Aug 25, 2016

Etika Demokrasi Geopol



ETIKA DEMONSTRASI POLITIK DENGAN BAHASA “PENA”
Oleh M. Anwar Siregar

Memasuki abad 21, telah membuka satu cakrawala demokrasi bagi rakyat Indonesia dan meningkatnya perbedaan-perbedaan baru dalam kehidupan di abad global di Indonesia, membentuk peradaban baru, dari era refresentasi ke era simulasi masyarakat ke post modern demokrasi.
Proses demokrasi global juga dapat memunculkan sebuah ancaman terhadap identitas diri individu atau kelompok. Kehidupan di era post modern global dapat mempercepat hilangnya semangat spirit sosial terutama semangat eksistensi sosial kultural, pertentangan untuk menunjukkan jati diri (etnis) selama kekuasaan orba mengalami kooptasi melalui penyeragaman identitas (uniformitas) yang banyak dialami semua etnis dan pada era reformasi mulai unjuk kekuatan dan menyebabkan fenomena euphoria kebebasan yang berakhir pada keruntuhan norma-norma etika.
Pertentangan jati diri yang saling mengklaim status sosial budaya merupakan bagian eksistensi identitas di era post modern, salah satu korban dari kehidupan model post modern adalah budaya kekerasan dengan fenomena perang antar suku yang terjadi beberapa bulan lalu di Papua, yang disebabkan oleh pengaruh perkembangan eskalasi politik global.
PARLEMEN JALANAN
Demonstrasi di jalan ataupun parlemen jalanan memang sangat penting, namun harus beretika dalam menyampaikan orasi dalam bahasa-bahasa demokrasi yang terdidik atau memiliki kemampuan pembelajaran etika untuk menyampaikan pandangan pendapat atau kritikan kepada suatu lembaga yang ditujukan. Agar masyarakat dapat memahami apa yang menjadi sumber permasalahan sehingga tidak menimbulkan persepsi yang salah atas segala sesuatu yang berhubungan dengan demonstrasi di jalanan.
Parlemen Jalanan merupakan demonstrasi pendidikan massa yang dilakukan di jalanan bagi masyarakat disekitar, harus dilakukan dan disampaikan dengan tertib, bukan mengganggu kepentingan umum. Demonstrasi Jalanan harus dilakukan sebagai upaya terakhir untuk menegaskan dan tekanan kepada penguasa untuk mendengarkan aspirasi yang disampaikan bahwa ada tindakan-tindakan yang mesti diambil dari kebijakan yang tidak berkenang dengan dinamika kehidupan berbangsa.
Penyampaian orasi politik parlemen jalanan harus dengan bahasa politik yang mudah dipahami, menggunakan kemampuan berbahasa yang baik. Elite Politik dan masyarakat harus memahami bahasa demokrasi yang baik, yaitu tidak melakukan bahasa intimidasi politik, yang dapat membunuh karakter politik, tidak menggunakan bahasa provokator, menggunakan logika dan filsafat yang membangun karakter politik yang baik. Dengan membangun karakter orasi politik jalanan yang baik akan menghasilkan stimulus demokrasi “people power” tanpa harus melakukan tindakan-tindakan kekerasan. Dukungan akan datang secara alamiah, tidak ada “upah demo”, tanpa tekanan dan kekerasan.
ETIKA DEMONSTRASI POLITIK
Proses globalisasi telah menghilangkan sebuah kebanggaan sosial kultural bagi generasi di Indonesia di era reformasi, tercermin dari etika berpolitik dan berdemonstrasi dalam upaya kita menuju demokrasi eganliter. Keruntuhan norma-norma etika berpolitik telah mengantarkan kepada “pengkultusan yang baru” yaitu “aku adalah yang terhebat”.
Eksistensi sebagai bangsa timur yang menjaga kemurnian kebudayaan yang tinggi, yang menjunjung persaudaraan dan etika sopan santun sebagai ciri khas budaya bangsa Indonesia mulai tertindas oleh semangat egoisme radikal dalam memperebutkan kekuasaan, eksistensi kelompok atau partai berganti dengan euforia kekerasan hingga sekarang masih berlanjut. Hilang berganti dengan sikap ambisus dan hedonistik.
Perilaku elite dan masyarakat dalam menjalankan demonstrasi sangat dipengaruhi oleh perilaku kehidupan berbangsa, terutama pemahaman etika atau budi pekerti berpolitik, mempengaruhi juga eksistensi sosio-kultural seperti yang terjadi pada awal reformasi, yang selalu berakhir kontradiktif kultural. Salah satu bukti yang sering kita lihat adalah budaya kekerasan (kekerasan demonstrasi) atau juga konflik kekerasan etnis, lihat pada kejadian Sampit, Poso, Maluku, dan Papua.
Kita harus belajar dari sejarah pengembangan karakter demokrasi di Indonesia, silih berganti model demokrasi yang berusaha dibentuk dan ditegakkan oleh setiap penguasa, namun silih berganti juga datangnya keruntuhan kekuasaan, semua penyebabnya adalah terjadi kooptasi dan penyeragaman sosial kultur serta lembaga negara dan masyarakat. Demokrasi sebenarnya dibentuk dari keinginan oleh rakyat, dari rakyat untuk rakyat. Maka tindakan-tindakan dari kebijakan kekuasaan politik yang tidak berkenan dengan keinginan rakyat akan ada “upaya pembangunan reaksi” dan membutuhkan jalan keluar berupa demonstrasi di jalan.
Etika demonstrasi di Indonesia harus disesuaikan dengan kondisi kultur bangsa yaitu menghormati etika ketimuran, tidak perlu meniru tindakan Negara lain dalam berdemonstrasi, biarkan berjalan sesuai dengan dinamika sosial-kultur yang membentuk karakteristik masyarakat Indonesia karena tiap Negara-negara di dunia memiliki karakter building demokrasi berbeda yang sesuai kondisi kehidupan berbangsa.
DEMONSTRASI “PENA”
Ada baiknya kita renungkan arti demokrasi dalam era reformasi di Indonesia sekarang. Perilaku yang telah disebut diatas telah membawa negeri ini pada satu kesimpulan etika, yaitu perilaku toleransi yang mulai lenyap akibat kooptasi lembaga yang tidak mampu bergerak cepat untuk mengakomodasi dinamika perubahan global sehingga diperlukan wadah baru yang berupa perilaku watak keras sehingga menyebabkan anarkis. Perubahan-perubahan anarkis ataupun kekerasan fisik terhadap fasilitas umum, yang dapat menguraikan tatanan kebanggaan kolektif disertai penekanan pada sistem lembaga sosial yang mempengaruhi segi struktur kehidupan bermasyarakat yang pada akhirnya akan meruntuhkan bangunan sosial kultural tanpa ada solusi untuk meredamkannya.
Demonstrasi dengan bahasa pena dapat dimanfaatkan untuk menguraikan kekusutan dan menekan tindakan-tindakan perilaku kekerasan di jalanan, demontrasi pena dapat meredam gejala liar kebebasan dalam berekspresi atau berperilaku tanpa menghormati norma-norma kesusilan di masyarakat yang meliputi segi budaya (untuk eksistensi kebebasan), hukum (untuk legalisasi), sosial (untuk sebuah simbol ekonomi) dan agama (membentuk sebuah tatanan kehidupan “agama baru).
Unjuk rasa dengan menggunakan bahasa pena dapat memanfaatkan berbagai aspek pemanfaatan kemampuan berbahasa politik yang baik, beretika dan memanfaatkan perkembangan tekonologi yang dapat memobilisasikan dan merekonstruksi tindakan penyimpangan yang terjadi.
Penyampaian bahasa dalam demonstrasi pena di media cetak harus disampaikan dengan kaidah bahasa yang tajam tapi efektif serta santun, tidak menyinggung perasaan apalagi menghina yang dapat menggugat solidaritas masyarakat yang sudah muak atas segala kezaliman.
Dukungan masyarakat melalui unjuk rasa dengan bahasa pena atau bahasa tulisan dari media teknologi seperti televise, jaringan fecebook atau internet memiliki keunggulan dalam penyampaian logika sehingga mudah dicerna, bersikap efektif edukatif, menembus batas-batas ruang dan waktu, selalu bergema kuat sebagai media informasi yang dapat menggerakan solidaritas masyarakat, yang memahami visualisasi dalam arti positif, memberikan pembelajaran iptek, melatih segala kemampuan logika, bahasa dan hati nurani.
Harapan kita ke depan, semoga demonstrasi jalanan di Indonesia bisa berlangsung dengan tertib tanpa kekerasan dan perusakan prasarana dan sarana Negara agar bangsa Indonesia tidak semakin miskin untuk membangun kembali prasarana yang rusak.

M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer

No comments:

Post a Comment

Related Posts :