Apr 23, 2015

TATA RUANG GUNUNGAPI DALAM PERSPEKTIF ISLAM : Geologi Mitigasi

TATA RUANG GUNUNGAPI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Oleh : M. Anwar Siregar
Pembangunan tata ruang gunung api di Indonesia merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak, mengingat beberapa kearifan lokal telah ditinggalkan oleh masyarakat akibat arus deras modernisasi sehingga data informasi geologi sebagai dasar pembangunan fisik serta pemanfaatan informasi geospasial tematik sudah harus dijadikan fokus utama dalam mereduksi sejumlah kehancuran fisik di sekitar daerah rawan bencana letusan gunung api serta meredam trauma bencana gunung api di Indonesia, mengingat lagi bahwa 60 persen tata ruang kota besar sedang berada dalam lingkungan ancaman bencana gunungapi. Dengan kata lainnya, kita harus menata ruang di sekitar gunung api agar dapat hidup harmonis dengan kemajuan pembangunan.
REFLEKSI BENCANA
Kehancuran beberapa tata ruang kota yang berada dalam radius ancaman gunung api di Indonesia dapat diminimalkan melalui aspek penataan ruang wilayah yang berketahanan bencana, yang dikaji dari pemetaan karakteristik geologis dan pemanfaatan semua data-data kerentanan tanah dan informasi geologis kegempaan lokal yang tinggi (local seismic zonatian map)serta percepatan kekuatan batuan dalam menghadapi perubahan deformasi fisik bumi.
Refleksi dari sejarah kebencanaan tata ruang gunung api di Indonesia sudah harus benar-benar dijadikan pelajaran. Bahwa letusan gunung api di berbagai daerah merupakan peringatan untuk menata ulang kembali tata ruang yang telah mengalami gangguan ekologis dampak dari manusia yang memandang dan memahami lingkungan atau alam itu sebagai realitas yang terjadi sendiri. Pola pikiran seperti ini harus dirubah.
Refleksi dari bencana lingkungan di gunung api, manusia Indonesia bercermin dari budaya kearifan lokal yang telah teruji secara empirik, dan telah menjadikan masukan besar bagi pengetahuan dalam penanggulangan bencana alam, refleksi tersebut dapat dilihat dari beberapa literatur kearifan lokal tentang kejadian bencana alam gempa, tsunami dan penataan ruang lingkungan hutan di kaki gunung api, sehingga manusia yang menganggap dirinya sebagai makrokosmos yang membungkus manusia sebagai yang lebih besar dari alam harus tetap bercermin dari budaya tersebut bahwa sumber bencana alam khsusunya di kaki gunung api adalah manusia sesungguhnya.
Kitab Al Quran surat QA Al Hadid, 22-24 mengayatakan sebagai berikut : Tiada suatu pun bencana yang menimpa di Bumi atau pada dirimu sendiri, melainkan sudah ada “Kitab” (catatan) sebelum kami (Tuhan) mewujudkannya. Sungguh bagi Allah, Yang demikian itu mudah”. Lihat sumber utamanya di dalam suatu penataan ruang wilayah baik dari sudut penataan vertikal maupun dalam penataan horizontal, yang sudah tertata dengan baik oleh alam hancur akibat keserakahan manusia.
TATA RUANG GUNUNGAPI
Dalam perencanaan tata ruang wilayah akan dibagi beberapa sistimatika karakteristik bentang alamnya, khususnya gunung api di bagi beberapa kawasan rawan bencana (KRB) dan zona aman bencana letusan gunung api, setiap kawasan atau zona tersebut harus dipatuhi. Kajian ini dibagi dua pandangan yaitu dari Perspektif Islam dan Perspektif Geologi Tata Ruang Lingkungan. Dilihat dari perspektif Islam bahwa manusia wajib menjaga lingkungan, menjaga keseimbangan alam, tidak menghancurkan, manusia diwajibkan untuk memahami bahwa lingkungan Bumi itu sebenarnya memiliki “nyawa”. Dalam perspektif geologi tata ruang gunung api, harus memperhitungkan fakta ekologis yang memiliki keragaman secara horizontal dan secara vertikal.
Keragaman secara horizontal terkait dengan perbedaan bentang alam/bentuk lahan, tubuh tanah dan litologi yang skalanya dapat dibagi dari tingkat terkecil. Sedang keragaman vertikal terkait dengan iklim, vegetasi, fauna dan manusia yang beraktivitas di suatu wilayah, misalnya disekitar kaki pegunungan. Pada sisi lainnya, wilayah juga dapat dibagi atas berbagai satuan lahan berdasarkan kesamaan karakteristik horizontalnya dan isinya yang merupakan satuan input secara vertikal.
Ambil contoh, pola tata ruang lahan Gunungapi di Jawa Tengah dan Sumatera Utara yang diwakili oleh Gunung Merapi dan Gunung Sinabung, dalam pandangan Islam bahwa kedua daerah tata ruang gunungapi di wilayah ini telah mengalami perubahan baik dalam lajur horizontal dan vertikal, bencana yang terjadi sudah dapat diprediksi karena mulai nampak jelas bahwa kedua gunung api ini telah mengalami gangguan termo fisik secara horizontal dengan penataan dan pemanfaatan lahan khususnya di gunung api Sinabung melampaui batas daya dukung, karena banyak pihak mengabaikan fakta bahwa letusan yang terjadi bukan karena bencana alam tetapi gangguan termo fisik disekitar gunung api oleh penghancuran manusia.
Jika dilihat secara geologis melalui tahapan skala waktu geologi, wilayah ini sudah tidak sesuai peruntukan fisik lahan, disebabkan akan ada perulangan.periode tertentu bahwa kejadian masalah lalu akan selalu berulang, dan bumi menurut beberapa surat dalam al Quran menyebutkan bahwa Bumi merupakan makhluk yang hidup, dan gunung api itu bagian dari bumi selalu bergerak dinamis mengikuti perkembangan hukum alam.
Misalnya, dari sudut pembagian wilayah Iptek manusia maupun dalam pengetahuan lingkungan Islam keduanya ada hubungan keterkaitan bencana yang terjadi yaitu jika berdasar karakteristik fisiografis atas satuan geomorfologi dalam bentuk karakteristik lahan, tanah dan vegestasi dalam skala tertentu melalui proses pembentukan dan tahapan perkembangan dalam skala waktu bumi/geologi maka daerah tersebut memang telah mengalami deformasi fisik lahan yang dilakukan oleh manusia dengan membangun bangunan permukiman pada daerah rawan bencana, yang belum disesuaikan dengan standar building code pada daerah rawan bencana gunung api, mencetak daerah persawahan dan perkebunan pada daerah gunung api yang tidak aktif pada kemungkinan akan meletus melalui proses dan tahapan waktu geologi (Studi kasus gunung api Sinabung yang naik kelas), mengabaikan peruntukan di Rencana Tata Ruang Wilayah sering terjadi benturan penggunaan dan pemanfaatan kepentingan ekonomi maupun pemodal, telah berulangkali terjadi, namun pembelajaran masih dilupakan untuk diantisipasi, (sudi kejadian lihat bencana gunung api Sinabung, gunung api Lokon serta gunung Merapi).
Dengan demikian satuan fisiografi tata ruang gunung api meliputi aspek bentuk lahan yang digunakan untuk pertanian daerah ekologi hijau, sabuk bencana, sumber daya berkelanjutan serta proses tahapan geologi (deformasi) dalam perkembangan suatu wilayah. Sedang dalam aspek Islam, proses dan siklus bumi, menjaga keseimbangan dan pemanfaatan ruang dalam suatu lingkungan di Bumi.
LINGKUNGAN ISLAM
Sejak dulu, gunung api sudah dipahami masyarakat sebagai mitos kekuatan alam, sumber daya bagi kehidupan dengan berbagai ritual sesembahan bagi roh yang menghuni gunungapi. Melihat kenyataan tersebut, mestinya tata guna lahan yang berada di kaki pegunungan dijadikan sebagai keseimbangan alam tanpa gangguan fisik berat serta konservasi lahan abadi untuk segala sumber daya kehidupan dengan berbasis ramah lingkungan lestari, firman Allah SWT : “Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah membuat kerusakan di muka bumi”, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS. 2 : 11). Keingkaran mereka disebabkan karena keserakahan mereka dan mengingkari petunjuk Allah SWT dalam mengelola bumi ini. Sehingga terjadilah bencana alam dan kerusakan di bumi karena ulah tangan manusia.
Bertitik tolak dari kondisi ini, coba bayangkan, jika kita mengalami beban berat tekanan akibat sakit karena bagian tubuh terus mengalami gangguan seperti ditusuk beratus ratus benda tajam menghujam ke dalam tubuh tanpa ada keseimbangan/perbaikan? Seperti itulah yang terjadi di tata ruang gunung api Sinabung. Pola geologi tata ruang lingkungan di Sinabung kini telah banyak berubah, apa yang telah ditata untuk ekologi hijau seperti pertanian dan wisata kini telah mengalami penghancuran, hutan konservasi dan hutan lindung dalam radius 2 km tergerus oleh gedung beton serta penempatan tata ruang hunian telah mengganggu aktivitas “urat nadi” keseimbangan di kaki di Sinabung.
Sinabung telah memberikan pelajaran, bahwa lingkungan di gunung api merupakan sumber penghidupan, jika kemudian ada bencana berulang dalam relatif singkat di gunung api yang sama merupakan wujud adanya keingkaran manusia telah merusak lingkungan gunung api di bumi.
M. Anwar Siregar

Enviromentalist Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer,  Di Publikasi di Harian ANALISA MEDAN, 2014

GEMPA MALUKU DI LEMPENG “HILANG” : Geologi Disaster


GEMPA MALUKU DI LEMPENG “HILANG”
Oleh : M. Anwar Siregar
Gempa di Kepulauan Maluku dan Sulawesi Utara 15 November 2014 merupakan daerah pertemuan triple junction plate, daerah dengan tingkat kebencanaan geologi yang tinggi, tidak mengherankan seringkali terjadi gempa dengan skala yang cukup kuat setiap bulan. Gempa dan tsunami sudah pernah terjadi didaerah ini, menenggelamkan beberapa Desa-desa pada abad 18 lalu, dan sebagian daerahnya terbentuk oleh proses geologi subduksi antar lempeng yang membentuk rangkaian kepulauan pegunungan api yang kompleks.
Gempa dan vulkanik merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Maluku yang mesti disingkapi dengan arif, bahwa wilayah Kepulauan Maluku merupakan daerah pertemuan Sirkum Mediteran dan Sirkum Pasifik yang melingkar dan bertemu langsung dititik hunjaman parit Banda Neira sebagai batas lempeng Paparan Sahul, di luar titik hunjaman lempeng Kepulauan Maluku masih terdapat zona lingkaran ruang kosong atau seismic gap gempa yang kompleks oleh proses pembentukan lempeng bumi di masa silam.
BUSUR GUNUNGAPI
Serangkaian gempa yang terjadi diwilayah Kepulauan Maluku merupakan akumulasi energi yang tertekan akibat penekanan dan penghancuran batuan di zona litosfera, yang membutuhkan ruang terbaru dalam proses kontinen dalam membangun arsitektur bumi yang baru untuk menuju keseimbangan. Proses pembangunan ruang arisitektur kerak bumi itu telah membentuk berbagai pegunungan yang tidak terlihat dibawah laut. Karakteritik geologi wilayah perairan Maluku ada kemiripan dengan di perairan Pantai Barat Sumatera, keduanya sering terjadi gempa-gempa kuat dan merupakan polarisasi dari gerakan pembalikan energi keseimbangan antara Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia, silih berganti melepaskan energi gempa. Terbentuk rangkaian pulau-pulau kecil subdukasi atau busur-busur kepulauan gunungapi yang memanjang sebagai bagian dari kelanjutan “ring of fire”, yang saling berinteraksi, berotasi, bersinggungan dengan jalur pertumbukan dan pemisahan antar lempeng, jalur vulkanik yang aktif dan panjang, sehingga gempa dapat terjadi serentak dengan gempa vulkanik yang dapat menekan zona a-seismik di daerah daratan Papua.

Interaksi lempeng di kawasan utara Sulewesi dan Maluku 
(Sumber Gambar : Internet dan berbagai sumber)

LEMPENG “HILANG”
Penyebab utama sering berlangsung gempa-gempa di Kawasan Indonesia Timur sebelum kejadian gempa dahsyat sekarang karena ada “ruang kosong” di perairan Maluku, ada lempeng “terlumatkan” memberikan keleluasan bagi gerak Lempeng Philipina dan Lempeng Carolina-Pasifik dengan tipe pertumbukan antar lempeng sebagai model dominan yang akan membentuk jenis-jenis sesar yang terdapat di daratan dan Laut Maluku Sulawesi.
Kondisi pembentukan geologi Kepulauan Maluku terjadi dimasa pembentukan Lempeng Sahul yang sekarang membujur di dasar Laut Maluku dan Halmahera dan melingkar di Laut Kepulauan Banda Neira dengan puluhan zona subduksi yang luas dengan pembagian mikrozonasi kegempaan yang aktif sehingga memerlukan penataan ruang kota-pulau dan kota darat yang berketahanan bencana.
Selama proses pembentukan daratan dan Pulau Maluku, terjadi terus menerus penekanan dua lempeng di Samudera Pasifik yang membentang di utaranya, penekanan lempeng Pasifik akibat kondisi anomaly magnetic yang tidak beraturan itu mampu menarik lebih kuat lempeng-lempeng kecil di Samudera Pasifik yang sudah terpecah-pecah lalu bergerak ke perairan Laut Maluku dan Kepulauan Sangihe. Proses penarikan oleh akumulasi dari polarisasi anomali yang kompleks. Terbentuk pola pembenturan simpang empat di Kepulauan Halmahera dan Teluk Tomini. Lempeng Maluku yang berada diantara kelima lempeng tersebut mengalami penghancuran dan terlumatkan ke dalam Lempeng Halmahera.
Akibat penyumatan terhadap Lempeng Maluku terbentuk lajur panjang patahan dan subduksi, membelah busur-busur vulkanis atau Kepulauan Maluku sekarang dengan berbagai jenis patahan/sesar lokal yang rumit, berinteraksi, berotasi satu sama lain, bersambung ke daratan Papua.
SUBDUKSI PATAHAN MALUKU
Gempa Maluku merupakan akibat fenomena geologi antara lain subduksi di patahan Maluku, akibat terjadinya penekanan oleh pergerakan lempeng di sekitar Maluku dan struktur zona kerak bumi yang rapuh oleh lempeng yang terlumatkan.
Pemicu gempa di kawasan Maluku secara keseluruhan dapat terjadi oleh subduksi dari interaksi antara tiga-empat lempeng, yaitu Lempeng Pasifik disebelah timur, Lempeng Eurasia di barat dan Lempeng Philipina yang mengarah ke barat laut, Lempeng Indo-Australia ke utara menuju sepanjang batas Lempeng Sunda di Laut Banda, yeng bergerak dengan tipe pertemuan lempeng yang saling berhadapan. Dampak tatanan geologi berupa terbentuk pulau-pulau pegunungan yang tersembul di permukaan dan rangkaian pegunungan api bawah laut dengan palung sangat dalam.
Kompleksitas di zona subduksi patahan Kepulauan Maluku semakin rumit, ada jurang pemisah antara ruang kosong seismik gap dengan sesar-sesar tidak aktif yang tertimbun oleh peledakan gunungapi bawah laut, terdapat juga parit yang panjang melingkar seperti “mangkuk” disekitar Kepulauan Seram menuju ke palung Laut Timor, pola sesar yang bergeser vertikal oleh penekanan gerak Lempeng Pasifik terhadap Lempeng Eurasia dengan titik pusat tekanan di Lempeng Sahul, seperti halnya Lempeng Sumatera yang ditekan oleh Lempeng Indo-Australia sehingga menimbulkan kejadian gempa dan tsunami.
Lajur patahan di subduksi Maluku ada juga yang berbentuk pola gerak frontal dan berinteraksi dengan lajur patahan subduksi tegak lurus di Teluk Tomini bisa mencapai panjang 100 km. Penekanan Lempeng Philipina membuka jalur baru penumbukan bersama Lempeng Pasifik, pembebanan terhadap Lempeng Sangihe ke Lempeng Halmahera menyebabkan terkompres dan terpatahkan secara vertikal ataupun bergeser, kondisi ini membangkitkan energi kekuatan gempa di pulau-pulau vulkanis dilingkaran Laut Banda, akibatnya ada gempa secara serentak dilokasi yang berbeda, dipicu gerak frontal dari perubahan anomali disekitar zona patahan yang ada di Laut Sulawesi dan utara Papua Barat.
Adanya pergeseran dan persentuhan kedua Lempeng Sangihe dan Lempeng Halmahera di sekitar lempeng yang hilang itu sehingga tampak jelas ada kelanjutan penekanan semakin kedalam di sekitar ujung Pulau Sulawesi menuju ke Laut Maluku, tidak mengherankan terjadi gempa yang hampir bersamaan dengan Gempa Manado dengan kekuatan 6.3 Skala Richter dan di susul beberapa jam kemudian menekan gempa Bitung dengan 5.3 SR, membuka perubahan kerentanan patahan naik yang tidak aktif serta sesar geser mendatar yang ditandai oleh pergeseran Lempeng Pasifik di barat Laut Biak, bersambung ke patahan subduksi Mayu. Kondisi geologi bawah permukaan ada gangguan ketinggian dan perubahan batimetri kelautan, melingkar ke Palung Seram dan menerus di Patahan Palung Timor . Panjang Patahan yang bersentuhan di zona subduksi Mayu dapat mencapai ratusasn kilometer karena ada interaksi Lempeng Pasifik dengan patahan Sorong sehingga gempa akan terasa kuat ke wilayah Australia dan Selandia Baru disebabkan ada zona subduksi disekita Laut Aru, terdapat Palung Aru.
Interaksi antar patahan ini perlu diperhitungkan bagi daerah yang rawan bencana gempa karena dapat saling memicu gempa pada zona subduksi yang berdekatan dan bersinggungan dengan gempa vulkanik yang banyak terdapat di Kepulauan Maluku dan Sulut di Samudera Pasifik. Bentuk kondisi patahan geologi seperti ini berpeluang menghasilkan tsunami maut dan mungkin megathrus terbesar kedua di Asia Tenggara.
TINGKATKAN KEWASPADAAN
Pemerintah dan masyarakat perlu memperhatikan gejala alam geologi tempat dimana aktivitas kehidupan berlangsung, antara lain kondisi tanah tempat bangunan seperti struktur pondasi bangunan yang besar dan berat, perubahan kondisi badan jalan dan jembatan, kekuatan pondasi bendungan dan jalan tol., bentuk perubahan geometri lereng sepanjang jalan, keadaan pola aliran sungai, gerakan tanah yang sering berlangsung.
Kewaspadaan dan siap siaga masyarakat yang perlu ditingkatkan, meningkatkan pengetahuan tentang bencana geologi dan pemahaman bangunan tempat tinggal dan kemampuan mengendalikan diri ketika gempa berlangsung.
Pemerintah daerah wajib juga memberikan penyuluhan dan sosialisasi penyebaran informasi geologi didaerah rawan bencana kepada masyarakat secara berkala dalam upaya pengurangan korban bencana alam dan pembangunan fisik yang berbasis mitigasi masyarakat.
M. Anwar Siregar
Envoromental Geologis, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer. Tulisan ini sudah dipublikasi di HARIAN ANALISA MEDAN, 2015
http://analisadaily.com/opini/news/



MEMAHAMI BENCANA LINGKUNGAN DALAM KEHIDUPAN

MEMAHAMI BENCANA LINGKUNGAN DALAM KEHIDUPAN
Oleh M. Anwar Siregar
Secara sederhana, bencana bisa didefinisikan sebagai suatu gangguan serius lingkungan terhadap fungsi-fungsi dalam lingkungan manusia yang menyebabkan kerugian ataupun kehilangan nyawa bagi makhluk hidup terutama bagi manusia serta material maupun penurunan daya dukung lingkungan akibat terbatasnya kemampuan lingkungan dalam mengikuti peningkatan populasi manusia di bumi untuk memulihkan kapasitas sumber daya kehidupan.
Sedangkan Mitigasi adalah bagian dari pengurangan risiko yaitu menjinakan, oleh karenanya, pengolahan manajemen risiko yang komprehensif terhadap ancaman bencana sangat dibutuhkan untuk mengurangi kerugian akibat bencana geologis, bencana klimatologi dan bencana sosial dalam suatu tata ruang lingkungan.
DINAMIKA MANUSIA
Manusia adalah dinamisator lingkungan yang paling kuat. Mengutip buku Guns, Germ and Steel karya Geografer Jared Diamond, bahwa posisi geografis mempengaruhi perilaku dan dinamika sosial masyarakat dalam menciptakan peradaban manusia di muka bumi, memiliki kemampuan logika dalam mengeksplorasi sumber daya alam dengan penyesuaian dengan lingkungan, beradaptasi berbagai perubahan lingkungan dengan daya logis yang diciptakan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang membentuk peradaban dan budaya mereka.
Dengan peradaban iptek ini manusia menciptakan budaya dan sekaligus juga berhadapan dengan kondisi yang kini mengancam kehidupan mereka melalui berbagai perusakan lingkungan di muka bumi, budaya yang tercipta, tergali dari alam kadang kini diabaikan sehingga menimbulkan permasalahan bencana lingkungan, berbagai kearifan yang mengutamakan unsur-unsur kolektivitas dalam menjaga keserasian alam mulai terkikis, akibat adanya egoisme diri, pembangunan yang ada kadang tidak dilengkapi oleh mekanisme demokratis sehingga mendorong masyarakat mencari tempat hunian di daerah rawan bencana, sehingga hal ini menimbulkan kompleksitas bencana dalam suatu tata ruang sehingga akar permasalahan semakin kompleks.
Dinamika kearifan budaya manusia seharusnya menjadi pengendali konflik tata guna lahan, dapat memfasilitasi kepentingan yang tersembunyi dari keserakahan individu dalam pemanfaatan kondisi lokal untuk keberlanjutan hidup masyarakat yang di daerah rawan bencana, lihat kejadian bencana lingkungan kabut asap dari kebakaran lahan dan hutan untuk perluasan perkebunan, kepentingan ekonomi.
KOMPLEKSITAS BENCANA
Mengkategorikan beberapa model bencana lingkungan sebagai upaya untuk mengurangi tingkat bencana di tengah masyarakat dan lingkungan hidup berdasarkan jenis ancamannya perlu dipahami lebih dulu dan sosialisasi secara berkala antara lain yaitu Pertama, penyebab bencana bisa berasal dari ancaman alam dan berasal dari ancaman buatan manusia. Bila dua jenis kategori ancaman ini bersamaan menyumbangkan bencana akan menimbulkan resiko lost generation dan multi crisis bagi dunia.
Kedua, berdasarkan frekuensi dan resiko bencana dapat diketahui masyarakat melalui kekerapan terjadinya berbagai jenis bencana yang terjadi lebih dari satu jenis bencana, sebagai contoh bencana banjir yang sering terjadi dengan frekuensi lebih dari sekali dalam sebulan yang menghasilkan bencana banjir yang sering terjadi di Indonesia akan menimbulkan dampak resiko yang menjadi lebih besar bagi aktivitas manusia dengan berbagai efek yang mengikutinya, misalnya terputus jalur logistik, jalur transportasi, kendala penerbangan, korban tidak pernah menurun. (Studi kejadian, bencana banjir Jakarta dan beberapa kabupaten di NAD).
Ketiga, dengan frekuensi bencana yang sering terjadi akan diketahui tingkat durasi dampak berdasarkan cepat atau lamanya kejadian yang dirasakan, misalnya gempa bumi, ataupun bencana banjir bandang yang dapat tercatat dalam hitungan beberapa menit atau jam, sedangkan bencana kekeringan bisa dalam hitungan bulan atau tahun. Durasi dampak bencana perlu diingat karena kejadiannya akan sering berulang sehingga perlu budaya SOP mitigasi secara menyeluruh. (Letusan gunung api di beberapa wilayah di Indonesia).
Keempat, dengan mengetahui durasi dampak bencana maka diketahui kapan laju kecepatan bencana terjadi, laju kecepatan terjadinya suatu bencana dapat dihubungkan dengan jarak antara gejala/indikator yang bisa diprediksi. Contoh, khususnya gempa bumi dapat dikategori dalam lingkup yang tidak diprekdisi kapan terjadi namun siklus kejadiannya dapat diperkirakan, namun tsunami terjadi tiba-tiba dan antara jarak lokasi bahaya dengan indikator dalam hitungan menit sebelum kejadian bencana menimpah suatu kawasan (Belajar atau pelajaran dari gempa dan tsunami Aceh dan Mentawai).
Kelima, berdasarkan lingkup ukuran dampak bencana bisa mencakup beberapa luas kewilayahan. Misalnya letusan gunung Sinabung hanya berdampak beberapa wilayah, seperti hembusan awan panas ke Medan dalam ukuran wilayah terbatas, sedang kekeringan bisa mencakup beberapa kota/kabupaten, propinsi atau suatu negara.
Keenam, berdasarkan potensi merusak maka masyarakat perlu membuat kategori perencanaan darurat dalam suatu wilayah, misalnya bencana banjir yang menyebabkan kematian manusia, memberikan kerugian ekonomi yang lebih besar tingkat kepulihan dalam bentuk bulanan. Ketujuh, bencana ada yang dapat diprediksi dan ada tidak dapat diprediksi dan memerlukan suatu kajian penataan ruang karena mencakup aspek luasan dampaknya seperti bencana gempa bumi sulit diprediksi.
BUDAYA SOP
Berdasarkan pemahaman kompleksitas dari bencana, maka komponen-komponen infrastruktur yang terbangun merupakan upaya pemenuhan kegiatan pengurangan resiko bencana. Namun belum diimbangi oleh pengetahuan dan pemahaman serta tindak nyata warga terkait pengurangan resiko bencana belum seimbang dengan prasarana dasar lingkungan permukiman yang telah terbangun.
Bertitik tolak dari berbagai bencana lingkungan yang berlangsung di Indonesia, maka perlu ditingkat budaya SOP mitigasi bencana lingkungan dalam kehidupan masyarakat Indonesia terutama yang paling mendesak adalah peningkatan kesadaran penyelamatan dan pelestarian hutan serta terumbu karang sebagai upaya pengendali minimal mengurangi efek perubahan iklim global yang kini sangat terasa di Indonesia, perlu upaya peningkatan pengetahuan dan pemahaman serta keterampilan pengetahuan lingkungan dalam menghadapi bencana. Kegiatan yang perlu ditingkatkan adalah membudayakan SOP mitigasi komprehensif dari tingkat komunitas dan atau desa/kelurahan untuk menghasilkan daya tahan terhadap bencana.
Sistim SOP mitigasi yang komprehensif tidak akan berjalan dengan baik jika tidak didukung oleh pola koordinasi organisasi yang tertata rapi. BNPB sebagai koordinasi penanggulangan bencana harus memiliki mobilitas yang tinggi dalam bergerak cepat untuk melakukan koordinasi antar lembaga dengan membangun serta menerapkan sistim informasi daerah bahaya dan terdapat potensi terjadinya bencana. Kerjasama antar lembaga riset dan perlu ditingkatkan untuk membangun kapasitas kesiagsiagaan, berupaya meretas rumitnya jalur biroktrasi manajemen pananggulangan bencana di Indonesia.
Pemerintah sekarang, harus memiliki visi kebencanaan yang tegas sesuai Undang-undang yang ada, agar penanganan bencana dalam kehidupan masyarakat maupun pemangku kepentingan tidak menggunakan istilah ”bencana dulu baru belajar kemudian”, budaya pikiran seperti ini seharusnya tidak lagi menjadi landasan/pegangan hidup di negeri yang telah diciptakan sebagai negeri yang bermacam menghadapi bencana dengan berbagai variasi tingkatan bahaya. Agar masyarakat tidak terkaget-kaget, panik dan menyebarkan isu-isu yang tidak bertanggung jawab ketika terjadi bencana, melemparkan tanggung jawab sehingga menimbulkan euforia ketakutan, serta pembiaran kerusakan lingkungan seperti kebakaran hutan sehingga menimbulkan bencana kabut asap antar negara.
Dengan pemahaman visi kebencanaan serta berbagai peraturan penanggulangan bencana dalam kehidupan masyarakat Indonesia, maka niscaya kita akan memiliki serta terbentuk sebuah masyarakat dan lingkungan yang tangguh menghadapi bencana, mandiri serta mampu membangun kapasitas dalam memulihkan diri dengan segera dari berbagai trauma bencana.
M. Anwar Siregar
Enviromental Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer. Tulisan ini sudah dipublikasi di HARIAN ANALISA MEDAN, Januari 2015
http://analisadaily.com/lingkungan/news/memahami-bencana-lingkungan-dalam-kehidupan/97246/2015/01/11

Related Posts :