MEMBANGUN KAPASITAS DAN KETAHANAN GEMPA ACEH
Oleh M. Anwar Siregar
Dalam tahun 2013, Aceh mengalami gempa cukup kuat untuk sekian kali dan ini masih akan berlanjut serta terus mengalami bencana korban yang lebih besar, terlihat dari gambaran visualisasi media elektronik bahwa pembangunan prasarana fisik belum menunjukan standar building code dan masyarakat banyak belum memahami kondisi tempat mereka berpijak di daerah rawan bencana seperti gempa bumi, dan perlu sosialisasi lebih kontinu dalam membangun kapasitas dan ketangguhan bencana di Aceh.
Salah satu saat ini yang harus menjadi pusat perhatian masyarakat dan pemerintah NAD adalah membangun ketahanan dan pengurangan resiko bencana. Fokus pembangunan sosial dalam membangun kapasitas merupakan bagian dari karakter pembentukan ketahanan bangsa yang harus merupakan bagian dari kerangka strategis untuk mengidentifikasi berbagai persoalan pembangunan bangsa terutama di Aceh dalam menghadapi berbagai musibah bencana seperti terjadi sekarang ini, yang memiliki kapasitas fungsi dan tanggung jawab untuk mencegah terjadinya kekurangan kapasitas SDM yang merupakan bagian dari sumber daya ketahanan bangsa yang terdiri ekonomi, politik, sosial dan budaya yang secara potensial memiliki integrasi yang kuat untuk membangun ketahanan bangsa dalam menghadapi tantangan bencana universal.
KETAHANAN INSTITUSI
Salah satu pilar untuk memperkuat mitigasi kekuatan bangsa di Aceh dalam menghadapi berbagai tantangan alam dan pembangunan adalah suatu manajemen yang komprehensif untuk memperkuat ketahanan sosial masyarakat Aceh. Manajemen yang dikhususkan pada perencanaan manajemen resiko bencana, dikhususkan lagi pada pembangunan kapasitas sosial dalam suatu sistem institusi yang menyediakan dan memudahkan pemerintah daerah dengan tingkat kerentanan dan kerawanan daerah yang tinggi, yaitu 1. rancangan kerangka kerja institusi dan legal formal untuk menyampaikan sistem manajemen resiko bencana. 2. Penggabungan program pelatihan manajemen resiko bencana ke dalam proses internal pemerintah serta aktivitas bisnis masyarakat secara sistematis, untuk diimplementasikan ke dalam legal formal, institusi yang terkait misal BNPB, BPBD, SAR, Bansos dan Dinkes serta terintegrasi terhadap sistem pengurangan resiko bencan meliputi beberapa elemen sebagai berikut : 1. Identifikasi bencana dan kerentanannya serta evaluasi resiko bencana tersebut, 2. Strategi pengurangan bencana yang bersumber dari wilayah dan dimiliki oleh pemegang kebijakan.
3. Seperangkat peraturan, perundang-undangan dan regulasi yang menyediakan kerangka kerja yang komprehensif untuk intraksi antara berbagai organisasi dan institusi yang berbeda. 4. Mekanisme koordinasi institusi yang kuat antar lintas sektoral. 5. Sistem yang solid untuk mengendalikan pemenuhan dan penguatan code dan standar konstruksi bangunan yang aman, 6. Perencanaan tata guna lahan dan pemukiman yang menggabungkan kepedulian akan bencana dan pengurangan resiko di daerah yang telah diidentifikasi tingkat kerawannnya. 7. Membangun kekuatan teknologi informasi dan komunikasi dengan pola sebaran rata pada daerah elektabilitas rawan bencana tinggi, bertujuan untuk peningkatan kualitan pendidikan kebencanaan geologi dan upaya peningkatan kesadaran masyarakat akan bencana, pendidikan lingkungan untuk keberlanjutan hidup sumber daya manusia dan sumber daya alam. 8. Pelatihan manajemen dan rehabilitasi serta logistik kedaruratan untuk meningkatkan kesiapsiagaan aparatur dan masyarakat dalam menekan korban bencana sesuai dengan kondisi lapangan [disari dan dimodifikasi dari berbagai workshop serta diklat manajemen dan infomasi mitigasi bencana geologi yang pernah penulis ikuti].
Manajemen ini sebaiknya disampaikan langsung kepada masyarakat ditingkat pemerintahan terendah yaitu Desa sebagai upaya membangun desa-kota yang tangguh bencana, upaya manajemen masyarakat berbasis masyarakat yang lebih membumi.
KETANGGUHAN KOTA
Untuk memperkuat dan meredam efek negatif bencana di perkotaan di Aceh dan Indonesia secara umum adalah mensosialisasi standart rencana tata ruang wilayah kota berdasarkan posisi geografis kota di permukaan bumi melalui penelitian, pemetaan dan desain keteknikan infrastruktur fisik bangunan agar selaras dengan karakteristik geologinya tempat berpijak kekuatan bangunan fisik buatan manusia.
Program pembangunan kota di Aceh wajib diimplementasi dan sosialisasi kepada publik. Membangun ketangguhan kota harus melalui pola kontinjensi melalui penjelasan yang paling mungkin untuk dilema klasik bagi perencana, yaitu haruskah Anda menyusun rencana untuk kejadian yang paling sering atau yang paling merusak namun jarang terjadi? [sumber : Twigg [2005] dan Choularton [2007], artinya harus menyusun area-area daerah rawan kota untuk penanggulangan bencana secara menyeluruh dengan berkoordinasi berbagai lembaga institusi penanggulangan bencana dan ketataruangan wilayah. Penyampaian informasi, peralatan, teknik untuk mengurang resiko dan merespon resiko bencana gempa bumi yang setiap saat terjadi.
Hal ini nampak belum berjalan dengan baik di Aceh dan Indonesia, terlihat cerita koordinasi belum profesional dan miskomunikasi masing sering terjadi sehingga kota dan masyarakat belum tangguh bencana.
MEMPERKUAT KAPASITAS
Memperkuat ketahanan institusi masih diperlukan upaya ketahanan masyarakat dalam membangun kapasitas agar mampu mengurangi korban jiwa dan infrastruktur fisik. Memperkuat kapasitas yaitu memperkuat kemampuan masyarakat untuk lepas dan terlepas dari tekanan yang melingkupi lingkungan tempat mereka beraktivitas dari kerawanan dan kerentanan bencana.
Untuk memperkuat kekuatan dan ketahanan Aceh dalam menghadapi berbagai tantangan musibah bencana dapat dilakukan pemetaan arkeologi sosial kemiskinan sebagai point yang kritis dalam menekan dimensi kekuatan moral etis terutama yang berhubungan dengan politik dan institusionalisasi untuk merefleksikan pembangunan fisik yang adil sehingga mendorong mobilisasi sumber daya ekonomi, sosial dan budaya yang dapat menekan aktivitas masyarakat yang hidup di daerah rawan bencana, diimplementasikan dalam strategis perencanaan pembangunan fisik melalui kebijakan publik.
Hal semacam ini merupakan upaya untuk mendamaikan nilai-nilai tradisi yang bersifat lokal dengan nilai-nilai universal yang tak terhindarkan misalnya mengenai perencanaan pembangunan di daerah bencana, bencana gempa di Bener Meriah dan Simeulue serta wilayah Kecamatan Aceh lainnya sudah harus mewujudkan perpaduan mitigasi budaya dengan konstruksi building code serta strategis ketataruangan wilayah baik yang berbasis pengembangan kota dan berbasis pola kohesif yang berhubungan dengan aktivitas bisnis yang memanfaatkan investasi lahan. Sangat perlu diperhatikan pemerintah setempat sebagai upaya untuk membangun kekuatan dan ketangguhan kota melalui pembangunan kualitas sumber daya manusia.
Artinya, memang tidak ada satu pun kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini, bahkan masyarakat tradisional sekalipun yang tidak terkontaminasi oleh efek negatif modernisasi. Dengan pengertian lain, upaya penggalian nilai-nilai lokal yang memuat unsur tradisi lama yang menjaga keselarasan relasi manusia dengan alam memang dibutuhkan saat ini di Indonesia secara umum dan Aceh secara khusus untuk membangun kapasitas SDM sesuai dengan karaktersitik geologi Indonesia yang tangguh. Hanya saja tidak bisa dipungkiri bahwa perubahan keadaan lingkungan sosial dimana masyarakat Aceh di Kabupaten yang baru beberapa tahun dimekarkan itu mengalami proses modernisasi juga perlu dipertimbangkan untuk memperkuat mitigasi kekuatan dan ketahanan bangsa.
Selain hal tersebut diatas, membangun kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana diperlukan kerjasama yang lebih luas antar stakeholder untuk melakukan suatu aksi yang bersifat lokal untuk mengurangi resiko bencana yaitu memberikan bantuan kekuatan teknis bangunan bagi bangunan yang dianggap paling rapuh menghadapi bencana, seperti bedah rumah dalam suatu program pengembangan perumahan dalam suatu kecamatan di mana kecamatan tersebut masuk wilayah rawan gempa.
Diharapkan kedepan, bangunan fisik di Aceh dapat mengurangi jumlah kerugian material dan korban bencana jiwa.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer. Tulisan ini sudah dipublikasi pada HARIAN ANALISA MEDAN.