan penduduk dari kawasan kumuh akibat derasnya pembangunan fisik di inti kota serta apabila suatu saat kota Medan mengalami natural and man made disaster memerlukan “land recovery”.
Merujuk data indikator tersebut maka wilayah tata ruang kota Medan dapat dikatakan berada pada kondisi sangat rentan bencana geologi dan klimatologi karena persentase kawasan terbangun dan kepadatan bangunan dengan laju yang sangat pesat berbanding terbalik dengan keterbatasan lahan akibat penyebaran dan perhitungan penempatan ruang pembangunan jaringan listrik, rasio panjang jalan, jalan KA, jaringan utilitas bawah tanah yang tumpang tindih di inti kota, dapat menghasilkan bahaya seperti kebakaran, amblesan tanah dan kemiringan gedung/bangunan raksasa dan kerusakan pola tata air bawah tanah. 
MEMBUMIKAN MITIGASI 
Ada faktor lain yang mendorong semakin tingginya potensi resiko bencana di kota Medan selain laju kepadatan penduduk dan bangunan, yaitu menyangkut pilihan masyarakat (public choice). Banyak penduduk bertempat atau sengaja tinggal di kawasan yang rawan/rentan terhadap bencana dengan berbagai alasan seperti kesuburan tanah, keterdapatan air dan harga tanah masih murah. 
Kawasan rawan bencana seperti tinggal di bantaran sungai, instalasi berbahaya (depo bahan bakar/gas, pembangkit listrik, dan industri berbahaya) dan jalur rel kereta api dan landasan pacu lapangan terbang. Proses dan potensi bencana geologi masih mengancam Medan di masa mendatang, strategis ancaman banjir kiriman tsunami, erupsi gunung api, gempa dan kemajuan pembangunan fisik seperti jalan tol, jalan layang dan transportasi sangat memerlukan pengembangan tata ruang yang memadai, yang dipastikan akan menggeser ruang hijau terbuka sehingga menimbulkan deforestasi kekuatan tanah dan tata air. 
Proses-proses pembangunan fisik didalam tata ruang kota Medan haruslah mampu mengintegrasikan pengelolaan mitigasi resiko bencana (geo-risk) dalam mereduksi bahkan meniadakan dampak yang ditimbulkan ke dalam tata ruangnya dan sebaliknya untuk membangun kapasitas (capacity building), pengelolaan resiko bencana geologi merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan sehingga dapat menekan tingkat resiko yang terjadi. 
Dilandasi oleh pemahaman bahwa kita hidup bersama di tengah-tengah ancaman bahaya (living with hazard) dan tidak lagi bermimpi hidup bebas dari bahaya (free from hazard). Sangat penting bagi perencana pembangunan di Medan untuk membumikan mitigasi bencana lingkungan geologi pada tata ruang kota Medan dalam melindungi kehidupan dan penghidupan masyarakat Indonesia khususnya di kota Medan dari bencana geologi di Perkotaan yang komprehensif. 

M. Anwar Siregar Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Geosfer., Tulisan ini sudah dikirim ke ANALISA MEDAN

Binatang Manusia : Geologi Lingkungan

BINATANG “JANGAN HANCURKAN HUTAN BUMI, MANUSIA” 
Oleh : M. Anwar Siregar 
Coba kita bayangkan bagaimana bila si Binatang mampu berbicara di acara seremonial hari lingkungan, hari bumi dan hari hutan, mungkin salah satu akan terucapkan “kalian, dengarkanlah keluhan kami, ini bukan obrolan, bukan juga gosip yang diharamkan oleh MUI kalian”, berikut ini petikan titah si Binatang (tulisan miring adalah masalah aktual hingga sekarang dilakukan berulang oleh manusia) : 
KESERAKAHAN
“Bumi cukup persedian untuk memenuhi kebutuhan perut dan otakmu, Manusia” terdengar suara keras auman dari si Binatang Buas, si Raja Hutan dengan mata mendelik, Galak!, setelah si Raja Hutan itu memergoki anak Adam yang berkeliaran bagaikan “binatang liar” di hutan dengan ganas menebang pohon-pohon muda sehingga marahlah si Raja Hutan itu. “tetapi tidak cukup memenuhi keserakahan kalian, sehingga rumahku (hutan) juga kalian hancurkan tanpa peduli akibat yang terjadi”, lanjutnya. 
Manusia di abad sekarang memang telah serakah, Bumi memang mampu menyediakan sumber-sumber makanan dan kebutuhan manusia, tetapi manusia telah lupa untuk melakukan mawas diri dalam menghargai kemampuan lingkungan alam dalam memenuhi kebutuhan hidup terutama pemanfaatan segala isi bumi dengan secara baik-baik, serta selalu lamban menjaga kelestariannya dalam mengembalikan kondisi hutan yang sudah rusak ke wujud semula. 
“menurut catatan kecil si Kancil, beberapa saudara kami telah punah akibat keserakahan kalian dalam menggunduli dan membakar hutan sebagai rumah kami sehingga terjadi bencana banjir terus menerus di negeri kita ini, banyak kota mengalami kehilangan taman hutannya” cerocos si Monyet sembari memonyongkan mulutnya untuk mengingatkan manusia mirip dengan dia bila rakus makan pisang alias menggurita korupsi. 
Taman-taman kota yang berfungsi sebagai paru-paru dunia telah berubah fungsi menjadi bangunan-bangunan gedung pencakar langit, lantai-lantai indah yang dihiasi batu pualam mengganti rumput-rumput hijau yang terhampar hingga ke badan jalan. Apabila terjadi hujan tidak seberapa deras bermunculan “sungai kecil”, Penggundulan hutan dan penutupan permukaan tanah sebagai daerah resapan mengakibatkan daya resapan tanah terhadap air tak mampu diresap kembali karena ketidakadaan akar-akar pohon dan tumbuhan yang berfungsi sebagai pusat “resevoir air”. “kesalahan kecil ini berakibat fatal terhadap kondisi lapisan akifer, dan meluas ketidakseimbangan tata air bawah tanah (geohidrologis) sehingga memerlukan gerakan tekanan geologis air dibawah tanah ke lapisan tanah yang bukan akifer, berdampak pada pengikisan kekuatan material tanah di sekitar bangunan, finalnya adalah runtuhnya bangunan akibat longsor” terang Professor Kancil memberikan statemen penelitiannya terhadap lokasi rumah dan bangunan raksasa manusia. 
BUMI YANG GERSANG 
“sejak manusia mengenal dan menciptakan revolusi teknologi industri, kemajuan pengetahuan ternyata tidak menunjukkan kemauan yang sungguh-sungguh untuk mengendalikan kehancuran, kepunahan dan kegersangan di Bumi sehingga banyak sumber-sumber biota darat dan laut kehilangan yang luas akibat bencana-bencana yang kalian timbulkan melalui berbagai cara, yaitu penyebaran efek-efek emisi kendaraan ke lingkungan yang menyebabkan panas yang tinggi di perkotaan, pencemaran melalui pembakaran hasil pertanian dan industri telah menimbulkan polutan, meningkatkan keasaman permukaan bumi dan mengakibatkan hujan asam berdampak pada pemenuhan sumber-sumber daya air dan hayati yang mengalami pengotoran dan mati serta tumbuh kerdil,“ terdengar suara cemprengan si Orang Utan yang dari tadi diam mulai kesal karena beberapa “rumah” dan saudaranya di Kalimantan mengalami penghancuran, pembantaian dan pembunuhan serta mengalami kebakaran. 
Tingkat kepunahan dan kehancuran keanekaragaman hayati telah menghilangkan 1.5 juta catatan organisma dan 250.000 jenis tumbuhan berbunga yang tercatat di seluruh taman hutan nasional akibat kecenderungan manusia terus menerus melakukan pencemaran udara dan lapisan tanah baik diatas maupun dibawah permukaan, pengotoran dan penghancuran lapisan lempeng bumi di bawah dan diatas permukaan laut oleh unsur-unsur zat-zat kimia emisi polutan industri transportasi, pabrikasi, pusat energi, rumah tangga dan radioaktivitas persenjataan biologi-nuklir dan kebocoran kilang reservoir minyak serta reaktor nuklir berdampak yang dirasakan di abad sekarang, yaitu peningkatan efek rumah kaca, penurunan permukaan tanah, abrasi pantai, naiknya permukaan air laut, pencairan lapisan es dibeberapa pegunungan es, dan pelubangan lapisan ozon yang semakin luas. Final pemanasan global yang memicu sirkulasi berskala besar dari atmosfir dan mempengaruhi pola perubahan iklim dan cuaca yang eksrim. 
Selain itu, ratifikasi protokol Kyoto tidak menunjukkan hal yang signifikan, masih ada negara maju tidak berkeinginan kuat untuk mngendalikan emisi karbon, sehingga bumi semakin padat polutan ke geosfer hingga sekarang telah menimbulkan bahaya ekonomi karena terjadinya ketidakseimbangan hasil panenan pertanian dan perikanan. Sebabnya? berkatalah Beo : ”gas-gas yang merusak ekosistim habitat kami yang menyebabkan bumi semakin gersang dan diambang kehancuran itu yang tercatat dalam peningkatan efek pemanasan global dalam bentuk bahan bakar fosil yang mengendapkan asam dalam air hujan, salju dan kabut berupa unsur kimia oksida belerang (sulfur), nitrogen serta nitrat, CO2, CFC, CF4 dan SF6 yang terperangkap energi gelombang panjang bumi di lapisan traposfer yang menyebabkan terjadinya suhu semakin panas dan tercemar”. Jadilah kondisi ini menjadi bencana bagi semua. 
BANJIR DI BUMI 
“keadaan biosfer bumi Indonesia semakin gersang, panas, kering serta banjir yang akhir-akhir ini terjadi dipicu oleh keadaan lapisan atmosfir bumi secara global dalam pemanfaatan sumber daya hutan yang semakin terbatas dan ribuan species saudara kami mengalami kepunahan antara lain Cendawa Muka Limau (Reflesia Hassletil/Arnoldi), Akar Kancil (Lusia Vetutina), Pasak Bumi (Exoricomma Longifulia) dan berbagai anggrek serta tumbuhan obatan lainnya. Sedang Binatang yang dinyatakan punah oleh ahli penelitan pemerintah kalian manusia diantaranya adalah Kera Jambul (Presbytis Melalophus), Harimau Sumatera (Pather Tigris Sumateransis), Macam Dahan (Neofelix Nebulosa), Rangkang Dada Puti (Antracuceres Convexus), Siamang (Hylobates Syndaeyhus), Gajah Sumatera (Elephas maximus) dan Tapir Melayu (Tapirus Indicus), tidak secara langsung disebabkan oleh akibat banjir mematikan berbagai hewan dan tumbuhan” lanjut Orang Utan. 
Secara sederhana penyebab banjir di Bumi lebih disebabkan oleh penghancuran hutan bukan oleh alam, alam hanya memuntahkan kemarahannya agar manusia benar-benar mawas diri di dalam memanfaatkan sumber-sumber daya terbatas tersebut, karena dalam setiap tahun manusia menghancurkan hutan Indonesia mencapai 1,4 juta hektar atau 80.000 hektar sebulan dengan kerugian Indonesia sebesar 45 triliun rupiah. Jumlah yang cukup besar untuk membangun negeri ini dengan mengurangi kemiskinan dan mengupayakan pembangunan taman hutan kota yang mulai hancur akibat perluasan pembangunan gedung dan perumahan di pinggir perkotaan. 
Dana sebesar 45 triliun itu dapat mencetak lahan pertanian abadi yang luas untuk memenuhi kebutuhan berbagai makhluk hidup. Tidak mengherankan apabila dalam setiap hari ada kota-kota diseluruh Indonesia silih berganti atau “arisan” banjir meredam ratusan rumah, menghilangkan berbagai rantai makanan, korban jiwa mencapai ratusan dan kerusakan infrastruktur yang miliaran rupiah sehingga menyebabkan negeri ini semakin miskin dan menghasilkan sejumlah bencana. Sudah ditakdir “terlahir” sebagai negeri bencana kenapa masih juga menghasilkan sumber-sumber bencana dipermukaan bumi? 
POLITIK BUSUK 
“unjuk rasa saudara kami di ladang-ladang kalian, si Gajah Liar kami dukung, kalian juga Manusia kalau unjuk demokrasi sering merusak karena politik kalian itulah yang banyak mengambil keputusan dalam penghancuran bumi, konferensi pemanasan global dan isu-isu keputusan protokol kyoto tidak pernah menunjukan pembaharuan lebih sehingga menghasilkan kondisi bumi yang semakin mengenaskan, tindak-aksi terhadap pencegahan kerusakan lingkungan hutan cuma indah di atas kertas dan banyak membuang energi saja, jadi kalian jangan salahkan kalau si Gajah itu unjuk rasa, menghancurkan atau menghabisi kalian yang datang ke rumah kami. Maaf saja, kami tidak mengenal kata menghormati tamu seperti kalian “ teriak gabon alias Monyet Besar. 
Penyebab kerusakan hutan dan hancurnya penyaring geosfer bumi tidak lain disebabkan oleh peraturan pemerintah yang sangat longgar dalam pemberian izin HPH. Pemerintah juga beranggapan sumber daya alam hutan tidak terbatas, sehingga memungkinkan para pemegang HPH melakukan segala tindakan untuk mendapatkan luas konsesi hutan maupun melakukan tindakan illegal dalam meningkatkan produksi kayu dengan melakukan perambatan ke taman hutan nasional agar mendapatkan modal balik secepatnya. Akibatnya hutan di Indomesia yang berfungsi sebagai paru-paru bumi di dunia menjadi hancur. Jutaan hektar hutan basah dan tropis lenyap tiap tahun akibat eksploitasi yang berlebihan, hilangnya beberapa biota fauna dan flora, mendatangkan bermacam-macam penyakit dan pertumbuhan gizi rendah diakibatkan putusnya beberapa rantai makanan disebabkan kegagalan panen. “diperlukan etika berbudi dalam mengendalikan hawa nafsu, terutama diminta dengan baik kepada para politikus kalian yang membecking para penghancur negara untuk kembali ke fitrah sejati dan mengembalikan marwah hutan sebagai keseimbangan keselarasan alam penciptaan di semesta bumi” lanjutnya menasehati. Peraturan hukum harus dilaksanakan dengan tegas agar tidak lahir “raja-raja hutan” dan Indonesia tidak lagi disebut sebagai negara penghasil bencana karena penghasil emisi CO2 nomor tiga di dunia setelah Amerika Serikat dan China. M, Anwar Siregar Geolog, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer,

Sep 13, 2012

Efek Emisi Kendaraan : Geologi Lingkungan

EFEK EMISI GAS KENDARAAN KE LINGKUNGAN 
Oleh M. Anwar Siregar 

 Apa yang Anda lihat diatas langit kota Anda seperti Medan, Jakarta, atau juga Surabaya di saat Anda santai memandang kolong langit ini, apakah lebih banyak warna putih, biru atau hitam? Medan dan kota besar lainnya di Indonesia saat ini, jumlah transportasi kini perbandingannya 1 : 6, maksudnya, jumlah panjang jalan raya 1 kilometer terdapat 6 mobil berbagai jenis, dan diantara 6 mobil tersebut terdapat 2 atau 3 kendaraan yang telah berumur lebih 10 sampai 15 tahun, dimana kondisi pembakaran mesin telah mengalami penurunan dan barang tentu secara langsung menambah jumlah beribu-ribu polutan di udara bersama dengan zat-zat kimia lainnya. 
Kota-kota besar di dunia, sangat ini mengalami berbagai macama masalah emisi gas-gas buangan yang berasal dari kendaraan transportasi, terutama transportasi kendaraan darat yaitu motor dan mobil yang sangat ini jumlahnya telah hampir setengah panjang jalan raya yang ada di setiap negara di dunia. Pesatnya perkembangan otomatif hanya sedikit dibarengi dengan energi alternatif untuk kendaraan yang bersahabat dengan lingkungan. Penyebabnya adalah salah satu mahalnya bahan bakar alternatif ini dan jumlahnya juga masih relatif sedikit dibandingkan jumlah kendaraan yang dibuat dan jumlah permintaan konsumen terhadap kendaraan bahan bakar bensin lebih banyak. Ini menyangkut faktor selera dan kemampuan keuangan tetapi juga yang paling diinginkan alah kecepatan mobil atau motor sampai ke tujuan tapi hemat bahan bakar (yang tentunya hemat duit). 
Disamping itu, juga menyangkut banyak kendaraan yang tua (sampai ada yang menulis di kaca belakang mobilnya “Maaf, om. Lambat jalannya karena, maklumlah sudah tua) dan masih berkeliaran dengan knalpot yang memekak telinga di jalan raya serta masih memerlukan bahan bakar bensin yang emisi gasnya sangat membahayakan kesehatan dan lingkungan manusia. Pemakaian bahan bakar alternatif masih menghadapi berbagai permasalahan terutama pengadaan bahan bakar gas yaitu stasiun penjualan bahan bakar gas alam sampai saat ini masih sedikit jumlahnya. Dan juga ini merupakan salah satu yang menghambat program langit biru yang banyak dikampanyekan sekarang, baik di negara maju industrinya maupun di negara berkembang. 
EFEK EMISI GAS KE LINGKUNGAN
Program pengendalian pencemaran udara akibat transportasi di Indonesia sudah berlangsung sejak tahun 1992, lalu tahun 1993, Pemerintah melalui Menteri Lingkungan Hidup mengeluarkan kebijakan No. 35 / 1993 tentang bahan mutu emisi gas buang kendaraan bermotor. Jakarta sebagai Ibukota negara RI saat ini menyandang peringkat ke tiga sebagai kota yang tercemar akibat pemakaian bahan bakar fosil yang berlebih-lebihan di dunia ke tiga. 
Dan saat ini, belum ada gejala untuk menurunkan kondisi tersebut secara menyeluruh dari berbagai lapisan karena jumlah kendaraan kian hari meningkat tajam dan sudah mencapai (atau melewati?) angka 4,4 juta unit kendaraan. Dari hasil penelitian beberapa PT dan LSM di bidang lingkungan telah mencatat pencemaran lingkungan akan meningkat menjadi sekitar 150 % pada tahun 1988, dan lebih tinggi pada tahun 1990 yaitu mencapai 100 % atau kandungan timah hitam saat ini sekitar 1,5 Ug per meter kubik. Pada tahun 2000 diperkirakan akan lebih tinggi lagi yaitu 100 %. 
JENIS ZAT POLUTAN. 
Jakarta saat ini hampir mengandung timah hitam diatas satu mikrogram per meter kubik, yang sebagian besar berasal dari emisi gas buang kendaraan bermotor. Bahan bakar fosil selama ini menyumbangkan energi sangat besar pada umat manusia. Tetapi dengan pemakaian yang berlebihan dan daya dukung lingkungan yang semakin menurun, pemakaian bahan bakar fosil perlu dipertimbangkan kembali. Bensin adalah salah satu bahan bakar fosil yang banyak dipergunakan pada kendaraan bermotor. Bahan bakar fosil ini menghasilkan kalor yang tinggi dibandingkan beratnya. 
Hasilnya, kendaraan dapat bergerak relatif jauh dengan hanya sedikit bahan bakar. Sisa pembakaran dari mobil konvensional akan dapat menambah pencemaran polusi udara, karena sejumlah polutan dikeluarkan. Zat polutan tersebut adalah NO2 dan timah hitam (Pb) melalui knalpot. Meskipun kendaraan konvesional (kendaraan yang memakai bahan bakar bensin dan solar) telah dilengkapi perangkat-perangkat anti polusi, orang berkendaraan makin lama semakin bertambah banyak. Pada saat yang sama, kualitas udara terus memburuk dimana-mana di seluruh dunia. Medan sebagai kota metropolitas ke tiga di Indonesia harus belajar dari kejadian-kejadian yang telah menimpa pencemaran polutan udara di Ibulota Jakarta.
Pencemaran yang penting adalah menciptakan lingkungan yang bersih, menghindarkan pemakaian zat-zat kimia yang berlebihan atau juga telah menghentikan pemakaian angkutan kota yang menggunakan banyak zat-zat timbal seperti becak bermotor (dengan catatan, harus dicarikan atau ditemukan alternatif pemecahan agar mereka yang tidak mampu ini mampu tetap hidup tanpa harus menghancurkan pencaharian mereka). Jika hal tersebut dibiarkan maka berbagai jenis penyakit akan menyerang kehidupan manusia seperti kardio vaskuler dan pernafasan, tekanan darah tinggi, gangguanjiwa, penurunan IQ pada anak-anak, kanker dan infertilitas. 
Masalah ini, membutuhkan pemikiran yang sungguh-sungguh dari berbagai komponen ilmu untuk mencari solusi yang terbaik dalam mengatasi pencemaran udara melalui emisi gas buang (knalpot) kendaraan yang sangat diperlukan untuk menjaga kesehatan kita dan kemampuan ekosistim dalam beberapa tahun mendatang masih akan banyak ditemukan polutan udara kendaraan, agar ekosistim Bumi kita bisa dijaga kelestariannya. 
Maklumlah, kita cuma punya satu Planet yang indah yakni Bumi yang diciptakan Allah SWT untuk manusia sebagai kafilah yang unggul di jagad raya ini. Bukan menghancurnnya tapi menjaganya. 

M. Anwar Siregar Geolog, Pemerhati Masalah Lingkungan-Geosfer,
Tulisan ini sudah dimuat pada harian ANALISA MEDAN

FENOMENA ALAM DI DAERAH KHATUSLITIWA : Geologi Disaster

FENOMENA ALAM DI DAERAH KHATUSLITIWA 
Oleh M. Anwar Siregar

Indonesia yang terletak pada daerah khatulistiwa tiap tahun mengalami berbagai macam fenomena alam seperti badai tropis, banjir yang hebat serta fenomena alam lain yang banyak mengambil korban jiwa serta material yang tak terhitung nilainya. 
Didalam benak masyarakat awam pasti tertancap suatu pertanyaan mengenai fenomena alam yang terjadi di daerah khatulistiwa, misalnya bagaimana sebenarnya kejadian fenomena alam itu? Dimana badai tropis lahir Serta dimana badai tropis itu membesar? Dan juga apakah itu hujan salah musim yang terjadi sekali di Indonesia? Badai tropis atau dikenal dengan julukan El Lena lahir di Selatan Pulau Timor dan Nusa Tenggara Timur. Tanda-tandanya melalui citra penginderaan jauh, satelit NOAA yang di peroleh BMG (Badan Meteorologi Geofisika), gejala kehadirannya dapat diketahui melalui pengukuran dari kenaikan suhu permukaan air laut, selama kurang lebih sebulan yaitu di Samudera Indonesia, Laut Maluku dan Teluk Australia. 
Badai Lena bertekanan 980 milibar, kemudian bergerak ke arah Barat, disebelah Selatan Pulau Jawa. Badai ini kemudian menyatu dengan badai tropis lainnya yang masih muda di Australia, menghasilkan badai yang menghebat bila berada diposisi antara 17-18 derajat lintang selatan dan 129-130 derajat bujur timur, mengarah ke Baratdaya. Lena bergerak lagi ke arah timur. Biasanya Badai tropis muncul pada bulan Desember dan jalurnya dari Baratdaya ke daratan Australia karena disebabkan suhu muka air laut di Selatan dingi. Sementara itu tekanan udara yang tinggi di Utara dari daratan Asia di Selatan
PUSAT BADAI TROPIS 
Ada empat kawasan utama tempat lahirnya badai tropis yaitu Timur Tengah dan Asia Selatan, Amerika Tengah dan Amerika Utara, Australia dan Oceani serta kawasan Afrika Tenggara dekat Madagaskar. Masyarakat di daerah itu mempunyai nama tersendiri untuk fenomena alam itu, badai tropis yang terjadi di Asia diberi nama typhoon, orang Australia menjulukinya Willy-willy. Badai di Atlantik biasa disebut Hurricane. Nama yang terakhir ini lalu menjadi nama yang berlaku umum bagi badai atau siklon tropis. 

BADAI TROPIS 
Badai tropis, demikian disebut, karena lahirnya dikawasan tropis dekat khatulistiwa antara lima derajat LU dan lima derajat LS. Kawasan itu masih dipengaruhi oleh efek Carolis atau efek perputaran rotasi bumi, yang mengakibatkan perpindahan udara. Badai tropis mempunyai kecepatan antara 35 hingga 61 kno. Diatas itu, badai tropis berubah nama menjadi siklon atau typhoon. 
Siklon tropis ini setahun dapat terjadi sampai 80 kali. Kerugian akibat terjanganya dapat mencapai 25 milyar dollar AS per tahun. Menurut hukum Ferrel, angin yang bergerak dibelahan Utara jika mencapai khatulistiwa oleh karena gaya Carolis akan memblok ke kanan, sebaliknya, angin yang bertiup dibelahan Selatan menuju khatulistiwa akan dibelokan ke kiri. 
Badai ini terlihat dari satelit geostasioner berbentuk seperti spiral. Jadi di sebelah selatan khatulistiwa akan searah jarum jam, sedangkan di Utara berlawanan. Semua badai tropis lahir dari depresi di permukaan air laut di kawasan berdiameter 200-400 kilometer, yang suhunya harus melewati 27 derajat Celcius. Suhu yang tinggi pada luasan yang cukup akan mensuplai udara diatasnya dengan uap air yang banyak, kadangkala badai tropis bisa juga terjadi pada suhu permukaan air laut 23-24 derajat Celcius, asalkan udara di lintang yang lebih tinggi suhunya lebih dingin. 
Kondisi itu mengakibatkan keadaan tidak stabil pada kolom udara atau tekanan rendah permukaan laut, seringkali terjadi anti siklon (tekanan tinggi yang dikelilingi tekanan rendah) dibagian atas. Langkah selanjutnya, tidak terjadi atau hanya sedikit pergerakan angin arah vertikal atas bawah. Badai tropis yang lahir di selatan khatulistiwa tidak pernah melewati khatulistiwa ke Utara. 
Sebaliknya, badai tropis yang lahir di Utara khatulistiwa tidak pernah mencapai khatulistiwa menuju Selatan. Jadi badai tropis lahir dikwasan tropis tetapi membesar di luar kawasan tropis, biasanya pada garis lintang antara 6-20 derajat. 

UMUR BADAI TROPIS 
Umur badai tropis bervariasi mulai dari hanya beberapa jam hingga tiga minggu. Kebanyakan badai tropis hanya berumur lima sampai sepeluh hari. Kelahiran badai tropis dimulai ketika angin mencapai kecepatan antara 65-87 kilometer per jam. Jika sudah besar biasa menghasilkan angin berkecapatan 118 kilometer per jam meliputi kawasan berdiameter hingga 100 kilometer. Bayangkan, badai tropis besar mampu memindahkan masa udara lebih dari 3.500.000.000 ton per jam. Hujan lebat dan angin kencang yang terjadidi pantai utara Pulau Jawa adalah akibat angin besar akses dari badai Lena. Badai tropis umumnya adalah gerakan awan penuh air yang besar. Hujan lebat biasanya jatuh pada kawasan pesisir sepanjang 500-600 kilometer.
Gambar : Fenomena badai tropis di sekitar Jantung Australia dan Indonesia
(Sumber : Mapblog)
 
BANDELNYA EL NINO, MEMANASNYA PERMUKAAN AIR LAUT 
El Nino, hanyalah julukan bagi sebuah fenomena alam yaitu memanasnya permukaan air laut di Samudera Pasifik yang kadang muncul pada bulan Desember dekat Peru dan Ekuador di Amerika Selatan. Gejala ini kemudian berkembang menjadi arus panas yang menjalar sepanjang khatulistiwa mendekati Indonesia, sampai ke sebelah Timur Pulau Irian. Ulah El Nino itu mengakibatkan munculnya berpuluh-puluh kali musim kemarau kering dan panjang, yang tercatat sejak tahun 1500-an di bilahan Baratdaya Pasifik. 
Kekeringan yang tergolong parah dilamai Indonesia dan Australia pada tahun 1982-1983. El Nino terjadi karena suhu laut diwilayah Pasifik Tengah dan Timur naik, akibatnya di kawasan itu turun banyak hujan dan badai, lebih dari itu angin dan awan bergerak ke kawasan tersebut, berakibat yang ditinggalkan mengalami musim kemarau. 
Gejala El Nino memang terjadi setiap tahun, biasanya selama tiga, empat sampai enem bulan, El Nino sudah dimulai sekitar bulanNovember dan Desember, yang berkaitan erat dengan perputaran bumi dan sistim arus laut. Pada saat El Nino merajalela, bukan hanya bagian Barat Pasifik yang terkena dampaknya tetapi juga di sebalah Timurnya. 
Jika Indonesia dan Australia mengalami musim kemarau yang kering, sebaliknya Peru dan Ekuador mendapat hujan yang sangat lebat sehingga menyebabkan banjir yang hebat. Pada saat itu datang segerombolan badai mengamuk di California, Amerika Serikat atau juga bersamaan dengan munculnya topan Betty dan carry yang melanda belahan Timur Philipina. Topan itu mengakibatkan gelombang udara bergerak ke arah Barat melewati Cina Selatansampai Bangladesh. 
Hal itu pula mengakibatkan terjadinya banjir besar merenggut ratusan jiwa di Bangladesh. Fenomena alam yang meluas ini memang menganut hukum sebab akibat. Para ahli meteorologi dan geofisika berkeyakinan bah wa El Nino akrab hubungannya dengan pola perpindahan udara di daerah tropis Samudera Pasifik.
Mereka menjelaskan perubahan arah angin yang menyebabkan perubahan suhu dan sirkulasi di Samudera ini kemudian mengalami gangguan pergerakan udara dan arus samudera. Perubahan ini tidak lain dari posisinya di 23,5 derajat lintang selatan yang bergeser kearah Utara dan intensitas pemanasan meningkat. Pendek kata, selama sebagian belahan bumi ini dilanda kekeringan sebagian bumi lain kebanjiran. Kedua musibah itu adalah bencana alam yang tak bisa dipastikan kemunculannya.

FENOMENA HUJAN SALAH MUSIM
 “hujan salah musim” didaerah Indonesia bisa disebabkan olek faktor terjadinya gangguan permanen yaitu adanya lembah atau palung tekanan udara di Selatan Jawa yang menerobos jantung Benua Australia. Karena gangguan permanen, artinya tak perlu dicemaskan berlama-lama, karena akhirnya akan hilang sendiri. Implikasinya yang ditimbulkannya yang justru diperhitungkan serius. 
ENSO El Nino Seoul Ossilation tengah mengalami desingtegrasi, akibatnya akan terjadi arus balik penumpukan energi di kawasan Indonesia.
 Gambar 25 : Fenomena Angin dan Badai di Khatulistiwa Indonesia

(sumber dari berbagai sumber)
PALUNG SELATAN 
Palung selatan lahir sebagai akibat pergerakan ke Timur rangkaian sistim tekanan tinggi dan tekanan rendah udara sub tropik belahan Bumi Selatan. Formasinya yang berorientasi paralel garis lintang, tidak jarang jika intensitas hujan dukup dalam, ujung dari ekornya menggapai Ekuador. Jika kebetulan eksistensinya sefase dengan perengganan dingin (cold-front) di belahan Utara Bumi, intensitasnya biasanya meningkat. Pergerakan udara yang terperangkap palung selatan, cirinya menjadi sinklinal dan sifatnya konveksi atau meningkat. 
Akibatnya udara di dalam dan sekitarnya mengalami destabilitasi. Ini identik dengan cuaca jelek. Pada hasil rekaman cuaca, keberadaan palung ini ditandai oleh bentangan awan putih yang tebal, dan menyerupai lengan biola atau sirip ikan hiu. Tahun ini, selain frekuensinya cukup rapat, sering pulamenerobos jantung Benua Australia sehingga ekornya leluasa melibas Sumatera Selatan dan jawa. 
Mengapa palung selatang bisa leluasa menerobos jantung Benua Australia? Penyebabnya adalah tekanan udara di Benua Australia terus turun dengan dratisnya sejak bulan April 1992 lalu, yang sebelumnya bergerak naik. Implikasinya, ossilasi selatan loyo, ENSO terpaksa kehilangan salah satu tenaga pembangkitnya dan berangsur beralih rupa menjadi El Nino. 
Samudera Hindia sejak pasca monsum musim panas tahun 1991 memiliki cadangan energi yang sangat besar. Limpahannya sangat menjamin keberadaan awan tebal dan cuaca buruk di atas Pulau Sumatera, para ahli sulit menerapkan apakah medan awan ini bagian dari sistim palung monsum panas atau bukan, sebab bipolarisasi tekanan udara antara Teluk Persia dan Australia sebagai ciri utama hadirnya sistim monsum tidak jelas wujudnya. 
Penyebab lain dari terjadinya tekanan rendah adalah keterlambatan laju pemerosotan ossilasi selatan dan besar variasi yang ada sampai menimbulkan depresiasi. Yang sebab musabahnya tidak diketahui, dimana ossilasi selatan berbalik haluan ditengah jalan menimbulkan fase puncak (peak fhase) ketika intensifikasi pemanasan terjadi di Pasifik Tengah dan bukan fase dewasa, tak kala intensifikasi itu terjadi di Pasifik Timur (Pantai Peru da Equador) yang menyebabkan kebanjiran hebat (musim hujan lebat) dan musim kemarau di Indonesia dan Australia.

Diterbitkan oleh Tabloid “SAINTEK ITM” Medan Edisi Maret 1997.
M. Anwar Siregar Geolog, pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer

TSUNAMI DAHSYAT ANCAM JAKARTA : Geologi Gempa

TSUNAMI DAHSYAT ANCAM JAKARTA 
Oleh : M. ANWAR SIREGAR 
Eskalasi gempa bumi masih terus berlangsung disegala penjuru permukaan bumi Nusantara, akibat giatnya gaya geologi endogen terus menerus membangun dan mendorong kegiatan blok batuan dengan adanya pemekaran di Samudera Hindia. 
Menggerakan lempeng-lempeng dunia yang ada disekitar wilayah Indonesia untuk terus melakukan tekanan dan penghancuran kerak bumi yang berakhir dengan rentetan gempa-gempa besar mengancam wilayah yang dianggap aman dari ancaman tsunami seperti kota Jakarta melalui strategis gempa berskala sedang hingga puncak tahapan satu telah dimulai dari Aceh-Nikobar menuju Yogya lalu sebagian Jateng dan Jabar kemudian wilayah Lampung dan Banten di Selat Sunda. 
Jakarta diperkirakan masuk tahapan kedua, bersiaplah. Peristiwa gempa besar yang terjadi di Pantai Barat Sumatera pada tahun 2004-2005 telah memberikan efek tekanan yang kuat terhadap Blok Patahan Jawa, karena arah gempa dan penyaluran energi seismic telah mendesak dan menyalurkan energi ke ruas-ruas patahan yang sudah lama tidak menghasilkan fenomena kegempaan besar di Selat Sunda. 
Terjadinya gempa bumi merusak dan disertai tsunami di Jawa dalam waktu dua hari, dari tanggal 17 Juli 2006 dengan tiga kali gelombang gempa cukup kuat dengan jarak episentrum cukup dekat ke daratan Jawa sekitar 100-150 km dengan kekuatan 6,8 Skala Richter (SR) dengan kedalaman 30 km. 
Sebenarnya adalah akibat dari kumpulan energi yang tertekan pada kejadian gempa Yoyakarta tanggal 27 Mei 2006, lalu menekan blok-blok batuan yang belum stabil dari berbagai rak tekanan, tegangan dan regangan dengan melalui jalur patahan kea rah Timurlaut, menuju kearah Jawa Barat dengan terjadi lagi gempa kedua yaitu tanggal 19 juli 2006 di Selat Sunda akibat belum stabilnya pergerakan lempeng dari akumulasi gempa Yogya dan Jawa Tengah serta Jawa Barat di Selatan Jawa. 
Kondisi geologi didaerah Jawa dan Sumatera merupakan zona pertemuan dua Lempeng Benua Indo-Australia dan Eurasia pada kedalaman lebih 30 km, yang diikuti tsunami karena focus gempa sangat dangkal dengan intensitas 6,8 SR (7,2 SR menurut USGS) sudah termasuk gempa kuat, pola sesar di zona subduksi ini adalah gerakan sesar naik dan mengalami deformasi keretakan besar dapat mencapai 100 km hingga 1000 km, untuk mengguncang wilayah yang luas. Gaya tekan menekan dalam blok batuan dipinggir perbatasan antara dua lempeng Benua itu dapat menyebabkan gempa, karena Bumi tidak membesar, maka diperlukan “ruang” yang cukup agar lempeng bias tetap aman ditempat dengan cara bergerak mendesak atau “mengusir” lempeng kecil seperti Lempeng Sunda. 
Selama “kelakuan” ini berlangsung, maka tidak ada wilayah yang aman atau luput dari ancaman gempa bumi. Sebagai bukti untuk menegaskan hal tersebut dapat dilihat dari bencana di Kota Agadir hanya berkekuatan sedang 5.8 SR, kota yang dianggap aman dari bencana gempa bias hancur. Begitu juga kota Meksiko akibat durasi kegempaan yang tinggi di Pantai Barat Amerika, kota Meksiko daerah aman dengan zonasi kegempaan III, seperti kota Jakarta ternyata hancur oleh kegempaan besar dengan kekuatan 8.0 Skala Richter. 
ANCAMAN TSUNAMI 
Mewaspadai fenomena kegempaan strategis yang dapat menghancurkan kota Jakarta yang meliputi areal yang sangat luas, dapat dilihat dari posisi geografis kota Jakarta yang berada di batas pertemuan konvergen antar lempeng-lempeng dunia yang saling bertumbukan. Yang merupakan sumber ancaman utama bagi kota Jakarta, baik dalam wujud gempa tektonik didaratan melalui keaktifan sesar-sesar Jawa dan tsunami dilautan melalui Pantai Barat dan gempa super vulkanik di Selat Sunda serta kegempaan yang terus menerus di Selatan Jawa. 
Yang mesti diwaspadai bagi kota Jakarta dan Lampung adalah sumber gempa yang terjadi di Lautan. Karena umumnya gempa di Indonesia selalu terjadi di Samudera Hindia yang selalu mengancam wilayah disekitarnya, rata-rata kedalaman gempa sekitar 40 km dibawah permukaan laut dengan efek goncangan dapat mencapai kawasanradius 100-300 km dengan intensitas kekuatan gempa diatas 6,5 SR. Telah diketahui juga, bahwa Laut Jawa tidak aman bagi tata ruang wilayah Jakarta, karena disekitar Kepulauan Seribu dapat dilihat adanya gejala patahan yang berbentuk garis lurus dengan patahan bercabang, dapat berfungsi sebagai sarana jalan bagi tsunami ke daratan pantai Utara Jakarta. 
Bila arah gempa menerus kearah Laut Jawa dari Selat Sunda, gejalannya telah dimulai pada gempa tanggal 19 Juli 2006 di Ujungkulon dengan kekuatan gempa 6,2 SR. Melihat arah kejadian gempa tanggal 19 Juli 2006, yang menyerong kearah Baratlaut dari arah Timurlaut ke Selat Sunda, dengan efek perambatan gelombang mencapai 200 kilometer ke daratan Jabotateka dengan kekuatan gempa antara 6-7 SR dengan posisi pusat gempa pada titik 6,54o Lintang Selatan dan 105,2o Bujur Timur, dengan episentrum di Selatan Ujungkulon di Selat Sunda (Sumber BMG), sudah termasuk gempa dangkal dengan kedalaman 48 km, dengan jarak ke kota Jakarta hanya sekitar 192 km, sangat dekat dan sepertinya ancaman tsunami sedang “mengincar” kota Jakarta, ini tidak jauh beda dengan kota Meksiko melalui durasi kegempaan yang terus menerus di Pantai Barat Amerika dan penumbukan antar lempeng benua dan penggerakan Lempeng Juan de Fuca dan Patahan San Andreas yang terus mengalami gangguan akibat gerak Lempeng Pasifik-Carolina di Amerika Serikat. 
Bila Terjadi lagi gempa disekitar Selat Sunda, dapat dipastikan akan menghasilkan gempa yang lebih besar, gempa yang terjadi dalam kurun 2 bulan ini dimulai dari gempa Yogya hingga ke Selat Sunda adalah awal dari gempa berskala lebih besar, dan kini telah mendesak kea rah Selatan di Selat Sunda diantara dua pulau besar Indonesia. Dapat menghasilkan gempa strategis bagi kawasan Propinsi Banten dan DKI Jakarta.
Strategis tsunami di Selat Sunda ke Jawa Barat bagian Tenggara melalui berbagaitekanan terhadap dua lempeng di bumi Indonesia (Sumber Dongeng Geologi)

GEMPA SELAT SUNDA 
Bahwa subduksi dapat menyebabkan gempa bumi bisa saja segera diikuti oleh gempa lainnya yang berlokasi dekat dalam patahan regional, yang kini baru saja terjadi di Selatan Jawa dengan tiga kali gelombang yang cukup kuat dan dua hari kemudian terjadi lagi gempa di Selat Sunda yang dapat menekan kestabilan dapur magma gunung berapi super Krakatau yang telah berumur 123 tahun dapat menghasilkan gempa bumi strategis pada kawasan subduksi dengan ketebalan lempeng yang sangat tipis dan daerah yang sering mengalami gempa adalah daerah kerentanan geologis yang tinggi. 
Kondisi gempa seperti ini sedang mengancam wilayah Jakarta hingga Baratl Laut Jawa, yang harus diwaspadai Jakarta, Sumatera Selatan serta Banten dan Lampung. Doprediksi gempa di Selat Sunda dapat mencapai kekuatan diatas 8.0 SR dengan pola sesar geser vertikal dan disertai tsunami dahsyat. Faktor kondisi strategis geologi seperti ini dapat saja terjadi yaitu : Pertama, belum stabilnya kondisi batuan dari gempa-gempa terdahulu dalam kurun 2 tahun terakhir di Pantai Barat Sumatera hingga ke Selatan Blok Patahan Jawa, efek gempa besar telah dimulai tahapan I di Aceh-Nikobar dan telah mendesak Lempeng Daratan Sumatera dan memicu 11 dari 21 lembah tektonik dengan konsentrasi pada patahan besar Sumatera pada segmen di Patahan Renun-Toru-Toba-Sumpur dengan adanya gempa di wilayah Tapanuli serta pada segmen di Patahan Semangko dan Selat Sunda yang embujur sepanjang Pulau Sumatera dengan terjadinya gempa berskala sedang di Lampung dan Bengkulu selama dua bulan terakhir ini. 
Kedua, penekanan Lempeng Samudera terhadap Lempeng Jawa dapat menambah tekanan energi gempa yang berada di sesar aktif Jawa akibat aktivitas dua lempeng di ujung Sumatera di Selat Sunda yang saling menumbuk dengan menimbulkan patahan naik di ujung Lempeng Eurasia, dapat menggangu dapur magma gunungapi Krakatau yang dapat menyebabkan instabilitas pada kawasan subduksi yang berjarak dekat. Dan jarak sesar di Jawa seperti Sesar Opak, Sesar Cimandiri dan Sesar Baribis antara 40-60 km. 
Ketiga, gempa tsunami masih berlangsung di wilayah Indonesia di Selat Sunda, dengan berbalik gerak tekanan energi seismik menuju ke Utara Laut Jawa dapat membangkitkan energi gempa terdahulu terutama pada patahan di Selat Sunda, hal ini dapat diketahui oleh pola pergerakan sesar geser naik di 2 (dua) ujung pulau, merupakan kelanjutan dari gempa disebelah Selatan Jawa dengan model penunjaman lempeng, dari Barat Lempeng Sumatera kearah Tenggara Selat Sunda menuju Selatan Pulau Jawa ke Timur arah Bali selanjutnya menuju NTT dan NTB, lalu berbalik arah lagi kearah Timur yang datang dari Lempeng Samudera Pasifik ke arah Lempeng Eurasia untuk melakukan tekanan lebih instensif di Selat Sunda, guna menekan blok batuan di wilayah Lampung dan Banten. 
Dengan mengalami deformasi patahan akan terus bergerak menimbulkan getaran gempa karena terus mencari keseimbangan baru. Syarat gempa tsunamis di Selat Sunda sudah memenuhi ketentuan gempa strategis karena adanya patahan hingga 4.000 m dengan palung dalam dengan kedalaman 6.500 meter serta pola sesar naik, fokus gempa dangkal dan magnitudo yang besar, terjadi dislokasi (perubahan arah pergerakan) di dasar laut, cukup untuk ”mengincar” Jakarta, lewat Tangerang dan Laut Jawa. 
Dipastikan Propinsi Banten belum mempersiapkan sistem peringatan dini dan memudahkan gelombang tsunami semakin jauh kedalam wilayah Jakarta. Dan diwilayah Jakarta itu banyak ditemukan kanal-kanal banjir yang berhubungan langsung dengan ke Teluk Jakarta, akan ada jalan tol bagi tsunami ke daerah dalam Jakarta.  
SIAPKAH JAKARTA 
Jakarta sudah harus mempersiapkan sistem pembangunan tata ruang wilayah yang berbasis kegempaan lokal dalam mengantisipasi kerawanan bencana gempa. Wilayah Jakarta termasuk kategori zonasi III bencana, bukan berarti aman terhadap bencana maut gempa dan terutama gempa tsunamis dari berbagai arah yang melingkupi daratan Jakarta yang terbuka dari arah Laut Jawa. Sudah siapkah Jakarta menghadapi ancaman bencana maut? 
Diterbitkan oleh Surat Kabar Harian ”WASPADA” Medan, tanggal 22 Juli 2006

Related Posts :