Aug 18, 2015

Prestasi Bulutangkis : Tidak Gelap, Tidak Terang

Bulutangkis, Tidak Gelap, Tidak Terang

Oleh: M. Anwar Siregar
Dalam beberapa tahun terakhir ini, prestasi bulutangkis nasional menjadi prestasi abu-abu, sejak kegagalan mempertahankan Piala Thomas terakhir tahun 2006, medali emas lepas tahun 2014, susah menyabet gelar juara perorangan.
Sejak dilengsernya Chairul Tanjung sebagai Ketua Umum PBSI, banyak prestasi emas dilepaskan secara beruntun dan Indonesia menjadi negara yang mudah ”dipecundang” oleh negara yang bukan disegani dalam dunia olahraga bulutangkis, baik dalam tingkat regional (kawasan Asia dan Asia Tenggara) maupun global (rangkaian kejuaraan perorangan dan beregu dunia). Indonesia kadang kandas sebelum masuk partai puncak dan lebih tragis lagi, gagal ke semifinal dalam beberapa kejuaraan beregu dan ditekuk oleh negara yang sebenarnya berpotensi untuk dikalahkan.
Lebih ironis lagi, orang yang di balik kemenangan lawan adalah putra Indonesia sendiri sebagai pelatih, lihat di Jepang, Taiwan, Singapura dan Inggris, dan kini semakin sulit melawan Thailand, bukti itu lihat saja dalam beregu Axiata, Indonesia mengalami antiklimaks.
Jaya Dulu
Penulis masih sempat menyaksikan kehebatan Rudi Hartono Kurniawan dalam menjegal pemain urakan dan temperemental Denmark, gerak permainan Rudi Hartono cepat, tenang dan penuh perhitungan matang, begitu juga sepak terjang King Smash, yang diperagakan oleh Liem Swie King, dia tidak pernah habis untuk jump smesh. Kedua pemain ini membangkitkan minat generasi untuk menjadi pebulutangkis, tahun 70-an hingga ke era 80-an Indonesia sebagai raksasa bulutangkis yang disegani, Tiongkok ketika itu sudah ada, tetapi belum sehebat sekarang.
Tiap kali menyaksikan siaran bulutangkis, masyarakat kita sudah yakin Indonesia sudah pasti membawa beberapa gelar juara perorangan, semua pemain hanya berkonsentrasi penuh pada pertandingan, tidak ada istilah jalan-jalan dan mengeluh. Semua pikiran dan stamina hanya untuk tujuan pertandingan, tidak mengenal hedonisme dan selfie seperti sekarang, tugas utama harus diprioritaskan dulu, baru lakukan selfie atau yang lain.
Bakat-bakat alam ketika itu dilatih dengan sederhana penuh disiplin tinggi, semangat berkobar untuk menghasilkan prestasi tinggi. Prestasi bulutangkis Indonesia sangat cemerlang, dan banyak masyarakat menyebutkan andaikan bulutangkis olimpiade sudah dimainkan tahun 70-an dipastikan Indonesia tidak perlu menunggu lama untuk mendapat medali emas olimpiade pertama. Medali emas di dapat melalui pasangan sejoli yang kini menjadi pasangan suami istri, yakni Alan Budi Kusumah dan Susi Susanti di olimpiade Barcelona tahun 1990, kota yang akan selalu diingat masyakarat Indonesia, bukan prestasi tim sepakbolanya yang baru kampiun La Liga 2014-2015, tetapi awal priode Indonesia mendapatkan tradisi emas olimpiade.
Itu adalah gambaran prestasi bulutangkis nasional Indonesia pada era 70an hingga tahun 2004, perjalanan panjang prestasi Indonesia kini berubah secara pelan tapi pasti sejak Indonesia mulai memasuki priode kritis moneter, lemahnya pengawasan, dan kurangnya inovasi pembinaan, mudahnya menerima pemain luar untuk berlatih bersama, gampangnya memberikan cara pembinaan kepada pihak luar, kurangnya rutinitas pembinaan pertandingan terukur tingkat lokal setiap bulan di berbagai daerah, dan manajemen sponsor pribadi atlet dan tim nasional yang kaku, alergi kritikan pembinaan khusus manajemen sponsor yang tidak memberikan keleluasaan untuk peningkatan taraf ekonomi pribadi atlet dan buntutnya komunikasi sehingga memperparah keadaan olahraga bulutangkis  ke era sekarang.
Mundur Masa Kini
Saat ini, prestasi dunia bulu tangkis kita seperti harus diberi suntikan ”doping” yang lebih keras agar bangkit, pembinaan dan metode pelatihan dan penguasaan iptek bukan harus dikuasai oleh pelatih tetapi seorang atlet juga harus menguasai dan mengembang daya ukur analitis kemampuan logika yang berhubungan dengan bioritma fisik, bioritma emosi dan bioritma intelektual, agar mampu bersaing ketat dengan atlet luar negeri, agar kegagalan di Piala Sudiman 2015 maupun awal rangkaian Grand Prix tahun ini tidak menjadi bayang-bayang ketakutan, menghantui perjalanan prestasi bulutangkis ke era sekarang,
Medali multi even seperti Sea Games saja atlet kita mulai susah merebutnya, adalah Thailand dan Malaysia mulai bangkit dan mampu menghasilkan para juara dunia, khususnya dibagian putri mereka seperti selangkah ke depan di bandingkan Indonesia.
Sebaliknya, Indonesia mengalami pemunduran prestasi di zaman teknologi canggih, ini membuat tanda tanya, seharusnya kita maju ke depan ketika era teknologi semakin maju, justru terbalik. Negara lain malah yang maju pesat, kita malah seperti mundur ke belakang, jika tidak, seharusnya kita mampu menguasai dunia “persilatan jurus tepok bulu angsa” di era millennium ke tiga abad 21 ini. Berarti ada yang salah dalam pembinaan untuk regenerasi atlet.
Ubah Produk
Mau tahu kenapa kita jadi pecundang dari sebelumnya adi luhung? Lihat sistim pembinaan yang dilakukan PBSI, sudah terbacakan oleh pihak luar, terutama Tiongkok dan Malaysia serta Korea dan sebentar lagi Thailand dan Singapura menyusul untuk mempencundang Indonesia tanpa bangkit, yaitu pembinaan tingkat dini sangat jarang, kalau pun ada hanya bergema sebentar, lalu redup lagi.
Produk kita kalah canggih, begitu pendapat sebagian masyarakat, lihatlah negeri tirai bambu itu terus mengekspor atlet juara tanpa bosan. Hal ini tidak pernah dilakukan pembinaan bulutangkis Indonesia ketika masih berjaya, pemain-pemain yang dikirim itu sudah diketahui lawan dengahn sisipan sedikit pemain yunior yang masih segan mengalahkan seniornya. Pelan tapi pasti Indonesia mulai redup, karena beberapa pemain berpotensi memilih cabut ke negara lain yang memberi peluang berkembang.
Sebabnya, pembinaan di Pelatnas Cipayung itu tidak memberikan pengiriman atlet secara adil, tapi berdasarkan peringkat latihan, peringkat tidak bisa diukur, perekrutan juga berdasarkan peringkat, padahal banyak atlet yang gagal dalam meraih juara nasional justrusnya berkembang di negara lain, dan memungkinkan mereka batu sandungan bagi atlet Indonesia sekaligus tamparan para pelatih nasional jika bertemu.
Sebab lainnya, produk unggulan Bulutangkis mudah dihajar oleh mereka adalah dengan mengawasi dan mendata semua atlet negara kita, lalu disesuaikan dengan pola standar permainan untuk menghentikan laju kemajuan atlet. Dalam hal ini atlet kita sudah diamati, makanya kenapa kita susah bangkit, karena produk kita sarat dengan masalah yang belum teruji secara canggih, baik permainan, mental dan analisis fisik, intelektual dan emosi harus selaras, dan pihak lawan sering memproduksi pemain muka baru yang sudah mengenal produk itu-itu saja dari Indonesia.
Pembinaan ujian masuk Pelatnas harus diubah sistimnya untuk menghasilkan produk berkualitas, yaitu melihat jam terbangnya, sejak umur berapa dia mulai mengembangkan bakatnya, jauh tidak kejuaraan yang dikutinya dengan umur dia, bagaimana kemauan dia (atlet) itu ketika kejuaraan yang jauh dari diri dan keluarga. Faktor ini berhubungan dengan kekuatan mental dia, biasanya atlet seperti ini lebih memfokuskan diri ke olahraga yang ditekuni, atau sebutan kerennya dilahirkan untuk jadi juara bulutangkis.
Ada inovasi latihan dilakukan, adakah metode cara latihan baru dilakukan atau setidak-tidaknya metode latihan sama dengan yang lain namun dilakukan dengan penuh disiplin tanpa bergantung latihan dari pelatih, melihat juga kondisi fisik, intelektual dan emosi.
Datanya harus di dapat dari berbagai pertandingan sebelum masuk Pelatnas untuk diolah melalui sistim algoritma komputer, tujuan untuk mengetahui prospek daya tahan lama produk bermain di masa depan. Namun gambaran mencari atlet seperti ini di Indonesia saat susah.
Mengingat semakin dekatnya Kejuaraan Dunia Bulutangkis 2015 di Jakarta, atlet kita harus cepat mengantisipasi teknik permainan lawan, selain tetap menjalankan latihan fisik dan teknik rutin, pelatih juga wajib mempelajari dan mencari data-data lawan yang terbarukan sehingga tidak membuat kaget pemain kita jika berhadapan muka lama maupun baru.
Penulis adalah penggemar cabang olahraga bulutangkis. Tulisan ini sudah dipublikasi di Harian Analisa Medan  Tgl 29 Mei 2015

http://analisadaily.com/opini/news/bulutangkis-tidak-gelap-tidak-terang/137444/2015/05/29 

Related Posts :