Jun 25, 2015

RUANG ANGKASA, TEMPAT PENIMBUN SAMPAH TEKNOLOGI : Geologi Disaster

RUANG ANGKASA, TEMPAT PENIMBUN SAMPAH TEKNOLOGI
Oleh : M. Anwar Siregar

Sampah ternyata bukan saja ada di Bumi, yang selama ini menjadi masalah manusia terhadap lingkungan, kerena terbatasnya lahan untuk lokasi pembuangan/penimbunan sampah, seperti pembuangan sampah nuklir, yang dilakukan Perancis dengan membawa sampahnya ke Negara Pasifik. Selanjutnya di Jepang di daur ulang, yang banyak mengundang protes warga Jepang.
Bukan itu saja, di Jakarta, masalah yang dihadapi bukan masalah limbah nuklir melainkan bagaimana mencari lokasi tempat pembuangan barang besi rongsokan becak hasil razia yang dilakukan oleh Dinas Keamanan dan Ketertiban DKI, yang dampaknya banyak mendapat kritikan pedas. Penyebabnya barang rongsokan tersebut dibuang ke laut, tentu saja reaksi dri berbagai pakar lingkungan terutama ahli ekologi kelautan.
Masalah tentang sampah bukan saja terbatas pada Bumi, tetapi juga kini melanda ruang angkas. Ini dapat dibuktikan dengan adanya perlombaan pembuatan satelit pada era globalisasi yang nyaris tanpa batas. Buktinya : ada 6 ton benda tak berguna melayang diatas kepala kita, perjalanan ruang angkasa mulai tak aman, mungkin Bulan akan dijadikan tempat penimbunan sampah yang baru.
Masalah sampah kini juga menjadi urusan NASA, Lembaga Penerbangan Angkasa Luar Amerika Serikat, tentu bukan sembarangan sampah antarisa, yang belakangan ini makin terasa mengganggu keamanan lalu lintas penerbangan ruang angkasa.
Menurut data yang ada pada komando pertahanan ruang angkasa Amerika Utara (NORAD), sekarang ini paling tidak terdapat lebih 4000 potong “sampah” yang beredar mengintari Bumi. Berat total benda tak berguna itu mencapai sekitar 6 ton, dua per tiga diantaranya  berada di orbit geostasioner, sekitar 35.000 kilometer dari permukaan Bumi. Sisanya beredar di orbit lebih rendah, dari 190 kilometer sampai 483 km di atas kepala kita. Sebagian besar sampah angkas itu terdiri dari satelit yang sudah tidak berfungsi, dan sisa pelbagai benda yang diluncurkan dari permukaan Bumi. Tetapi juga ada mur, baut, tabung oksigen bahkan patahan panel tenaga surya.
Benda-benda dalam orbit Bumi rendah itu beredar tanpa kendali, sampai keausan yang lambat oleh pergeseran molekular, plus daya tarik bumi, membuat ia kembali memasuki atmosfer dengan kecepatan 18.000 mil per jam. Dengan kecepatan yang demikian tinggi. Benda-benda itu terbakar. Demikian juga nasib yang menimpa satelit pertama buatan manusia, Sputnik I, yang hangus ketika kembali memasuki Bumi tiga bulan setelah peluncuran yang bersejarah, 4 Oktober 1957.
Sejak itu, tidak kurang dari 9.700 barang buatan manusia berjatuhan dari orbit. Tetapi, jumlah yang berhasil menembus atmosfir dan mendarat di permukaan Bumi tidak pernah di catat. Berbagai kepingan jatuh di belasan negeri, termasuk didalamnya adalah Zambia, Finlandia dan Nepal. Pada tahun 1961, Fidel Castro, presiden Kuba pernah murka, karena sekeping benda yang melesat dari angkasa dan menewaskan seekor lembu Kuba.
Lebih dari ancaman langsung terhadap jiwa penduduk Bumi, sampah ruang angkasa itu paling merepotkan ditengah padatnya arus lalu lintas antariksa belakangan ini, Ruang  angkasa demikian ramainya sehingga benda-benda yang diluncurkan manusia hanya mengambil jarak sekitar 50 km.
Kini ilmuwan-ilmuwan yang bekerja di NASA menerbitkan berbagai gagasan yang ada di otak mereka, untuk berpikir tentang cara mengirim regu-regu astronout yang berkeliaran di ruang angkasa, lepas dari pesawat induknya, dan harus bekerja sebagai tukang “pemungut sampah” antariksa yang banyak bertebaran itu. Sampah itu digandeng bagaikan kereta barang, lalu dengan roket tertentu di campahkan ke laut, atau “lubang sampah khusus” di ruang angkasa sana. Salah satu situs yang layak untuk dijadikan penimbun sampah ruang angkasa itu adalah Bulan.
Jika hal tersebut terjadi dan dilaksanakan, Bulan dijadikan tempat pembuangan sampah, maka kita pun beranggapan Bulan pun, ternyata tak lagi se “suci” dulu, karena dipermukaannya nanti terdapat beberapa onderdil bekas, peralatan kamera seharga $ 5 juta. Tepai hal itu terjadi agar pencemaran Bulan jangan mengkwatirkan kita. Siapa tahu, suatu saat nanti manusia bisa hidup di Bulan dan tak perlu lagi repot-repot membuang sampah yang ada.


Diterbit Majalah ‘SAINTEK ITM” MEDAN Edisi APRIL 1994. Dipublikasi kembali.

No comments:

Post a Comment

Related Posts :