Nov 19, 2012

Tata Ruang Dinamis : Geologi Mitigasi

TATA RUANG SUMUT : DINAMIS DAN SINERGIS LINGKUNGAN 
Oleh : M. Anwar Siregar 

Memasuki milenium ketiga abad ke 21, Indonesia semakin rentan bencana geologi dan klimatologi, rakyat Indonesia dituntut untuk memahami semua kejadian bencana tersebut. Salah satu upaya perlu dilakukan rakyat terhadap pemerintah adalah menekan pemerintah untuk menata ruang kota yang berwawasan lingkungan bencana geologi dan klimatologi. 
RUANG GEOMORFOLOGI 
Pembangunan tata ruang detail wilayah di Sumut seharusnya mengikuti aturan zonasi kerawanan dengan mengidentifikasi bahaya dan risiko serta membagi zona-zona kerentanan sesuai karakteristik lingkungan tektonik dan geomorfologi tempat keberadaan suatu lokasi perencanaan tata ruang kota. 
Penataan ruang lingkungan bagi kota-kota di Sumatera Utara (Sumut) yang telah berkembang harus memperhitungkan jangka pemakaian dan penggunaan lahan lingkungan tektonik-geomorfologi dengan metode fleksibilitas geologi terhadap kawasan rawan bencana dengan merumuskan pola strategis keruangan yang dapat mengurangi jumlah korban dan kerugian akibat bencana (risk reduction). 
Sumut termasuk propinsi paling rawan bencana geologi yang terjadi setiap tahun, sehingga banyak sarana infrastruktur yang rusak dan lingkungan fisik banyak mengalami degradasi seperti rusaknya topografi lingkungan geomorfologi, meningkatnya erosi tanah, penurunan kualitas dan kuantitas air bersih sebagai sumber daya bagi suatu kota yang berdampak pada pengembangan penataan ruang geologi yang berkelanjutan semakin terbatas. 
Untuk mengendalikan kerusakan tersebut, maka penataan ruang harus mengintegrasikan tata ruang multi bencana lingkungan dengan mengkaji suatu area yang akan dikembangkan melalui pembagian aturan zonasi perencanaan komprehensif dengan bertumpuh pada kajian geohazard dan georisk sesuai dengan kondisi tata ruang suatu kota Sumut serta memperhitungkan dua faktor proses kebencanaan tektonik-geomorfologi dalam suatu tata ruang kota yang berwawasan bencana geologi, yaitu Faktor Proses Internal lingkungan tektonik-geomorfologi, yaitu tatanan kondisi geologi suatu tata guna lahan yang terbentuk dari berbagai ancaman bencana geologi dari dalam wilayah berupa lintasan patahan gempa tektonik, zona tektonik gunung berapi, dan pembagian satuan geomorfologi dari satuan daratan rendah-pesisir hingga ke daratan geomorfologi terjal. 
Faktor Proses Eksternal lingkungan tektonik geomorfologi, disesuaikan dalam perencanaan penataan bagian luar ruang suatu kota yang akan dikembangkan, memperhitungkan aspek kebencanaan geologi dari luar wilayah daratan satuan geomorfologi yaitu letak lingkungan tektonik yang berupa zona lintasan subduksi kegempaan besar dilautan, bentuk morfologi teluk/pesisir daratan terhadap gelombang tsunami, pusat jalur gunungapi di lautan dan didaratan serta pembagian satuan geomorfologi dari satuan pendataran pesisir pantai ke daratan topografi perbukitan rendah. 
DINAMIKA GEOHAZARD-RISK 
Dari faktor tersebut, maka disusun suatu master plan dinamika geohazard dan georisk tata ruang kota Sumut yang di integrasi dengan pembagian zonasi tata ruang multi bencana yaitu pertama, zonasi tata ruang percepatan puncak gempa batuan dasar yang bersifat lokal terhadap penataan ruang lingkungan untuk bangunan dan prasarana fisik yang disesuaikan dengan kondisi kemampuan bangunan pada skala kekuatan seismik lingkungan, sebagai panduan rancang bangun suatu kawasan untuk mengendalikan dampak kerusakan akibat adanya efek-efek likuafaksi dan ground shaking terhadap bangunan sekitarnya. 
Dalam zonasi percepatan puncak percepatan gempa batuan dasar yang perlu diperhitungkan antara lain mengidentifikasi daerah rawan diantara paling rawan, memperhitungkan lajur patahan/sesar beserta identifikasi rekahan baru akibat gempa bumi, daerah kegempaan aktif vulkanik, zona subduksi tsunami dan vulkanik dimasa lalu hinggga sekarang, terutama bentuk kekuatan tanah, kekar, lipatan dan retakan, pertumbuhan terumbu karang yang menceritakan sejarah kehancuran gempa terhadap tata ruang kota di masa lalu serta pengaturan bangunan dengan disain tahan gempa. 
Kedua, zonasi penggunaan tata ruang lahan yang existing dan berkelanjutan sesuai dengan data hasil pemetaan mikrozonasi kegempaan, merupakan standar penyusunan tata ruang RDTR (rencana detail tata ruang), RTRW (rencana tata ruang wilayah), RTBLRTH (rencana tata bina lingkungan dan ruang hijau terbuka) dan RUTRK (rencana umum tata ruang kota). 
Hingga saat ini, peta RDTR dari hasil kajian geohazard dan georisk serta pemetaan kerentanan geologis lokal yang tinggi masih di bawah 5 % dari seluruh Kota di Sumut dalam pembuatan peta spasial. Ketiga, pengaturan ekologi rehabilitasi lahan hijau akibat gempa dan gerakan tanah dalam jangka tertentu. Yang dijabarkan dalam bentuk penataan rehabilitasi suatu lahan yang telah mengalami gangguan bencana, fokus pada pengembangan rehabilitasi lahan yang berbasis mitigasi ruang hijau terbuka untuk zona sanggahan bencana dan bebas dari bangunan apapun, mitigasi pengembangan lahan untuk ekologi berkelanjutan seperti pertanian abadi, konservasi hutan abadi dan daerah tangkapan air bersih berkelanjutan. 
DINAMIS RUANG BENCANA 
Pembangunan tata ruang kota yang diintegrasi multi bencana belum cukup jika tidak “mendeteksi” arah dan proses bencana dalam kerangka ruang dan waktu. Deteksi bencana dapat dikembangkan dalam model pembangunan fisik tata ruang dibagi dua model struktur tata ruang mitigasi yaitu tata ruang mitigasi fisik (disain bangunan dan infrastruktur tahan gempa baik alamiah maupun buatan), serta tata ruang mitigasi non fisik (pemetaan kerentanan, peta resiko, relokasi tata ruang, zonasi tata ruang dan guna lahan, penyadaran masyarakat dan pelatihan atau simulasi bencana). 
Dari 28 Kota terdapat 65 persen kota dalam Propinsi Sumut yang memiliki karakter tata ruang sesuai dengan kondisi lingkungan internal yaitu dimana kota tersebut dikelilingi oleh dua bencana geologis dan bencana ikutan seperti letusan gunungapi dan lintasan patahan gempa bumi aktif dan gerakan tanah akan lebih intensif jika bumi terus berlangsung, contoh kota Brastagi, Kabanjahe, Sipirok, Sibolga, Panyabungan, Padangsidimpuan, Pakpak Barat, Simalungun, Sidikalang, Pematang Siantar dan Dairi. 
Begitu juga kota dengan tatanan geologi lingkungan eksternal dari ancaman luar daratan yaitu topografi rendah ke pantai rawan ancaman tsunami dan kegempaan strategis. Kota Sibolga, Madina, Gunung Sitoli, Teluk Dalam, TapTeng, Medan, Tanjung Balai, Sergai dan Langkat, berada pada jalur dua lintasan strategis tsunamis dari cekungan busur muka dan cekungan busur belakang melalui pantai Barat dan Timur yang mengelilingi Sumut. 
Kota-kota yang memiliki tatanan geologi seperti tersebut diatas seharusnya mempersiapkan tata ruang zonasi yang detail, dipastikan kota tersebut tidak ditemukan jalur-jalur evakuasi yang berupa ruang hijau terbuka yang mantap dan luas, jalur zonasi hijau khusus lokasi depot bahan makanan dan obat-obatan, buffer zone khusus dari ancaman letusan gunungapi dan tsunamis, jalur hijau abadi sebagai geo-biodiversity kota serta peta infratruktur fisik yang ideal, merangkum aspek peta tata ruang bawah dan atas permukaan. Tanya, Medan-Sumut ada tidak perencanaan tata ruang seperti ini? 
SINERGIS LINGKUNGAN 
Untuk mewujudkan tata ruang kota yang berketahanan dan berwawasan bencana lingkungan geologi di Sumut yaitu pertama, pemetaan tematik sumber daya alam dan ekologi lingkungan hidup matra darat-laut kepulauan (Nias-daratan Sumut), penelitian dan pengembangan geodesi-geomatika dan geologi dinamika, melakukan pemantauan peristiwa gempa melalui pemetaan sesar aktif yaitu diperlukan untuk pembuatan peta kerentanan geologis lokal seperti peta mikrozonasi gempa untuk tata ruang, peta tata ruang hijau terbuka seluas 30 persen tiap kecamatan kota/kabupaten dari total luas kota yang berfungsi sebagai daerah hijau publik, daerah hijau konservasi hutan lindung, daerah hijau pertanian agromarinpolitan, daerah resapan air bersih dan daerah cadangan rehabilitasi untuk pengembangan tata ruang berkelanjutan, daerah jalur evakuasi, daerah penyaluran atau lokasi pembuatan depot dan obat-obatan bantuan bencana, jalur dan taman evakuasi dan zona sanggahan bencana gunungapi, tsunami dan gerakan tanah serta dapat digunakan untuk bahan rujukan pengembangan peta infrastruktur fisik yang diperlukan untuk pembangunan prasarana jalan, jembatan, gedung dan kawasan perkantoran serta transportasi yang berbasis building code dengan melakukan kajian fleksibilitas geologi. 
Kedua, Pengembangan jaringan sistem deteksi dini bencana tsunami maupun seismograf ditingkat daerah dan masyarakat serta pemantapan koordinasi riset tata ruang antar wilayah. Ketiga, mempersiapkan kompabilitas dan optimalisasi pola ruang secara fleksibilitas dengan sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan untuk memperkuat sistim utama ekonomi ketika terjadi bencana dengan memperhitungkan aspek fisik spasial daya dukung lingkungan agar dapat bersinergi mencegah bencana lingkungan. 
Hal ini penting, walau dalam satu zona gempa, kondisi tanah dan geologi ditiap kota Sumut sangat berbeda. Tata ruang berketahanan bencana sudah harus diimplementasikan sekarang, dan jangan menambah beban mental traumatik menjadi Sumut bencana di negeri yang memang sudah “langganan” bencana. 

M. Anwar Siregar Geolog, Pemerhati Lingkungan dan Geosfer.Diterbitkan tgl 24 Oktober 2012

Related Posts :