Feb 9, 2016

Ancaman Desintegrasi Migas



MINYAK DAN GAS BUMI, SUMBER DEVISA DAN DESINTEGRASI BANGSA
Oleh : M. ANWAR SIREGAR

Dua persoalan penting yang sedang dihadapi oleh bangsa dalam abad millenium ke tiga ini, yang didapkan pada pengembangan pembangunan yang berkelanjutan dan juga dihadapkan pada pokok-pokok pembangunan itu sendiri.
Dua persoalan ini yaitu berhubungan dengan era globalisasi yang semakin transparansi di abad 21, dimana perubahan kehidupan hidup ini terus berkembang cepat tanpa kita sadari, telah terus mengalami eskalasi yang luar biasa.Dalam era ini, batas-batas negara tidak relevan lagi, yang menjadi pokok persoalan adalah bagaimana penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang harus dikuasai bangsa Indonesia untuk berjuang menjaga jati diri bangsa dengan bangsa-bangsa yang ada dimuka bumi ini.
Pada saat yang sama bangsa ini mengalami persoalan yang kedua yaitu akibat terjadinya crisis multidimensi yang diawali dengan terjadinya krisis ekonomi dan moneter yang terpuruk akibat terjadinya korupsi disegala bidang selama masa pemerintahan orde baru (orba) marajalela.
Keberadaan hukum di Indonesia, walau negara ini termasuk negara hukum Namur dalam pelaksaaan tidak sesuai dengan harapan, karena keberadaan hukum dan keadilan sangay kerdil krediilitasnya di mata rakyat seperti terjadi mafia keadilan, suap hakim dan ancaman serta cambur tangannya pemerintah dalam pemutusan dan penuntutan hukum sehingga tidak bersifat independen. Diambah hiruk pikuknya persoalan politik yan cari muka dan asal omong dan tidak mudah dipertanggung jawabkan, seharusnya sebagai seorang terpelajar dan memiliki wawasan yang luas bisa memberi solusi yan baik, malah kebalikan untuk kepentingan partai yang lebih dominan daripada kemaslahatan rakyat dari hari ke hari tidak dimengerti oleh rakyat dan juga semakin banyaknya rakya miskin dan pengangguran serta pada akhirnya menjurus pada tindakan anarkis. Penyebabnya,tidak adanya perhatian para elite politik dalam negeri yang selalu beradu mulut, salig tuding dan curiga mulai berlebihan.

KESOMBONGAN PUSAT

Keinginan beberapa daerah dalam mengelola SDA nya banak ditanggapidingin oleh Pemerintah Pusat,karena Pusat beranggapan daerah masih belum sanggup dan memiliki kemampuan yang terbatas adalah sebenarnya tidak benar, karena Pusat sebenarnya sangat kuat, karena menyangkut pembagian jatah “kue” yang didapat dari daerah.
Dalam membuat kebijakan dan peraturan untuk pengelolaan SDA di daerah, Pemerintah jarang bersikap adil dalam menetapka hak-hak terhadap daerah. Beberapa peraturanyang dikeluarkan tidakmengakomodasi keinginan-keinginan rakyat yang ada di daerah. Contohnya Rancangan Peraturan Perundangan (RPP). Dimana peraturan yang sebelumnya adala wewenang Pusat selama pemerintah otoriter orde baru di bawah mantan Presiden Soeharto ini. Didalam RPP ini, banyak perturan yang Belem terakomodasi bagi rakyat, misalnya Propinsi Riau. Dimanahak untuk pengelolaan SDAnya masih tarik ulur yang panjang, apalagi ketika peraturan itu dibuat banyak daerah tidak diajak berdikusi tentang keiginan daerah, didalam peraturan RPP sebagai tindak lanjut dari UU No.22/1999 tentang Pemerintah daerah, dialam RPP ini banyak titipan pusat, Negosiasi seharusnya diadakan, nyatanya tiak. Jadi bagaimana mengakomodasi keinginan daerah kalau pusat melakukan semuanya untuk RPP ini, bila ini (akomodasi keinginan daerah) dilakkan dengan baik maka otomatis mereka akan tahu seberapa besar kemampuan daerah dalam mengelola kekayaan SDA, bukan asal tunjuk.
Dari hal ini saja, Pemerintah sudah memberikan gejala-gejala perpecahan dengan banyaknya peraturan yang tidak becus, karena kemampuan tiap-tiap daerah bereda tapi pusat seperti tidak mau tahu dan tarik ulur soal kepentingan otonomi. Akibat yang ditimbulkan banyak daerah-darah yang kaya SDA selama ini diperlakukan tidak adil dan diperas kekayaannya sampai jumlah APBDnya sangay kecil bila digunakanunuk melaksanakan pembangunan daerah jadi beraksi sangat keras. Daerah-daerah ini umumnya memiliki SDA dibidang minyak dan gas bumi deserta bahan galian strategis dan vital lainya menuntut diberikan lebih dari setengah hak kekayaan sumber devisa yang telah dihasilkan oleh hasil bumi dari Propinsinya, misalnya Riau, Aceh,Papua, dan Kalimantan Timar, keempat daerah ini menghasilkan lebih 75% sumber devisa bagi negara dan daerah ini juga “ memberi makan” daerah-daerah yang sangay miskin, tetapi perlakuan Pemerintah Psat terhadap mereka sungguh tak adil. Jadi jangan kaget, bila keempat daerah ini mengancam keluar dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) bila hak pengelolaan SDA mereka tidak diberikan lebih.mereka akan melakukan tindakan anarkis seperti yang sudah terjadi di bmi rencong. Melihat hal ini, memang sudah sewajarnyamerekaberhak dan sepantasnya mendapat sumbangan devisa lebih besar yaitu 75%. Tapi sayang sekali, Pusat sepeti mengulur waktu dengan berbagai alasan bahwa daerah Belem Sian, padahal pusat itu sendiri tidak melakukan negosiasi secara langsung dan bagaimana mengerti secara langsung keinginan daerah,hasilnya liarla RPP yang dibuat Pemerintah yang banyak kekurangannya dan kepentingannya.

PEMICU DESINTEGRASI BANGSA

Seperti sudah disebutkan diatas, bahwa persoalan yang dihadapi bangsa kita adalah krisis yang multidimensi seperti ekonomi, hutang yang banyak, politik yang tidak pasti,dan tingkah laku peegang kekuasaan yang arogan an keamanan yang tidak pasti, unjuk rasa seharusnya tertib dan sopan tanpa tindakan kekerasan berubah menjadi anarkis, merusak, malahkadang memperkosa da membunuh, disertai oleh seorang provokator yang sangay lihai. Dimana hal ini, tidak pernah terjadi ketika orde baru kecuali Anda sayang sama nyawa  yang semata wayang dan jangan melawan pemeritah yang sangay otoriter ini di bawah pasukan Jenderal Soeharto yang sangay alergi yang nama unjuk rasa.
Pemicu desintegrasi bangsa di mulai dengan dibungkamnya kran demokrasi oleh penguasa orba, kemudian dilanjutkan dengan kasus-kasus korupsi yang maha luar biasa (satu pemegang kekuasaan saja, sanggup, menilep uang rakyat lebh 300 milyar rupiah), uang sebanyak ini sebenarnya bisa membangundaerah yang tertinggal, apalagi 300 milyar ini ada daerah yang memiliki APBDnya Cuma 13 milyar rupiah di era krisis moneter sekarang ini.
Si koruptor pasti tertawa seperti setan, bila membaca catatan ini, padahal daerah ini termasuk Kabupaten yang kaya raya SDAnya, tetapi karena sumber devisa ini banyak “lari”ke pusat, imbasnya mereka dapat cuma-cuma alias sisa saja dengan alasan Pusat yang mengatur pembagian “kue-kue” enak ini. Sialnya, daerah ini termasuk ke dalam Propinsi yang berteriak ingin merdeka karena perlakuan yang tidak adil yaitu Riau, oleh pemerintah pusat hanya memberikan sumbangan devisa yang diberikan Riau sebesar 59.146 triliun menjadi 1,5 triliun dan ini masih dibagi lagi untuk daerah yang ada di Propinsi Riau. Maka anda jangan kaget ketika DPRD mereka melakukan perbandingan studi pencarian dan penggalian sumber PAD (pendapat asli daerah) ke Jawa terutama di Yogyakarta, sempat jadi bahan tertawaan oleh rekan mereka. Padahal yang di tujupun bila tiba saatnya otonomi akan merasakan kemiskinan yang dirasakan Riau, kenapa? Karena menurut data-data geologi, daerah ini termasuk miskin SDA dan lebih banyak mengandalkan pariwisata sebagai salah satu sumber pembangunannya dan juga Riau, deserta “rekan-rekannya” tiak perlu lagi jadi sapi perahan untuk memberi makan daerah-daerah selama ini menikmati isi tubuh molek dari perut bumi Riau secara rakus-rakusnya.
Kemiskinan adalah musuh semua negara di dunia ini, ini tegas dan banyak dinyatakan oleh Pemerintah yang berniat menghapuska kemiskinan. Sebab, secara politis akan memunculkan benih-benih radikal, seperti komunis, individu-individu yang terpinggirkan scara dtruktural revolusioner yang menyebabkan mereka miskin da berperilaku radikal bahkan cenderung revolusioner.
Hal ini dapat mengundang kecemburuan daerah yang kaya seperti Provinsi Riau, Aceh, Papua, dan KalTim, dimana harta kekayaan alam yang berupa devisa negara lari lebih banyak ke Pusat. Ini mengakibatkan terbentuknya kemiskinan dan pemberontakan terhadap Pemerintah Pusat, oleh pusat disebutnya golongan separatisme.
Apa salahnya mereka protes keras, untuk minta keadilan dan mengelola sumber daya alam mereka, bukankah kami bagia dari negara ini? Devisa itu harus diberikan tujuh puluh lima persen harus masuk ke kas APBD mereka-mereka yang diperas ini, tetapi setidak-tidaknya pemerintah harus adil dalam mengakomodasi dan pembagian pendapatan hasil SDA terutama dibidang MIGAS.
Contohnya Riau, semua sudah tahu bahwa Propinsi ini kayatetapi rakatnya sangay banyak miskin, jumlah yang tercatat adalah lebih 42,25%. Pada hal Riau, memberikan kontribusi untuk devisa untuk negara dari hasil Minyak dan Gas Bumi sebesar 59.145 triliun. Tetapi berapa mereka (Riau dan daerah lanilla) dapat dari hasil tersebut? Cuma 1,5 triliun, selebihnya ke pusat dengan alasan menurut saya tidak adil dan tidak masuk akal untuk dibagi-bagi pada propinsi lain yang masih miskin, setahu saya,sember daya alam (mineral, SDA/SDM) di tiap Propinsi memiliki potensi kekayaan  alam masing-masing (tak perlu yang terbesar diantara yang “ter” besar, yang penting memberi kontribusi pembangunan dan kesejahteraan rakyat). Tetapi nyata sekali, Riau, Aceh, Papua (Irian Jaya) dan Kalimantan Timur masih sangat miskin (tragis memang,dan berakibat pada aspek SDM yang akan di hasilkan).
Hasil kekayaan alam dari empat Propinsi ini belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh rakyatnya. Aceh yang kini bergejolak disebabkan sewenang-wenang dengan pelanggaran HAMyan berlebihan, dimana kita akan melihat pengungsian penduduk (yang menyebabkan Indonesia sebagai negara terbesar jumlah yang mengungsididalam negara sendiri), akibat teror dengan alasan aweeping (penyisiran, pencarian anggota GPK ataupun GAM), atau kontak sensata entah itu dari GAM, TNI, atau sipil bersenjata. Apalagi rakyat Aceh traumatik terhadap Pasca DOM yang berlangsung 10 tahun ditambah lagi tidakan-tindakan anarkisentah siapa yang melakukannya, hanya karena Aceh menginginkan keadilan dan penegakan Syariat Islam di bumi tanah rencong, tetapi pihak pusat, “buta dan tuli”.
Papua juga ikut bergejolak disebabkan SDA mereka dapat tidak jauh beda dengan Riau dan Aceh. Perusahaan-perusahaan yang beroperasi disana, banyak melanggar tanah-tanah adat yang ada di Papua. Selain itu, terjadi pelanggaran HAM berat dan pengrusakan hutan yang berdampak pada lingkungan hidup bagi suku-suku yang masíh hidup di daerah terpencil, selain kesempatan mereka terbatas dalam menikmati hasil kekayaan bumi Propinsinya karena ulah para pemegang kekuasaan dan kesombongan para elite politik yang tidak mau tahu kondisi hidup rakyatnya.
Kemiskinan, kebodohan, kekecewaan dalam pembagian hasil devisa SDA terutama MIGAS adalah salah satu pemicu desintegrasi bangsa. Misalnya lagi,Riau, ketika Gus Dur datang ke Propinsi RIAU berjanji akan memberikan pengelolaan CPP (Coastal Plans Pekan Baru) yang masa habisnya tanggal 31 Agustus 2001, ternyata berubah pikiran. Rayat Riau memang akan melakukan tindakan seperatis bila pemerintah masíh juga terus berbohong, kenapa? Tentu saja apa gunanya bergabung ke NKRI bila kepercayaan dalam mengelola CPP dari Caltex Pasifik Indonesia (CPI) ini diambil Pemda Riau di urus sendiri oleh rakyat. Apa lagi Riau sudah cukup banyak memberi makan propinsi lain, jadi sudah saatnya mereka menikmati hasil bumi untuk kemakmuran rakyat setelah tertinggal jauh oleh mereka yang hidup makmur dari hasil perut bumi Riau.

Gambar : Sumber Daya Migas dan politik di obok-obok negara asing
(Sumber gambar : jakarta45.wordpress.com)

Apa susahnya sih untukdiberi wewenang mengurus SDA masing-masing propinsi padahal pemerintah melalui badan usa yang terrenal saja tak becus mengurus kekayaan alam dan menghasilkan sumber daya penyamun dan korupsi yang bertriliun banyaknya pada preusan seperti PERTAMINA. Bagaimana ini Mr Abdurrahman “Gus Dur” Wahid?
Terutama untuk Riau (dan juga KalTim), yang tidak mendapatkan otonomi khusus seperti yang di dapat Aceh dan Papua.  
Penyebabnya, semua desintegrasi ini yang terjadi adalah perimbangan kue-kue pembangunan, banyaknya daerah kabupaten ingin menjadi propinsi sendiri tak lain tidak adanya perhatian karena kue pembangunan sedikit didapat (bukan perhatian dari pemeritah propinsi) tetapi melaikan tebatasnya dana anggaran pendapatan dan pembangunan daerah yang diberikan Pusat kepada Propinsi. Sedangkan Propinsi itu sendiri masíh kerja keras bagaimana memanfaatkan jatah yang diberikan untuk selanjutmya dibagi-bagi lagi kue yang sedikit itu ke daerah yang ingin menjadi Propinsi seperti yang kita lihat atau baca di surat kabar berbagai daerah misalnya Gorontalo (Sulawesi Utara), Kepulauan Riau , Kepri (Riau). Bagaimanadengan Tapanuli yang sempat ada “gaungnya”? bagaimana pemerintah SUMUT ada perhatian? Kalau tidak, Medan, sebagai kota metropolitan tidak ada apa-apanya alias kelebihannya karena perkembangan kota yang dimiliki Medan juga dimiliki beberapa kota yang ada di Tapanuli seperti arah pusat pelabuhan laut, dimana umumnya negara didunia selalu menghadap ke arah lautaan selain juga berkonsentrasi pada daerah yang bergelombang miring landai tapi diusahakan sejauh daerah jalur gempa bumi. Selain itu, juga memiliki potensi sumber daya mineral atau sumber daya alam banyak tertanam di dalam perut bumi Tapanuli seperti yang dimiliki Riau, karena saya tahu itu, dan ahli-ahli geologi juga sudah tahu itu, dan SDMnya juga jangan dianggap remeh dan lebih baik dibandingkan propinsi-propinsi yang ingin berdiri sendiri.
Segitu saja tulisan ini, sebenarnya masíh banyak mau saya tulis, kebetulan tulisan ini ditulis ketika melakukan suvey untuk penelitian SDA dan kontruksi sipil untuk proyek yang akan dimanfaatkan sebagai bahan (pertimbangan) potensi devisa ketika otonomi akan diberlakukan, justrunya di lakukan di Propinsi yang lagi “berteriak-teriak” kepada pusat agar keadilan diberikan kepada mereka.

Sudah di Publikasi oleh Surat Kabar Harian “ANALISA” Tanggal 17-18 Januari 2001

No comments:

Post a Comment

Related Posts :