Mar 21, 2013

Investasi Bencana : Geologi Mitigasi


TATA RUANG INVESTASI BENCANA
Oleh M. Anwar Siregar

Hampir disetiap wilayah kota yang rawan bencana geologi dan klimatologi di Indonesia lebih mementingkan aspek pembangunan kawasan industri tanpa melakukan penelitian kelayakan fisik kerentanan informasi geologis, bukti itu sudah jelas terjadi sekarang, banyak kita lihat bangunan sekarang yang dibangun bukan pada daerah yang sesuai peruntukannya mengalami empat tipe ciri khas hasil gempa yaitu likuafaksi, efek goncangan berganda, fleksure dan gerakan tanah yang luas dan implikasi dimasa waktu tertentu akan ada a-seismik (tidak kaya gempa atau gerakan tanah lambat dengan luasan ruang bawah tanah yang luas) pada kawasan tersebut.
INVESTASI BAHAYA
Faktanya sudah pasti, Indonesia memang sudah sangat jelas sebagai negeri yang rawan bencana, 80% kota-kota di Indonesia menempatkan investasi [menanam modal] tata ruang kehidupannya berada di posisi rawan dari ancaman tsunami, 25 % kota menginvestasi modal sumber daya tata ruang lahan tanpa agunan cadangan zonasi wilayah pada daerah rawan patahan gempa bumi, 28 % kota dalam ancaman kebangkrutan bertemu langsung dengan tsunami, 85% kota di Indonesia dan Medan menempatkan tata ruang fisik dari ancaman banjir tahunan tanpa pertahanan struktural fisik dan alamiah, 12 % kota berani menginvestasikan tata ruang dengan risiko kerugian akibat berada di zona pelemparan zona erupsi gunungapi tanpa jaminan asuransi tata guna lahan untuk “tabungan” tata ruang kota dimasa mendatang.
Kajian informasi bencana tata lingkungan geologi komprehensif dalam pembangunan masih dianggap tidak penting, para investor bisnis luar negeri sangat membutuhkan detail pola tata ruang suatu kota sebelum melakukan investasi, sangat penting informasi ini untuk kajian rekonstruksi dan rehabilitasi bila suatu saat mengalami bencana. Banyak pemerintahan daerah Sumut mengabaikan hal ini dalam menata kota belum berlandaskan kepada pembangunan mitigasi lingkungan dalam ketataruangan yang humanis dengan alam dari ancaman dan kehancuran kota oleh bencana geologi dan kilimatologi, terbukti beberapa kota besar Sumatera Utara seperti Medan dan Tebing Tinggi berlangganan banjir.
Pembangunan atau pengembangan sebuah investasi kegiatan fisik di lingkungan yang geologinya tidak mampu mendukung atau menampung beban-beban pikul terhadap tanah diatasnya dapat menyebabkan bencana. Contohnya, pembangunan infrstruktur jalan tol dan penempatan pembangunan kanal banjir di Jakarta dan di Medan harus memahami keadaan karakteristik quarter lingkungan dimasa lalu sehingga Pemerintah di Sumut wajib mengkaji dan mengatur wilayah-wilayah (zoning regulation) rawan bencana longsoran tanah, banjir ataupun ancaman tsunami serta gunungapi diwilayah perkotaan dengan membentuk Peraturan Pemerintah untuk memperkuat landasan yuridisnya dan konsekwensi hukumnya jika terjadi pelanggaran
ETIKA INVESTASI
Etika perencanaan investasi dalam pembangunan tata ruang di Sumatera Utara dan Indonesia sangat memprihatinkan, daerah yang berfungsi keseimbangan alam seperti ekologi hutan, habis dan hancur di rusak dengan tidak mempedulikan etika lingkungan. Gejala ini kerusakan etika investasi [menanam bencana dalam bentuk kerusakan moral lingkungan] dapat dilihat dengan tumbuhnya perumahan-perumahan, perhotelan dan pembangunan jalan di daerah yang telah diidentifikasi daerah rawan banjir, daerah resapan dan keseimbangan air di sekitar Sibolangit, kawasan Kart di Deli Serdang, penghancuran hutan karet di daerah Padanglawas Utara dan penghancuran tumbuhan bakau disepanjang Pantai Timur serta peledakan terumbu karang di Pantai Barat Sumatera Utara.
ANALISIS INVESTASI SUMUT
Pemerintahan di Sumut masih terkesan setengah hati, dalam menginvestasikan suatu RTH [ruang terbuka hijau] sehinga menyebabkan timbulnya kawasan kumuh, sumber “lingkaran setan” bencana lingkungan dalam penataan ruang fisik perkotaan yang berdampak pada kerentanan dan kerawanan sosial yang tinggi.
Kebanyakan pada kawasan urban kumuh yang tidak ditata dengan baik dan berinteraksi dengan kawasan pertumbuhan baru, melanggar zona hijau penyebab banjir tahunan. Lihat saja tata ruang hijau yang berimpit langsung dengan kawasan “terlarang” di kota Medan, Sibolangit, Tarutung dan Parapat, kota-kota tersebut diapit dan dibelah sungai-sungai besar dan bermuara ke Laut atau Danau Kawah. Selain itu, penempatan fisik kota masih dan berada dalam koridor maut bahaya geologi, terdapat 95 persen kota besar Sumatera Utara mendeposit bahaya tata ruang lingkungan dari ancaman bencana geologi dan klimatologi yaitu berada dalam radius 25-85 km di ruas patahan besar Sumatera dan diapit 3-4 sungai utama dengan 15 anak sungai yang membelah tata ruang lingkungan fisik.
Bertitik tolak dari fokus pemahaman bahaya yang dapat menyebabkan bencana lingkungan geologi sebagai dasar kajian pengembangan fisik tata ruang lingkungan perkotaan maka konsep-konsep pembangunan fisik keruangan di Sumatera Utara sudah harus berorientasi pada mitigasi bencana lingkungan seperti penyusunan tata ruang infrastruktur berbasis geologi, mitigasi bencana berbasis komunitas/masyarakat, mitigasi antar pulau-darat, dapat dilaksanakan secara konsisten dengan komitmen yang kuat dari berbagai komponen.
Diperkirakan ada empat faktor intraksi utama apabila kajian geohazard-risk dalam mengembangkan investasi tata ruang kota berbasis bencana apabila diabaikan dan menimbulkan bencanabencana tersebut serta menyebabkan kerugian besar investasi bagi pemerintah, yaitu: Para perencana tata ruang kurang memahami terhadap karakteristik bahaya (hazards). Sikap atau perilaku yang mengakibatkan penurunan kualitas.  Sumberdaya alam (vulnerability). Kurangnya informasi/peringatan dini (early warning) yang menyebabkan ketidaksiapsiagaan masyarakat. Ketidakberdayaan/ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya.
Beberapa kota di Sumatera Utara telah dianalisis memiliki potensi investasi tersebut diatas [baca : potensi menanam modal bahaya] bencana di tahun 2013, yang berada dalam ancaman bencana gempa berulangkali seperti Tapanuli Selatan, Taput, Tapteng, Tanah Karo, Langkat, Nias, Gunung Sitoli, Nias Selatan, Humbahas, Dairi. Investasi bencana tsunami kategori resiko sangat tinggi berada di wilayah Madina, seluruh Kabupaten di Nias, Sibolga, Tapanuli Selatan, dan Tapteng serta dampak gerakan tanah tinggi di Deli Serdang, Asahan, Batubara, Palas, Paluta, Tapsel dan Simalungun serta banjir di kota Medan [gejala sudah dimulai], Tebing Tinggi, Sergai, Tanjung Balai atau Tarutung. Maupun bahaya letusan gunung api antara lain di Tapsel [sudah ada gejala bau belerang lebih menyengat di bulan Januari 2013], Taput, Tanah Karo, Tobasa dan Mandailing Natal.
LANGKAH AMAN INVESTASI
Langkah-langkah investasi untuk mengamankan tata ruang kota dan mengembangkan “lingkungan perkotaan yang aman” (Safer City Process) dalam mitigasi ketataruangan hunian yang aman bagi masyarakat di kota adalah 1. Memperkirakan kebutuhan investasi [menanam modal asuransi] yang harus dikembangkan untuk “keselamatan perkotaan” sebagai tempat tinggal, 2. Membentuk kerjasama antara berbagai pihak, baik dari pemerintah-swasta dan masyarakat sebagai investasi yang menguntungkan dalam jangka panjang, dan 3. Memformulasikan dan mengimplementasikan rencana tindak (action plan) kolaborasi antara berbagai pihak. Rencana ini harus disusun berdasarkan prioritas, tujuan, indikator, kerangka waktu dan sistem pemantauan (sumber, modifikasi dari world habitat day, 2008).
Ringkasnya pemahaman tentang ancaman bencana dan bahaya bagi keberlangsungan investasi tata ruang kota dimasa depan sangat penting meliputi pengetahuan secara menyeluruh tentang halhal sebagai berikut : 1. Bagaimana ancaman bahaya yang akan timbul. 2. Tingkat kemungkinan terjadinya bencana serta seberapa besar skalanya. 3. Mekanisme perusakan secara fisik. 4. Sektor dan kegiatan apa saja yang akan sangat terpengaruh atas kejadian bencana dalam tata ruang. 5. Dampak dari kerusakan, jumlah kerugian yang diakibatkan.
Diharapkan pemerintah Sumatera Utara yang daerahnya sudah merasakan “keganasan” alam dapat mereformasi semua data dan pembuatan peta RTRW, RTDR, RTH dan sistim pengendalian bencana seperti teknologi pemantauan bencana, bertujuan meminimalkan jumlah kehancuran fisik dan bencana finansial sehingga masyarakat tidak semakin traumatik hidup di negeri bencana.

M. Anwar Siregar
Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang  Lingkungan dan Geosfer. Tulisan ini sudah diterbitkan di HARIAN ANALISA MEDAN, 28 Januari 2013

Ironi RTH : Geologi Lingkungan



IRONI EKOLOGI RTH
Oleh M. Anwar Siregar
Kurun waktu tiga puluh tahun terakhir telah meningkatkan kesadaran dan keprihatinan terhadap dampak yang sebabkan oleh umat manusia atas planet kita. Bahwa masyarakat industri modern telah menyebab akar krisis ekologi telah menimpa kondisi lingkungan sekarang menjadi suatu bencana, misalnya bencana banjir musiman yang melanda sebagian besar wilayah kota di Indonesia . Menurut beberapa literatur penelitian menyebutkan ada lima faktor utama penyebabnya yaitu jumlah penduduk dunia, modal, makanan, konsumsi sumber daya yang tidak bisa diperbaharui [termasuk energi] serta polusi, tumbuh secara eksponesial dengan laju yang sangat cepat.
Sudah sejak tahun 1960-an kesadaran lingkungan telah mendorong manusia untuk memahami masalah kondisi dan perlindungan ekologis lingkungan. Ada kesadaran bahwa manusia tidak hanya mengancam jaringan kehidupan bumi tetapi juga mengancam kelangsungan hidup mereka yang telah melampaui daya dukung biosfer planet untuk menyerap, memperkaya dan mendaur ulang. Masa depan kawasan ekologi bergantung pada kemauan manusia dalam melestarikan dan membutuhkan kemauan untuk berbagai perilaku hidup serta menata ulang gaya teknologi secara radikal.
KONSUMSI PERTUMBUHAN
Pertumbuhan jumlah penduduk, pola konsumsi yang berlebihan dan aktivitas ekonomi yang terkait memberikan tekanan besar pada sistem daya dukung lingkungan bumi. Tuntutan manusia terhadap lingkungan yang semakin besar menimbulkan degradasi tanah, kerusakan akibat polusi yang dahsyat, hilangnya keanekaragaman hayati dan penggundulan hutan yang semakin luas. Tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa alam sudah menunjukkan batas-batasnya kepada tujuan manusia adalah susutnya cadangan air, yang mengakibatkan kekurangan air di beberapa tempat, terjadinya peningkatan gelombang panas, turunnya hasil usaha panenan, dan beberapa bentuk kerusakan lingkungan yang dahsyat akibat krisis ekologi hijau antara lain munculnya gas-gas penghasil efek rumah kaca dengan laju yang terlalu tinggi untuk bisa diserap lautan-lautan dunia.
Globalisasi industri telah membawa perkembangan sosial ekonomi maupun fisik pada tata ruang perkotaan dan antar wilayah di berbagai kota di Indonesia, konsumsi pertumbuhan kebutuhan primer dan sekunder talah membawa berbagai dampak bencana. Hal ini tercermin antara lain dengan semakin meningkatnya permintaan lahan untuk kawasan industri dan pemukiman-pemukiman baru, sebagai konsekuensi dari laju peningkatan penanaman modal berbagai usaha dan jasa, yang suatu kelak menimbulkan ironisasi bencana yang kini melanda berbagai masyarakat dan tata ruang kota di Indonesia.
IRONI RTH
Akibat laju konsumsi pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan manusia berdampak pada kerusakan ekologi ruang terbuka hijau [ RTH] yang seharusnya berfungsi sebagai ruang terbuka dengan meminimalisir interior fisik, kerusakan juga diakibatkan oleh beralihfungsinya lahan pertanian abadi, pengurangan dan pembetonan hutan DAS dan pembentukan kawasan tata ruang kumuh di bantaran DAS, perubahan fisik hutan mangrove, berkurangnya taman hutan raya dan taman kota, terbatasnya peremajaan hutan konservasi untuk segala keperluan kehidupan.
Dilihat dari perubahan DAS, yang menyebabkan ironi karena ketidakmampuan pemerintah mempertahankan fungsi disekitar DAS menjadi kawasan konstruksi pondasi sebuah gedung tertentu dan banyak ditemukan di kota-kota besar di Indonesia karena DAS memiliki dua fungsi wilayah dan telah dianggap tidak penting bagi sebagian masyarakat dan maupun egosentris bisnis yaitu wilayah peresapan curah hujan dan wilayah yang berfungsi sebagai pengatusan [dranaise], contoh langganan banjir diwilayah ini terdapat di Pantai Indah Kapuk [Jakarta] dan sekitar Medan Maimun.
Yang lebih ironis lagi, sudah diperkuat dalam UU No. 41 tahun 1999 yang menegaskan bahwa hutan dalam satu DAS adalah 30 persen. Namun yang terjadi, hutan tetap mengalami penggundulan sehingga tidak mampu mencegah banjir. Memang jika kita lihat fungsi hutan disekitar DAS hanya dapat mengurangi banjir pada curah hujan sedang [Dunne & Leopold, 1978], namun pengamatan penulis dalam pemetaan gerakan tanah dan banjir dapat mengurangi efek sampingan yaitu erosi yang menyebabkan pendangkalan di sungai atau saluran sungai agar lancar mengalirkan air dan tidak menbentuk cekungan kedalam tebing.
Beberapa pemukiman dalam suatu tindakan iklan pemasaran bisnis perumahan menyebutkan, bahwa daerah kawasan hunian baru yang mereka bangun merupakan daerah bebas banjir. Apakah mereka tidak tahu atau memang pura-pura tidak tahu sehingga menyebabkan kegetiran bencana? Kawasan hunian berupa perumahan di pinggiran kota besar biasanya adalah kawasan ruang hijau dari unsur tata guna lahan pertanian dan hutan. Semua sudah tahu bahwa fungsi ekologi hutan adalah menjaga kontinuitas aliran, karena hutan dapat mengatur tata air yaitu menampung air pada musim penghujan dan mengalir pada musim kemarau. Sedang dari alih fungsi pertanian dapat dilihat dari gambaran ekologi tumbuhan tanaman keras ke tanaman musiman yang tidak cukup signifikan dalam meredam banjir dan gerakan tanah.
Ada lagi ironi bagi RTH yang seharusnya sebagai pengendali kerusakan global yaitu penggunaan situ dan rawa untuk pemukiman yang ditutup oleh proses urugan atau pemadatan tanah sehingga elasitas pemadatan tidak akan pernah mendukung kekuatan tanah terhadap beban pondasi diatasnya karena kehilangan keseimbangan “hijau” yaitu akibat kehilangan aliran permukaan sehingga limpasan dari bagian hulu tidak mempunyai tempat lagi untuk transit dan langsung mengalir dan menambah beban aliran disekitarnya sehingga menyebabkan banjir di kawasan pemukiman.
Ironi kebijakan tata ruang terbuka hijau [RTH] dari pemerintahan di Indonesia masih setengah hati dalam menjalankan penegakkan amanah UU No 26 tentang tata ruang terbuka hijau, yang harus menyediakan 30 persen atau 3.000 hektar lahan RTH tertekan oleh berbagai mekanisme faktor eksternal. Salah satunya adalah faktor ekonomi pasar, yang mempengaruhi pola pikir dan perilaku dalam mendapatkan keuntungan sesaat sehingga mengagunkan tanah persawahan dan tanah perkebunan di perbukitan untuk dijadikan komoditas menguntungkan dalam bentuk jual beli tanah, yaitu pengkaplingan untuk perubahan peruntukan lahan.
IRONI DUKUNGAN
Contoh ini, telah banyak kita lihat di Kabupaten pemekaran di Indonesia, dari kondisi realitas desa menuju kehidupan pembangunan kota sehingga banyak lahan yang tadi dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan beralih fungsi fisik dan memanfaatkan harga tanah melambung tinggi. Dalam masyarakat yang terbuka dan masuknya ekonomi uang yang menguntungkan bagi petani sehingga strategi perluasan RTH menjadi absurd karena ketidakadaan dukungan yang kuat dari masyarakat.
Produk akhir dari perencanaan tata ruang terbuka hijau yang baik tidak selalu menghasilkan tata ruang yang baik tanpa ada dukungan oleh stake holder, pemerintah dan masyarakat dengan satu visi dan misi yang handal, di dukung oleh kemampuan SDM Aparatur dan SDM masyarakat untuk melakukan pengawasan dan pengendalian kebijakan pembangunan tata ruang terbuka hijau sehingga mampu menekan berbagai mekanisme pembangunan ekonomi yang tidak berwawasan lingkungan.

M. Anwar Siregar
Geologist Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer. Tulisan ini sudah diterbitkan di HARIAN ANALISA MEDAN, Tgl  03 maret 2013

Introspeksi Etika Pembangunan : Geologi Lingkungan

BENCANA BANJIR : INTROSPEKSI ETIKA PEMBANGUNAN
Oleh M. Anwar Siregar

Bencana banjir di Indonesia kini merupakan pemandangan setiap hari yang disuguhkan oleh “sarapan” berbagai media di tanah air, lokasi kejadian ada kalanya di tempat yang sama seperti yang kita lihat di Jakarta, Medan dan Padang setiap tahun, bahwa hilangnya keseimbangan alam dapat terjadi dan dipengaruhi oleh kegiatan manusia, sehingga menimbulkan bencana alam banjir. Contoh yang paling jelas dan sudah banyak diketahui tetapi masih berulangkali dilakukan yaitu penebangan hutan yang semena-mena dengan menganggap hutan sebagai sumber daya tidak terbatas.
Hutan di Indonesia kini semakin terbatas serta memasuki “sakratul maut”, dan ruang banjir kini semakin meluas ke kawasan pemukiman elite, gambaran banjir tersebut dapat dilihat di kota besar Jakarta, Medan dan Makassar akibat kemajuan pembangunan fisik non ruang hijau terbuka atau RTH.
RUANG BANJIR
Terkait dengan proses-proses yang menyebabkan banjir, tidak terlepas akibat dari gangguan tata ruang siklus geohidrologi, yang ditimbulkan dari berbagai aktivitas pembangunan fisik terutama oleh intervensi dari manusia dapat menyebabkan bencana banjir. Banjir merupakan bencana alam sering terjadi di Medan dan Jakarta, merupakan suatu peristiwa di mana air meluap ke daratan lebih rendah hingga mendekati daratan yang tinggi dengan batas tertentu, dapat menyebabkan dan menimbulkan kerugian fisik dan berdampak pada bidang sosial dan ekonomi.
Ruang-ruang yang menyebabkan terjadinya banjir di kota besar antara lain beralih fungsinya DAS menjadi kawasan hunian kumuh, yaitu sebagai wilayah fungsi peresapan dan wilayah pengatusan [dranaise], sehingga menimbulkan banjir-banjir lokal karena tersumbatnya saluran drainase oleh sampah rumah tangga, galian-galian pipa di sekitar bantaran sungai yang tidak kunjung selesai oleh kegiatan pembangunan yang dilaksanakan tidak terpadu antara satu sektor dengan sektor lainnya
Beralih fungsinya kawasan resapan air di hulu hutan oleh berbagai peruntukkan, yang berperan penting dalam siklus hidrologi di suatu DAS, ketika terjadi hujan maka banjir merata di semua tempat dengan intensitas yang tinggi, vegetasi penutup yang ada tidak lagi mampu mengendalikan aliran permukaan dan di dukung geologi topografi terjal di daerah hulu yang berubah menjadi datar di daerah hilir sehingga menjadi sangat responsibilitas dalam mengalirkan aliran permukaan, menyebabkan banjir dan meluap menggenangi daerah sekitarnya.
Peningkatan pertumbuhan penduduk adalah salah satu faktor perusak sistim tatanan aliran sungai dengan beralih fungsinya tata guna lahan pada lereng hutan yang terjal sebagai kawasan resapan, sebagai contoh daerah hutan pada morfologi agak terjal biasanya di tanam oleh tanaman keras berubah menjadi areal persawahan oleh tanaman musiman. Maka akhir dari perilaku ini adalah terjadinya penderasan air menuju ke daratan rendah, tak terbendung dan menimbulkan bencana banjir bandang tiap tahun
EGOSENTRIS ETIKA
Yang membuat semakin rawan kondisi suatu kota bukan saja faktor alam, melainkan juga egois dan etika manusia yang mendiami suatu lingkungan. Esensi kritis diri dalam penegakkan aturan perencanaan serta perundang-undangan hukum tata ruang dan lingkungan serta egosentris dalam pemanfaatan tata ruang yang menyebabkan banjir dikondisikan oleh sosial budaya masyarakat yang serakah akibat dorongan libido ekonomi manusia Indonesia dalam memanfaatkan kondisi alam dan tidak mampu menjaga hubungan harmonisasi dengan alam akibat rasionalitas ekonomi politik yang membudaya dalam bentuk kehidupan konsumtif pembangunan.
Contoh kasus bencana banjir di kawasan Puncak [Jawa Barat] dan kawasan inti kota besar dan kecil berkembang di Medan, Padang serta Semarang berubah menjadi kawasan heritage-kuliner, disebabkan ketidakmampuan manusia Indonesia menyiapkan pembangunan suatu tata ruang yang ideal bagi sebuah kota yang aman, menata kelestarian ruang ekologi banjir, membangun sumber daya geo-biodiversity serta menegakan aturan zonasi fisik yang bersifat efek memaksa, hanya ‘indah diatas kertas”. Pengorbanan daerah hijau yang sepantasnya sebagai keseimbangan alam berakhir pada kemauan komoditas (fetisisme].
Keadaan ini masih diperparah dengan rendahnya etika kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian RTH oleh berbagai latar belakang pendidikan yang tinggi dan mereka pasti paham arti pentingnya sistim ekologi hijau sebagai pengendali banjir, yang justrunya menunjukkan ego kepentingan penyebab utama kerusakan lingkungan, tingkat laku dapat diperlihatkan oleh pembangunan vila-vila mewah di kawasan Puncak menghancurkan perkebunan teh, di daerah kawasan pantai dengan menghancurkan hutan mangrove berfungsi sebagai pemecah gelombang tsunami, namun dianggap “angin” dengan prinsip keuntungan bisnis lebih dulu dan kerugian alam urusan belakangan di pikirkan sehingga kita melihat berbagai “danau baru” di lingkungan kehidupan kita.
Egosentris masih dapat dilihat dari kondisi sosial ekonomi kehidupan masyarakat dalam perencanaan tata ruang kota yang tidak berorientasi kepada kemampuan pertumbuhan ekonomi yang dapat menimbulkan konflik horizontal karena wujud kota hanya ditekankan kepada kemampuan masyarakat yang telah mapan sehingga tidak akan terpengaruhi perubahan. Dimana sistim penunjang hanya berorientasi kepada kalangan masyarakat ekonomi mampu sehingga menjadikan kota sangat egois, kurang manusiawi dan menimbulkan kecemburuan sosial, tingkat keamanan berkurang. Dampak ini, mendorong masyarakat kecil semakin termarginal dan membentuk pola tata ruang kumuh, dapat menimbulkan ancaman bencana, didorong ketidakmampuan mendapatkan sumber kehidupan layak dengan bertempat di kawasan dan bantaran ruang banjir seperti di kawasan hutan dan bantaran daerah aliran sungai [DAS].
INTROSPEKSI PEMBANGUNAN
Ada beberapa introspeksi agar menjadikan wujud etika yang baik dalam membangun tata ruang banjir antara lain : pertama, mempertahankan dan meningkatkan lahan pertanian subur menjadi lahan pertanian abadi sebagai kawasan RTH yang banyak terdapat di jalur-jalur transportasi antar wilayah.
Kedua, izin pembangunan yang harus dipatuhi oleh segenap stake holder, pemerintah dan masyarakat agar terjadi keserasian peraturan daerah yang telah ditetapkan bila suatu peruntukan lahan telah ditetapkan sebagai zona kawasan terbuka hijau sebagai zona sanggahan bencana dan begitu juga sebaliknya sebagai daerah yang diijinkan untuk kawasan pemukiman.
Ketiga, kebijakan penegakan hukum yang harus tegas dan adil bagi semua di mata hukum, bukan indah diatas kertas. Keempat, peningkatan pengetahuan masyarakat yang kurang sadar akan bahaya banjir lingkungan terus ditingkatkan serta kelima, pemerataan pembangunan untuk semua rakyat harus menjadi introspeksi bagi pemerintah agar tidak terjadi berbagai konflik rakyat dengan pemerintah.
introspeksi ini perlu dibudayakanh agar efek bencana banjir dapat dikendalikan dan peran pemerintah agar dapat menekan egosentris etika agar ditemukan keselarasan, tetapi itu yang terjadi dan berlangsung sampai sekarang, banjir tiada surut tanpa tahun terlewat, kerugian dan kemiskinan terus bertambah. Adakah anda telah sedia payung sebelum hujan? 
M. Anwar Siregar
Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, Tulisan ini sudah diterbitkan di HARIAN "ANALISA" MEDAN, Tgl 10 Maret 2013

Menuju Medan Kota Bebas Banjir : Geologi Lingkungan

MENUJU MEDAN KOTA BEBAS BANJIR
Oleh M. Anwar Siregar

Masalah lingkungan yang sangat ini kita hadapi adalah merupakan masalah ekologi lingkungan manusia yang timbul karena perubahan lingkungan yang menyebabkan lingkungan itu tidak sesuai lagi untuk mendukung kehidupan manusia karena daya dukung lingkungan telah mengalami kerusakan. Masalah lingkungan terutama pemanasan global, akibat efek energi terhadap lingkungan, dapat juga disebabkan oleh penataan ruang hijau terbuka yang berkurang dan kini menjadi “PR” bagi kota-kota besar di Indonesia, salah satunya kota Medan, harus merefleksikan keadaan tersebut agar menjadi kota yang layak dihuni, humanis dengan lingkungan bagi 10 juta penduduknya.
BERBASIS EKOLOGI BIOPORI
Pembangunan ekologi hijau di kota Medan memerlukan perencanaan berkelanjutan agar kota ini menjadi kota yang layak di huni, harmonisasi dengan ekologi hijau terbuka yaitu pembangunan ruang hijau terbuka sebagai upaya solusi mitigasi dini, dikonsentrasikan sebagai kota berbasis bencana ekologi biopori.
Solusi tersebut, untuk mengatasi banjir dengan menata kawasan hijau dipinggiran sungai menuju ke inti kota. Tata ruang hijau dapat difungsikan di kawasan pintu gerbang perbatasan Medan sekitarnya, untuk mencegah berkurangnya daerah rawa-rawa, serta mengidentifikasi wilayah itu apakah daerah rawan zona lintasan banjir, banjir rob, banjir raksasa (tsunamis) ataukah zona wilayah rawan jangkauan erupsi banjir lava-lahar hujan gunungapi Sibayak dan Sinabung ke wilayah Kota Medan dalam rangka mereduksi dampak bencana fisik dan alamiah kepada penduduk yang datang secara berkala.
Selain menata tata ruang hijau untuk kawasan banjir maka Medan harus menjadi negeri biopori terbanyak di Indonesia, yang terbukti salah satu dapat mencegah dan mengurangi dampak banjir akibat keterbatasan lahan hijau, biopori dapat digunakan untuk mencegah rembesan air dan mengurangi kekeringan air akibat tingkat keakaran pohon hijau mengalami kondisi distabilitas oleh konstruksi beton. Fungsi biopori dapat memberikan berbagai keuntungan bagi kelanjutan tata ruang air dan siklus air bersih berkelanjutan, geohidrologi air akan berjalan lancar, memberikan efek sampingan yaitu terjadi keseimbangan dan kekuatan tanah tetap stabil, sehingga bangunan diatasnya tidak mengalami gejala fleksure dan gerakan tanah.
Namun saat ini, RTH di Medan tersedia seluas 10 persen dari yang diamanahkan UU tahun 2006 minimal 30 persen atau sekitar 3.000 ha, kawasan RTH dapat difungsikan sebagai kawasan biopori, karena Medan memiliki tingkat curah hujan yang tinggi, sehingga memerlukan rongga-rongga tanah yang terbuka, sebagai alternatif terbaik dari pembuatan drainase yang sering mengalami penyumbatan penyebab genangan air dan banjir serta tingkat kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan masih rendah.
KOTA BERBASIS AIR
Potensi bencana banjir masih mengancam Medan di masa mendatang, strategis ancaman banjir kiriman dan kemajuan pembangunan fisik akibat laju peningkatan prasarana khususnya dibidang Jalan, maka pemkot Medan harus memperbanyak ruang-ruang kanal banjir agar terkenal menjadi kota berbasis air, selain kota berbasis ekologi biopori, dengan memadukan sistim zonasi sanggahan RTH agar layak sebagai kota peraih Adipura.
Salah satu solusi kota berbasis air dengan melakukan studi banding di kota-kota yang memiliki karakteristik geologi banjir. Sebab, tata ruang topografi kota Medan memiliki ketinggian sekitar 25 meter di atas permukaan air laut (dpl), Medan diidentifikasi memiliki 90 titik rawan genangan air mencapai lebih 1.570 ha dan memiliki tiga jalur banjir bandang, terbentang dari utara hingga ke inti kota yang diperlihatkan oleh Sungai Belawan dan dari selatan ke inti kota melalui bagian baratdaya oleh Sungai Deli dan terus berputar-putar ke sungai Percut di bagian timur menuju ke inti kota bagaikan tsunami. Dan kanal banjir yang dibangun di kawasan Selatan Medan tidak akan mampu menampung hujan apalagi kiriman banjir lewat Sungai Deli, Sungai Babura dan Sungai Kwala yang membelah inti kota Medan.
Untuk menjadi kota berbasis air, atau kota dengan kemampuan menampung debit air yang tinggi maka kota harus dirancang dengan pembangunan fisik dengan sebutan “kota seratus kanal” ataupun “kota berbasis sejuta ekologis rawa”. Dengan mempertimbangkan kondisi DAS yang membelah kota Medan dengan menimalisasi eskalasi urbanisasi yang sering membentuk kawasan “tata ruang kumuh”.
Kajian dan pengelolaan kerentanan fisik banjir harus dilakukan Pemko Medan secara menyeluruh melalui survey investigation design dan perencanaan yang dilengkapi dengan detail engineering design yang sesuai dengan kondisi geologi bawah permukaan maupun geologi permukaan setempat secara terukur serta diperlukan menata ulang tata ruang berupa pengadaan master plan baru di kawasan kumuh di sekitar dan bantaran DAS atau bisa dijadikan “land recovery” dalam bentuk tatanan lingkungan ekologi rawa-rawa.
Untuk mencegah kehilangan daerah rawa di perbatasan wilayah, pemko Medan dapat saja melakukan pembelian dan menjadikan fungsi ekologis air, fungsi perluasan taman dan areal perkebunan produktif serta pertanian melalui instansi terkait agar dapat diintegrasikan ke dalam pengelolaan mitigasi resiko bencana untuk mereduksi bahkan meniadakan dampak yang ditimbulkan ke dalam tata ruang akibat banjir.

M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer, Artikel ono sudah diterbitkan di HARIAN "ANALISA" MEDAN Januari 2013

Related Posts :