Mar 21, 2013

Investasi Bencana : Geologi Mitigasi


TATA RUANG INVESTASI BENCANA
Oleh M. Anwar Siregar

Hampir disetiap wilayah kota yang rawan bencana geologi dan klimatologi di Indonesia lebih mementingkan aspek pembangunan kawasan industri tanpa melakukan penelitian kelayakan fisik kerentanan informasi geologis, bukti itu sudah jelas terjadi sekarang, banyak kita lihat bangunan sekarang yang dibangun bukan pada daerah yang sesuai peruntukannya mengalami empat tipe ciri khas hasil gempa yaitu likuafaksi, efek goncangan berganda, fleksure dan gerakan tanah yang luas dan implikasi dimasa waktu tertentu akan ada a-seismik (tidak kaya gempa atau gerakan tanah lambat dengan luasan ruang bawah tanah yang luas) pada kawasan tersebut.
INVESTASI BAHAYA
Faktanya sudah pasti, Indonesia memang sudah sangat jelas sebagai negeri yang rawan bencana, 80% kota-kota di Indonesia menempatkan investasi [menanam modal] tata ruang kehidupannya berada di posisi rawan dari ancaman tsunami, 25 % kota menginvestasi modal sumber daya tata ruang lahan tanpa agunan cadangan zonasi wilayah pada daerah rawan patahan gempa bumi, 28 % kota dalam ancaman kebangkrutan bertemu langsung dengan tsunami, 85% kota di Indonesia dan Medan menempatkan tata ruang fisik dari ancaman banjir tahunan tanpa pertahanan struktural fisik dan alamiah, 12 % kota berani menginvestasikan tata ruang dengan risiko kerugian akibat berada di zona pelemparan zona erupsi gunungapi tanpa jaminan asuransi tata guna lahan untuk “tabungan” tata ruang kota dimasa mendatang.
Kajian informasi bencana tata lingkungan geologi komprehensif dalam pembangunan masih dianggap tidak penting, para investor bisnis luar negeri sangat membutuhkan detail pola tata ruang suatu kota sebelum melakukan investasi, sangat penting informasi ini untuk kajian rekonstruksi dan rehabilitasi bila suatu saat mengalami bencana. Banyak pemerintahan daerah Sumut mengabaikan hal ini dalam menata kota belum berlandaskan kepada pembangunan mitigasi lingkungan dalam ketataruangan yang humanis dengan alam dari ancaman dan kehancuran kota oleh bencana geologi dan kilimatologi, terbukti beberapa kota besar Sumatera Utara seperti Medan dan Tebing Tinggi berlangganan banjir.
Pembangunan atau pengembangan sebuah investasi kegiatan fisik di lingkungan yang geologinya tidak mampu mendukung atau menampung beban-beban pikul terhadap tanah diatasnya dapat menyebabkan bencana. Contohnya, pembangunan infrstruktur jalan tol dan penempatan pembangunan kanal banjir di Jakarta dan di Medan harus memahami keadaan karakteristik quarter lingkungan dimasa lalu sehingga Pemerintah di Sumut wajib mengkaji dan mengatur wilayah-wilayah (zoning regulation) rawan bencana longsoran tanah, banjir ataupun ancaman tsunami serta gunungapi diwilayah perkotaan dengan membentuk Peraturan Pemerintah untuk memperkuat landasan yuridisnya dan konsekwensi hukumnya jika terjadi pelanggaran
ETIKA INVESTASI
Etika perencanaan investasi dalam pembangunan tata ruang di Sumatera Utara dan Indonesia sangat memprihatinkan, daerah yang berfungsi keseimbangan alam seperti ekologi hutan, habis dan hancur di rusak dengan tidak mempedulikan etika lingkungan. Gejala ini kerusakan etika investasi [menanam bencana dalam bentuk kerusakan moral lingkungan] dapat dilihat dengan tumbuhnya perumahan-perumahan, perhotelan dan pembangunan jalan di daerah yang telah diidentifikasi daerah rawan banjir, daerah resapan dan keseimbangan air di sekitar Sibolangit, kawasan Kart di Deli Serdang, penghancuran hutan karet di daerah Padanglawas Utara dan penghancuran tumbuhan bakau disepanjang Pantai Timur serta peledakan terumbu karang di Pantai Barat Sumatera Utara.
ANALISIS INVESTASI SUMUT
Pemerintahan di Sumut masih terkesan setengah hati, dalam menginvestasikan suatu RTH [ruang terbuka hijau] sehinga menyebabkan timbulnya kawasan kumuh, sumber “lingkaran setan” bencana lingkungan dalam penataan ruang fisik perkotaan yang berdampak pada kerentanan dan kerawanan sosial yang tinggi.
Kebanyakan pada kawasan urban kumuh yang tidak ditata dengan baik dan berinteraksi dengan kawasan pertumbuhan baru, melanggar zona hijau penyebab banjir tahunan. Lihat saja tata ruang hijau yang berimpit langsung dengan kawasan “terlarang” di kota Medan, Sibolangit, Tarutung dan Parapat, kota-kota tersebut diapit dan dibelah sungai-sungai besar dan bermuara ke Laut atau Danau Kawah. Selain itu, penempatan fisik kota masih dan berada dalam koridor maut bahaya geologi, terdapat 95 persen kota besar Sumatera Utara mendeposit bahaya tata ruang lingkungan dari ancaman bencana geologi dan klimatologi yaitu berada dalam radius 25-85 km di ruas patahan besar Sumatera dan diapit 3-4 sungai utama dengan 15 anak sungai yang membelah tata ruang lingkungan fisik.
Bertitik tolak dari fokus pemahaman bahaya yang dapat menyebabkan bencana lingkungan geologi sebagai dasar kajian pengembangan fisik tata ruang lingkungan perkotaan maka konsep-konsep pembangunan fisik keruangan di Sumatera Utara sudah harus berorientasi pada mitigasi bencana lingkungan seperti penyusunan tata ruang infrastruktur berbasis geologi, mitigasi bencana berbasis komunitas/masyarakat, mitigasi antar pulau-darat, dapat dilaksanakan secara konsisten dengan komitmen yang kuat dari berbagai komponen.
Diperkirakan ada empat faktor intraksi utama apabila kajian geohazard-risk dalam mengembangkan investasi tata ruang kota berbasis bencana apabila diabaikan dan menimbulkan bencanabencana tersebut serta menyebabkan kerugian besar investasi bagi pemerintah, yaitu: Para perencana tata ruang kurang memahami terhadap karakteristik bahaya (hazards). Sikap atau perilaku yang mengakibatkan penurunan kualitas.  Sumberdaya alam (vulnerability). Kurangnya informasi/peringatan dini (early warning) yang menyebabkan ketidaksiapsiagaan masyarakat. Ketidakberdayaan/ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya.
Beberapa kota di Sumatera Utara telah dianalisis memiliki potensi investasi tersebut diatas [baca : potensi menanam modal bahaya] bencana di tahun 2013, yang berada dalam ancaman bencana gempa berulangkali seperti Tapanuli Selatan, Taput, Tapteng, Tanah Karo, Langkat, Nias, Gunung Sitoli, Nias Selatan, Humbahas, Dairi. Investasi bencana tsunami kategori resiko sangat tinggi berada di wilayah Madina, seluruh Kabupaten di Nias, Sibolga, Tapanuli Selatan, dan Tapteng serta dampak gerakan tanah tinggi di Deli Serdang, Asahan, Batubara, Palas, Paluta, Tapsel dan Simalungun serta banjir di kota Medan [gejala sudah dimulai], Tebing Tinggi, Sergai, Tanjung Balai atau Tarutung. Maupun bahaya letusan gunung api antara lain di Tapsel [sudah ada gejala bau belerang lebih menyengat di bulan Januari 2013], Taput, Tanah Karo, Tobasa dan Mandailing Natal.
LANGKAH AMAN INVESTASI
Langkah-langkah investasi untuk mengamankan tata ruang kota dan mengembangkan “lingkungan perkotaan yang aman” (Safer City Process) dalam mitigasi ketataruangan hunian yang aman bagi masyarakat di kota adalah 1. Memperkirakan kebutuhan investasi [menanam modal asuransi] yang harus dikembangkan untuk “keselamatan perkotaan” sebagai tempat tinggal, 2. Membentuk kerjasama antara berbagai pihak, baik dari pemerintah-swasta dan masyarakat sebagai investasi yang menguntungkan dalam jangka panjang, dan 3. Memformulasikan dan mengimplementasikan rencana tindak (action plan) kolaborasi antara berbagai pihak. Rencana ini harus disusun berdasarkan prioritas, tujuan, indikator, kerangka waktu dan sistem pemantauan (sumber, modifikasi dari world habitat day, 2008).
Ringkasnya pemahaman tentang ancaman bencana dan bahaya bagi keberlangsungan investasi tata ruang kota dimasa depan sangat penting meliputi pengetahuan secara menyeluruh tentang halhal sebagai berikut : 1. Bagaimana ancaman bahaya yang akan timbul. 2. Tingkat kemungkinan terjadinya bencana serta seberapa besar skalanya. 3. Mekanisme perusakan secara fisik. 4. Sektor dan kegiatan apa saja yang akan sangat terpengaruh atas kejadian bencana dalam tata ruang. 5. Dampak dari kerusakan, jumlah kerugian yang diakibatkan.
Diharapkan pemerintah Sumatera Utara yang daerahnya sudah merasakan “keganasan” alam dapat mereformasi semua data dan pembuatan peta RTRW, RTDR, RTH dan sistim pengendalian bencana seperti teknologi pemantauan bencana, bertujuan meminimalkan jumlah kehancuran fisik dan bencana finansial sehingga masyarakat tidak semakin traumatik hidup di negeri bencana.

M. Anwar Siregar
Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang  Lingkungan dan Geosfer. Tulisan ini sudah diterbitkan di HARIAN ANALISA MEDAN, 28 Januari 2013

No comments:

Post a Comment

Related Posts :