Jan 2, 2013

Pertambangan Hijau berkelanjutan : Geologi Recources

PERTAMBANGAN HIJAU BERKELANJUTAN 
Oleh M. Anwar Siregar 
Kecenderungan dunia pertambangan, perminyakan dan energi di Indonesia saat ini mengarah ke persaingan global dan mementingkan dominasi bisnis, sehingga tidak luput dari berbagai persoalan konflik, mengabaikan berbagai kondisi fisik lingkungan dan semakin terpinggir dalam era kompetisi global.
MENGABAIKAN KONDISI 
Mengapa begitu banyak perusahaan pertambangan di Indonesia mengalami perlawanan dengan masyarakat tempat keberadaan usaha pertambangan itu diberikan izin? Dengan kata lainnya di benci? Bukan benci tapi rindu seperti lirik lagu Diana Nasution? Sehingga banyak perusahaan dicabut izinnya, pembakaran dan gulung tikar. Faktor utama adalah visi dan misi dari bisnis perusahaan pertambangan yang tidak memenuhi beberapa elemen penyebab, menjadi akar kebencian antara lain : Pertama, laporan amdal yang tidak akurat dan tidak berbasis tambang hijau. Contohnya, harus memperhatikan isi dan kalimat dari laporan seperti “Kata Tidak” jika menyangkut pembuang limbah ke laut dan ke sungai, faktor ini mengabaikan budaya dan kearifan lokal bahwa masyarakat mampu bertahan hidup dengan sumber kehidupan tersebut, dengan kata lainnya perusahaan harus melihat fakta kehidupan masyarakat di masa lalu dan masa sekarang yang memanfaatkan sungai sebagai bagian dari kehidupan sebelum kehadiran perusahaan, ada 3 kasus kejadian ini ditemukan dilokasi tambang Tabagsel. 
Kedua, ekonomi bisnis yang tidak berpihak kepada budaya dan adat masyarakat setempat yang tidak berbasis masyarakat lokal, misalnya pengembangan peningkatan kualitas sumber daya lokal yang tidak berbasis genius lokal untuk memberikan sumbangan pikiran, penelitian dan penciptaan pengelolaan limbah dan berbagai masalah yang diakibatkan oleh perusahaan pertambangan dan energi di Sumut. Jikapun ada, bantuan CD atau community development dengan dana yang sangat kecil. Kasus ini bisa di lihat pada perusahaan tambang besar yang tersebar di Kalimantan, Papua, Aceh, Sumut dan Riau. Selama perusahaan pertambangan-migas masih berorientasi pada bisnis mereka tetap mengabaikan hak-hak dan adat budaya masyarakat setempat akan menimbulkan suatu “gap” antara masyarakat, lingkungan dan stake holder. 
Akar permasalahan lainnya adalah posisi dan kondisi keterdapatan sumber daya geologi tambang di zona patahan geologi, faktor ini banyak belum diketahui oleh masyarakat, bahwa bencana gerakan tanah di daerah pertambangan merupakan akumulasi dari zona lemah bumi yang memberikan respon “seismik” berupa hantaran listrik dalam zona batuan yang tidak homogen melalui alat-alat berat pertambangan yang tertancap kedalam bumi sehingga morfologi mengalami perubahan kekuatan material, gelombang-gelombang seismik itu saling memberikan pukulan berupa sengatan listrik dan melalui proses waktu akan terjadi gerakan tanah. Kejadian ini pernah berlangsung di zona patahan Renun-Toru-Angkola dimana banyak ditemukan bahan tambang emas, perak dan lain-lain. Akar permasalahan terakhir yang menyebabkan terjadinya konflik di Batang Toru dan Mandailing Natal adalah teknologi limbah. 
TEKNOLOGI LIMBAH 
Dari permasalahan yang dikemukakan diatas, terlihat mengapa salah satu pertambangan besar yang ada di Sumut mengalami perlawanan keras sehingga terjadi konflik, amuk massa dan pembakaran sarana umum, bermuara dalam satu kondisi yaitu menyangkut protes kondisi lingkungan pembuangan limbah sisa pengelolaan tambang emas di sungai Batang Toru. 
Bahwa kendala sisa pembuangan air limbah berbagai pengelolaan bahan tambang yang tidak terpakaikan merupakan faktor sensitif bagi kehidupan masyarakat yang telah lama memanfaatkan keberadaan sungai ataupun laut sebagai sumber kehidupan. Bahwa belum ada satupun perusahaan tambang dan migas serta energi memiliki teknologi instalasi pengelolaan limbah terbaik dimuka bumi, yang ada hanya mampu mengurangi tingkah bahaya dari unsur-unsur zat beracun dalam kandungan pengelolaan emas, dan bahan tambang lainnya. 
Jika memang ada teknologi yang mampu menjadikan air sungai layak diminum tanpa terkontaminasi zat beracun seperti air minum bersih alamiah maka adalah suatu keajaiban, maka kehebatan teknologi Nuklir tidak berarti sama sekali? Kenapa? Sudah pasti suatu pertanyaan akan timbul, karena siapapun tahu, bahwa teknologi pengelolaan limbah zat radioaktifitas nuklir sangat rumit dan sampai saat ini belum ada satu negara adidaya mampu mengatasi bahaya radiasi ke lingkungan, mengurangi apalagi menghilangkan jejak-jejak di lingkungan darat, udara, laut dan bawah permukaan bumi. 
EKONOMI 
Industri pertambangan di Indonesia wajib memahami kondisi lingkungan, budaya dan sumber daya masyarakat setempat sebagai upaya menekan konflik, bisa dilakukan melalui pendekatan kebijakan ekonomi hijau, yaitu memberikan kesempatan bagi masyarakat sekitar untuk menyediakan bibit-bibit tumbuhan untuk rehabilitasi dan reklamasi tambang yang akan berkonstribusi sebagai penggerak ekonomi yang rendah karbon serta memberikan pelatihan tentang proses daur ulang berbagai bahan yang tidak terpakaikan yang diperlukan bagi perusahaan pertambangan dalam usaha menekan biaya operasional karyawan perusahaan dalam pekerjaan sehari-hari, tidak secara langsung telah meningkatkan kecerdasan masyarakat lokal, yang mungkin suatu kelak dapat menciptakan teknologi limbah yang lebih baik dari yang ada sekarang. 

M. Anwar Siregar Geolog, Pemerhati Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, Kerja di Tapsel. Tulisan ini Sudah dimuat pada Harian MEDAN BISNIS, Tgl 7 Desember 2012

Ironi Bahan Bakar Energi Listrik : Geologi Recources

IRONI BAHAN BAKAR ENERGI LISTRIK 
Oleh M. Anwar Siregar 

Pemerintah seharusnya belajar dari pengalaman kebijakan sebelumnya, setiap ada kebijakan kenaikan Tarif Dasar listrik (TDL) dipastikan akan menimbulkan dilematis kehidupan masyarakat ditengah sulitnya perekonomian saat ini, dan sudah banyak kegagalan pengelolaan pemanfaatan energi masih juga terulang, pemerintah harus memperbaiki aturan kebijakan iklim investasi pengelolaan dan undang-undang migas serta regulasi energi alternatif, seharusnya tidak tunduk begitu saja dan menguntungkan pihak asing atas berbagai tekanan yang bisa disebut energi kapitalisme. 
 “ENERGI” KAPITALISME 
Kenaikan harga bahan bakar energi listrik di Indonesia lebih dipengaruhi oleh sistem “energi” kapitalisme oleh faktor eksternal terutama gejolak Timur Tengah. Dan bukan rahasia lagi, bahwa energi kapitalisme memiliki akar kepentingan terhadap sumber-sumber energi di Indonesia, BBM merupakan konsumsi bahan bakar energi listrik yang masih mendominasi kebutuhan energi di dalam negeri yang mencapai > 90 % dan sebagian besar dari energi primer migas (minyak, solar, minyak tanah dan bensin) serta batu bara. 
Hingga ke tahun 2020 kebutuhan BBM untuk energi dalam negeri akan tumbuh 6,37 % per tahun dan diperkirakan bertahan 50 tahun, batubara 70 tahun dan paling kritis adalah pasokan minyak hanya bertahan 20 tahun lagi dan gejalanya sudah ada yaitu Indonesia bukan negara pengekspor minyak sejak tahun 2005 akibat penurunan produksi. 
Energi kapitalisme dapat juga dilihat dalam bentuk liberalisasi minyak yaitu amanat UU No. 22/ 2001 di sektor hilir untuk meningkatkan impor dan meninggirkan produk ekspor unggulan untuk memberikan jalan bagi swasta asing dalam “bermain” di sektor eceran. Ironisnya, pemerintah justrunya menghancurkan kemampuan perusahaan dalam negeri seperti BUMN, BUMD, Badan Usaha milik Swasta sehingga perusahaan negara terpaksa mengakuisisi anak perusahaan bila ingin mengikuti tender untuk mendapatkan konsesi minyak dan pertambangan di hilir maupun di hulu yang selama ini memberikan kekuatan bangsa dalam mengatasi krisis ekonomi sebagai sumber devisa. 
ENERGI “KONTRAPRODUKTIF” 
Indonesia kaya energi “pembatasan” alias energi alternatif yang belum dimanfaatkan dan sangat memerlukan sentuhan regulasi pemerintah agar siap diproduksi massal serta memiliki nilai ekonomis penghematan mencapai triliun rupiah dan ironisnya pemerintah justrunya menaikkan harga TDL. 
Tragisnya lagi, penghilangan subsidi BBM telah berulangkali dilakukan berbagai negara asing melalui forum kaukus ekonomi keuangan perbankan internasional seperti APEC, G 20, Bank Dunia dan IMF. Energi alternatif itu antara lain energi gambut sebagai sumber energi terbarukan dan cocok dikembangkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik di perdesaan tanpa bertumpuk pada energi BBM dengan potensi mencapai 8.801.500 hektar. Energi-energi dari panas matahari yaitu Energi Listrik Tenaga Surya, Energi Panas Air Laut, Energi Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang Laut Sistim Bendul (PLTGL-SB), Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang/kincir Angin Laut, Pembangkit Listrik Pasang Surut Air Laut/Tidal, Indonesia adalah negara tropis terbesar di garis khatulistiwa, pancaran sinar matahari yang mencapai wilayah Laut Indonesia sebesar 4.000.000.000.000.000 kilowatt jam tiap hari, jumlah yang sangat besar untuk pembangkit listrik di Indonesia yang belum dimanfaatkan. Yang jumlahnya dapat menyamai cadangan energi yang terkandung didalam perut bumi Indonesia sebesar 265 bilium barel minyak bumi. Serta Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), (PLTGA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap dari gambut maupun batubara dengan cadangan 12 juta dan Energi Biodisel dari tanaman hijau serta dan Energi Sampah Plastik. 
Jadi tunggu apalagi pemerintah harus meregulasi energi alternatif itu dalam bentuk produk massal. Kemauan politik pemerintah untuk mempersiapkan infrastruktur BBM ke BBG belum optimal dan menguntungkan negara asing dan menyebabkan kontraproduktif, dapat dilihat dari cara penggunaan pasokan energi oleh perusahaan negara dan industri kita, pertama, penggunaan BBM, pemerintah lebih memprioritaskan pemakaian BBM untuk semua industri dalam negeri sehingga pasokan gas semakin terabaikan dan infrastruktur semakin tertinggal, 
Kedua, akibat sulitnya pasokan gas ke pembangkit listrik, banyak mesin pembangkit listrik yang semula memakai bahan bakar gas, memerlukan biaya pergantian mesin-mesin listrik agar dapat mengunakan dan memakai bahan bakar solar. Ketiga, harga bahan bakar gas lebih murah di bandingkan BBM, pemakaian gas untuk PLN justrunya turun. Harga gas jauh lebih murah ketimbang harga minyak. Tragisnya pemerintah tidak memprioritaskan gas murah itu ke industri Indonesia malah menjualnya lebih murah lagi ke negara lain sebesar 2 dollar permmbtu dari harga 7-8 dolar permmbtu untuk industri dalam negeri, contohnya gas produksi Conoco-Philips di Blok Natuna, dijual hanya dengan harga 2 dolar permmbtu ke Petronas, sedangkan gas Lapangan Tangguh Papua, dijual dengan harga 3,5 dolar permmbtu ke Cina. 
Jelas menimbulkan sebuah ironi, disaat masyarakat membutuhkan energi listrik yang murah, kebijakan pemerintah justrunya tidak pro rakyat. Keempat, Indonesia adalah negara penghasil gas utama di dunia. Namun ironisnya, dalam jumlah pemakaian gas untuk pembangkit listrik masih kecil sekali, yaitu 15,99 persen. Jadi, penghematan energi tinggal pepesan kososng jika kebijakan tidak sesuai dengan realita kelebihan bangsa. 
ENERGI PENGHEMATAN 
Penghematan dan bonus menguntungkan dapat dilakukan beberapa cara tanpa ada kontraproduktif lagi yaitu Pertama, percepat penggunaan Panas Bumi, pemanfaatan sumber panas bumi setara dengan penghematan 88 juta barel minyak bumi per tahun atau 13 juta ton per tahun penggunaan batubara. Kajian Asosiasi Panas bumi Indonesia (API), pemanfaatan sumber panas bumi hingga 5.796 MW bisa menyelamatkan penerimaan negara sebesar 4,5 miliar Dolar AS per tahun dari penghematan BBM, atau 1,5 miliar Dolar AS per tahun dari penghematan batubara. 
Kenapa pembangkit listrik tenaga bumi tidak dikembangkan? Indonesia baru memanfaatkannya 3,1 persen. Potensi panas bumi di Indonesia kalau dipakai untuk pembangkit listrik, dapat menghasilkan listrik sebesar 27 Giga Watt. Ini artinya. Seandainya pemerintah memanfaatkan separuhnya saja, nicaya bisa menghemat subsidi puluhan triliun rupiah. Kedua, dengan mengganti pemakaian bahan bakar minyak dengan bahan bakar gas yang bisa menghemat Rp 11,89 Triliun. Ketiga, lakukan proteksi dan konsistensi pemakaian energi terbarukan untuk membuka lapangan kerja baru dalam mengurangi dan menekan jumlah kemiskinan pendapatan daerah dan individu. 
Keempat, pemerintah harus mereformasi diri lebih tegas dalam penggunaan energi terbarukan, dan bukan setengah hati memanfaatkan energi alternatif yang dapat mengejar ketertinggalan pembangunan fisik dan sumber daya manusia dengan memberikan kebebasan bagi masyarakat, industri dan transportasi dalam penggunaan energi terbarukan dengan sarana memadai dan merata ke seluruh wilayah Indonesia. 

M. Anwar Siregar Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan-Energi Geosfer, Kerja di Tapsel. Tulisan ini sudah diterbitkan di Harian MEDAN BISNIS, TGL 18 November 2012

Panas Bumi Lingkungan : Geologi Lingkungan

ENERGI PANAS BUMI RAMAH LINGKUNGAN 
Oleh : M. Anwar Siregar 

Peningkatan emisi transportasi, industri dan kebakaran hutan ke geosfer serta pembuangan sampah dilautan telah menimbulkan kecemasan bagi masyarakat dunia menghadapi sampah limbah radioaktif dan bahan beracun berbahaya yang telah dibuang dilautan. Dampaknya, perubahan iklim telah memicu kondisi lingkungan semakin rentan mengalami bencana alam. Energi panas bumi salah satu sumber daya energi yang dapat mengurangi beban lingkungan akibat bertambah parahnya kondisi lapisan ozon oleh dampak pemakaian bahan beracun seperti unsur CFC, CO2 dan rusaknya reaktor nuklir seperti yang kita lihat pada kejadian gempa Jepang 2011 yang menghancurkan dan membakar empat reaktor nuklir. 
FENOMENA EMISI CO2 
Belum hilang dalam ingatan kita, akibat perkembangan dan kemajuan industri telah memicu ketidakseimbangan tata ekologi lingkungan terutama perubahan kondisi sirkulasi udara-“degradasi” lapisan ozon di atmosfir oleh fenomena emisi kabut asap dari berbagai pembakaran hutan dan kendaraan telah mendorong Indonesia sebagai negara penghasil CO2 terbesar tiap tahun di Sumatera dan Kalimantan. 
Kabut asap ini menutup wilayah udara Asia Tenggara karena ada kerusakan lingkungan hutan seluas 1 juta hektar, menyebabkan hilangnya 1000 jenis spesies dan tumbuhan langka dan kerugian ekonomi perdagangan mencapai 6 milliar dollar US, serta musibah kecelakaan penerbangan dan Indonesia mengalami kerugian hutan akibat penggundulan dan pembakaran mencapai 40 trilun rupiah. 
Belum lagi potensi-potensi gambut muda yang ikut terbakar hingga memperparah kondisi lapisan udara Asia Tenggara. Fenomena emisi CO2 di Indonesia harus dianggap sebagai peringatan bahwa petaka geosfer sangat penting bagi keberlangsungan hidup makhluk di bumi dan terutama bagi Indonesia membutuhkan perhatian serius untuk mencegah kehilangan lebih jauh atas beberapa tata ruang pulau-pulau kecil yang terancam mengalami penenggelaman akibat perubahan iklim dan cuaca yang telah memicu peningkatan kenaikkan suhu permukaan air laut sehingga tinggi permukaan air laut bertambah dapat mencapai permukaan daratan bagi daerah dengan topografi ketinggian 5-12 meter di atas permukaan air laut. 
PARU-PARU BUMI 
Dari berbagai literatur yang ada, menyebutkan berdasarkan laporan Badan Energi Dunia (IEA), Indonesia berada di urutan ke 15 penyumbang emisi CO2. Pada tahun 2004, produksi emisi gas rumah kaca atau CO2 Indonesia sebesar 360 juta ton. Kendati industri energi di dalam negeri bukan penyumbang utama, namun diversifikasi energi dengan meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan yang ramah lingkungan akan menurunkan produksi CO2. 
Berkaitan dengan model iklim yang masih berubah secara dinamis, maka Negara kita merupakan daerah yang sangat penting berperan dalam mengurangi dampak efek emisi ke geosfera (bumi dan atmosfer), sebagai paru-paru Bumi, selain Brasil dan di khatulistiwa atau daerah yang masih banyak memiliki hutan hujan tropis. Paling tidak, bisa menekan efek dari pemanasan global. Ada tiga daerah utama di bumi yang dapat dikatakan sebagai paru-paru dunia karena potensinya untuk mengatur sirkulasi air dan udara, pengatur suhu bumi, penentu iklim, dan me-refresh bumi secara periodik. Ketiga daerah utama paru-paru bumi itu adalah Indonesia, Brazil, dan Afrika Tengah. Indonesia lebih berperan sebagai paru-paru dunia dibandingkan dengan dua negara lainnya. 
Sebab memiliki kondisi laut yang luas dan dangkal serta sinar Matahari berlimpah, sehingga konvensi air lebih aktif. Karena itu, negara kita sering kali mengalami bencana geologi dan klimatologi. Disinilah pentingnya pemanfaatan dan peningkatan potensi panas bumi dalam upaya mencegah sumber emisi CO2 di udara. Dilihat dari sisi pengembangan dan pemanfaatan panas bumi, merupakan peluang yang sangat besar. karena semakin tingginya persaingan pasokan energi dunia, dan kemungkinan bencana alam yang menghancurkan fasilitas pasokan energi, maka batasan-batasan emisi CO2 itu kedepan dapat saja berubah menjadi isu climate change proof bergandengan dengan percepatan penggunaan energi baru yang lebih ramah lingkungan, dan implementasi carbon capture storage (CCS) menjadi isu-isu yang relevan. 
Isu-isu tersebut juga merupakan bagian dari isu resilince to climate change issue yang diperlukan guna menghindari sisi politis dari isu perubahan iklim. Indonesia harus mengurangi peran energi fosil dalam komposisi penggunaan energi saat ini, dari 52% menjadi 20% pada tahun 2025, termasuk di dalamnya rencana peningkatan pemanfaatan energi panas bumi sebesar 5%. Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono pernah menyebutkan “bahwa Indonesia akan menjadi pengguna energi terbesar panas bumi”. Penggunaan energi panas bumi juga sejalan dengan target Pemerintah untuk mengurangi emisi karbon sebesar 26% pada tahun 2020. Dari pemanfaatan panas bumi, Indonesia dapat mengurangi emisi karbon hingga 17,3 juta ton per tahun. 
RAMAH LINGKUNGAN 
Ketahanan dan kebutuhan energi migas cukup besar dan terus naik menjadi isu Nasional, karena produksi sekarang semakin menurun, semakin terbatas, dan belum lagi beberapa peralatan teknologi di ladang eksplorasi migas semakin tertinggal, memerlukan investasi, waktu lama dan biaya yang sangat besar untuk pergantian serta sumber daya manusia dalam pengembangannya dan persaingan global dalam akses pasokan minyak yang semakin ketat, serta tuntutan komitmen respon atas perubahan iklim.

Gambar Potensi Panas Bumi Sibayak (sumber : Foto Dokumen Penulis

Potensi energi terbarukan khususnya panas bumi cukup besar dan tersebar diseluruh wilayah Indonesia dan merupakan salah faktor kemandirian energi yang harus dioptimalisasikan agar sisi pasokan energi yang harus berkesinambungan sehingga percepatan pemanfaatan panas bumi dan energi baru terbarukan lainnya menjadi isu yang strategis. dalam menjaga keamanan energi dan lingkungan kita. 
Panas bumi dapat memberikan andil untuk mengurangi kerusakan lingkungan dari emisi CO2 dengan berbagai keuntungan dan penghematan yang luarbiasa antara lain : Nilai keuntungan setara 91 barrel minyak atau 13 juta ton per tahun penggunaan batubara, 5,5 miliar Dolar AS per tahun dari penghematan BBM, atau 1,57 miliar Dolar AS per tahun dari penghematan batubara. 
Untuk mitigasi perubahan iklim, panas bumi dapat digunakan segala jenis energi listrik penerangan jalan raya, gedung, reaktor nuklir dan rumah tangga, transportasi, pendinginan, pemanasan ruangan, peralatan pertanian, peralatan rumah tangga, elektronik hiburan, kesehatan kedokteran, dan lain-lain 
Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah, dan stake holder harus bersinergis dalam mengupayakan target pengembangan energi panas bumi yang ramah lingkungan, mempersiapkan sumber-sumber daya manusia, teknologi dan penyesuaian kebijakan iklim investasi harga jual listrik dengan harga pasaran dunia serta peraturan undang-undang kemudahan perizinan, mentalitas yang bersih dan cepat dalam pelayanan sesuai dengan standar pelayanan maksimal. 

M. Anwar Siregar Geolog, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer, Tulisan ini sudah dimuat di Harian ANALISA MEDAN, 22 November 2012

Related Posts :