Jan 20, 2015

Kabut Asap Bukan Budaya Indonesia : Geologi Lingkungan

KABUT ASAP, BUKAN BUDAYA INDONESIA
Oleh M. Anwar Siregar
Persoalan dalam penanggulangan bencana asap yang muncul lagi di permukaan adalah merupakan sosial budaya masyarakat, bencana kabut asap tidak boleh dijadikan budaya, karena itu faktor sosial budaya perlu ditanamkan untuk menanggulangi bencana yang kerap terjadi di Hutan Riau dan Kalimantan.
Perlindungan hutan harus menjadi bagian budaya manusia Indonesia untuk mencegah bencana global yang semakin meningkat tajam, upaya perlindungan hutan dari aksi illegal logging juga perlu ditingkatkan sehingga mencegah dampak yang lebih luas, terutama ruang untuk melakukan perusakan hutan di kawasan Tamanh Hutan Bumi seperti geopark, atau geobiodiversity yang banyak tersebar di beberapa wilayah Indonesia.
Budaya membangun hutan dapat dimulai dari diri sendiri dengan memproteksikan kesadaran diri yang holistik dengan dasar fundemental yang kuat dengan fokus menganggap hutan merupakan sumber kehidupan dengan mengembalikan marwah hutan ke fungsinya sediakala sebagai salah satu keseimbangan alam di bumi, maka budaya melestarikan hutan sudah menjadi kewajiban tanpa harus menunggu “perintah” dari luar.
 (Analisa/said harahap) TERTUTUP KABUT ASAP: Matahari memancarkan sinar merah redup akibat tertutup asap beberapa waktu yang lalu. Potensi kebakaran hutan kawasan Riau semakin meningkat sehingga dapat menimbulkan polusi udara dan mengganggu kesehatan.
 http://analisadaily.com/lingkungan/news/kabut-asap-bukan-budaya-indonesia/65799/2014/09/21
Hutan rusak akibat dampak kabut asap, maka yang merasakan bukan saja masyarakat yang hidup didekat hutan, melainkan juga masyarakat luas antar Negara, sebagai refleksi, ingat kejadian kabust asap yang lalu, sering berlangsung setiap tahun sehingga merugikan berbagai elemen kehidupan dan ekonomi, kesehatan dan fungsi keseimbangan lingkungan yang membutuhkan dana miliaran rupiah dalam mengembalikan ke kondisi alamiah, dan hal ini tidak akan pernah pulih.
HARUS JERA
Jika dilihat dari Budaya Politik, maka bencana kebakaran hutan dapat menimbulkan budaya negatif, yaitu image jelek bagi pemerintah, kadang merendahkan martabat bangsa karena kita dituntut minta maaf kepada negara tetangga. Maka faktor kesadaran diri manusia lah yang seharusnya menjadi titik utama untuk mengembalihkan marwah  hutan ke lingkungan hijau melalui budaya kearifan lokal yang menjadikan hutan adalah titik utama bagi keseimbangan alam di muka bumi.
Jika dilihat dari faktor Ekonomi, maka bencana kabut asap banyak merugikan kepentingan nasional dan efek negatif bagi Indonesia dalam pergaulan bisnis dan perdagangan internasional karena kita dianggap tidak becus dalam mengurus aspek kecil berupa pembinaan mental terhadap etika diri dalam merawat investasi bisinis yaitu bagaimana merawat hutan-hutan yang memiliki potensi sumber daya untuk menjadi potensi sumber daya ekonomi dalam mengendalikan kerusakan hutan.
Silahkan buka lembar berita kejadian bencana kabut asap antar negara, dan catatlah berapakah jumlah kerugian yang dialami Indonesia, lalu jumlahkan dengan kerugian yang dialami oleh negara tetangga, siapa yang untung? Kita lah yang paling merasakan kerugian karena sudah hancur hutan Indonesia, dibotaki lalu keuntungannya di bawah ke luar negeri dan pemerintah harus mengeluarkan biaya ”penyelamatan” yang lebih besar daripada keuntungan yang didapat. Maka hilangkanlah budaya membakar hutan.
Jika dilihat dari faktor kesehatan lingkungan, maka banyak berbagai jenis penyakit berdatangan, yang paling ditakuti saat ini adalah perubahan iklim dan cuaca yang sering terjadi di Indonesia, sehingga banyak merugikan waktu berbagai sektor bidang seperti penerbangan, ekonomi, perdagangan, kesehatan manusia dan lingkungan merosot tajam, kualitas sumber daya alam dan manusia menurun. dan lain sebagainya.
Maka hilangkan tradisi kabut asap itu, hanya untuk mengejar keuntungan sesaat sedangkan bencana alam terus menghantui umat manusia di bumi.
PEMBINAAN BUDAYA
Budaya faktor manusia lebih dominan yang perlu ditingkatkan saat ini yaitu pembinaan budaya mental untuk mencintai hutan, sehingga cara lama yang biasanya digunakan seperti membakar alang-alang liar di hutan yang berhektar-hektar, membersihkan kebun ditengah hutan dengan cara membakar yang berdampak pada bencana kabut asap antar negara itu perlu di hilangkan, bertanggung jawab untuk mengawasi cara-cara lama membersihkan kebun ditengah lokasi hot spot (daerah titik panas) seperti daerah pertambangan maupun daerah yang diidentifikasi memiliki lahan gambut dan batubara. Karena keduanya merupakan sumber ”pelumas” dan penghasil CO2 terbesar jika diinjeksi ke atmosfir.
Pembinaan budaya mental melalui aturan undang-undang dan hukum kepada masyarakat, pengusaha dan perusahaan untuk memahami bahwa alam Indonesia tidak bebas dari bencana ekologis dan geologis. Perlu mengasah hati untuk memahami bencana lingkungan, dan jika dilihat dari jenis penyebab bencana lingkungan adalah banjir dan longsor, faktor penyebab kedua jenis bencana ini adalah Hutan yang mengalami ketidakseimbangan ekologis berdampak pada berbagai jenis bencana lainnya seperti perubahan cuaca di atmosfir oleh pemanasan global, kerusakan lapisan ozon, hujan asam. Dengena berkuranya fungsi hutan sebagai ruang terbuka hijau, rentetan bencana akan terus berlangsung.
LANGKAH SELANJUTNYA
Maka budaya kelestarian hutan harus menjadi bagian kehidupan sehari hari untuk menghilangkan kebiasaan membakar dan selama ini tidak merasa terjera atau bersalah. Untuk langkah ini kita dapat memulai dengan beberapa hal sederhana namun efeknya sangat luas bagi lingkungan kita antara lain :
1. Yang perlu dilakukan adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa mereka dapat memanfaatkan petensi sumber daya hutan sekaligus menjaga fungsi konservasi. Salah satu yang bisa dilakukan adalah pendidikan budaya hutan. Pendidikan kearifan lokal berbasis budaya kelestarian hutan, dengan menghilangkan kebiasaan membakar hutan.
Hal ini penting, mengingat sebagian besar yang membakar hutan adalah warga dengan tingkat pemahaman pendidikan rendah dan ekonomi bawah (maaf, penulis bukan bermaksud merendahkan), terlihat umumnya mereka adalah tenaga kerja terbawah dalam struktur organisasi kerja. Dan kenyataanlah mereka sering di ”peralat” oleh yang berkuasa.
2. Mempersiapkan komposisi Sumber Daya Manusia di tiap Desa untuk memberikan penyuluhan terhadap Program Pembangunan Eknomi berbasis Hijau dengan memberikan cara-cara yang humanis untuk melakukan pembersihan hutan dan perkebunan, dengan prinsip menebang pohon di hutan harus ada sistim ganti rugi  atas pohon yang ditebang dengan menggunankan motto satu hilang tanam sepuluh pohon, untuk itu perlu pembinaan dan penyuluhan pembibitan berbagai jenis pohon untuk kaderisasi, masyarakat dapat menawarkan pembibitan tersebut kepada pihak pengusaha dalam sistim perdagangan, dan masyarakat juga dapat menawarkan jasa untuk membersihkan hutan dengan cara daur ulang sampah yang berupa alang-alang liar menjadi pupuk alamiah, alanga-alang liar yang kering dan basah itu dikumpul, diangkut di suatu tempat, lalu dihancurkan dengan cara membasakan setelah dibabat. Yang basah dibiarkan dulu kering lalu ditimbun dengan tanah galian. Proses ini akan mengalami penguraian waktu dan menjadi hancur secara alamiah di dalam tanah.
Dengan cara ini, kebiasaan membersihkan hutan dengan cara lama yang membakar hutan ke cara yang lebih sehat dan ada pengawasan secara ketat, dan titik panas api dapat di kontrol lebih ketat. Sehingga kabut asap yang sering terjadi di Pulau Sumatera dan Kalimantan dapat mengurangi efek kabut asap. Sekali lagi, hilangkan kebiasaan membakar hutan yang menghasilkan kabut asap, karena itu bukan budaya masyarakat Indonesia.
M. Anwar Siregar
Enviromental Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer. Tulisan ini sudah di Publikasi di Harian ANALISA Medan

http://analisadaily.com/lingkungan/news/kabut-asap-bukan-budaya-indonesia/65799/2014/09/21

No comments:

Post a Comment

Related Posts :