Nov 13, 2013

Ironi UU Hijau Di Era Kabut Asap


IRONI UU “HIJAU” DI ERA KABUT ASAP
Oleh M. Anwar Siregar
Dalam konteks daya dukung lingkungan, ketersediaan lahan di beberapa pulau besar dalam pengembangan investasi perluasan lahan perkebunan telah mengalami overshoot, yakni terlampauinya kapasitas dan kemampuan ketersediaan lahan sehingga mendorong invasi ke daerah terlarang ke kawasan hutan lindung dan sempadan sungai untuk memenuhi kebutuhan perluasan areal konsesi perkebunan.
Data kajian Kementerian Lingkungan Hidup, mengindikasikan bahwa beberapa Propinsi di Sumatera telah melampaui daya dukung untuk perluasan perkebunan sehingga pemanfaatan ruang lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan [land capability]. Lahan rawan pada areal longsor, seharusnya tidak dibuka untuk pertanian tanaman pangan tanpa bantuan teknologi secara tepat atau pemanfaatan yang tidak sesuai akibatnya, terjadi kerusakan lahan yang sangat sulit untuk direhabilitasi, efek dominonya adalah bencana banjir, longsor serta krisis pangan seperti yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia.
Gambar 1 Kiri : Penambangan pasir di daerah hutan untuk perluasan perkebunan dan penimbunan badan jalan, dan gambar 2 kanan, bekas penambangan tanah di bukit yang belum direklamasi, keduanya merupakan lokasi yang penambangan yang sama (Dok Foto Penulis, 2013)
DILEMA UU HIJAU
Fenomena berkurangnya fungsi kawasan hutan lindung di Indonesia memang tidak mudah diatasi. Mengingat terdapat hierarki kewenangan maupun hubungan horizontal antar pemerintahan, yang selama ini belum mempunyai sinergi yang kuat untuk memecahkan masalah-masalah di lapangan. Disamping itu juga terdapat sejumlah peraturan perundangan yang belum mendukung terwujudnya sinergi dimaksud, bahkan cenderung implementasinya tidak sinkron satu sama lain
Disharmonisasi UU yang berhubungan tata kelola dengan lingkungan hijau dapat dilihat dari beberapa penafsiran aturan UU dalam beberapa pasal oleh pelaku usaha dan masyarakat antara lain; UU Pertambangan [izin kuasa pertambangan umum], UU Penataan Ruang terhadap pemanfaatan ruang disekitar kawasan hutan [RTH], UU kehutanan terhadap izin pinjam dan pelepasan areal kawasan Hutan Pakai [HP] dan Hutan Lindung [HL] untuk peruntukan lain dan UU Perkebunan terhadap izin usaha perkebunan bagi perusahaan perkebunan dengan ketersediaan luas konsesi dan UU Lingkungan Hidup terhadap sanksi bagi pelaku pencemaran, perusakan dan pembakaran hutan di kawasan RTH yang tidak efektif, belum lagi beberapa peraturan daerah yang masih tumpang tindih dengan kegunaan ruang hijau publik.
Jika disimak beberapa pasal dan ayat setiap UU Penataaan Ruang No 26 Tahun 2007 dan UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan khususnya dalam hal pemahaman tentang Kawasan Penataan Ruang Wilayah/Daerah, Ruang Terbuka Hijau [RTH] didalam kawasan hutan sangat bertentangan dengan kondisi sangat ini dan menguntungkan bagi penguasaan areal hutan yang lebih luas. Banyak pemanfaatan ruang tidak sesuai implementasi dilapangan untuk kebutuhan aktivitas kehidupan termasuk kedalam pemanfaatan ruang-ruang bagi kebutuhan konservasi alam yang sering berbenturan dengan kebutuhan areal perluasan konsesi pertambangan dan perkebunan dalam suatu kawasan hutan dengan variasi jenis eksploitasi ruangnya dapat dipandang sebagian mendekati nol untuk pemulihan kesediakala, yang berkaitan dengan tujuan pelestarian alam hutan.
Begitu juga dalam pemanfaatan ruang-ruang areal kebutuhan hutan industri untuk budidaya mengalami eksploitasi yang begitu kejam demi perluasan kegiatan pertanian atau sebaliknya untuk perluasan pengembangan kawasan industri serta pengembangan kawasan lahan perkotaan sehingga menimbulkan beban tinggi bagi kebutuhan ruang pemukiman, aktivitas serta mobilitas manusia dengan kawasan hutan sehingga menimbulkan masalah yang rumit karena beralihfungsinya lahan hutan untuk kegiatan-kegiatan pengembangan ekonomi industri dan pertambangan.
Dalam UU pertambangan, banyak izin perusahaan pertambangan di Indonesia dicabut karena melanggar aturan izin perlindungan lingkungan, izin usaha pertambangan [IUP] dicabut karena tidak melaksanakan aturan dan kajian amdal, karena biasanya perusahaan pertambangan tidak mau membuang waktu jika telah mendapatkan izin eksplorasi, yang diartikan sebagai mulainya operasi pertambangan sejak izin diterbitkan dengan melakukan pengeboran di titik-titik eksplorasi secara sepihak tanpa menunggu izin pinjam pakai kawasan HL atau HP dalam kawasan hutan. Selain itu, sedikit sekali perusahaan pertambangan mau melakukan penghijauan kembali atau reboisasi pada lereng hutan dan pengawasan secara ketat terhadap pembuangan limbah.
Hal ini telah menimbulkan ironi, kawasan hutan berubah menjadi kawasan pertambangan, kawasan pertambangan berubah menjadi kawasan pemukiman ilegal dalam suatu kawasan pertambangan yang tidak sesuai perencanaan tata hunian wilayah, mengalami penurunan kualitas daya dukung lingkungan dan luas ruang daerah mengalami penurunan seluas 30 persen hingga 55 persen dari zona peruntukkan daerah hijau.
Dalam kaitan hal tersebut diatas, terjadi tumpang tindih penafsiran dalam UU No. 24 Tahun 1992 menjadi UU No. 26 Tahun 2007 tentang Pengaturan Ruang yang sangat berkaitan dengan keberadaan fungsi hutan dengan berlandaskan pada peraturan dan kebijakan kehutanan seperti UU No. 5 Tahun 1998 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Keanekaragaman Hayati dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Begitu juga Peraturan Pasal 36 UU No 4 Tahun 2009 tentang perizinan pertambangan yang harus dipahami para pengusaha pertambangan dengan aturan izin pinjam pakai kawasan hutan, aturan Wilayah Izin Usaha Pertambangan [WIUP] dalam PP 23 Tahun 2010 Pasal 14 Ayat 2 harus tetap mengikuti aturan yang dikeluarkan UPT kehutanan dan sesuaikan dengan peta Tata Guna Hak Kesepakatan [TGHK].
IRONI KABUT ASAP
Yang lebih ironis lagi adalah koordinasi perizinan perkebunan dan pertambangan di dalam kawasan hutan antar instansi terkait tidak sesuai dengan aturan perundangan sehingga menimbulkan masalah pelik. Terlihat dari UU Pertambangan No. 4 Tahun 2009 tidak menyebutkan koordinasi dengan Kementerian Kehutanan jika calon areal tambang bersentuhan dengan kawasan hutan. Parahnya lagi diperkuat dengan PP No. 23 Tahun 2010 tentang pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara tidak menyebutkan rekomendasi Kementerian Kehutanan dalam penerbitan izin usaha pertambangan. Demikian juga UU Perkebunan No. 18 Tahun 2004 yang hanya mengurus status tanah areal perkebunan [Pasal 9].
Diperparah lagi, Unit Pelaksana Teknis kehutanan di daerah yang rawan kabut asap sering tidak dilibatkan dalam pengurusan izin perkebunan dan pertambangan yang berada di kawasan hutan sehingga memunculkan kisruh dalam pendayagunaan sumber daya alam berdampak pada terkeruknya sumber daya hutan secara illegal dan berkurangnya luas areal hutan. Contoh kasus di Bima, Madina dan beberapa daerah lainnya
Jika menelaah berbagai pasal dan ayat ataupun aturan izin usaha, baik untuk izin usaha pertambangan dan izin usaha perkebunan yang ada dalam beberapa aturan perundangan yang berhubungan dengan daerah hijau, maka inilah sebagian aturan pemerintah yang sangat berjasa mengantarkan negeri ini sebagai raja polutan terbesar di Asia Tenggara. Sebagian besar peraturan perundangan yang ada termasuk peraturan daerah/perda yang berhubungan dengan lingkungan hijau saat ini umumnya bersifat eksploitatif dan tidak koloboratif dengan kondisi permasalahan yang ada.
Sebab, jika dilihat dari faktor ekonomi, semua aturan UU tersebut tidak satupun memberikan keuntungan dalam pemulihan lebih luas bagi daya dukung ekologi akibat tekanan kapitalisme dan liberalisasi yang justrunya memberikan penurunan pendapatan karena produksi tidak berlanjut karena areal pemanfaatan telah mengalami pengrusakan, contoh paling jelas adalah pemanfaatan areal perkebunan dan kehutanan. Apabila terjadi ketidakseimbangan daya dukung ekologis maka akan terjadi kerusakan tata ruang ketersediaan air.
Jika hal ini masih berlanjut ke 10 tahun mendatang, maka akan dikhawatirkan menimbulkan bencana kabut asap tahunan tanpa surut dan berbagai elemen kehidupan dan tata ruang Indonesia akan mengalami dampak yang lebih parah dengan kehilangan luas daratan, cuaca semakin buruk menghantui kehidupan manusia.

M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan, Energi-Geosfer, 
Tulisan ini sudah di Publikasi di HARIAN ANALISA MEDAN, Bulan September 2013

Tata Ruang Botol KNIA : Geologi Mitigasi

TATA RUANG BOTOL, KNIA DIKAMBINGHITAMKAN
Oleh M. Anwar Siregar
Dilihat dari perkembangan kemajuan kota Medan saat ini benar-benar luar biasa, dari sebuah Dusun menjelma menjadi kota Metropolitan terbesar ke tiga di Indonesia, dalam usia 423 tahun Medan ternyata kini menjadi kota banjir tahunan, kota dengan seribu masalah, baik transportasi lalu lintas, infrastruktur utilitas, ekologi hijau, pemukiman fisik dan master plan tata ruang khusus rehabilitasi lahan tidak ada serta pemetaan jaringan hunian akibat eskalasi urbanisasi ke daerah sanggahan bencana.
Tingkat kesemrawutan transportasi semakin memuncak dalam lima tahun terakhir sejak pembangunan lebih terpusat kedalam inti kota , kemudian melingkar ke wilayah pinggiran, pola pembangunan ini tidak terealisasi dengan baik. Kehadiran bandara baru yaitu Kuala Namu International Airport (KNIA) ternyata lambat diantisipasi bagi para perencana pembangunan fisik Pemko Medan terutama bagaimana mengantisipasi kepadatan lalu lintas di kawasan Lapangan Merdeka dan Jalan Bukit Barisan ke perbatasan, bukankah Bandara KNIA itu sudah di siapkan bersatu dengan pembangunan jaringan transportasi lain?
Perlu dipertanyakan kenapa hal itu bisa terjadi? Bukankah visi pembangunan ke depan sudah tergambarkan dari pembangunan terpusat ke dalam, sehingga ada tata ruang tidak seimbang dengan pembangunan dipinggiran. Menyebabkan terbatasnya lahan hijau didalam wilayah kota Medan, akhir dari semua ini dapat Anda lihat sejak tahun 1997 Medan sudah mulai berlangganan kemacetan menuju ke inti kota, begitu juga ketika menuju ke daerah perbatasan kota satelit atau kota sub urban terdekat.
MANAJEMEN TATA RUANG
Faktor prasarana jalan penghubung ke KNIA disebut-sebut sebagai faktor biang keladi dari kemacetan dimana-mana diwilayah Medan seperti terlihat kemacetan hingga saat ini sebenarnya bagian dari keterlambatan antisipasi sejak Kuala Namu mulai dibangun. Kalau mau cari akar permasalahan kemacetan di kota Medan dapat dilihat dari kualitas manajemen perencanaan jalan jembatan atau transportasi, manajemen penataan ruang lingkungan ekologi, manaejemen tata ruang hunian dan pemerintahan, manajemen penataan lingkungan industri serta manajemen rehabilitasi keseimbangan tata ruang terpakai untuk pengembangan sumber-sumber daya kota.
Manajemen perencanaan jalan transportasi dan pembangunan infrastruktur fisik seperti fly over di kawasan inti kota Medan ini paling terlambat dipikirkan dan seharusnya sudah masuk daftar pembangunan sebagai antisipasi kedatangan penumpang dari luar kota sehingga kemacetan di kawasan pusat pemerintahan kota Medan itu dapat diminimalisasi, bukan menghancurkan zona hijau yang kini berubah menjadi kawasan kuliner jika melihat letak posisi geografis Kuala Namu berada di kawasan yang menghadap Selat Malaka dengan prasarana angkutan kereta api yang terdapat di kawasan inti Medan, dan kita sudah mengetahui bahwa di kawasan itu termasuk kawasan paling tersibuk di inti kota Medan.
Sepanjang tengah badan jalan protokol utama di wilayah Medan seharusnya sudah dibangun jalur fly over seperti jembatan fly over Pasupati Bandung dikawasan jalan Balai Kota, Iman Bonjol, Raden Saleh ataupun Putri Hijau ke Gabsut, yang memanjang dan melingkar serta menghubungkan titik-titik kemacetan dengan beberapa pintu masuk keluar ke stasiun besar kereta api Medan maupun ke kawasan Belawan serta jalan tol Tembung, tidak mengorbankan lahan milik masyarakat hanya untuk pelebaran jalan. Wilayah koridor sisi badan jalan dapat juga berguna untuk keselamatan pejalan kaki dan pedestrian lainnya,
Manejemen penataan ruang lingkungan hijau salah satu sumber kemacetan di Medan, hujan satu jam saja dapat “membangun model sungai terbaru” di dalam kawasan inti kota. Ini salah satu indikator kerentanan geologis lokal yang dapat membahayakan situasi transportasi menuju ke stasiun atau halte terdekat ke bandara KNIA, terlihat kurangnya pemahaman mitigasi yang digunakan dalam membangun antar ruang hijau dengan bangunan fisik masyarakat dan pemerintahan serta swasta. Persentase kawasan terbangun harus ada ruang hijau diantara beberapa bangunan fisik dengan perbandingan 1 hektar lahan RTH terpisah diantara 10-15 bangunan fisik terbangun, selain itu kepadatan bangunan harus terdapat ruang biopori, jarak bangunan konstruksi dengan jarak sempadan sungai harus diberi ruang maksimal 12 meter. Fungsi daerah ini sebagai media keseimbangan daerah air dan dapat juga dimanfaat dalam zona terbatas untuk jaringan utilitas bawah tanah serta jaringan PDAM.
Model tata ruang ekologi zaman Belanda kini tidak ada lagi di kawasan Petisah, Kesawan dan Sambu, ketika itu dibuat selalu ada kawasan hijau yang menganut sistim keseimbangan antara luas bangunan yang memisahkan lokasi pemerintahan, lokasi hunian, kuliner dan parkir dengan luas kawasan hijau serta pedestrian sehingga tidak akan ditemukan lahan saling tumpang tindih. Yang nampak sekarang disekitar stasiun besar kereta api itu sudah semakin berkurang dan Medan telah diidentifikasi hanya memiliki daerah resapan hijau sebanyak 12 persen, jauh dari yang diamanahkan UU seluas 30 persen. Sehingga berdampak bencana banjir musiman, memperparah situasi transportasi antar ruang dalam kota.
KOORDINASI BOTOL
Perlu koordinasi antar Pemda disekitar wilayah tempat keberadaan bandar KNIA sangat penting, bertujuan untuk mengendalikan kemacetan di perbatasan kota terutama efek peningkatan kapasitas jasa transportasi dalam suatu tata ruang Mebidang, memerlukan kajian terhadap dampak pembangunan jalan dan infrastruktur yang menyertainya yaitu sistim kesatuan drainase dan pola banjir yang melibatkan pergeseran dan perusakan atau okupasi ruang terbuka hijau di segala lini yang berhubungan dengan lingkungan air, ruang parkir dan median jalan yang berhubungan dengan jaringan utilitas yang masih tumpang tindih
Koordinasi tata ruang transportasi sangat penting dalam memetakan persoalan kesemrawutan infrstruktur jalan dengan kondisi pemukiman, drainase, dan sistim perparkiran tanpa harus menghancurkan ekologi hijau. Dengan memetakan desain pola pergerakan kawasan suatu geografis yang membentuk suatu kondisi hunian maka pembuatan master plan akan lebih mudah sehingga dinamika transportasi akan ditemukan solusi yang tepat bagi proyek besar berikutnya tanpa harus mencari kambing hitam akibat terjadinya kemacetan seperti sekarang.
Kemacetan mulai nampak di inti kota Medan, menerus ke kawasan selatan Medan terutama sebelas titik ruang kemacetan yang penulis catat antara lain dikawasan PDAM menerus dan melewati Rumah Sakit ke Simpang Raya hingga Makam Pahlawan, selanjutnya ke Simpang Limun menerus ke Sp. Samsat dan Sp. Marindal menerus ke fly over Amplas. Lalu pergerakan lambat terjadi lagi di kawasan perbatasan mulai dari Poldasu jika terjadi banjir, menerus ke Simpang Ujung Serdang-wilayah Deli Serdang lalu ke gerbang tol Tamora dan Simpang kayu besar menerus ke Simpang Kota Tamora melewati jembatan Belumai.
Kemacetan terjadi juga dari arah Sp. Pos Padang Bulan ke Kampung Baru-Deli Tua terus ke Sp Marindal untuk ke Tamora, semua pergerakan tersebut menuju ke satu titik dan mengingatkan penulis pada bentuk leher botol, menyumbat, sempit dan tidak ada ruang alternatif, bukan berpencar dengan beberapa ruas terbuka menuju ke KNIA.
Jadi, ketika KNIA beroperasi terjadi kemacetan dan diperparah lagi oleh tata ruang wilayah di kota Sub Urban di perbatasan kota Medan, pemerintahan di kota tersebut tidak memiliki pola tata ruang yang mengantisipasi perkembangan kemajuan fisik transportasi kota Medan terutama dalam pembangunan fly over dan jalan lingkar dalam maupun lingkar luar yang masih terbatas dan dapat mengantisipasi masuk kendaraan ke dalam kota Medan serta menuju ke KNIA. Jadi, janganlah mencari kambinghitam dengan membidik KNIA, yang diperlukan sangat ini adalah pembangunan beberapa fly over di perbatasan Medan dengan kota satelitnya.
 
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, Tulisan ini sudah di publikasi di HARIAN ANALISA MEDAN Bulan Oktober 2013

Jawaban Problematika Byar Pet

JAWABAN PROBLEMATIKA ENERGI BYAR PETT
Oleh M. Anwar Siregar
Energi di Indonesia merupakan kebutuhan primer yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat dan sangat pelik dalam pengaturan serta penggunaannya dalam pembangunan di Indonesia, berbagai pengaturan yang telah dilakukan sering menimbulkan dilematis, karena di satu sisi pemerintah ingin melakukan penghematan dan tunduk pada intervensi asing dan lain waktu pemerintah juga berkeinginan menghapus subsidi akibat tekanan liberalisasi sehingga menimbulkan gejolak di tengah masyarakat.
Bermuara pada satu persoalan yang sebenarnya tidak akan terjadi jika Pemerintah dari dulu memanfaatkan berbagai sumber daya energi yang tersedia di alam bumi Indonesia, dapat memberikan manfaat besar bagi pembangunan sumber daya manusia, peningkatan ekonomi devisa dan infrastruktur fisik serta jaringan energi yaitu memassalkan energi baru terbarukan [EBT].
SUBSIDI BBM
Energi merupakan salah satu tulang punggung utama bagi perkembangan ekonomi peradaban global, juga sebagai faktor utama kemajuan pembangunan bangsa yang membutuhkan ketersediaan dan ketahanan energi. Hal ini mendorong setiap Negara selalu mengupayakan pasokan energi harus terus meningkat dan stabil, hemat dan efisien. Namun yang terjadi di Indonesia kebalikkan, menghasilkan definisif, dan boros akibat peningkatan konsumsi BBM di tanah air serta penimbunan dan penyeludupan keluar negeri berdampak pada byar pett tiap hari, melemahkan daya saing bangsa ditingkat global, berakhir dengan hilangnya identitas kedaulatan atas penguasaan sumber-sumber daya energi sebagai jiwa pembangunan.
Gambaran tersebut dapat dilihat dari kemampuan Indonesia memproduksi minyak sebesar 345 juta barel, mengekspor minyak mentah sebesar 130 juta barel, mengimpor minyak mentah sebesar 103 juta barel dan Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 124 juta barel pada tahun 2010 (Sumber ESDM 2011) dan mengkonsumsi 423 barel. Terdapat defisit sebesar 97 juta barel per tahun sehingga mendorong pemerintah Indonesia melakukan impor minyak mentah dan impor produk BBM yang diberikan pemerintah kepada Pertamina dalam bentuk aliran uang yang banyak kelemahannya, diantaranya subsidi BBM tidak tepat menjangkau kelompok masyarakat miskin di daerah pendalaman terpencil dan umumnya di kota besar yang mendapat subsidi sehingga menimbulkan ketidakadilan. Selain itu, mendorong Pertamina lebih tidak efisien dalam menyediakan BBM di berbagai daerah di tanah air.
Lebih baik pemerintah tidak lagi melakukan pembatasan tetapi mempersiapkan alternatif yang lebih baik dan membumikan secara tegas yaitu pertama, menghapus saja liberalisasi migas sebagai jalan terbaik untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri agar tidak membebani APBN tiap tahun. Hal ini dilakukan karena besarnya kebutuhan industri akan ketersediaan bahan bakar. Sebab, berdasarkan beberapa literatur yang ada yang diperoleh dari Pertamina untuk industri seperti PLN, maka kebutuhan BBM mencapai 2,3 juta kilo liter [kl] per tahunnya dari kebutuhan yang tersedia hanya mencapai 2.1 juta kl. Sedangkan ditingkat industri kebutuhan BBM yang diberikan mencapai 2 juta kl per tahun, dan telah melampaui kebutuhan yang diinginkan mencapai 2.5 juta kl.
Kedua, alternatif lain untuk pengurangan ketergantungan subsidi BBM secara bertahap antara lain dapat diupayakan memberikan kepastian bagi pelaku ekonomi yang bergerak di sektor energi dengan memberikan rangsangan insentif ekonomi untuk pengembangan energi baru terbarukan dalam lima tahun untuk jangka pendek, serta fit atau feed in tariff bagi kontraktor energi dalam jangka 20 tahun operasi khusus bagi daerah tersulit dari jaringan PLN.
DIVERIFIKASI EBT
BBM bersubsidi telah lama merugikan perekonomian Indonesia, sebenarnya dapat dihilangkan atau disembuhkan melalui berbagai upaya pendekatan pengurangan subsidi BBM, selain tersebut diatas yaitu diverifikasi energi, melakukan konservasi energi, efisiensi sistim infrastruktur penyediaan BBM serta menguranginya lamanya kebijakan harga energi nasional.
Cadangan minyak bumi Indonesia terus menurun, pada tahun 1974 sebesar 15.000 metrik barrel (MB), pada tahun 2000 sekitar 5.123 MB, dan tahun 2004 menjadi sekitar 4.301 MB, sehingga ketersediaan BBM akan menjadi sangat langkah dan perlu pengembangan diverifikasi energi harus digalakkan lebih luas untuk segala sektor kehidupan agar dapat mengendalikan bencana energi di masa mendatang, peningkatan diverifikasi energi merupakan salah satu jawaban yang paling tepat untuk mengatasi gejolak subsidi BBM maupun byar pett yang sering dilakukan PLN dalam kurun dua bulan terakhir ini.
Sebabnya, Indonesia memiliki potensi cadangan energi hijau yang merupakan syarat energi baru terbarukan yang sangat besar, yaitu cadangan panas bumi, Jawaban untuk kelangkahan BBM dan byar pett antara lain, pertama kemungkinan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dengan input produksi sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dengan memperhatikan kemampuan substitusi input produksi yang lain yaitu diverifikasi energi baru terbarukan atau EBT serta adanya perubahan teknologi yaitu teknologi inovasi. Kedua, hasil penelitian studi Resources for the Future (RFF), menyebutkan stok yang tersedia berkurang dengan sangat cepat akibat konsumsi yang terus meningkat, sehingga menimbulkan kelangkahan dipasaran. Penyebabnya, dampak dari beragamnya jenis energi yang dipakai, mendorong terjadi efek monopoli. Itulah yang sering terlihat di Indonesia, byar pett dengan berbagai alasan.
Diverifikasi energi akan memberikan jawaban yang paling kontekstual untuk mengurangi ketergantungan dan kelangkahan energi dipasaran yang bersumber dari energi fosil. Sebab, akan memberikan pemulihan atas sumber-sumber daya yang tidak dapat diperbaharui untuk meningkatkan kapasitas cadangan minyak Indonesia terus menurun, serta memberikan berbagai pilihan energi bagi kalangan industri produktif sekaligus meredam byar pett dalam lima tahun terakhir ini.
Diverifikasi energi akan membentuk ketangguhan dan ketahanan energi dan pangan, membentuk kemandirian energi tiap desa-desa di Indonesia karena semua desa di Indonesia memiliki jenis-jenis energi tersendiri sebagai basis untuk membangun kekuatan sumber daya yang berkualitas.
Diverifikasi energi dapat diberikan melalui pengembangan sumber-sumber energi baru seperti bioethanol, biodiesel, panas bumi, mikrohidro, biomassa, tenaga surya, tenaga angin, limbah, nuklir, gelombang air, air permukaan dan lain lain. Dan menyentuh segala aspek kehidupan sosial ekonomi dan lingkungan serta teknologi.
Gambar : Panas bumi salah satu jawaban pyar pet bagi sumber listrik yang belum dimanfaatkan secara optimal penggunaannya untuk kesejahteraan rakyat. Lokasi Foto : Panas bumi Sibayak-Sumatera Utara (Sumber : Dokumen Foto Penulis, 2011)
JAWABAN UU
Langkah diverifikasi untuk investasi EBT antara lain : Pertama. Jangan persulit izin-izin EBT, pameo di Indonesia jika mudah kenapa dipersulit, langkah ini membuat banyak investor jadi ketakutan, bukan tidak ada tertarik menanam modal di bidang energi. Penyakit ini telah memberikan pukulan telak dengan terjadi skandal suap SKK migas, pemerintah harus menciptakan iklim bisnis sehat untuk mencegah bahaya ketergantungan BBM, maka patuhi aturan UU sebagai SOP yang mumpuni.
Kedua, tingkatkan energi bauran diatas 50 persen dari total pasokan energi nasional, kalau perlu gunakan UU konservasi EBT lebih keras lagi seperti yang dilakukan pemerintah China dan Brasil. Ketiga, merivisi UU migas dan UU mineral dan batubara (minerba), kembali ke akar bangsa untuk mengelola kekuatan energi itu agar di kuasai negara sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 dan UU No. 30 tahun 2007 Tentang Energi yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh energi dan merupakan kewajiban pemerintah untuk melakukan pengelolaan sehingga ketersediaan energi dapat terjamin.Yang terjadi sekarang byar pett setiap hari.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan, Energi-Geosfer, Tulisan ini sudah dipublikasi di HARIAN ANALISA MEDAN

Related Posts :