Sep 29, 2016

Euforia Demokrasi Di Indonesia


EUFORIA DEMOKRASI DIINDONESIA
Oleh M. Anwar Siregar

Eskalasi politik di Indonesia telah bergerak cepat melebihi kecepatan waktu, politikus di Indonesia betul-betul memanfaatkan momen ini dengan tumbangnya junta orde baru (orba) dengan keluarnya peraturan yang mengizinkan terbentuknya berbagai macam partai politik di Indonesia. Eskalasi ini terus bergerak lagi dengan banyaknya perubahan-perubahan yang timbul di masyarakat dengan berbagai tuntutan terhadap rezim orba. Salah satunya adalah membawa mereka ke pengadilan rakyat ataupun koneksitas. Namun dipihak lain, perubahan ini telah banyak merenggut korban akibat keganasan politik yang memanas demi mempertahankan rezim yang telah tumbang dengan dibuktikan kekacauan pada era reformasi. Pergerakan ini telah mengundang pihak luar terus mengawasi demokrasi yang mengalir seperti air hujan yang tak terbendung. Terus merangsek untuk memenuhi deklarasi reformasi yang dicetuskan oleh para mahasiswa, selanjutnya mereka dikenal pahlawan reformasi untuk memutuskan segala aspek penyelewengan yang pernah terjadi selama pemerintahan orla maupun orba. Salah satu yang paling menonjol adalah penangkapan pertanggung jawaban terhadap pelanggaran HAM di berbagai daerah seperti di Papua, Kalimantan, Riau, Aceh maupun Maluku.
JUNTA ORBA
Selama junta orba memimpin negeri ini, Soeharto berhasil menata perangkat-perangkat ketatanegaraan, mengatur segala strategis dengan dalih menjalankan amanat rakkyat, pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen, pengaturan  pemilu dan penjaringan anggota DPR/MPR  harus melalui pihak eksekutif, tujuannya dapat mencabut hak anggota legislative yang vocal, agar tatanan yang sudah diatur atau dibuat tidak mengalami gangguan, serta keselamatan dan kesinambungan kekuasaan tetap berlangsung. Segala aspirasi rakyat, lembaga atau institusi mengalamipenymbatan yang luar biasa ketat, sampai rakyat dan politikus yang vocal akan dikenakan undang-undang subversive, mereka dianggap perusak negara. Demi terjaganya kestabilan dan keamanan negara mereka perlu dimasukkan ke dalam penjara. Inilah yang menimbulkan amarah rakyat, dilain pihak lembaga yudikatif tak diberi peluang untuk berkembang dan menjalankan fungsinya. Soeharto dengan rezim kekuasaan betul-betul menjalankan pemerintahan ini seperti ”tangan besi”, ia rupanya belajar dari kejatuhan presiden RI pertama dimana unjuk rasa pembubaran PKI dan terbentuknya mahasiswa kritis lebih dikenal sebagai angkatan 66.
Seluruh aktivitas pemerintahan harus melalui sentralistik yaitu di Jakarta, segala aspek keputusan pemerintahan, pemilihan kepala pemerintahan, pembagian perimbangan keuangan, sumber daya alam semuanya melalui pengontrolan rezim orba seampai terjadinya ketimpangan kemajuan, keadilan dan kemakmuran yang sangay tajam dan meruncing sehingga menimbulkan kecemburuan di era reformasi sekarang. Sedang para kroni-kroni Soeharto hidup berfoya-foya diatas penderitaan rakyat, tidak salah jika mahasiswa menuntut diadakan pengadilan rakyat bila pihak yudikatif tak mampu menjalankan fungsinya.
Kran demokrasi ditutup dikarenakan rezim ini tak menginginkan rakyatnya menjadi pintar, maka dilakukan pembodohan dan penindasan bagi rakyat yang vokal. Dalam proses demokrasi di suatu negara seperti Indonesia, akan terjadi penjegalan bagi mereka yang terpelajar. Bila rakyat cerdas, akan susah mengatur orang yang cerdas-cerdas ini karena menyangkut kebijakan pemerintahan akan mendapat koreksian, dan pendapat berupa kritikan yang tajam membuat peraturan itu tak akan berjalan dan membahayakan kelangsungan pemerintahan, ini disadari Soeharto yang memang sangat alergi yang nama unjuk rasa, maka kita lihat sekarang dimana euforia demokrasi berlangsung tanpa batas di Indonesia.
GELEGAR PARLEMEN
Sejak Mr. Gus Dur terpilih menjadi orang nomor satu di negeri nomor saterbesar di Asia Tenggara ini, pentas politik Indonesia langsung berubah cepat dari mulut yang ”diberendel” sampai terjadi euforia yang menggelagar ke sudut-sudut di belahan bumi lainnya membuat Indonesia semakin terkenal selain krisis ekonominya. Riuh rendahnya politik yang bergema di parlemen sangat jauh terasa ketika rezim orba berkuasa, mereka hanya datang, duduk, diam, lalu duit (4D) tanpa berbuat apa-apa yang terpenting bagi rakyat, kecuali hanya mengangguk-angguk seperti anak kecil, ketika suara dinyatakan dengan koor yang panjang seperti pengambilan keputusan, terdengarlah suara menggelagar di parelemen ”setuju” ketika Soeharto terpilih lagi menjadi presiden.
Namun suara itu masih terdengar namun konteksnya sudah berbeda, yang terdengar dari anggota wakil rakyat ini hanya suara interupsi, protes ketikpuasaan, saling berdebat dengan tangan tak pernah diam bergerak. Mulut melontarkan kritikan tajam dan pedas, yang menunjukkan agresivitasnya sebagai wakil rakyat.
Perilaku anggota parlemen ini betul-betul berubah, sebelumnya mereka terkenal julukan 4 D, sekarang berperilaku agresif kadang mendekati suatu pertentangan yang tidak umum, karena seperti ingin saling menjatuhkan dan berkuasa. Euforia ini benar-benar sudah terjangkiti tanpa menggunakan akal yang jernih dan malah menimbulkan pertikaian antar elite yang sangat berambisi untuk menunjukkan sebagai partai yang layak membawa suara rakyat.
Puncak gelegar demokrasi yang ada di parlemen diperuncingkan dengan konflik antar pendukung, setiap hari datang membanjiri Senayan. Titik konflik itu semakin memuncak dengan keluarnya pansus DPR dan berakhir dengan keluarnya memorandum I dan menunggu memo II. Konflik inilah yang membuat parlemen riuh rendah dan penuh intrik-intrik, tipu muslihat untuk melakukan hantaman keras terhadap lawan politik, ujung-ujungnya rakyatlah yang jadi korban.
Agresivitas anggota parlemen (DPR) memang sangat diharapkan rakyat agar kontrol terhadap eksekutif dapat berjalan dengan baik asalkan euforia yang tidak berlebihan, karena hal ini dapat menggeser kepercayaan rakyat terhadap lembaga tinggi negara dan berakibat hancurnya negara ini. namun begitu, kontrol ini sudah lebih baik dan beradab dari kepemimpinan sebelumnya untuk menunjukkan etika politik modern yang lebih beradab, terukur dan rasional, suatu kondisi bangsa yang baru lepas dari rezim yang otoriter karena bangsa Indonesia setelah setengah abad merdeka tak pernah diberikan kecerdasan dalam berpolitik, perakayasaan disana-sini oleh rezim orba guna menuju kepada demokrasi (banyak negara mengalami hal ini, kacau, kerusuhan dan anarkis seperti di India, Philipina dan terakhir Indonesia).
EUFORIA DEMOKRASI
Euforia demokrasi di Indonesia kini bukan lagi dilakukan oleh mahasiswa sebagai pencetus orde reformasi dengan menumbangkan junta orde baru sampai menelan korban, tetapi juga kini lapisan masyarakat vawah berjuang untuk menuntut hak dan keadilan dalam demokrasi.
maraknya demokrasi yang terjadi sekarang dikalangan mahasiswa berimbas juga kepada adik-adiknya yang masih pelajar. Aksi mengerahkan orang banyak untuk berdemo di jalan telah merasuki pelajar untuk unjuk “gigi” mengeluarkan pendapat dan ganjalan yang mereka dapat.
Jika dicermati, aksi-aksi massa yang berlangsung sangat ini di Jakarta menjadi tren dan wahana yang paling disukai segala lapisan masyarakat tadi. Entah demokrasi itu dilakukan untuk kepentingan atau mungkin ikut-ikutan agar tidak dianggap kuno oleh rekannya, atau juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Seperti dilakukan oleh pelajar-pelajar baik di Jakarta maupun daerah yang akhir-akhir ini marak dengan demonstrasi, dengan cara dan pola pikiran mereka. Kita lihat pengaruh lingkungan dapat membetuk karakter seseorang, bila hal itu terjadi di lingkungan seorang pelajar atau masyarakat banyak terdapat demo, maka masyarakat atau pelajar yang akhir-akhir ini berdemo dipastikan melakukan peniruan.
Hal ini juga merupakan perwujudan dengan terbukanya kran demokrasi, menginginkan rakyat melakukan pengoreksian nilai-nilai yang dianggap merugikan, selain itu wujud dari akumulasi kekecewaan rakyat dalam kurun 32 tahun orba karena mulut di “berendel”.
Maka, begitu fenomena demokrasi bergema di Indonesia, terjadilah euforia demokrasi yang bisa dilakukan siapa pun, asal masih dalam koridor demokrasi yang sehat, aman, tanpa melakukan anarkis, tak perlu beradu otot dan perang mulut dalam memanfaatkan euforia demokrasi di Indonesia agar aksi-aksi massa dapat terkendalikan dengan baik sebagai implementasi awal dari proses euforia demokrasi dan pembelajaran demokrasi di masa depan    
(Diterbitkan harian Analisa Medan 2002), dipublikasi kembali untuk mengingat perjalanan politik Indonesia ke era sekarang, masih ada gambaran kemiripan dengan kondisi saat ini.

No comments:

Post a Comment

Related Posts :