Jan 27, 2014

Mitigasi Investasi Gunungapi : GEOLOGI MITIGASI

MITIGASI INVESTASI GUNUNGAPI SUMUT
Oleh : M. Anwar Siregar
Dari hasil pengamatan dan penelitian penulis, dapat diambil kesimpulan bahwa daerah yang memiliki gunungapi ternyata masih rentan mengalami musibah bencana, bahwa sebagian kota di Sumatera Utara belum siap dan belum mampu mengevaluasi, serta mereview untuk memberikan arahan sosialisasi serta strategi pengendalian penanggulangan bencana gunungapi secara kontinu. Masyarakat yang berada di kawasan rawan bencana letusan gunungapi masih beranggapan bahwa kejadian bencana dalam suatu KRB III tidak perlu memperhatikan peta penyebaran inforamsi geologi daerah rawan bencana gunungapi dan tetap beraktivitas.
Bahwa daerah gunungapi di Sumut masih belum memiliki daya konstruktif terhadap daya tahan bencana dan investasi jangka panjang dapat dilihat dari berbagai segi instrumen antara lain : pola tata ruang investasi yang tidak tegas, manajemen sosialisasi mitigasi penanggulangan letusan gunungapi yang belum terukur serta kemampuan sumber daya manusia dan teknologi yang masih terbatas.
INVESTASI KRB
Data sejarah bencana sangat penting dalam menganalisis tingkat risiko yang ditimbulkan dari berbagai bencana geologis khususnya letusan gunungapi, letusan gunungapi sebenarnya sudah dapat diketahui dan gejala visual yang akan terjadi dapat diketahui secara dini, namun jumlah korban masih tetap saja ada dalam jumlah besar. Penyebab utamanya adalah pola pembangunan fisik dalam tata ruang yang sudah diidentifikasi tingkat kerawanannya dan biasanya sudah dipetakan dan dimasukan kedalam suatu peta risko bencana gunungapi yaitu Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB).
Peta tata ruang KRB mencakup suatu standar prosedur tetap (protap) atau SOP yang sudah baku, dan memuat suatu pedoman yang harus dipatuhi oleh pemerintah, pelaku usaha atau investor dan masyarakat dalam suatu Kabupaten dan antisipasi bagi Kabupaten tetangganya. Peta KRB dapat digunakan sebagai acuan untuk modal investasi pembangunan infrastruktur fisk dan pariwisata, juga sebagai landasan pembangunan daerah tata ruang detail wilayah.
Yang menjadi sumber masalah investasi jangka panjang bagi tata ruang didaerah rawan bencana gunung api adalah bagaimana memperhitungkan 7 (tujuh) gunungapi yang ada di Sumut dan sebagian gunungapinya masih berstatus kelas type B, dan umumnya “malas” naik kelas, sehingga akan membahayakan jika terjadi letusan. Ini perlu menjadi renungan bagi perencana pembangunan, ketika terjadi letusan gunungapi Sinabung pertama kali pemerintah Sumut tidak siap, sebab peta KRB dibuat jika gunungapi sudah meletus, maka baru diketahui daerah mana lintasan erupsi, Peta Keretanan Geologis Tinggi (KGT) dan peta anomali gunungapi banyak diantaranya belum ada. Permasalahan lainnya bagi investasi tata ruang gunungapi yakni, jarang dibuat pembuatan infrastruktur fisik mitigasi karena ketidakadaan data erupsi sehingga Sumut belum dianggap daerah tangguh bencana gunungapi serta diperparah oleh sikap masyarakat beranggapan wilayah ini tidak akan terjadi lagi letusan, sangat membahayakan dan dapat menyebabkan korban mencapai 45 persen dari total jumlah penduduk yang mendiami suatu kota yang dekat dengan gunungapi, jangkauan erupsi/letusan gunungapi bisa mencapai minimal 5 km maksimal 21 km tergantung tingkat kekuatan letusan gunungapi. Studi kasus ini bisa diambil dari pelajaran gunungapi Sinabung.
SOSIALIASASI MITIGASI
Selain pola tata ruang investasi KRB, maka sosialisasi mitigasi bencana gunungapi belum menjadi bagian dari budaya hidup bagi masyarakat Sumut yang berada dalam jangkauan erupsi sejauh maksimal 21 km. Bahwa mitigasi bencana gunungapi bagian dari manajemen bencana (disaster management) atau manajemen darurat (emergency management). Manajemen bencana meliputi : penyiapan, dukungan, dan pembangunan kembali suatu masyarakat yang terkena bencana alam (natural disaster) atau bencana buatan (man-made disaster). Manajemen sosialisasi mitigasi bencana gunungapi adalah suatu proses yang harus diselenggarakan terus menerus oleh segenap pribadi, kelompok, dan komunitas dalam mengelola seluruh bahaya (hazards) melalui usaha-usaha meminimalkan akibat dari bencana yang mungkin timbul dari bahaya tersebut, karena gunungapi sudah diketahui kapan mengeluarkan erupsi/letusan (plumed), maka perlu diadakan secara kontinu pengenalan tentang bahaya, daerah aman, daerah kawasan rawan dan daerah zona risiko erupsi. Namun hal ini belum terbumikan.
Masyarakat Sumut harus memahami mitigasi bencana gunungapi pertama, sebagai upaya untuk pengurangan resiko atau sosialisasi resiko individu, kedua, sebagai wahana sosialisasi informasi geologi untuk pengurangan kerentanan bahaya atau bencana lingkungan lokal dalam suatu tata ruang di daerah rawan bencana, serta ketiga, sebagai upaya manajemen edukasi untuk mereduksi-menekan jumlah korban material dan fisik dan keempat, sebagai upaya mendorong masyarakat untuk memahami geologi sebagai sumber pengembangan sumber daya manusia dalam pembangunan berkelanjutan.
PELAJARAN BERIKUTNYA
Sumut harus bercermin dari pengalaman tahun 2010 dan 2013, walau baru satu gunungapi yang meletus dan naik kelas, yaitu Sinabung dari mimpi lama sekitar 400 tahun lebih. Sinabung memperlihatkan gejala alam agar manusia belajar dari multi resiko bencana alam setelah gempa besar Nias, banjir dan musibah lingkungan. Tujuannya sudah jelas, agar pemerintah dan masyarakat Sumut arif dalam memahami hidup dan beraktivitas disekitar gunungapi dapat membahaya keselamatan serta dapat mengganggu kondisi gunungapi itu sendiri.
Hikmah yang diambil dari letusan Sinabung bagi pemerintah daerah Kabupaten/Kota adalah agar menyusun kebijakan yang tegas dalam perencana pembangunan tata ruang investasi lahan yang mengikuti tingkatan bahaya dalam pola tata ruang KRB, menjadi prosedur tetap dalam memberikan izin kelayakan pembangunan fisik investasi yaitu dari tingkatan bahaya KRB III (tinggi), KRB II (menengah) dan KRB I (rendah). Memperkirakan arah erupsi gunungapi dengan mempelajari karakteristik geologi letusan gunungapi dimasa lalu, berguna sebagai pedoman pengendalian investasi pembangunan ditingkat lokal, mencegah penurunan daya tahan investasi fisik serta peningkatan ketahanan sosial ekonomi untuk menghadapi kejutan eksternal (external shock) bencana berikutnya, berkaitan langsung dengan upaya lokal dengan karakter lokal sehingga membutuhkan manajemen informasi geospasial yang memadai.
Disiplin menjalankan aturan SOP yang sudah ditetapkan dalam peta KRB, maupun peta KGT untuk mengurangi resiko bencana gunungapi di Sumut suatu saat nanti, yaitu pertama, meningkatkan manajemen sosialisasi bencana gunungapi bagian dari program pembangunan, kedua meningkatkan kesadaran dan membangun kapasitas mitigasi bencana melalui penataan ruang yang berada dalam zona KRB dan zona resiko letusan gunungapi yang banyak melibatkan aspek sosial, budaya dan teknis secara simultan.
Sehingga Sumut tangguh dan cemerlang dalam membangun pengurangan resiko bencana letusan gunungapi di perkotaan yang dapat menjangkau wilayah inti dan pesisir perkotaan, serta cerdas memahami gejala-gejala alam gunungapi karena sebagian besar tata ruang kota di Sumut banyak masyarakatnya menetap di kawasan pegunungan dimana proses geologis masih berlangsung kembali, membutuhkan pemahaman karakteristik kebencanaan yang berlangsung didaerah tersebut sebagai upaya untuk mempersiapkan cetak jejak masa lalu, masa kini dan masa sekarang dalam bentuk informasi peta daerah rawan bencana untuk landasan pembangunan fisik.
Sadar akan kondisi lingkungan gunungapi, akan membuat manyarakat lebih waspada dengan resiko yang dihadapi maka pelatihan dan simulasi mitigasi harus diadakan secara teratur berbasis masyarakat dan memasukan kedalam kurikulum pendidikan dasar sesuai dengan budaya kearifan lokal yang membentuk karakter masyarakat Sumut disekitar gunungapi.
M. Anwar Siregar
Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer-Kelautan.

Pentingnya Tata Ruang Megathrust Gempa Aceh : Geologi Mitigasi

PENTINGNYA TATA RUANG MEGATHRUST GEMPA ACEH
Oleh : M. Anwar Siregar
Semakin terbukti, Aceh sangat memerlukan standar building code segala jenis pembangunan fisik untuk menyesuaikan kondisi percepatan puncak batuan atau PGA. Gempa Aceh tidak akan berhenti walau sesaat, dan menunjukkan bahwa seismitas energi dikawasan ini masih akan terus melepaskan energi akibat ketidakseimbangnya zona-zona energi penyerapan seismik diperbatasan lempeng, yang menyusun kerak bumi di tepi kontinen lempeng Eurasia, dan diketahui bahwa selama belum ditemukan keseimbangan isotatis maka gerak dinamis lempeng bumi akan selalu memacarkan suatu pendesakan dan “pengumpulan tenaga dalam gempa” yang akan berdenyut seperti nadi darah yang tersumbat untuk kemudian meletus atau dilepaskan secara tiba-tiba, dan merupakan gambaran ke gempa megathrust yang lebih besar lagi kekuatan dapat mencapai lebih 8,5 SR, megathrust merupakan karakter gempa yang selama ini menjadi identik zona gempa di bagian utara sumatera.
KARAKTER GEMPA NAD
Blok gempa di Aceh-Simeulue ataupun daratan gempa Singkil-Meulaboh-Pidie-Kutacane-Sabang merupakan wilayah kegempaan paling teraktif di kawasan pantai barat maupun daratan Sumatera dengan periode pelepasan energi sangat singkat dengan zona penyerapan energi paling rendah diantara tiga zona subduksi megathrust yang ada di Pantai Barat Sumatera yang mengalami pengoyakan yang lebih mendalam dengan tingkat PGA [peak ground acceleration] atau tingkat goncangan tanah suatu tempat karena pengaruh batuan dasar diatas 7 Mw. Nilai PGA ini seharusnya digunakan dalam penentuan tata ruang gempa melalui pemetaan mikrozonasi gempa untuk kekuatan infrastruktur building code di suatu kawasan rawan gempa di Aceh dan Indonesia secara umum.
 


Gambar : Dinamika umum tektonik Indonesia diperlihatkan oleh respon Kepulauan Indonesia terhadap pergerakan relatif tiga lempeng bumi dari data GPS (Global Positioning System). Panah besar merah adalah kecepatan gerak dari lempeng. Panah-panah hitam menunjukkan kecepatan gerak dari lokasi tempat pengukuran monumen GPS antara tahun 1989 dan 2002 (sumber dari Bock, 2003).

Karakter yang biasanya membentuk mekanisme gempa besar di wilayah Aceh-Simeulue adalah mekanisme pergerakan/pergeseran lempeng akibat tumbukan lempeng besar yang menghasilkan deformasi sesar vertikal (thrust fault). Sesar vertikal dikarakterkan oleh pergerakan lempeng kerak bumi yang saling bertumbukan dan membentuk zona subduksi yang menimbulkan gaya yang bekerja baik horizontal maupun vertikal, efek dari model gerak sesar vertikal ini membentuk pegunungan lipatan, jalur gunungapi/magmatik, persesaran batuan, dan jalur gempa bumi serta terbentuknya wilayah tektonik tertentu.
Karakter gempa lainnya yang terdapat di kawasan Aceh-Simeulue adalah banyak ditemukan lembah-lembah maut berhadapan langsung dengan palung-palung laut dalam, merupakan gambaran umum gempa-gempa besar di masa mendatang karena pantai-pantai yang berhadapan langsung dengan pembenturan antar lempeng didasar laut. Hasil penelitian ilmuwan membuktikan hal tersebut, menemukan bahwa akibat gempa Aceh sejak tahun 2004 banyak ditemukan lembah-lembah maut di Laut Aceh disekitar zona subduksi Aceh menuju Palung Laut Dalam Andaman-Nikobar dengan kedalaman bervariasi antara 40-60 km, menyebabkan tsunami sering terjadi dengan karakter tunjaman mencapai dibawah 10 derajat kelandaian.
Penyebabnya karena lantai samudera di Pulau Sumatera lebih muda termasuk di kawasan subduksi Aceh-Andaman-Nias-Simeulue, terbentuk terpadatan dan sering mengalami daur ulang kerak bumi sekitar 55 juta tahun daripada Pulau Jawa, sedangkan usia lantai samudera di bawah Pulau Jawa sekitar 100 juta tahun dan jarang mengalami perubahan dan pergeseran kerak bumi yang menghasilkan gempa megathrust.
Dengan karakter usia muda, maka daya apungnya masih tinggi, densitasnya lebih ringan dan lantainya lebih landai serta aktif lebih bergerak dan menyusup dengan sudut penunjaman yang lebih landai sehingga akan menimbulkan gaya gesekan yang lebih kuat dengan skala gempa rata-rata mencapai diatas 7 SR.
Lanjutan bahaya gempa dizona subduksi konvergensi masih menerus menekan daratan Aceh di tiga titik patahan sumatera yaitu Segmen Tripa, Segmen Aceh dan Segmen Seulimeum, gempa Bener Meriah berpusat di daratan di segmen tripa dan merupakan gempa sesar geser, tetapi juga terjadi sekarang disekitar kawasan gempa a-seismik, gempa-gempa yang masih sering terjadi di Aceh di daratan merupakan wilayah dari gempa a-seismik akibat dari fracture atau kawasan mengalami investigasi gempa kuat dalam zone terdekat zona gempa terdahulu dikenal sebagai investigator fracture zone [IFZ] yang menimbulkan gempa akibat tekanan sesar geser dampak dari deformasi gempa Aceh 2004 yang memicunya menjadi aktif. Gempa sekarang dalam kurung empat bulan merupakan indikasi adanya INF di daratan yang bersambung dengan zona INF subduksi.
Coba perhatikan kondisi tata ruang kota-kota yang berada dalam lingkungan geomorfologi di dataran patahan Tripa-Seumelium, lembah tektonik Gayo, di daratan pegunungan ini akan terlihat kondisi tanah yang mudah terbelah dan terkoyak, dan daerah ini di perkirakan terdapat gempa a-seismik yang telah melakukan penguncian lebih 50 tahun dan dapat menghasilkan kondisi peretakan kulit bumi yang dikenal dengan istilah saat ini yaitu investigator fracture zone (IFZ), kemunculan berdampak dari tekanan pecahan gempa megatrush 2004.
TATA RUANG
Dengan melihat gambaran karakter magathrust Aceh-Simeulue, dan adanya indikasi IFZ tertekan menuju ke zona subduksi Simeulue oleh gerak sesar geser atas yang dapat menimbulkan tsunami ke daratan, menekan beberapa segmen patahan Aceh, maka perencana tata ruang wajib mencermati hal ini, dan menyesesuaikan geomorfologi fisik bagi tata ruang kota yang wilayahnya bersentuhan dan terbelah serta berada di kawasan tinggi Alas, Gayo dan Leuser dalam pembangunan rehabilitasi dan rekonstruksi gempa tahun 2013, mengingat gempa tahun 2004 itu kini memasuki priode ulang gempa diatas 10 tahun.
Pemahaman karakteristik tata ruang megathrust gempa Aceh-Simeulue sangat penting dalam pembangunan tata ruang di Propinsi NAD untuk mengurangi bencana, jika bisa dimulai tahun depan, karena hal ini tidak terlihat pada rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh akibat gempa tahun 2004 lalu, belum menunjukkan suatu perencanaan tata ruang yang berketahanan gempa yang tangguh, masih ada ruang atau lahan yang telah diidentifikasi sebagai daerah rawan tsunami masih tetap ditempati dengan membangun prasarana hotel menjorok ke pantai, begitu juga standar fisik infrastruktur jalan dan jembatan masih mudah mengalami efek gempa yaitu efek goncangan berganda, fleixsure dan likuafaksi akibat pembangunan yang tidak sesuai prosedur tetap standar teknis pembangunan jembatan. Masih terlihat beberapa kawasan pantai di Aceh dan Kabupaten di Aceh seperti Simeulue, Pidie dan Bener Meriah belum terbentengkan oleh prasarana bangunan tahan gempa dan sarana pertahanan struktural fisik berupa pemecah gelombang tsunami.
Tidaklah mengherankan terjadi gempa lagi, masih akan ada korban dalam jumlah besar. Siapkah Rakyat Aceh dan Indonesia menghadapi megathrust berikutnya jika perilaku pembangunan tata ruang belum juga mencerminkan karakter tata ruang yang humanis dengan bencana, tidak mencerminkan pelajaran sejarah kebencanaan geologi gempa di masa lalu? Nestapa hanya menunggu waktu. Jadi, gempa Aceh bulan Oktober 2013 merupakan salah satu gempa yang memberikan contoh, bahwa bagaimana pentingnya tata ruang dan konstruksi bangunan tahan gempa dalam mengurangi dampak bahaya, dengan guncangan kekuatan gempa 5,6 SR saja sudah banyak rumah mengalami kehancuran dan sarana jalan terbelah sepanjang lima meter.
Dengan kata lainnya, Rekonstruksi NAD 2004 lalu belum tangguh menghadapi gempa besar berikutnya.
M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, Tulisan ini sudah dimuat di HARIAN ANALISA MEDAN, 2013

Related Posts :