Oct 25, 2016

Kenapa Masih Ada Kekerasan Demonstrasi



KENAPA MASIH ADA KEKERASAN DEMONSTRASI
Oleh M. Anwar Siregar

Eskalasi kekerasan politik dalam demokrasi pilkada di Indonesia kini semakin meruncing dan telah menimbulkan penghancuran bangunan fisik infrastruktur, baik milik Negara mamupun milik umum. Dari catatan penulis catat, kerugian infrastruktur yang terjadi akibat cirri khas demonstrasi di Indonesia selama di tahun 2005 ini telah mencapai 22,3 milyar rupiah lebih. Kekerasan terakhir yang menghancurkan kantor bupati dan KPUD Kabupaten Kaur Propinsi Bengkulu (tanggal 25 Juli 2005). Eskalasi kekerasan ini disebabkan oleh beberapa factor ketidakpuasan rakyat terhadap jalannya pemilihan kepala daerah di beberapa kabupaten . Pertama, disebabkan oleh rasa ketidakpuasan, karena tidak ikut pemilu karena terlambatnya kartu pemilih, ketidakpuasan juga timbul oleh problem klasik dalam tiap pemilu demokrasi, yaitu terjadinya kecurangan-kecuramgan selama berlangsungnya pilkada. Kedua, oleh kemampuan mobilisasi massa dalam meredam kerusuhan oleh pihak elite yang tidak memahami arti kekalahan politik. Kedua factor inilah yang penulis catat, paling dominant terjadinya kerusuhan demokrasi di Indonesia.
AKAR KONFLIK
Faktor lainnya yang maih menyebabkan masih terjadinya kekerasan dalam proses demonstrasiyang tertib di Indonesia adalah pertama, karene masih banyak terdapat status quo hingga pada pemilu legislative 2004 dan pilkada 2005, yang berjuang dalam memperebut kembali kekuasaan dan mempertahankan pengaruh kekuasaan dengan berhadapan dengan reformis, belum ikhlas untuk melepaskan pengaruh kekuasaan (romantika kekuasaan) dan kedua, terjadinya tarik ulur untuk pembagian kekuasaan, seperti yang terlihat pada awal demokrasi pemilihan ketua fraksi-fraksi legislatif di parlemen pusat dan daerah hasil pemilihan langsung legislatif pertama pada tahun 2004 lalu.
Dalam pandangan Nasikum (1995), konflik paling tidak dapat dibedakan dalam dua tingkatan dan kategori yang menyebabkan konflik yaitu, pertama, konflik yang bersifat ideologis yang mewujutkan dalam konflik system nilai dan norma yang dipegang oleh masing-masing pihak yang berkonflik, dan yang kedua, adalah konflik yang brsifat politis, yang diwujutkan dalam bentuk pertentangan pembagian kekuasaan yang ada di parlemen. Salah satunya adalah sumber ekonomi negara, kedua konflik saling bersentuhan.
Diera reformasi, konflik tersebut semakin mengental dengan terjadinya penyalagunaan kekuasaan. Salah satunya melakukan tindakan korupsi maupun menjual dan menghabisi aset-aset negara untuk kepentingan partai yang sudah terlihat jelas setiap kali pergantian pemerintahan, dimanfaatkan untuk mengemukakan aset partai dengan jalan tangan kotor. Yang pada akhirnya juga menumbuh suburkan rasa ketidak senangan rakyat terhadap penguasa. Karena tidak mungkin terjadinya pengisolasian terhadap pelaku penyalagunaan kekuasaan, karena masyarakat tak mungkin hidup tanpa bersosialisasi.
Dari satu sisi tertentu, terjadinya peristiwa kekerasan dalam demonstrasi di dalam demokrasi, terjadi disebabkan juga oleh kondisi dan mentalitas aparat keamanan yang dihadapkan pada pilihan yang serba salah. Bila dilihat dari sikap tegas, akan dianggap kasar, sehingga mengundang reaksi dan hujatan dari berbagai kalangan. Sebaliknya, bila kurang tegas atau bersikap hati-hati, akan dianggap memberi peluang dipihak demonstran untuk bertindak lebih jauh, seperti melakukan pelanggaran, kerusuhan serta mengganggu ketertiban. Dengan kata lainnya, pihak keamanan dianggap tidak mampu menjalankan tugas dan menambah akar konflik semakin kompleks.
STABILITAS DEMOKRASI
Stabilitas sering juga dugunakan sebagai indikator atas keberhasilan dalam proses terlaksananya demokratisasi serta menjalankan visi dan misi dari demokrasi tetapi pada akhirnya juga dapat mematikan demokrasi itu. Begitu juga demokrasi yang merupakan syarat mutlak bagi terciptanya stabilitas, ternyata tidak dapat dicapai karena demokrasi memerukan suatu fase peralihan atau transisi. Pada fase peralihan ini, akan sering terjadi goncangan politik yang berhubungan dengan pelaksanaan demokrasi. Yang hampir dialami oleh setiap negara yang baru mengalami keterkungkungan politik, termasuk Indonesia yang menuju ke era demokratisasi.
Di era reformasi yang penuh keterbukaan ini, konflik-konflik mudah tersulut akibat kekuasaan tidak memusat lagi (pemerintahan sentralisasi ke desentralisasi). Pada dasarnya, konflik kekerasan demokrasi dimulai dari perdebatan antar anggota parlemen dan kepentingan parpol di ruang parlemen, yang berlanjut perseteruan yang memanas dan berkepanjangan. Lalu ”berkembang baik” ke arah kelompok-kelompok yang akan membentuk pro dan kontra dengan segala dampak destrutifnya. Konflik ini mampu memobilisasi pendukung ke bawah yaitu mobilisasi massa/rakyat untuk menyerang lembaga-lembaga yang tidak mampu menjalankan fungsinya ataupun juga menekan lawan politik untuk berkonflik hingga akar permasalahan semakin semrawut. Seperti yang sekarang terjadi di beberapa daerah. KPUD, aparat keamanan dan pihak eksekutif tidak mampu mengakomodasi suara rakyat.

PEMAHAMAN DEMOKRASI
Banyak masyarakat dan elite belum memahami arti demokrasi. Ini banyak terjadi di Indonesia dalam kurun tujuh tahun reformasi. Selama kemampuan hidup bersama diantara pemimpin dan masyarakat belum tumbuh kerangka yang menghormati perbedaan pandangan politik dan hukum, maka akan tetap ada tindak kekerasan dalam partisipasi demokrasi politik. Yang dapat merusak semua segi kehidupan integritas dan kultural bangsa.  
Kerancuan pemahaman masalah demokrasi yng selama ini dihembuskan oleh sekelompok-kelompok yang tidak paham terhadap makna dari demokrasi. Dan demokrasi itu masih dianggap sebagai pelampiasan kemarahan. Permainan sandiwara dengan aktor kelas ”Oskar” serta sutradara bertangan dingin yang mampu melakukn provokasi. Yang pada akhirnya mengganggu kestabilan demokrlisasi. Korban yang menjadi korban yang anti perubahan dan yang berusaha mempertahankan status kekuasaan.
Menurut Jory D dan Julia Jeri (1991), menyebutkan bahwa ketegangan dalam demokrasi terjadi juga disebabkan oleh karena adanya kompetisi atau resistensi melalui ungkapan atau ekspresi rakyat dalam suatu peristiwa seperti pemilu nasional (atau dengan pilkada sekarang). Juru kampanye elite sering melontarkan ”sindiran” yang dapat menimbulkan pertengkaran dan persaingan yang kurang sehat untuk mencapai tujuan agar dapat memperoleh suara atau simpati dalam persaingan politik. Atau juga penolakan politik yang merujuk kepada suatu beberapa aksi yang dilakukan oleh para pendukung parpol atau kelompok sosial dalam sebuah kota atau desa yang bermaksud mengurangi atau mengingkari klaim seperti protes kecurangan suara pemilu, serangan fajar, tindakan elite melakukan ”penggemukan” kertas suara yang banyak terjadi dalam setiap pemilu demokrasi di Indonesia. Dan juga klaim untuk melawan partai politik pemerintah atau pemegang kekuasaan berupa mosi ketidakpercayaan.
BUDAYA KONFLIK
Perbedaan-perbedaan budaya sering tidak terkendali karena dibumbui pertarungan antar politisi untuk meraih dukungan. Rezim-rezim otoriter kadang menggunakan tindakan kekerasan secara luar biasa untuk mengalahkan dan menekan konflik budaya. Yang lalu muncul sebagai penolakan terhadap langkah-langkah menuju demokratisasi. Keanekaragaman budaya juga sering terjadi oleh latar belakang identitas kelompok kebudayaan yang dapat membagi masyarakat dalam beberapa tingkatan konflik.
Pada isu-isu tertentu dalam demokrasi, kadang akan ada tuntutan politik dari sebuah kelompok/masyarakat menganggap sebagai permasalahan yang sangat prinsip dan terlalu penting untuk dapat dikompromikan. Dan oleh politis, karena memahami tingkat pemahaman demokrasi rakyat masih rendah, dengan sengaja memikat anggota kelompok tertentu dari mana politis itu berasal. Dan dengan demikian akan menghembuskan rasa permusuhan menjadi kebencian yang mendalam.Yang mencapai puncaknya dalam ”pembersihan kultural” seperti yang terjadi dalam demokrasi brutal orba dan berlanjut di awal era reformasi sekarang.
BELAJAR MEMAHAMI KEKALAHAN
Seharusnya kita belajar dari pengalaman negara-negara lain yang memiliki keanekaragaman budaya yang sulit diatur. Sebuah budaya politik yang demokrtis akan membantu terbentuknya warga yang meyakini bahwa : persamaan politik dan demokrasi adalah tujuan yang dikehendaki. Perbedaan-perbedaan dan pertentangan-pertentangan politik diantara warga seperti yang terjadi di Kabupaten Kaur dan daerah lain seharusnya dapat ditoleransi dan dilindungi dari aneka vasted interst pribadi yang membungkus diri dijauhkan agar kekerasan tidak terjadi. Tetapi di Kabupaten Kaur itu, para politisinya rupanya tidak memahami arti kekalahan politik dalam demokrasi pilkada.
Selain tersebut diatas, diperlukan juga penyelesaian konflik dengan cara berunding (bernegisiasi), konsiliasi dan kompromi termasuk dalam mengatasi perbedaan budaya yang amat penting diantara warga negara sedapat mungkin diarahkan pada perbedaan yang dapat dirundingkan.
LEMBAGA POLITIK
Lembaga-lembaga politik demokratis akan lebih mungkin berkembang dan bertahan lama disebuah negara yangsecara budaya agak homogen (seragam) dantidak begitu berkembang di negara yang memiliki keanekaragaman etnik, dan agama yang sangat mencolok serta konflik-konflik sub budaya yang banyk terdapat di negara-negara Asia seperti Indonesia dan India.
Bercermin tersebut diatas, Indonesia yang memiliki heterogenitas masyarakat, akan tampak memiliki akar konflik atau tingkat ketegangan yang cukup tinggi bisa didasarkan kepada perbedaan kelompok agama dan ideologis. Membutuhkan waktu yang lama untuk membentuk tatanan demokrasi yang egaliter. Apalagi dengan kondisi pemahaman demokrasi rakyat yang ada sekarang dan pengungkungan pembelajaran demokrasi selama  32 tahun kekuasaan orde baru yang represif. Kurang memahami kekalahan politis maka budaya demonstrasi di Indonesia masih penuh dengan pelampiasan kemarahan dengan penghancuran beberapa sarana umum dan negara.
Kepada  lembaga-lembaga struktural politik dan sosial non pemerintah serta media massa yang kritis harus memposisikan diri sebagai oposisi kontruktif dengan etika politik yang tertib dan demokratis. Untuk menghasilkan suatu keputusan demokratis, yaitu dapat menyertakan semua pihak (pihak yang kalah dan pihak yang menang) agar dapat meredam kekerasan demonstrasi. Berperan juga sebagai mediator bagi warga masyarakat dengan institusi negara untuk wahana politik masyarakat menjadi pembelajaran demokrasi dan etika budaya dalam tertib demonstrasi.
M. Anwar Siregar
Suporting Staff Konstruksi Civil and geology rekayasa, sekarang bekerja sebagai ASN
Dipublikasi di Harian ANALISA MEDAN 19 -08-2006
Dipublikasi kembali untuk menyambut pilkada 2017

No comments:

Post a Comment

Related Posts :