Sep 21, 2015

Bencana Banjir Sumatera, Darurat Tata Ruang Hutan

Bencana Banjir Sumatera, Darurat Tata Ruang Hutan

Oleh: M. Anwar Siregar.   

Pembangunan saat ini, lebih memfokus­kan pada pem­bangunan pencapaian ekonomi, terlihat dari eskalasi peman­faatan lahan-lahan sempit dengan bentuk bangu-nan verti­kal se­hingga memunculkan tekanan yang kuat untuk menekan fungsi ruang hijau yang se­makin terbatas, akibat sulitnya mendapat­kan tanah dan tata guna lahan yang lebih luas (hori­zontal) yang berdampak pada semakin berkurangnya ekologi hijau.
Konsistensi dalam mempertahankan atu­ran Tata Ruang menjadi terlupakan se­hing­ga apa yang diharapkan dalam memper­tahankan rencana tata ruang detail wilayah berubah menjadi bencana universal, walau sedikit saja mengalami perubahan dalam tata ruang ekologis hutan dapat menimbulkan dampak perubahan cuaca atau iklim maka kerak bumi akan bereaksi memberikan musibah bencana, salah satunya bencana banjir, langganan ben­cana paling banyak bermunculan di wilayah Indonesia selain letusan vulkanik, gempa bumi dan longsoran tanah kini terjadi di Aceh, Tapanuli Tengah dan Riau serta Jambi.
Darurat Hutan
Manusia telah banyak berhasil mengatur kehi­dupannya dengan melakukan pengenda­lian tata ruang hutan dengan pengaturan fung­si lahan agar ada keseimbangan antara tanah, air dan udara dalam kearifan lokal sebelum era industri modern. Namun ketika di era seka­­rang, mulai terkikis oleh ego keserakahan dengan melupakan eksistensi ketiga sumber daya keseimbangan bagi manusia itu menjadi mala­petaka. Salah satunya adalah perubahan signifikan fungsi tata ruang hutan berdampak pada gangguan iklim, siklus hidrologis dan terpu­­tusnya rantai makanan serta ilmu penge­tahuan.
Hutan merupakan suatu sistim lingkungan yang membentuk tatanan ekosistem yang tidak boleh terputus bagi kehidupan di muka bumi, eksploitasi harus terbatas dan harus ada batas daya regenerasi agar menjadi sumber daya yang diperbaharui menjadi sumber daya lestari bagi makhluk hidup. Jadi, sistim di hutan berfungsi sebagai faktor produksi, konsumsi, dan sarana pelayanan bagi kehidupan manusia tidak boleh meng­alami gangguan parah agar tidak terham­batnya pemberi kehidupan.
Laju kebakaran hutan di  Sumatera teran­cam oleh laju deforestasi yang tidak terkendali akibat laju peruntukan pembukaan kebun kelapa sawit mencapai 90 persen di Sumatera plus Kalimantan dan Papua dengan mengor­bankan fungsi tata ruang hutan menjadi tersisa 10 persen di luar area non hutan yang me­ningkatkan perubahan iklim global.
Laju kebakaran hutan Indonesia akibat defo­restasi mencapai 6.02 hektar per tahun pada tahun 2000-2012, sehingga Indonesia menjadi negara penghasil gas emisi terbesar di dunia, setiap tahun hutan hancur mencapai 0.84 juta hektar (Sumber Nature Climate Change). Dari gambaran data tersebut, bisa kita bayangkan bagaimana hancurnya tata ruang hutan di Sumatera sehingga tidak mengherankan kenapa setiap tahun terjadi banjir bandang di kota-kota besar di Pulau Sumatera.
Darurat Iklim
Sebagaimana disebutkan oleh laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2007 bahwa pulau-pulau kecil yang ada di Samudera Indonesia sangat rentan mengalami penurunan dan dapat terjadi penenggelaman akibat dampak perubahan iklim ekstrim dan efek dari laju kerusakan tata ruang hutan di Pulau Sumatera, pulau-pulau itu mudah terjadi abrasi dan kehilangan ketinggian permukaan tanah dan lahan yang berpotensi ekonomis wisata disebabkan terja­dinya kenaikan air permukaan laut, kehan­curan hutan mangrove dan laju kerusakan terumbu karang dapat memper­cepat kerusa­kan daratan pantai akibat hantaman gelom­bang geologis air ombak sehingga terjadi kelem­baban tanah dan menurunkan daya tahan tanah pulau-pulau berakhir pada longsoran tebing pulau berdampak gelom­bang tsunami.
Perubahan tata ruang hutan sedikit saja sudah mengalami gangguan kerusakan ekologi dapat mengubah kondisi atmosfir terhadap kekuatan tanah dalam mencegah banjir, terkait dengan proses yang ada di alam seperti efek gas rumah kaca dan gas rumah kaca. Salah satunya disebabkan oleh pembakaran hutan di Sumatera berdampak pencemaran udara, pembakaran ini mengha­silkan gas oksida belerang dan oksida nitrogen dan bereaksi menjadi asam sulfat dan asam nitrat dan jatuh ke bumi menjadi hujan asam, yang dapat menyebabkan kerusakan pohon-pohon hijau di kawasan hutan.
Hal ini juga salah satu penyebab terjadinya kenaikan suhu permukaan bumi, kenaikan suhu permukaan bumi menimbul­kan reaksi pada kulit bumi (lempeng) untuk menstimu­luskan keseimbangan dengan memberikan manu­sia hadiah bencana. Sebab, naiknya kadar gas rumah kaca (GRK) akibat polutan pembakaran hutan  seperti CO2, CH4, dan N2O menaikkan intensitas efek rumah kaca (ERK) sehingga permukaan bumi akan naik dan menimbulkan pemanasan global dan darurat iklim  global yaitu perubahan curah hujan di daerah pegunungan ke daratan rendah seperti yang kita lihat di beberapa provinsi di Indonesia, yang teraktual untuk Sumatera Utara ada di Batubara, Tapteng dan Madina,
Pertambahan volume curah air hujan ber­dampak juga pada ketinggian air pada sungai-sungai besar yang umumnya membe­lah tata ruang kota besar di Indonesia, sekitar 45 persen sungai-sungai besar banyak membelah kota besar seperti Medan, Jakarta, Semarang termasuk wilayah di Tapanuli Tengah, Rohul dan Rengat (Riau), serta Aceh dan laju erosi lateral pantai mengancam kota Sibolga, Lampung dan Padang karena ada garis pantai mundur sejauh minimal 1 meter dengan kenaikan air permukaan laut 25-140 cm serta garis pantai mundur menjadi 25-140 cm.
Perlu aktualisasi tata ruang hutan dengan menekan penghan­curannya.
Gangguan Hidrologis
Selain ganguan iklim, banjir yang terjadi di Sumatera itu tidak terlepas juga dari gangguan siklus hidrologis akibat intervensi manusia pada kehancuran tata ruang hutan karena cakupan luas hutan mencapai jutaan hektar mengalami peng­gun­dulan, pembakaran dan alih fungsi peruntukan sehingga potensi daya serap infiltrasi air ke dalam tanah mengalami kelulusan air, melaju cepat ke permukaan tanah tanpa ter­bendung oleh pengakaran pohon di kawasan kota dan tebing bukit berbuah efek domino yaitu banjir bandang, gerakan tanah menahun dan hilangnya flora dan fauna yang dilindungi serta kerusakan infrastruktur dan korban jiwa.
Gangguan hidrologis untuk daratan sangat berperan penye­bab utama banjir di beberapa kota di Sumatera akibat intervensi manusia dalam mengubah daerah tutupan lahan dari daerah hijau menjadi daerah perkotaan yang dapat kita lihat jelas di sekitar hulu DAS yang membentuk kawasan bangunan sehingga hutan ataupun lahan kosong itu sebenarnya sudah ditetapkan sebagai daerah fungsi resapan air, mempengaruhi siklus geo­hidrologis, terutama ketika hujan menuju kepermuka­an, fungsi infiltrasi berkurang dan proses intersepsi tidak bekerja sesuai fungsinya,  sehingga jumlah limpasan air tidak tertampung oleh kapasitas debit sungai mengakibatkan banjir, (kasus ini dapat dilihat sepanjang sungai Sibabangun, Indragiri serta Kampar dan Batanghari).
Effek Banjir Tahunan
Sudah 20 tahun terakhir ini, Sumatera silih bergantian atau arisan bencana antara kebakaran hutan, kabut asap dengan banjir disertai bonus longsoran yang mematikan, melanda daratan di beberapa provinsi. Ironisnya, daerah penghasil sawit terbesar di Indonesia mampu juga menghasilkan bencana emisi iklim global, menghasilkan banjir musiman dan kehan­curan ekologis.
Lihat kasus musibah banjir di Aceh, Riau dan Jambi, di semua lini tata ruang hutan akan terdapat perubahan per­untukkan menjadi pembukaan hunian, lahan perkebunan. Pembakaran hutan sepertinya sudah biasa, termasuk juga menghabisi habitat hutan lindung di kawasan Taman Nasional Lauser, Talang Mamak dan Jambi di sekitar sungai besar yang membelah setengah ketiga Provinsi ini menjadi rawan bencana.
Ternyata bencana banjir tahunan itu belum cukup memberikan efek penghasil bencana seperti sudah disebutkan didepan, masih ada efek lainnya yaitu menurunnya ketahanan sebagian penduduk menjadi miskin, akibat dampak kehilangan tempat tinggal karena kehancuran dan kebatilan sebagian manusia serta memutuskan kembali ke daerah yang terlanda bencana. Maka pengaturan tata ruang hutan dan RTH semakin sulit terlaksana dengan baik dan amanah UU Tata Ruang tinggal pepesan kosong. ***
Penulis adalah Enviromental Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer.

 http://analisadaily.com/opini/news/bencana-banjir-sumatera-darurat-tata-ruang-hutan/100837/2015/01/22

 

Batu Mulia Sebagai PAD dalam Menjaga Lingkungan

Batu Mulia Sebagai PAD dalam Menjaga Lingkungan

Oleh: M. Anwar Siregar
Deman batu akik atau juga batu mulia harus menjadi pusat perhatian bagi perencana ekonomi pembangunan daerah untuk menjadikan hal ini sebagai peringatan, bahwa sumber-sumber PAD masih banyak untuk kesejahteraan rakyat, harus disingkapi sebagai renungan untuk memahami bahwa batu mulia walau masuk kategori bahan tambang golongan C namun dapat memberikan sumbangan pembangunan sangat besar. Sebab, batuan ini seringkali diseludupkan sejak tahun 1970-an hingga merugikan masyarakat dan Indonesia secara umum, karena batuan itu dapat memberikan sumbangan devisa dan kesejahteraan yang cukup besar.
Hal ini penting, mengingat Indonesia termasuk Negara penghasil berbagai jenis sumber-sumber batuan mulia, yang berkualitas tinggi dengan tingkat kekerasan atau keawetan batuan mencapai nilai rata-rata 6 dan 7-9 skala mohs, jenis batuan yang banyak diperdagangkan di Indonesia dan banyak peminatnya.
(Analisa/said harahap) WARNA WARNI BATU CINCIN: Sejumlah pengunjung memilih berbagai jenis batu cincin dari mulai Delim Siam,Ruby,Carnelian hingga King Safir dipajang kolektor sekaligus pedagang di kawasan Kantor Pos Medan, Adi Salah seorang pedagang menjelaskan setiap hari para kolektor dari berbagai daerah bahkan negara tetangga seperti, pengusaha, pejabat pemerintahan hingga anggota dewan selalu datang  untuk hunting sekaligus saling tukar informasi seputar kualitas batu permata.

Menjaga Lingkungan
Namun disayangkan belum menjadi pusat perhatian beberapa daerah untuk menjadikan sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda). Yang selama ini adalah umumnya Perda bahan galian golongan C untuk bahan bangunan dan jalan.
Hanya beberapa daerah saja memiliki aturan lintas perdagangan batu mulia karena hal ini berhubungan dengan kondisi dinamika lingkungan yang diakibatkan oleh penambangan batu mulia di daerah kaki pegunungan dan sungai-sungai, memerlukan suatu pengawasan ketat agar tidak terjadi kerusakan dan bencana lingkungan seperti umumnya penambangan golongan galian C seperti sirtu, batu kerikil sungai ataupun penambangan batu bara, banyak dilakukan masyarakat disisi tebing bukit yang berbahaya.
Jika disingkapi dengan aturan yang ketat dipastikan akan memberikan dampak yang besar karena banyak efek yang akan mengikutinya dan jika tidak, yang paling mengalami banyak kerugian yang telak adalah masyarakat itu sendiri selain pemerintah serta lingkungan.
Mengapa Jadi PAD?
Indonesia kaya akan pergerakan geologi tektonik lempeng dari sejak terbentuknya hingga ke era global sekarang, yang menyebabkan gempa dan gunung api silih berganti hadir, sehingga wilayah Indonesia dihuni 128 gunungapi dan sisa gunung api tidak aktif dari 400 gunung api di Indonesia atau sekitar 13 persen wilayah kepulauan Indonesia terdapat gunungapi, dan umumnya sumber utama keterdapatan batu mulia adalah dengan adanya gejala vulkanisme, termasuk di gunung-gunung api yang aktif sekarang dan melalui proses waktu, muntahan letusan gunungapi yang tertransportasi oleh air dan angin akan mengubah kondisi mineralisasi batuan akibat metamorfosis menjadi batu yang berkilau.
Dari gambaran ini, maka kita pastikan hampir semua provinsi terdapat sebaran batuan dari berbagai jenis yang menyusun bentang alam daerah dan setiap jenis batuan memiliki unsur-unsur mineral yang bermacam-macam dengan derajad kilauan yang berbeda, sebagai contoh batuan beku yang terbentuk dibawah tanah seperti granit akan memerlukan waktu yang lama untuk menjadi padat dan membentuk kristal. Kristal dalam suatu batu mulia sangat penting untuk menunjukan kualitas tiga sifat utama batu mulia yaitu daya tahan, kelangkahan dan keindahan.
Dengan adanya deman batuan mulia, akik atau apapun namanya, pemerintah daerah wajib memperhatikan kondisi daerahnya terutama pusat keterdapatan batu mulia, pengawasan diperlukan, mengingat harga batuan ini bisa mencapai ratusan juta walau dalam bongkahan yang masih mentah lalu diseludupkan antar lintas propinsi atau pun juga ke lauar negeri tanpa nilai tambah bagi pajak sebagai PAD daerah dan sudah lama berlangsung sejak tahun 1970-an. Potensi penambangannya saja dapat mencapai milyaran rupiah, dan diperdagangkan oleh masyarakat kolektor dapat mencapai ratusan juta. Dari situ saja kita lihat berapa nilai PAD yang didapat tiap daerah jika diolah dengan baik.
Penting sekali, karena penulis sudah melihat sendiri bagaimana batuan itu dibawa tanpa ada dokumen yang mengikat, karena jumlah batuan itu bukan dalam satuan bongkahan yang penulis lihat ketika melakukan pemetaan pertambangan dan daerah rawan bencana tetapi dalam jumlah berton-ton beratnya lalu dimuat dalam truk besar tertutup. Ini banyak terjadi didaerah yang kaya sumber bahan tambang batu mulia seperti yang terdapat di kawasan sungai-sungai yang membelah kawasan Taman Leuser di Aceh dan Bukit Barisan.
Kerajinan batu mulia dapat memberikan sumber PAD bagi daerah yang kaya akan sebaran batu mulia di Indonesia sudah dimulai pertama kalinya di Sukabumi di Jawa Barat pada tahun 1920. Kerajinan batu mulia dalam bentuk cincin dan kalung dapat menyerap tenaga kerja mencapai rata-rata 50 orang, hasil pemasaran batu mulia Indonesia kini menembus pasaran internasional, antara lain Malaysia, Singapura, Mekah, Taiwan dan Eropa.
Hasil penambangan untuk kebutuhan kerajinan batu mulia kadang mencapai 10 ton per bulan, lalu diasah dalam ratusan butir batu mulia, di prosesnya melalui teknologi dapat menghasilkan sumber pendapatan mencapai ratusan juta per bulan, namun untuk pendapatan masuk ke kas bendahara daerah sebegai sumber pajak pembangunan sangat sedikit.
Pemerintah daerah yang kaya potensi sumber batu mulia sebaiknya membuat peraturan ketat. Hal ini sejalan dengan peraturan keputusan menteri perdagangan yang melarang ekspor dan eksploitasi habis batu mulia dalam bentuk mentah dan harus disosialisasikan lebih ketat lagi, mengingatkan Kepmen tersebut tidak terlalu bergaung di daerah dan masih ditemukan seludupan batu mulia dalam jumlah berton-ton. Kasus ini banyak ditemukan di Aceh, Kalimantan dan Maluku sehingga merusak lingkungan karena tidak mengenal sistim rehabilitasi lahan penambangan seperti umumnya penambangan rakyat.
Khususnya eksploitasi di Kepulauan Maluku dan beberapa daerah di Kalimantan, kini mengalami eksploitasi hampir habis, dengan dibuktikan begitu langkanya jenis batuan tertentu seperti batu bacan yang memiliki warna-warna pelangi. Ketidakadaan Perda dan pengawasan ketat dan statisnya pemasukan PAD daerah merupakan gambaran ketidakberesan dalam pengelolaan sumber-sumber daya mineral di daerah.
Sebaran Batu Mulia
Potensi batu mulia Indonesia terus bertambah dengan adanya temuan-temuan di berbagai pelosok. Temuan ini harus disikapi karena bisa juga terdapat unsur ikutan bahan tambang lain yang terkandung melekat bersama terbentuknya batuan. Misalnya batu satam yang banyak terdapat dilokasi tambang timah, atau juga emas terdapat beberapa jenis batu mulia lain. Jadi Perda PAD untuk batu mulia perlu dibuat untuk kesejahteraan pembangunan, efeknya ada lapangan kerja yang luas bagi masyarakat dan terkendalinya kerusakan lingkungan.
Sebaran batu mulia di Indonesia yang masih menghasilkan sumber bagi perajin batu permata dan ekspor ke luar negeri, antara lain  Aceh berupa giok, nefrit, fluorit, aventurin, kuarsa merah jambu, serpertin, kristal kuarsa dan idokras. Sumatera Utara terdiri onixs, kalsedon coklat, akik merah, jasper hijau, kuarsa putih, Sumatera Barat, terdiri batu batu kecubung ungu, garnet, serpertin, idokras, Riau terdiri dari intan dan Jambi terdiri koral, tersilisifikasi, fosil kayu.
Sumatera Selatan terdiri kalsedon biru, kecubung, aleksandrit dan fosil kayu. Lampung, beragam jenis akik, amber, Banten terdiri opal, geode, akik, fosil kayu, Jawa Barat (Krisokola, Krisopras, opal biru, kalsedon ungu, batu pancawarna, batu sabun. Jawa Tengah terdiri dari giok jawa, heliotrop, tektit, Jawa Timur, karnelian, kalsedon, geode, Sulawesi Tenggara terdiri dari Krisopras, opal hijau, Sulawesi Tengah terdiri dari serpertin, jasper, Maluku Utara terdiri krisokola kuarsa, jasper, kalsedon, karnelian, Kalimantan Selatan terdiri dari intan, prehnit, ronit akik, tektit, Kalimantan Tengah terdiri kecubung ungu, kuarsa asap, sitrin kristal kuarsa.
Sebaran batu mulia tersebut diatas merupakan sumber utama yang ada di daerah tersebut, belum lagi jenis batuan dalam skala lebih kecil dari sumber utama, dan perlunya daerah melakukan pengawasan ketat dalam eksplorasi batu mulia.
Batu mulia dapat memberikan sumber pembangunan ekonomi bagi masyarakat, ada kerajinan, ada pemasok dan ada pembeli dalam jumlah 1 juta masyarakat peminat dari 240 juta penduduk Indonesia dan sangat besar bagi keuntungan pembangunan daerah di Indonesia.
(Penulis adalah Enviromental Geologist, pemerhati masalah tata ruang lingkungan dan energi geosfer)

 

Devisa Asap dari Negeri Kabut Asap

(Analisa/Said Harahap) KEBAKARAN HUTAN: Asap mengepul ke udara dari sebahagian hutan yang dibakar untuk perluasan lahan perkebunan di kawasan Sumatera Utara. Pembakaran hutan secara besar-besaran dapat memberikan dampak negatif dalam penyebaran emisi gas karbon ke wilayah atmosfer sehingga menyebabkan penipisan lapisan ozon.

Devisa Asap dari Negeri Kabut Asap

Oleh: M. Anwar Siregar
Sumber Jurnal Nature Climate Change menyebutkan “Deforestasi di Indonesia mencapai 840.000 hektar pada tahun 2013”. Sungguh luar biasa kalau memang itu terjadi, dan tidak salah jika begitu banyak bencana alam klimatologis di Indonesia akibat kerusakan hutan.
SUMBER tersebut menyebutkan “Indonesia mengalahkan angka deforestasi di Brazil yang mencapai angka 460.000 hektar, di tahun yang sama, setahun setelah moratotium (2011) penebangan hutan diberlakukan”. 
Jadi apakah laju kerusakan hutan Indonesia paling kencang di muka bumi kalau begitu? Lihatlah, darurat kabut asap telah berlakukan di Riau akibat terbakarnya hutan dan lahan mencapai lebih 100 hektar dan diperkirakan tanpa surut waktu ke tahun depan, menjadi persoalan yang berkepanjangan karena kita tidak hidup selaras dengan alam.
Selain pembakaran hutan terdapat juga perencanaan pembangunan tata ruang yang kurang baik, seperti pembangunan kota dan perumahan, sehingga lahan pertanian yang subur semakin sempit, yang mengincar zona hijau, zona sanggahan hijau bencana yang menimbulkan bencana longsoran setiap tahun. 
Negeri Emisi
Emisi yang dikeluarkan hutan Indonesia ternyata berpengaruh besar ke atmosfer di bumi, bahwa emisi karbon dari perubahan tutupan lahan sangat berpengaruh secara signifikan secara global, dampak dari pembakaran hutan dan pembalakan hutan mencapai 80.000 hektar setiap tahun dengan laju deforestasi tertinggi di muka bumi.
Diperkirakan hasil penelitian emisi dari karbon hutan Indonesia mencapai 40 persen dari total emisi karbon dunia selain emisi bahan bakar fosil yang dihasilkan dunia selama 10 tahun terakhir akibat pembakaran hutan-hutan di tiga pulau besar Indonesia-Sumatera, Kalimantan dan Papua.
Pada tahun 1990-an, Presiden Indonesia ketika itu menganjurkan dan mencetuskan suatu Proyek Mega Rice dengan membangun lahan sejuta hektar di Kalimantan Tengah, kondisi ini telah mendorong terjadinya perubahan tata ruang hutan Kalimantan menjadi sebuah bencana, karena ada penghancuran hutan untuk mencetak lahan pertanian sawah sejuta hektar. Penyebabnya ada penghancuran hutan, pembakaran, dan lokasi terdekat dengan lahan pertambangan yang mengandung emisi bahan bakar fosil. Contoh di bawah ini: batu bara, minyak bumi dan gambut yang jika di gabung mencapai 20 juta metrik ton selama lima tahun.
Daerah ini salah satu sumber kerawanan kebakaran dan berpotensi terus mengeluarkan emisi karbon. Jika di catat emisi karbon di Indonesia tidak pernah suruh sejak pembalakan hutan secara besar-besar dari tahun 1990 hingga ke era tahun sekarang. Emisi karbon dioksida Indonesia terus naik menjadi 490 juta ton pada tahun 2011 atau naik sekitar 210 persen dibanding pada level tahun 1990. Emisi CO2 per kapita Indonesia juga naik menjadi 122 persen dari 0,9 ton emisi CO2/penduduk pada tahun 1990 menjadi 2 ton emisi CO2 penduduk tahun 2011. Tahun 2013 emisi CO2 Indonesia naik menjadi 510 juta ton akibat dampak pembakaran hutan Sumatera sepanjang 6 bulan total. 
Sumber kenaikan emisi global Indonesia di picu dari dari kenaikan konsentrat CO2 di udara saat ini melampaui angka 390 PPM (parts per million dari batas aman yaitu 350 ppm). CO2 dari kebakaran hutan Indonesia adalah gas rumah kaca yang memicu pemanasan global dan perubahan iklim di udara atmosfir Asia Tenggara termasuk kejadian kabut asap ini, dan lagi Riau sebagai “promotor” utama penghasil devisa emisi kabut asap tahun ini.
Tragedi Devisa Asap
Dampak bencana asap dari sisi ekonomi sangat merugikan Indonesia, akibat ekspasif dari perusahaan Malaysia dan Singapura membuka lahan di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. 
Kasus kebakaran hutan semakin susah diberangus dan pemerintah dianggap gagal mengelola lingkungan, terutama dalam menegakkan hukum dengan menyeret pelaku pembakaran hutan ke pengadilan. Kebanyakan yang terekspose hukum hanya pelaku kelas bawah, sedang pelaku “utama” tidak tersentuh hukum. 
Selain itu pemerintah tidak memiliki grand design untuk mengadili korporasi yang berujung pada pencabutan izin usaha perusahaan, hingga terus menimbulkan persoalan lingkungan dengan terus terjadinya musibah bencana kabut asap, berdampak luas bagi perekonomian Indonesia serta kredibilitas pemerintah di dunia internasional.
Tiada tahun tanpa bencana kabut asap di Sumatera dengan terjadinya tragedi asap membuat warga di Pulau Sumatera harus berjuang mengatasi berbagai persoalan kondisi kesehatan dan ekonomi, tragedi asap dapat memberikan pukulan telak bagi sumber devisa. Ironisnya, sumber devisa itu justrunya merupakan sumber kekayaan alam Riau lainnya yang dapat menghentikan produksi minyak -sebagai dampak polusi kabut asap di Provinsi Riau- sekitar 12.000 barrel (kasus kejadian kabut asap tahun 2014). Ratusan sumur produksi minyak nasional terancam karena mengingat Riau adalah penyumbang terbesar, dan lucunya, Kalimatan Timur juga ikut latah, karena kedua sama, penghasil kabut asap dan daerah penghasil devisa migas terbesar di Indonesia.
Memang kita telah mengetahui, bahwa ladang-ladang atau sumur minyak kadang menginjeksikan semburan api ke udara, namun ini tidak terlalu signifikan, karena terpusat, justrunya pembakaran hutan dapat membakar sumber karbon yang terkadung dalam unsur kandungan minyak dan batubara serta gambut, yang menimbulkan kabut asap karena ikut “terpanaskan” lalu berdampak pada jarak pandang akibat sebaran asap dalam suatu wilayah kerja sehingga mendorong terjadi penurunan kualitas kerjanya. Hal inilah penyebab mengapa produksi migas di Riau dan Kaltim mengalami penurunan hingga di bawah 10.000 barrel per hari.
Dampak tragedi kabut asap ini dapat melemahkan kekuatan pertumbuhan ekonomi Indonesia bukan saja Singapura dan Malaysia. Tetapi yang paling rugi kita dibidang ekonomi, sedang pihak Singapura dan Malaysia dibidang kesehatan karena ruang udara dari hutan kedua negara ini sangat terbatas dalam menyerap emisi CO2 sehingga menimbul musim kabut asap gelap bisa berlangsung berhari-hari.
Efek Medan
Dampak kabut asap kini menjadi masalah yang tak akan pernah habis selama hutan Riau dan Kaltim di ekspansi oleh perusahaan dari Singapura dan Malaysia dalam membuka lahan perkebunan yang sangat luas. Akibatnya Medan yang termasuk kota sejuk pun telah merasakan dampak cuaca panas yang mencapai 31-35 derajat celcius. Kondisi bertambah panas setiap tahun tanpa pernah turun selama Riau di jadikan pioner negeri kabut asap.
Dengan cuaca dan polusi udara saat ini dapat memberi ancaman bagi kesehatan terutama penyakit infeksi saluran pernapasan. Kabut asap semakin berbahaya bagi kesehatan jika masuk wilayah Medan dan bergabung dengan debu vulkanik Sinabung yang belum juga menunjukkan gejala penurunan atau istirahat erupsi. Kemudian diperparah dengan laju penggunaan kendaraan yang belum semuanya menggunakan energi hijau, sehingga panas jadi ancaman sepanjang hari termasuk di malam hari.
Kabut asap adalah bencana ekologi disebabkan ulah manusia (antropogenik). Penyebab utamanya adalah pembakaran lahan dan hutan, baik oleh individu, kelompok, hingga perusahaan. 
Aroma mengorbankan ekologi demi keuntungan ekonomi sangat dominan, sehingga perlu direnung kembali untuk hidup dapat selaras dengan alam.
(Penulis adalah Enviromental Geologist, pemerhati masalah tata ruang lingkungan dan energi geosfer)

Revolusi Mental Manusia Terhadap Lingkungan

Revolusi Mental Manusia Terhadap Lingkungan

Oleh: M. Anwar Siregar
Bencana alam yang melanda wilayah Indonesia seperti gempa bumi, tsunami, gunung api meletus, tanah longsor, banjir, angin puting beliung, kabut asap serta kekeringan telah banyak menimbulkan kerugian dan jumlah korban yang banyak. Selain itu, banyak aktivitas kegiatan sosial maupun ekonomi masyarakat mengalami penundaan akibat bencana banjir.
Rentetan bencana tersebut harus merupakan suatu peringatan, bahwa dalam pengelolaan alam kita mungkin ada yang salah arah dalam suatu perencanaan pembangunan tata ruang dan ekonomi, sehingga perlu upaya meminimalisasikan kerugian baik jiwa maupun material dengan melakukan revolusi mental terhadap lingkungan.
(Analisa/said harahap) PANTAI LAMPUK: Panorama sunset  sinar matahari menjelang terbenam melapisi permukaan air Pantai Lampuuk Lhoknga Aceh Besar, Sabtu (21/2). Pantai Lampuuk yang berada di Barat Aceh digenagi air laut jernih dari Samudra Hindia pasir putih memanjakan kita berjalan ditepi pantai,bentuknya melengkung ke bagian dalam bibir pantai.
Mental Manusia
Tragedi kemanusian akibat bencana tsunami di Aceh, Nias, Pangadaran dan di Jepang seharusnya menjadi bahan introspeksi dan kritikan untuk pembangunan tata ruang dan refleksi atas politik terhadap bumi yang selama ini kita lakukan. Ekonomi yang digaungkan selama ini sebenarnya merupakan ekonomi perusak alam, manusia harus mulai belajar menahan diri agar tetap bisa bertahan hidup di muka bumi dengan menata ulang mental diri manusia.
Beberapa penyebab kerusakan lingkungan antara lain dapat dilihat dari aktivitas manusia, fenomena banjir dan tanah longsor adalah suatu fenomena alam yang bisa terjadi secara terpisah, tetapi seringkali juga berlangsung bersamaan di suatu daerah. Sesungguhnya faktor curah hujan hanya merupakan pemicu saja, akan tetapi banjir dan tanah longsor justru terjadi karena faktor erosi permukaan tanah khususnya di wilayah hulu daerah aliran sungai (DAS), di mana faktor human activities berpotensi besar dalam memperparah tingkat erosi tersebut sehingga lingkungan mengalami gangguan keseimbangan, sehingga terjadi kerusakan lingkungan.
Sensitifitas mental diri manusia, menujukkan semakin rendahnya kesadaran masyarakat serta kurang sensitifnya pemerintah daerah dalam mengawasi pembangunan tata ruang kehutanan, pertanian dan pertambangan yang berdampak pada peningkatan erosi dan meluasnya lahan-lahan kritis akibat penebangan pohon-pohon muda dan berkurangnya daerah resapan air hujan. Sensitifitas mental diri itu tergambar juga oleh etika investasi pembangunan fisik di daerah yang telah diidentifkasi sebagai kawasan bencana, tetap melanjutkan pembangunan dan tidak mempedulikan aspek yang terjadi, kerena berprinsip keuntungan lebih dulu kerugian baru dipikirkan belakangan.
Proses deformasi mental fisik bumi, sesungguhnya merupakan suatu proses alamiah yang berlangsung dipermukaan bumi karena bumi sesungguhnya “hidup” karena bumi terus menerus bergerak yang diperlihatkan oleh pergerakan lempeng-lempeng bumi yang saling menjauh, saling mendekat, dan saling bersisian dan mengalami perubahan bentuk meskipun tidak dipengaruhi oleh campur tangan manusia. Bumi memiliki kuasa dan hak-haknya untuk berevolusi, sesuatu yang sulit dihindari oleh manusia dan karenanya harus diterima sebagai suatu kesadaran mental dalam mendiami bumi.
Mentalitas konsumtif ekonomi politik, kegagalan mental manusia menjaga keharmonisasi hubungan dengan alam akibat rasionalitas ekonomi politik yang membudaya dalam bentuk kehidupan konsumtif tanpa mempertimbangkan dampak yang diakibatkan oleh konsumsi itu sendiri bagi kelangsungan generasi berikutnya. Contoh kejadian pembangunan investasi gedung di sekitar bantaran sungai.
Begitu juga oleh aktivitas mental demokrasi, aktivitas produksi oleh manusia yang membuat ironis dari mekanisme sebuah demokrasi yang diagung-agungkan dan dibungkus oleh ekonomi kapitalisme-liberalisme, di mana keuntungan ekonomi hanya menjangkau segelintir manusia saja, sedangkan sebagian besar manusia yang lain harus menanggung dampak akibat kerusakan alam seperti bencana akibat dorongan libido ekonomi manusia yang mengkomoditikasikan segala hal apapun yang ada di alam semesta, termasuk kehidupan di angkasa raya, serta melahirkan bencana budaya, yakni kecenderungan untuk semakin serakah dan egois dengan menjadikan teknologi adalah pemecah utama.
Teknologi cenderung di konsumsi bukan dalam kerangka membangun dukungan bagi kelestarian alam, teknologi yang ada sekarang cenderung digunakan untuk kekerasan, sedangkan untuk penyelamatan lingkungan tidak terlalu dipikirkan. Contoh dana anggaran teknologi persenjataan nuklir yang jumlahnya ratusan triliun, sedangkan penciptaan teknologi bencana alam seperti gempa baru terpikirkan jika sudah mengancam kehidupan manusia.
Etika Kebijakan
Masalah-masalah lingkungan sebaiknya dipertimbangkan secara seksama dalam perancangan dan pelaksanaan kegiatan dalam mencegah bencana lingkungan, kerusakan dan kehancuran akibat bencana beruntun harus dijadikan renungan untuk mengubah perilaku politik yang merusak bumi dengan mewujudkan demokrasi lingkungan yang beretika dan hormat serta selaras dengan alam, sebuah tatanan yang diusulkan oleh masyarakat dunia bagi green politics agar terjadi komunikasi otentik antara manusia (human) dan alam (nonhuman-world) dalam rangka mewujudkan kelangsungan hidup manusia dan lingkungan.
Hal seperti ini seharusnya menjadi pembelajaran etika mental kebijakan manusia terhadap lingkungan, pembelajaran bagi manusia untuk kelangsungan umat manusia yang sangat berharga dengan segala peristiwa bencana yang terjadi di muka bumi. Manusia dengan kelebihan logika harus mampu menangkap tanda-tanda alam sebagai PR, sebagai bentuk proteksi dan adaptasi dari perubahan alam. Kadang mental kesombongan manusialah yang memperburuk dampak dari siklus alami yang telah lama berlangsung di bumi, seperti dikemukan diatas bahwa bumi adalah makhluk hidup yang terus melakukan evolusi.
Manusia memang memiliki hak hidup, berkembang dan membentuk tatanan demokratis di muka bumi, tetapi bumi juga memiliki hak terus eksis dan berevolusi sesuai dengan hukum alam. Karena itu, manusia harus menghormati yang dituangkan dalam bentuk kebijakan hukum politik pelestarian lingkungan harus benar-benar ditegakkan jika tidak ingin terjadi bencana kemanusiaan yang lebih dahsyat dan upaya untuk mengendalikan kerusakan lingkungan bumi.
Revolusi mental manusia terhadap lingkungan perlu ditingkatkan dengan mempertahankan norma dan budaya kearifan lokal yang diwariskan oleh nenek moyang. Nenek moyang bangsa Indonesia dari zaman dulu berhasil membaca sinyal alam dari fenomena alam yang teratur dan berulang kali terjadi bencana, dalam bentuk falsafah hidup dan melahirkan pemikiran nilai-nilai kearifan lokal lalu diimplementasikan dalam bentuk budaya tata ruang kehidupan untuk pengurangan bencana lingkungan. Sangat mendesak bagi generasi sekarang untuk memahami kekuatan dari alam dengan melakukan revolusi mental terhadap politik dan ekonomi lingkungan.
Karena itu, etika kebijakan perencanaan pembangunan ketaruangan lingkungan tidak boleh mengabaikan siklus alam, dan mengarahkan tata ruang lingkungan dengan pengembangan berbagai potensi sumber daya alam yang seimbang, menciptakan lahan pertanian yang produktif dengan menekan laju spasial bagi perluasan daerah pemukiman ke kawasan hutan.
Revolusi kebijakan lingkungan sudah saatnya dipertegas, dengan menekan penghancuran kawasan hutan, pemanasan global disebabkan oleh banyaknya gas rumah kaca terperangkap di atmosfer perlu suatu aksi green politics yang lebih luas, kebijakan penggunaan bahan bakar nabati perlu ditindak lanjuti bukan pada hari tertentu, tetapi secara komprehensif.
Paradigma ini membutuhkan perubahan nilai sikap dan mental dari setiap anggota masyarakat termasuk pengambil kebijakan, pelaku kegiatan bisnis dan masyarakat luas untuk menekan kerusakan lingkngan dan mencapai tujuan prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan (Brundland, 1987), karena bumi adalah satu-satunya tempat kehidupan manusia yang ideal.
(penulis adalah geologist, pemerhati masalah tata ruang lingkungan dan energi geosfer)

Bisakah Indonesia Hidup Tanpa Menghasilkan Emisi

Bisakah Indonesia Hidup Tanpa Menghasilkan Emisi

Oleh: M. Anwar Siregar
Isu lingkungan hidup selama ini lebih banyak dilihat sebagai persoalan struktural, me-nyangkut politik pembangu-nan, terutama pemahaman kebijakan perencanaan tata ruang dan lingkungan, menguraikan konflik-konflik tanah. Perusakan lingkungan hutan yang terus muncul ke permukaan adalah akibat tidak konsistensi mempertahankan aturan, memunculkan berbagai ancaman bencana kini menjadi “penyakit modern” berupa peningkatan emisi CO2  dunia meningkat tajam sejak kebakaran hutan terbesar kembali terulang dari tahun 2011 naik sekitar 3 persen daripada tahun 2010, lalu melonjak kembali 5 persen pada tahun 2013 setelah hutan-hutan di Indonesia menginjeksi CO2 juga terus meningkat.
Sumber Gambar : http://analisadaily.com/opini/news/bisakah-indonesia-hidup-tanpa-menghasilkan-emisi/170826/2015/09/15 
Bisakah dunia khususnya Indonesia dapat mengurangi CO2 dengan menekan beberapa aspek penggunaan CO2 dari beberapa lahan atau barang buatan manusia selain “merusak kondisi hutan”?
Sumber Injeksi
Dampak kebakaran hutan telah menimbulkan fenomena asap hitam yang membubung tinggi jauh menembus batas antara negara, sehingga menjadi monster hitam yang membentuk kabut di langit bumi negara tetangga, dan Indonesia adalah negara disebut sebagai “biang kerok” polutan udara dunia. Fakta yang menyebabkan adalah injeksi sawit dan merupakan salah satu monster Asia Tenggara.
Perluasan perkebunan kelapa sawit yang siginifikan di Pulau Sumatera terdapat di empat Provinsi yaitu Jambi, Sumatera Selatan, Riau dan Sumatera Utara, perluasan perkebunan sejalan dengan progran transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah sejak tahun 1990. Dampak dari perubahan lahan hutan di empat provinsi dan menjadikan Indonesia penghasil devisa crude oil terbesar dunia dapat mencapai puluhan hektar per provinsi. Perluasan inilah mengapa kebun kelapa sawit menjadi sorotan masyarakat, sebab dari ke empat provinsi “petro dollar” ini setengah wilayahnya merupakan penghasil kandungan bahan bakar tambang strategis dan vital.
Bersama empat provinsi di Sumatera ternyata belum cukup, hutan-hutan di Indonesia terus memproduksi emisi ke langit dunia mencapai lebih 490 juta ton ppm hingga ke tahun 2012, Indonesia penghasil emisi gas karbon terbesar di bumi setelah hutan di Kalimantan tergerus dengan perluasan kebun sawit mencapai 31.000 kilometer persegi. Meningkat setiap tahun dan mencapai puncaknya sebanyak 350 persen pada tahun 2012.
Laporan media dan jurnal ilmiah internasional menyebutkan hutan Indonesia di Kalimantan sepertinya tidak mau dunia bebas emisi dengan terlihat fakta dilapangan, ditemukan sejumlah perubahan yang menakutkan bagi kehidupan dan kelestarian bumi karena hutan bumi Indonesia merupakan paru-paru dunia dengan kehilangan hutan penyerap emisi seluas 53 persen, dibagi masing-masing 22 persen untuk hutan primer yang masih perawan, 21 persen hutan skunder dan 10 persen dari non hutan namun daerah hijau. Berkurangnya luasan ini berujung pada emisi karbon sebanyak 0.41 gigaton, dan perlu upaya untuk mengatasi sebelum tahun 2020, karena sepertiga hutan di luar wilayah konservasi di Kalimantan akan menjadi perkebunan sawit dan menghasilkan lebih banyak lagi emisi sebanyak empat kali dari yang ada sekarang.
Sebuah pengurangan hutan yang sangat dramatis dan peningkatan emisi yang mengerikan serta memunculkan sebuah pertanyaan ”masih pantaskah Indonesia disebut negeri zamrud khatulistiwa jika menghasilkan berton-ton emisi dari hasil jerabu hutan-hutannya?”
Mana Keberlanjutan
Indonesia merupakan negara yang memproduksi gas emisi rumah kaca ke tiga terbesar setelah Tiongkok dan Amerika Serikat dengan 85 persen emisi berasal dari kerusakan dan berkurangnya jumlah luas hutan di Indonesia sebagai hutan alam Indonesia. Hutan alam merupakan penyimpan karbon terbesar di bumi.
Menimbulkan pertanyaan kita, apakah Indonesia dapat hidup dengan tidak menghasilkan emisi? Jangankan tidak menghasilkan emisi ke lingkungan menguranginya saja belum sanggup.
Faktor utama dari semua itu adalah dalih peningkatan ekonomi pembangunan, sehingga fungsi hutan diabaikan dan baru dipikirkan jika telah mengalami perusakan yang menimbulkan bencana dahsyat, sedangkan pemikiran tentang pembangunan hijau berkelanjutan itu sebenarnya apakah ada? Jika ada, kemanakah keberlanjutan hijau itu? Yang justrunya kita kita lihat adalah keberlanjutan bencana kabut asap sepanjang tahun, kadang muncul seminggu atau dua mingu, lalu muncul masalah banjir klasik, dampak dari berkurangnya daya dukung lingkungan, didasarkan pada tingkat pemanfaatan sumber daya alam hutan yang berlebihan sehingga menimbulkan intensitas dan beban buangan limbah banjir dari kerusakan hutan ke lingkungan, inilah yang terlihat di beberapa kota-kota besar di Indonesia pada akhir tahun lalu dan berlanjut lagi ke akhir tahun ini.
Moratorium Emisi
Perlu sebuah moratorium untuk pengurangan emisi, mengingat daya dukung lingkungan di beberapa kota di Indonesia saat ini mengalami tingkat degradasi yang sangat tinggi, laju penurunan daya dukung tanah di beberapa kota di Indonesia melaju dengan penurunan rata-rata mencapai 1.5-2 c, per tahun, kecuali Jakarta bisa mencapai 5 cm per tahun.
Dampak dari alih fungsi hutan, pengurangan taman hijau dan tidak terpenuhinya amanah UU tata ruang hijau yang mengamanahkan sekitar 30 persen dari total luas wilayah.
Bukti lainnya dapat kita lihat, penggunaan energi fosil seperti batubara dan migas secara besar-besaran mendorong Indonesia lupa untuk melakukan “pembaharuan energi” dalam jangka waktu tertentu sehingga menimbulkan efek kerusakan alam. Terlihat dari peningkatan CO2 yang dihasilkan penggunaan bahan bakar minyak di Indonesia tidak mengalami penurunan permintaan.
Selaras tersebut dengan diatas, polusi udara kota-kota besar di Indonesia kini sudah diambang kritis, udara panas menyengat itu salah satu dari dampak kerusakan hutan, dengan tingginya konsumsi pemakaian BBM mencapai 240 juta kilo liter dari kendaraan, dimana terkandung unsur kimia seperti timbal yang melewati ambang batas 0.03 ug/l dan saat ini sudah diatas 0.09 ug/l dari total lebih 45 juta kendaraan secara Nasional hilir mudik di jalan-jalan kota di Indonesia yang mencapai 60 persen buangan emisi dari knalpot yang mengandung sulfur dioksida, nitrogen oksida dan timbal menghasilkan konsentrasi emisi hingga 2 juta ton part per million (ppm) setiap tahun, lalu disusul penggunaan bahan bakar rumah tangga dari energi fosil mencapai 1.900 juta kilo liter di tingkat Nasional. Penggunaan batubara dan tumpahan minyak adalah pencemar dan penghasil emisi terbesar ke udara merupakan produksi unggulan dari usaha pertambangan dan perminyakan perlu sebuaj moratorium emisi penggunaan BBM konvensional.
Sangat berbading terbalik dari keinginan pemerintah untuk menurunkan laju emisi dunia. Di tingkat Nasional, Pemerintah berkomitmen penurunan emisi Gas rumah Kaca sebesar 26 persen pada tahun 2020 dengan upaya sendiri dan sebesar 41 persen dengan bantuan dunia internasional. Penurunan emisi GRK menuntut arah pembangunan yang rendah karbon seiring dengan produksi dan konsumsi BBM dan daerah hijau berkelanjutan.
Membaca data tersebut, seperti keniscayaan, menimbulkan ironis. Mengingat kondisi lingkungan hutan dan udara Indonesia semakin rusak, laut sebagai penyerap oksigen terbesar kini telah mengalami penghancuran ekosistem terumbu karang dan hutan mangrove akibat ekspansif wisata hotel dipinggir pantai, serta begitu juga banyaknya tumpahan minyak dan jutaan ton plastik tersebar di laut Indonesia, laju kerusakan hutan mencapai 460.000 hektar per tahun sehingga daya serap emisi laut dan hutan semakin berkurang dan menimbulkan hujan asam.
Agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap keberlanjutan pembangunan, tingkat pemanfaatan sumber daya alam dan buangan limbah beracun dan penghasil emisi lainnya harus ada tujuan pengendalian melalui perencanaan kegiatan pembangunan secara tepat, dalam pencapaian kualitas hidup yang ditentukan secara tepat, salah satunya adalah moratorium emisi dan pengendalian konsumsi BBM non hijau dan izin pembatasan pembukaan perkebunan di lahan hutan. ***
Penulis adalah Enviromental Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer
http://analisadaily.com/opini/news/bisakah-indonesia-hidup-tanpa-menghasilkan-emisi/170826/2015/09/15

TRAGEDI HUTAN DI HARI HUTAN : Geologi Lingkungan





TRAGEDI HUTAN DI HARI HUTAN
Oleh M. Anwar Siregar

 Ironisnya hutan Indonesia saat ini, ketika seorang nenek yang diduga mengambil 2-3 pohon jati milik Perhutani hukum mendadak ditegakan, tetapi begitu kehidupan manusia berhadapan dengan bahaya ketidakseimbangan ekologis akibat maraknya penggundulan dan pencurian pohon di hutan oleh perusahaan besar yang melebihi batas areal konsesi yang diberikan mencapai ratusan hektar mendadak hukum tumpul, ada apa? Inikah yang menyebab negeri ini sering mengalami bencana? Sehingga memerlukan mitigasi tata ruang hutan yang berbasis hijau terbuka di bumi dan harus bersifat global, dan merupakan tuntutan yang sangat mendesak bagi Indonesia dalam mengurangi kerugian akibat bencana alam yang hadir setiap saat.

Saat ini, hamparan perkebunan sawit lebih mendominasi permukaan bumi Sumatera dan Kalimantan daripada hutan jati dan merupakan cermin semakin buruknya pengelolaan tata guna lahan di hutan-hutan tropis di Indonesia. Setiap tahun, sumber daya hutan mengalami perusakan serempangan dan melampaui batas kerusakan, terus mengalami deforestasi akibat penghancuran, pembakaran dan memunculkan bencana baru bagi masyarakat, asap beracun berupa emisi karbon akibat pembakaran lahan menjadi ancaman nyata bagi kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan di Bumi yang diakibatkan oleh manusia. Selain itu, juga menghancurkan sumber ketahanan bencana yang berupa zona sanggahan bencana dari kawasan hijau itu sendiri dan terjadi tidak mengenal waktu serta menimbulkan sebuah ironi, sebab kadang kejadian pembakaran itu terjadi pada hari “raya” hijau seperti pada hari lingkungan, hari hutan ataupun hari menanam pohon.
IRONI HARI HUTAN
Salah satu pertanyaan yang sering kita dengar adalah apa yang menjadi sebab munculnya aktivitas tragedi hutan yang belum pernah terjadi sebelumnya? Ada beberapa fakta yang bisa dikemukakan untuk menjelaskan hal tersebut dan sering kita sudah mengetahui namun masih ada juga yang tetap melakukan demi pencapaian ekonomi, kontradiktif dari jargon pembangunan yang berwawasan ekonomi hijau berkelanjutan, namun yang berkelanjutan itu adalah bahaya yang merugikan kesehatan bumi hingga ke detik ini masih berlangsung antara lain : 1. Menyusutnya tata ruang hutan yang menimbulkan efek bencana, 2 Aturan Undang-undang yang menimbulkan ironis, 3. Lucunya hukuman yang tidak memberi efek jera, 4. Konsitensi izin aturan zonasi yang indah diatas kertas, namun hancur di depan mata dunia.
Menyusutnya tata ruang hutan akibat dampak perubahan tata ruang hutan yang menyebabkan jumlah cadangan luasan hutan berkurang, sehingga juga memutuskan atau mungkin juga mengurangi aspek ketergantungan sumber daya hidup/mata rantai makanan yang banyak hidup dihutan, menimbulkan tragedi bencana, terjadi akibat deforestasi, kebakaran hutan, alih fungsi untuk pembukaan perkebunan yang luas serta illegal logging kadang mencapai angka 450.000 hektar per tahun dan terjadi di berbagai ruang daratan, baik dikawasan hutan lindung maupun hutan produktif serta hutan non produktif.
Aturan undang-undang justrunya menimbulkan sebuah tragedi kebencanaan, terlihat dengan keluarnya undang-undang panas bumi maka sekitar 6.157 mw atau 21,5 persen total potensi panas bumi berada dalam wilayah hutan konservasi, selanjutnya sekitar 6.391 mw atau 22,33 persen potensi berada dalam wilayah hutan lindung. Dengan tidak lagi masuk kategori pertambangan maka panas bumi bisa dioptimalisasi diwilayah hutan konservasi, bisa dibayangkan betapa banyaknya lahan hutan akan dibabat habis hanya untuk membuka lapangan eksplorasi panas bumi seluas 2 hektar, dan perlu diketahui Indonesesia memiliki sebaran potensi panas bumi sebanyak 147 sumur eksplorasi dan sekitar 22 persen berada dalam kawasan hutan lindung yang menyebar di 34 Propinsi.
Tidak salah, serta tidak mengherankan jika Anda berpikir bahwa suatu saat Indonesia adalah negara terbesar penghasil emisi karbon terbesar dan negara terkencang dalam hal laju deforestasi dimuka bumi ini adalah benar, karena apa mau dipertahankan dalam aturan perundang-undangan jika pembakaran dan penghancuran hutan tetap berlanjut dan menghasilkan kabut asap tiap tahun sehingga Presiden bangsa ini harus minta maaf kepada negara tetangga, padahal semua sudah tahu bahwa pemerintah RI sudah banyak mengeluarkan peraturan perundangan agar dapat menekan laju kehancuran hutan Indonesia, yang terbaca dari beberapa peraturan undang-undang yang sudah berulangkali dilanggar oleh para pengusaha yang membuka akses ke hutan-hutan Indonesia antara lain : Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Larangan Pembakaran Hutan dan Lahan, Undang-undang Lingkungan Hidup dan Undang-undang Kehutanan. Selain itu diperketat dengan moratorium penebangan hutan dengan keluarnya Inpres Nomor 10 Tahun 2011 yang bertujuan menekan angka deforestasi dan degradasi hutan serta dilanjutkan oleh intruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2013 tentang Penundaan Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Gambut. Memberi efek jerakah aturuam UU ini? Dan apa yang kita rasakan sekarang? Ya, tragedi hutan yang menimbulkan bencana di berbagai kota di Indonesia dan dunia.
TRAGEDI HUTAN
Indonesia saat ini “memang” harus menikmati musibah banjir tahunan, longsor dan kabut asap akibat tidak terjeranya para pelaku pembakaran hutan yang justrunya menyebabkan gagalnya banyak program hijau yang menumbuh suburkan bahaya laten bencana hijau seperti sekarang yang kita rasakan, sebuah tragedi hutan yang tidak lucu.
Terlihat dari tidak konsistensinya peraturan zonasi yang harus ditegakan sebagai perangkat operasional pengendalian pemanfaatan ruang, sebagai acuan dalam pemberian izin pemanfaatn ruang hutan termasuk pemanfaatan air permukaan dan air bawah tanah untuk menjamin kualitas karakteristik zonasi air dan meminimalkan ganguan atau dampak negatif terhadap perubahan zonasi tata guna ruang hutan.
Tragedi hutan dan pemanfaatan tata ruang hijau di perkotan semakin parah yang disebabkan oleh aspek hukum. Terlihat dari banyaknya pelaku kejahatan lingkungan khususnya pembakaran hutan lolos dari efek jera hukuman akibat ketidakpahaman penyelidik hukum dan hakim dalam memberikan vonis tuntutan hukum serta implikasi yang ditimbulkan suatu tindakan pidana lingkungan bagi makhluk hidup di bumi.
Format hukum yang dipakai belum mampu menyeret pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan ke pengadilan karena hanya pihak kepolisian saja yang bergerak untuk mengatasi kompleksitas permasalahan hukum. Para pelaku yang ditangkap “Cuma kulitnya” aktor intelektual masih bergerak bebas untuk melakukan pembalakan liar seperti “binatang liar”. sehingga tidak terkejut jika berkabut lagi dimana-mana.
SELAMATKAN HUTAN
Perlu dirubah dengan melibatkan berbagai pihak pada semua rantai penindakan dan penegakan hukum lingkungan untuk menguraikan kompleksitas kebuntuhan penindakan pidana lingkungan. Contoh masalah kabut asap adalah salah satu dan merupakan kelemahan penindakan hukum karena melibatkan satu pihak yang menindak pidanakan hukum yang dibebankan kepada pihak berwajib dalam hal ini aparat kepolisian sehingga masalah kabut asap selalu muncul setiap tahun dan memberikan efek jera kepada pelaku. Untuk itu, maka perlu pihak pemerintah dalam hal ini kementerian kehutanan, lingkungan dan kejaksaan serta kepolisian terlibat satru tim untuk merumuskan cara kerja yang tepat, setiap pihak wajib membentuk satuan tindak pidana hukum lingkungan, dan bagaimana merumuskan pasal-pasal hukuman khususnya untuk lingkungan dan perlu kontinuitas pelatihan pemahaman konseptual  terkait teknik penindakan dan pengawasan terhadap bahaya lingkungan dilpangan maupun di pengadilan yang harus dikuasai oleh anak-anak bangsa dibidang hukum lingkungan dan kehutanan serta mendidik pihak perusahaan dan masyarakat dalam masalah hukum-hukum lingkungan hidup dan kehutanan agar ditemukan keserasian dalam penegakan hukum pidana pembakaran dan penghancuran lingkungan hidup khusus mengatasi tragedi hutan.
Untuk menyelamatkan hutan di bumi, Pemerintah harus tegas dalam menghentikan laju alih fungsi hutan terutama hutan primer menjadi perkebunan dan pertambangan, harus tegas menegakan moratorium izin pembukaan lahan perkebunan, morotorium jeda tebang pohon, atau juga melarang izin HPH. Semua demi menjaga keseimbangan alam di Bumi.
M. Anwar Siregar
Enviromental Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer

http://analisadaily.com/opini/news/tragedi-hutan-di-hari-hutan/117628/2015/03/20 

Related Posts :