Dec 25, 2016

Indonesia Belum Melek Bencana Gempa

INDONESIA BELUM MELEK BENCANA GEMPA
Oleh M. Anwar Siregar
Indonesia memang belum melek bencana, itu dapat terlihat dari pola tata ruang dan perencanaan mitigasi kewilayahan serta budaya yang melingkupi kehidupan masyarakat  Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Budaya melek bencana sepertinya dianggap kemarin sore. Bukti-bukti ini dapat terlihat jelas juga kalau kita perhatikan budaya lalu lintas, menyebarang jalan sembarangan walau sudah disediakan lokasi tempat penyeberangan dan turun seberangan tempat di tengah badan jalan seenaknya, tidak mau mengikuti aturan yang sudah ditentukan melalui papan himbauan yang ada disediakan, ada jembatan penyeberangan masih juga tidak digunakan, serta budaya latihan evakuasi bencana belum menjadi skala rutin kegiatan dalam pembangunan kapasitas masyarakat bagi setiap pemerintahan di Indonesia. Coba perhatikan apakah di setiap kota Anda atau di daerah lainnya di Indonesia secara berkala mengadakan latihan simulasi dan evakuasi bencana? Jangankan latihan bencana, memasukan program kegiatan tersebut dalam pembangunan daerah belum membumi sehingga tidak mengherankan jika terjadi bencana akan ada “kegaduhan”.
PENDIDIKAN BENCANA
Sejak tahun 1960 an hingga ke era sekarang, budaya pendidikan mitigasi di Indonesia belum membumi, di era tahun 70-an dan 80-an Indonesia sering mengalami bencana letusan gunungapi dan gempa bumi. Namun kurikulum yang berbasis pendidikan mitigasi bencana tidak ada memasukan unsur pendidikan bencana. Pada tahun 1990-an Indonesia mulai secara beruntun mengalami gempa bumi secara estafet di beberapa daerah hingga memasuki tahun 2000-an dengan puncak tsunami terbaik di era abad 21, dunia pendidikan sepertinya belum bersatu menyusun secara detail tentang bagaimana membudayakan pendidikan mitigasi yang berbasis masyarakat.
Bagaimana membentuk masyarakat siaga bencana jika dalam pendidikan mitigasi di Indonesia belum membumi? Coba anda tanyakan atau cari informasi adakah kurikulum pendidikan mitigasi yang mengajarkan budaya melek bencana atau membentuk kota dan masyarakat siaga bencana, atau juga secara berkala minimal 3 (tiga) kali dalam setahun mengadakan simulasi bencana?
Pendidikan mitigasi bencana sangat diperlukan di era sekarang. Sebab, dibeberapa wilayah di Indonesia saat ini ada antrian kepenatan energi gempa dan letusan gunungapi untuk melepaskan tenaga dalamnya kepermukaan bumi, termasuk bencana rutin banjir dan longsor, sedangkan kota dan masyarakatnya belum juga siap.
Sekali lagi ditekankan, Pemerintah harus mempersiapkan standar pendidikan mitigasi usia dini, karena sejak generasi zaman 70-an hingga ke era sekarang belum ada standart pendidikan mitigasi yang menjadi basis budaya melek bencana. Sangat berbeda dengan Amerika Serikat, Jepang dan Italia serta Negara-negara maju lainnya yang mementingkan pembangunan pendidkan kapasitas SDM masyarakat untuk selalu siaga bencana.
PETA TATA RUANG
Banjir dan longsor melanda nyaris seluruh wilayah Jawa dan Sumatera dampak dari perubahan tata ruang yang sebenarnya sudah diidentifikasi sebagai daerah rawan bencana geologi dan membuktikan bahwa masyarakat Indonesia benat-benar belum melek bencana dan membuktikan juga bahwa tata ruang belum berbasis bencana sehingga diabaikan data detail ruang yang telah disusun. Namun, sampai saat ini belum semua produk pengaturan tata ruang selesai dikerjakan. Banyak kabupaten/kota belum menyelesaikan rencana detail tata ruang sehingga proses mitigasi bencana belum efektif
Peta risiko bencana bahkan peta rawan bencana belum dijadikan pedoman melek bencana dalam penyusunan tata ruang. Tata ruang yang disusun tidak berjalan seperti yang diharapkan karena ada kekuatan eksternal seperti politik lokal dan desakan ekonomi sehingga daerah rawan bencana tetap dijadikan permukiman tanpa ada upaya mitigasi. Akibatnya ketika terjadi bencana timbul juga korban jiwa dan kerugian harta ekonomi.
Tata ruang kota di Indonesia tidak berjiwa bencana, nampak pada penyusunan yang tidak mengacu pada data-data geologis untuk menekan bencana lingkungan sebagai syarat mutlak dalam upaya pengurangan resiko bencana dan adaptasi perubahan iklim di tingkat lokal seperti bencana pada bulan ini penuh dengan bencana banjir dan longsor.
TIDAK TANGGUH GEMPA
Indonesia benar-benar belum melek bencana gempa, pola tata ruang dan pendidikan mitigasi bencana dalam rangka pengurangan resiko bencana gempa belum diimplementasi dalam budaya hidup akrab bersama bencana gempa, yang ada adalah hidup menikmati bencana gempa seperti sekarang, standart penerapan building code masih diabaikan.
Budaya bencana gempa di Indonesia lebih dikenal sebagai pameo bagi tata ruang adalah ”bencana dulu, jatuh korban dan kerugian ekonomi baru siapkan mitigasi”. Selain diperparah juga dengan lemahnya dukungan politik lokal dalam membangun masyarakat yang tangguh bencana. Dukungan politik lokal hanya sebatas retorika, implementasinya dalam bentuk tata ruang belum memuaskan, hanya baru menekan pada aspek prinsip-prinsip kelayakan saja dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan tanpa data dasar geologi yang detail sehingga kita melihat di beberapa kota banyak dibangun dekat zona berbahaya, dekat zona pembenturan lempeng.
Sebagai contoh kota Jakarta dan Bandung, Padang serta Banda Aceh termasuk gempa kota Pidie Jaya berada dalam radius 10-15 kilometer dari zona patahan gempa yang menyimpan energi seismik tinggi. Yang paling jelas adalah kota Bandung dan Banda Aceh. Bandung dibentuk diatas sesar/patahan Lembang dan Cimandiri berjarak 15 km dan termasuk zona gempa kelas dunia karena daerah yang paling padat. Begitu juga tata ruang Banda Aceh yang berada di bawah ancaman empat patahan lokal segment Semangko yang berada sekitar 15-20 km dengan kondisi tanah dengan tingkat kematangan yang rendah. Semua kota tersebut terbukti tata ruangnya belum melek bencana gempa dan akan selalu ada kehancuran fisik yang dahsyat.
Gambar : Peta Zonasi Gempa di Indonesia, gambaran tata ruang gempa di tiap Propinsi 
(sumber ; dari berbagai sumber)
Semakin membuktikan Indonesia belum melek bencana gempa adalah lemahnya sosialisasi potensi gempa dari zona patahan bagi tata ruang kota, karena kebanyakan kota di Indonesia di bangun diatas patahan dan menjadi pusat ekonomi masyarakat seperti kota di Sumatera Barat, Sumatera Utara, Aceh, Maluku dan NTT serta Jawa Barat, Yogyakarta atau juga Bengkulu dan Sulawesi Utara.
Untuk melihat gambaran tata ruang kota yang tidak melek bencana gempa lebih jelas ada di Patahan Semangko, yang memanjang dari Aceh sampai Lampung sepanjang 1.650 km, berarti hampir semua kota di Sumatera rawan gempa. Kota-kota yang dilintasi Patahan Lembang di Bandung dan Cimandiri yang membelah Sukabumi dan Beribis membelah beberapa kota di Jawa Barat, kota yang berada dekat Patahan Ciputat menuju Jakarta dan Bekasi dan Patahan Opak yang membelah sebagiam Jateng.Yogyakarta hingga ke Jawa Timur, kota yang dibelah oleh patahan Flores di NTT-NTB serta patahan Palu-Koro-Gorontalo dan Matano yang membelah seluruh kota di Pulau Sulawesi-Maluku serta patahan Tarera Audina yang memanjang dari Kepala Burung hingga membelah Pegunungan Jayawijaya di Pulau Papua.
Dengan melihat kondisi ini, seharusnya Indonesia sudah melek bencana, agar lebih waspada untuk mengatur tata ruang wilayahnya dengan tidak membangun bangunan dengan spesifikasi yang sangat buruk.
Kota yang tangguh adalah kota yang mempersiapkan diri terhadap dampak iklim di masa kini dan masa mendatang dengan membatasi kekuatan dan keparahan tata ruang serta memiliki tata ruang lahan untuk rehabilitasi sebagai investasi jangka tertentu, sehingga dapat bergerak cepat, efektif serta tepat efisien untuk kembali membangun kota jika mengalami dampak bencana gempa maupun perubahan iklim global seperti ancaman bencana banjir daratan dan banjir dari lautan serta harus menjadi prioritas utama dalam membangun kota dengan memperhitungkan posisi zona patahan, sejarah bencana alam masa lalu kota, kaidah building code untuk rancang bangunan, amdal yang profesional serta pemetaan seismotektonik yang berbasis bencana geologi gempa dan dinamika budaya siaga bencana sebagai mitigasi untuk membentuk masyarakat dan kota yang melek bencana.
M. Anwar Siregar
Enviromentalist Geologist, bekerja sebagai ASN
Tulisan ini sudah di publikasi di HARIAN WASPADA Medan, Tanggal17 Desember 2016

No comments:

Post a Comment

Related Posts :