Jul 21, 2016

Ancaman Tambang dan Laut Indonesia



ANCAMAN KEDAULATAN SUMBER DAYA TAMBANG DAN LAUT
Oleh M. Anwar Siregar

Masalah perbatasan wilayah laut yang dilanggar beberapa Negara pencuri ikan dan masuknya patroli pantai Negara asing ke yuridiksi laut Indonesia kini manjadi ranah politik, Hal semacam kejadian ini tak bisa dianggap sepele karena menyangkut kedaulatan sebuah bangsa. Ramainya kembali kasus Ambalat saat itu akibat provokasi kapal-kapal Malaysia, Vietnam serta Tiongkok yang masuk perairan Indonesia di laut Natuna menjadi hal krusial untuk diselesaikan agar bangsa ini memiliki harkat dan martabat yang tinggi di mata negara lain. Secara politik, keberadaan pulau-pulau perbatasan maritim memiliki nilai strategis karena menyangkut posisi tawar Indonesia di mata dunia internasional
Wilayah-wilayah laut tersebut memiliki kegunaan yang dapat menciptakan kesejahteraan Warga Negara Indonesia melalui terjaminnya pemanfaatan potensi Sumber Daya Alam seperti kegiatan perikanan, eksplorasi, dan eksploitasi lepas pantai (off-shore), wisata bahari, transportasi laut dan berbagai kegiatan lainnya. Sebagai negara kepulauan Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat yang eksklusif atas kekayaan alam di kawasan landas kontinennya dan kekayaan alam itu adalah milik negara. Akinat adanya penguasaan, maka setiap kegiatan di landas kontinen Indonesia seperti eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam, harus dilakukan sesuai denga kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia.
BATAS KONTINEN
Penetapan batas wilayah dan yurisdiksi negara merupakan hal yang sangat penting dan strategis sekaligus sensitif, karena berkaitan dengan pengaturan permasalahan kedaulatan (sovereignity), hak-hak berdaulat (sovereign rights) dan yurisdiksi (jurisdiction) terhadap zona-zona maritim suatu negara sebagaimana diatur dalam United Nations Convention on the Law of the Sea atau Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982). Adapun batas-batas maritim yang tertuang dalam Konvensi Hukum Laut 1982 meliputi batas-batas perairan pedalaman (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic waters), laut territorial (territorial sea), batas-batas perairan Zona Ekonomi Eksklusif (Economic Exclusive Zone), dan batas-batas landas kontinen (Continental Shelf).
Dasar laut di banyak tempat dipisahkan dari tanah di pantai oleh lereng kontinen yang menurut istilah geologis merupakan bagian dari kontinen itu sendiri. Lereng kontinen luasnya berkisar beberapa ratus kilometer persegi dan mempunyai kedalaman sekitar 50 hingga 550 meter. Lereng kontinen di beberapa tempat menyimpan deposit minyak dan gas bumi serta sebagai sumber daya alam hayati. Oleh sebab itu, banyak negara pantai yang menuntut eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam laut di landas kontinen negaranya.
Teori Mahan tersebut telah membuktikan bahwa bukan jumlah penduduk semata-mata yang membuat suatu bangsa berjaya, melainkan jumlah penduduk yang berorientasi ke laut dan yang ditopang oleh pemerintah yang memperhatikan dunia Baharinya.
Dalam UNCLOS 1982 dikenal beberapa macam garis pangkal, yaitu : 1. Garis pangkal normal (normal baseline). 2. Garis pangkal lurus (straight baseline). 3. Garis pangkal penutup (closing line). 4. Garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline)
Dalam UNCLOS 1982 tercantum batas terluar dari landas kontinen tidak boleh melebihi garis kedalaman 2500 m ditambah jarak 100 mil laut, atau melebihi garis 350 mil laut dari garis pangkal darimana laut teritorial diukur. Dengan adanya pembatasan tersebut, maka diperlukan pengukuran batimetrik untuk memperoleh garis kedalaman 2500 m. Setelah didapatkan garis kedalaman tersebut bandingkan dengan pembatas 350 mil laut dari garis pangkal, kemudian dipilih batas landas kontinen yang terjauh. Setiap negara diperbolehkan memilih dari dua kriteria tersebut untuk mendapatkan batas landas kontinen yang maksimal. Analisis terhadap perjanjian yang telah ada berkaitan dengan Landas Kontinen Indonesia dapat dirangkum sebagai berikut :
a. Indonesia – Australia
Perjanjian yang dibuat antara Indonesia dengan Australia menghasilkan ketentuan yang merugikan Indonesia. Kerugian tersebut muncul karena tidak ditegakkannya prinsip coextensive
principle. Batas landas kontinen Australia masuk kedalam batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Indonesia, hal ini menyebabkan batas landas kontinen lebih dekat ke pantai Indonesia. Dengan ditegakkannya co-extensive principle batas landas kontinen Indonesia seharusnya berimpit dengan batas ZEE.
Berdasarkan identifikasi, baru batas maritim antara Indonesia dengan Australia yang telah lengkap disepakati. Sementara batas maritim dengan negara tetangga lain baru dilakukan penetapan batas-batas Dasar Laut (Landas Kontinen) dan sebagian batas laut wilayah. Untuk menegakkan kedaulatan dan hukum di wilayah yurisdiksi Indonesia diperlukan penetapan batas-batas maritim secara lengkap. Penetapan batas ini dilakukan berdasarkan ketentuan Hukum Laut Internasional, yang diatur dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No 17 tahun 1985.
b. Indonesia – Malaysia
Perjanjian batas landas kontinen dengan Malaysia masih menggunakan UNCLOS 1958 sebagai acuan. Terdapat persetujuan yang merugikan Indonesia dimana garis batas landas kontinen antara kedua negara lebih dekat ke pantai Indonesia di Selat Malaka (perjanjian menggunakan prinsip median line).
c. Indonesia – Vietnam
Perjanjian antara Indonesia dengan Vietnam belum dapat menyelesaikan batas landas kontinen kedua negara. Jarak antar pulau yang berdekatan antara kedua negara tidak lebih dari 245 mil laut. Vietnam bersikeras untuk tidak menggunakan UNCLOS 1982 sebagai acuan secara menyeluruh.
d. Indonesia – Palau
Untuk menarik suatu batas ZEE yang adil, mengingat jarak antara P. Helen (pulau paling Selatan Palau) dengan P. Fani/P.P. Asia kurang dari 400 mil laut, maka sebaiknya diterapkan metode sama jarak (equidistance).
e. Indonesia – Philipina
Perjanjian antara Indonesia dan Philipina masih belum berhasil menetapkan batas landas kontinen antara kedua negara. Tertundanya perjanjian antara kedua negara ini lebih disebabkan karena belum akuratnya titik pangkal yang digunakan oleh Philipina.
Akan tetapi berdasarkan jarak antara kedua negara di Utara Sulawesi kemungkinan besar perundingan penentuan batas landas kontinen antara kedua negara ditetapkan berdasarkan prinsip median line.
ANCAMAN SUMBER DAYA PERBATASAN
Pulau – Pulau Kecil Perbatasan (PPKB) yang berada di kawasan perbatasan Negara jumlahnya
mencapai 92 buah pulau. Menurut pasal 8 UU No. 43 Tahun 2008 tentang Negara Wilayah yakni secara yurisdiksi berbatasan dengan wilayah yurisdiksi Australia, Filipina, India, Malaysia, Papua Nugini, Palau, Thailand, Timor Leste, dan Vietnam. Pulau – pulau tersebut memiliki nilai strategis secara geo-politik, geoekonomi, geografi maupun geo-kultural.
Banyak riset geologi laut berkaitan langsung atau tidak langsung dengan penilaian potensi sumberdaya alam di dasar laut, sesuai dengan meningkatnya kebutuhan akan mineral tertentu dan berkurangnya jumlah cadangan di darat karena telah tereksplorasi. Zona ekonomi eksklusif atau Exclusive Economic Zone (EEZ) yang terbentang dari garis pantai melintasi paparan benua (continental shelf), bahkan hingga menjangkau bagian kerak samudera, memberikan banyak peluang dan tantangan terhadap eksplorasi dan ekploitasi mineral di laut. Kawasan ZEE mengandung cadangan sumberdaya metal dalam jumlah besar, seperti kobalt, mangaan dan nikel di kerak samudera dalam bentuk kerak permukaan (pavements) dan bijih (nodules); dan konsentrasi mineral berat seperti emas dan platina di tubuh pasir yang dijumpai di kawasan pesisir. Para peneliti juga menemukan daerah-daerah yang mengandung minyakbumi. Minyak dan gasbumi umumnya hanya terbatas pada cekungan pengendapan sedimen tua di kerak kontinen dimana terdapat endapan sedimen darat dan sedimen organik yang tebal.
Potensi Kelautan di republik ini sungguh sangat berlimpah baik di nearshore maupun di offshore, di mana industri maritim merupakan industri yang sangat menantang (world wide business). Kawasan laut memiliki dimensi pengembangan yang lebih luas dari daratan karena mempunyai keragaman potensi alam yang dapat dikelola. Beberapa sektor kelautan seperti perikanan, perhubungan laut, pertambangan sudah mulai dikembangkan walaupun masih jauh dari potensi yang ada.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas laut sekitar 3,1 juta km2. Luas laut tersebut masih bertambah sesuai dengan hasil ratifikasi UNCLOS 1982 yang memberikan hak dan kewenangan kepada Indonesia untuk memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km2. Wilayah lautan yang luas tersebut menjadikan Indonesia mempunyai kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiversity) terbesar di dunia dengan komponen ekosistem pesisir, meliputi: hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun.
Salah satu sumberdaya kelautan yang potensial untuk digarap adalah terumbu karang. Indonesia memiliki sekitar 50.000 km2 ekosistem terumbu karang yang tersebar di seluruh wilayah perairan Nusantara. Potensi lestari sumberdaya perikanan yang terkandung di dalamnya diperkirakan sebesar 80.802 ton/km2/tahun (Dahuri dkk, 1996). Terumbu karang yang masih utuh juga menampilkan pemandangan yang sangat indah. Keindahan tersebut merupakan potensi wisata bahari yang belum dimanfaatkan secara optimal.
Implementasi dari ratifikasi tersebut adalah diperlukannya pengelolaan terhadap batas maritim yang meliputi Batas Laut dengan negara tetangga dan Batas Laut dengan Laut Bebas. Adapun batas-batas maritim Republik Indonesia dengan negara tetangga, mencakup Batas Laut Wilayah (Territorial Sea), batas perairan ZEE, batas Dasar Laut atau Landas Kontinen. Belum selesainya penentuan batas maritim antara pemerintah Indonesia dengan negara tetangga menjadikan daerah perbatasan rawan konflik. Gejala itu dimanfaatkan Tiongkok untuk menggolkan finishing illegal dengan sembilan garis batas yang tidak diakui Pengadilan Tinggi Arbitrase Internasional serta Vietnam yang terus menerus memasuki wilayah Pengairan Teritorial Indonesia di Laut Natuna.
PERKUATKAN ALKI
Manfaat yang didapatkan Indonesia dari ALKI adalah 1) Indonesia menjadi bagaian penting dari terwujudnya sebuah ‘peradaban’ yang berhubungan dengan lautan. 2) Indonesia menjadi bagian penghubung penting dari Eurasian Blue Belt. 3) Indonesia mengambil peranan sangat besar dalam Global Logistic Support System dan khususnya terkait dengan SLOCS (Sea Lanes Of Vommunications) dan COWOC (Consolidated Ocean Web Of Communication). 4) Wilayah lautan dan ALKI Indonesia menjadi penghubung penting dalam HASA (Highly Accesed Sea Areas) dimana ketiga lautan yaitu India, Southeast dan South Pacific bertemu didalamnya dan 5) Terkait dengan World Shipping yang melintasi ALKI dengan muatan Dry Cargo maupun Liquid Cargo.
Sudah saatnya Indonesia memanfaatkan ALKI dengan memperkuat armada laut Indonesia, apalagi saat ini China sangat berambisi menguasai Laut China Selatan di Utara dan Barat Natuna dengan "mendampingi" para Nelayan mereka ke menerobos teritorial Indonesia. Natuna adalah wilayah NKRI yang harus dijaga dan merupakan harga mati, dan juga berlaku diseluruh wilayah NKRI.

One Billion Indonesia Tress (OBIT)/Tanam Pohon Semilyar


OBIT UNTUK KELESTARIAN BUMI
Oleh : M. Anwar Siregar
OBIT untuk kelestarian lingkungan bumi, merupakan bagian gerakan nyata penanaman pohon secara serentak ini dan bertujuan antara lain sebagai upaya konservasi keanekaragaman hayati, penyerapan karbon untuk mencegah dampak perubahan iklim serta mendukung ketahanan pangan dan energi untuk kesejahteraan masyarakat.
Gagasan mendukung OBIT, yang digagas oleh pemerintah Indonesia sangat penting, sebab dengan OBIT makan banyak efek positif bukan untuk masyarakat saja, tetapi bisa juga untuk faktor ekonomi, kelestarian lingkungan, kelestarian pangan dan kelestarian lapisan ozon serta kelestarian sumber daya energi yang berbasis ekologi.
OBIT ENERGI
Sementara itu ruang-ruang bagi permukiman, kegiatan serta mobilitas manusia juga memerlukan pengaturan tersendiri. Bila tidak, maka berbagai kebutuhan pemukiman, kegiatan energi serta mobilitas manusia dapat bertumpang tindih dengan kebutuhan ruang-ruang konservasi serta ruang-ruang budidaya.
Khususnya dalam pembangunan berbasis ekologi OBIT untuk Konservasi energi dari penanaman pohon semilyar sangat penting untuk ketahanan energi, memerlukan ruang yang sudah kritis dapat dimanfaatkan dengan metode rehabilitasi, misalnya dalam pemanfaatan penanaman pohon jarak untuk penggunaan energi Nabati, penanaman pohon kelapa untuk pengembangan energi dari hasil sisa kopra yang lalu di daur ulang menjadi energi Biofuel Nabati.
Penting penanaman berbagai jenis pohon yang dapat di daur ulang menjadi energi, dapat mengurangi beban panas di lapisan ozon, mengurangi suhu pemanasan laut di negara-negara tropis seperti Indonesia, Banglandes dan India, pengurangan panas global dapat mengendalikan lost generation dan eskalasi invasi ke lahan hijau suatu tata ruang perkotaan, sekaligus juga mengendalikan pemukiman kumut dan pengendalian berbagai jenis penyakit.
OBIT sangat penting dalam pembangunan ketahanan pangan energi dan papan terutama dalam ketersediannya, yang terlihat dari pemanfaatan untuk pembangunan pangan dan papan di berbagai daerah di Indonesia. Selain itu, OBIT akan menempatkan Indonesia sub polar ketahanan perubahan iklim global dan pengendalian emisi CO2 dunia.
OBIT EKONOMI
Penanaman pohon akan memberikan imbas bagi peningkatan ekonomi, sebab dengan banyaknya penanaman pohon akan memberikan dorongan kuat bagi petani dalam pengadaan bibit-bibit pohon untuk membentuk dan membangun ekonomi hijau. Ekonomi hijau yaitu rehabilitasi lingkungan, mengurangi erosi serta adanya sistim cover cross yang berfungsi untuk memperbaiki kondisi tanah sebelun ditanam tumbuhan.
Pembangunan Ekonomi hijau yang berbasis OBIT dapat memberikan efek positif bagi keberlangsungan pembangunan lingkungan hidup di Indonesia, yang semakin terasa manfaatnya dengan adanya perhatian yang besar sejak era pemerintahan SBY, dengan menempatkan Indonesia berdagang karbon dengan pemerintah Norwegia yang di mulai dilaksanakan tahun 2011. Indonesia akan mendapatkan keuntungan financial, sebab pemerintah Norwegia akan memberikan bantuan dana sekitar satu miliar dolar Amerika Serikat (AS) untuk pelestarian hutan di Indonesia sebagai bagian implementasi konsep REDD ± (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation).
Dengan metode OBIT, dapat mengubah perilaku kita dalam memandang lingkungan, merubah paradigma kita yang memandang hutan terutama hasil hutan yaitu pohon. yang tidak dihancurkan dan ditebang begitu saja tetapi dapat meningkatkan kualitas lingkungan melalui penanaman pohon semilyar untuk mencegah kerusakan lingkungan yang berbasis ekonomi hijau, Dan juga bagian yang terkait dalam pengentasan kemiskinan, yaitu memberikan pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan
Dengan komitmen membangun ekonomi hijau yang berbasis OBIT, merupakan filosofit dan gerakan untuk mengurangi resiko kerusakan lingkungan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia dan kesetaraan sosial, masyarakat telah memberikan keteladanan dalam memberikan warisan lingkungan bagi generasi mendatang yang lebih cerah bagi kehidupan di bumi Indonesia.
OBIT LINGKUNGAN
Bahwa pengurangan kawasan hutan sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk dan pengembangan investasi adalah sebuah keniscayaan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian secara ketat melalui sistim OBIT. Agar kawasan hutan di Indonesia tetap berkonstribusi sebagai paru-paru dunia, maka yang dapat dilakukan antara lain perbaikan kualitas tutupan kawasan hutan dan tutupan di luar kawasan hutan yang antara lain telah ditempuh melalui program penanaman satu milyar pohon yang telah kita kenal bersama.
Pohon merupakan bagian dari kelestarian alam, pohon merupakan ekologi pengendali pencemaran udara dari jenis energi yang menghasilkan emisi, ada beberapa pohon yang berdaya produksi oksigen tinggi dan berdaya serap CO2 yaitu pohon gelondongan, nangka, sawo, jambu bol, mangga dan rambutan.
Sebagai fakta untuk mengetahui mengapa penanaman pohon penting bagi kehidupan manusia di bumi yaitu : Pohon menghasilkan pekerjaan dan memberi konstribusi untuk bahan baku bangunan, surat kabar, buku dan lebih dari 15.000 produk hutan lainnya., tiga pohon yang ditanam di tempat yang tepat di sekitar bangunan dapat menghemat biaya AC sampai 50 persen. Pohon meningkatkan nilai properti. Dengan penanaman pohon sebanyak 20.000.000 pohon, akan tersedia oksigen bagi bumi dan penduduknya. Pohon sebanyak itu akan menghapus 10 juta ton CO2. Dalam satu masa hidupnya, pohon besar bisa menyerap 1 ton karbon dioksida. Pohon dapat juga diperbaharui, dapat terurai secara biologi dan dapat di daur ulang. Kayu bisa diolah lebih lanjut menjadi produk seperti vitamin, plastik, film fotografi, pasta gigi dan obat-obatan.
Untuk itu diperlukan komitmen masyarakat, pemerintah daerah dan kalangan industri swasta dan pemerintah pusat sebagai komponen penting dalam mewujudkan ekonomi dan lingkungan hijau asri, berkaitan juga dengan menekan penggunaan energi konvensional untuk pengendalian perubahan iklim, meredam dan pengurangan emisi, ketahanan lapisan ozon, dan keberlangsungan rantai kehidupan serta kelestarian ekosistim yang terkait dengan persoalan daya dukung lingkungan hidup di daerah rawan bencana yang membutuhkan perencanaan lingkungan hijau dan kawasan industri yang membutuhkan keserasian tanpa ada persoalan degradasi lingkungan.
Gambar : Menanam Pohon semilyar, untuk kelestarian bumi (sumber gambar : Internet dan berbagai sumber)
OBIT, AWET BUMI
OBIT  identik dengan gerakan menanam satu milyar pohon atau One Billion Indonesia Tress (OBIT) , ada bermacam cara untuk menjaga kelestarian bumi dengan beberapa point yang sudah disebutkan diatas.
Dalam konteks menyelamatkan dan melestarikan bumi, Indonesia sebagai negara yang kaya sumber keanakeragaman hayati atau megabiodiversity ditantang untuk memberikan kesehatan yang prima bagi keawetan bumi dengan menempatkan keanekaragaman hayatinya secara berkesinambungan sebagai sumber pangan, energi, bahan baku yang akan menjadi modal pembangunan.
Pola lainnya untuk menjaga keawetan bumi antara lain menekan pemborosan energi, sehingga Indonesia tidak perlu lagi mengimpor bahan baku energi, menekan pembangunan fisik yang berbentuk horizontal agar tidak menekan daerah hijau, mengkampanyekan kepada setiap individu untuk selalu berkendaraan hemat energi yang berbasis energi hijau dan transportasi massa yang berbasis energi alternatif.
Dengan Pola pembangunan yang menggunakan basis OBIT, kita telah turut memberikan sumbangan yang sangat berharga begi kehidupan di bumi.
M. Anwar Siregar
Enviromen Geologist. Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer
Tulisan ini sudah dipublikasi di HARIAN ANALISA MEDAN, 06 JULI 2016
http://harian.analisadaily.com/lingkungan/news/obit-untuk-kelestarian-bumi/248044/2016/07/03

Jul 13, 2016

Air Tanah Gunung Api



Ketahanan Air Tanah
Wilayah Gunung Api
Oleh: Hendarmawan

Potensi sumber daya air Indonesia sebenarnya melimpah. Sebagaimana disebutkan UNESCO (2003), Indonesia mempunyai curah hujan tahunan sekitar 2.600-2.700 mm/tahun, atau menurut laporan BMG (2003), antara 996 hingga 4.927 mm/tahun. Tidak mengherankan, seperti dinyatakan dalam worldwater.org, Indonesia memiliki potensi ketersediaan sumber daya air terbesar keempat di dunia setelah Brasil, Rusia dan Kanada, yaitu mencapai 2.838 miliar m3/tahun. Potensi itu bersumber baik dari sungai, danau, waduk, rawa, air tanah dangkal (shallow wells), air tanah dalam (deep wells), maupun mata air. Namun, gejala kekurangan air masih juga terasa dimanamana, terutama di musim kemarau. Hal ini menguatkan kembali fakta bahwa masalah ketahanan air yang telah dinyatakan oleh pemerintah sebagai salah satu agenda prioritas nasional sejak Desember 2013 itu, masih ada.
ARTIKEL
Tingginya curah hujan dan banyaknya potensi sumber air tidak serta-merta menjadi harapan dan manfaat yang menjanjikan. Berbagai potensi sumber air kita belum mampu mencegah kekeringan di musim kemarau, dan banjir di musim hujan. Padahal sangat jelas, Tuhan menurunkan air hujan sebagai rahmat bagi semua makhluk di bumi. Dengan air yang cukup, keperluan air untuk masyarakat terpenuhi, produksi pertanian tetap terjaga sehingga ketahanan pangan nasional dapat terealisasi, kebutuhan air untuk industri dan pertanian pun terlayani. Berbagai masalah sumber daya air ini menyadarkan kita, sekaligus menggugah perhatian para pemangku kepentingan terkait, untuk segera membuat langkah yang aktual di lapangan.
Karena air merupakan sumber daya alam yang sangat vital dan diperlukan oleh berbagai sektor (pertanian, perikanan, industri, perkotaan, energi, perhubungan, pariwisata, dll) dari hulu hingga hilir, langkah nyata pengelolaan air sangat memerlukan koordinasi berbagai pihak. Jika tidak, maka konflik kepentingan dapat terjadi atau semakin meruncing. Terlebih saat ini, sumber daya air tidak dapat lagi hanya dipandang sebagai barang sosial, namun sudah menjadi barang ekonomi.
Salah satu sumber air yang perlu mendapat perhatian dalam koordinasi tesebut adalah air tanah di wilayah gunung api mengingat potensinya yang tinggi. Dari hasil survei tahun 2007 berdasarkan data cekungan air tanah, diketahui potensi sumber daya air tanah Indonesia mencapai 4.700 miliar m3/tahun yang jumlah terbesarnya tersimpan dalam endapan volkanik atau produk gunung api.
Akar Permasalahan
Dalam memperkuat pengelolaan sumber daya air yang menyeluruh (holistik) dan berwawasan lingkungan, berbagai sektor dan keahlian pasti terlibat di dalamnya. Untuk skala regional Indonesia, penelaahan dapat dimulai dengan siklus hidrologi. Dalam sirkulasi air di bumi, bagian air yang langsung berhubungan dengan aktivitas kita adalah air permukaan dan air tanah. Bila kita merujuk pada data air permukaan di Indonesia, terunjuk tingkat persentase hampir 100% terbaharui, yakni sekitar 98% dari TARWR (total actual renewable water resources).
Sementara itu, bagaimana dengan persentase air tanah yang terbaharui? Data memperlihatkan tingkat yang terlalu minim, hanya sekitar 16% air mengisi reservoir air tanah di Indonesia. Nilai persentase air terbaharui untuk air tanah yang kecil dapat berimplikasi pada bertambahnya air permukaan yang sangat besar.
Di sisi lain, kebutuhan air, khususnya air tanah, terus meningkat. Hal ini menyebabkan penyusutan atau berkurangnya cadangan air tanah, dan daya rusak air pun terjadi berupa banjir, penurunan tanah (subsidence), atau penurunan kualitas air tanah karena intrusi air laut. Meskipun data tersebut masih perlu diklarifikasi, ketersediaan sumber daya air tanah juga cenderung menurun, terutama di kota-kota besar, sebagaimana banyak diberitakan.
Pertanyaannya, apakah Indonesia tidak mempunyai reservoir air tanah yang luas? Salah satu reservoir air tanah yang cukup besar adalah wilayah pegunungan.
Secara geologi, bentang alam pegunungan bisa berupa wilayah gunung api (pegunungan volkanik) dan pegunungan tersusun atas batuan sedimen. Bentang alam ini dicirikan oleh tingkat curah hujan yang tinggi. Tidak mengherankan, pegunungan mempunyai potensi kuantitas sumber daya air yang besar. Perbandingan
air yang ada di permukaan terhadap air yang meresap sangat tergantung pada porositas (jumlah ruang dalam
butiran batuan) dan permeabilitas (kemampuan batuan meloloskan air) dari komposisi batuan yang ada, serta
tentu saja kondisi lingkungan di wilayah resapan. Secara empiris, wilayah gunung api muda yang
mempunyai tingkat peresapan air tinggi berbeda dengan pegunungan yang tersusun oleh batuan tua, yaitu batuan berumur Tersier (Miosen-Pliosen) atau sebelum Kuater (Plistosen-sekarang). Endapan gunung api tua, terlebih sedimen tua, menunjukkan tingkat peresapan air yang sangat kecil. Kekhasan wilayah gunung api dengan struktur dan tekstur batuannya ini tidak hanya sebagai sumber potensi kebencanaan (apabila gunung api itu meletus, misalnya), namun juga berfungsi sebagai suatu tangki raksasa penyimpan air, baik di permukaan maupun air di bawah permukaan.
Indonesia merupakan negara yang mempunyai wilayah gunung api aktif dan tak aktif terluas yang tersebar dari ujung Sumatra hingga Maluku. Tidak bisa dipungkiri bahwa lokasi kota-kota besar atau berbagai wilayah
pengembangan kota di Indonesia selalu berdekatan atau terletak di hamparan pedataran endapan gunung api.
Pemenuhan kebutuhan airnya, baik kebutuhan seharihari penduduk, pertanian, maupun industri, sangat
menggantungkan pada sumber daya air dari wilayah gunung api.
Seiring dengan pembangunan dan perkembangan ekonomi yang meningkat, perubahan tata ruang ke arah
lereng gunung api pun terjadi. Pemerintah pusat dan daerah sudah mengeluarkan peraturan dan berbagai kebijakan dalam rangka pengelolaan sumber daya air, misalnya dalam kasus Bopuncur. Namun, tetap saja kita masih sering mendengar kejadian mata air mengering, pasokan air terganggu, air sungai sudah tidak mengalir lagi di musim kemarau, penurunan muka air tanah terus
berlangsung, hingga banjir kiriman.
Dalam banyak kebijakan dan pengelolaan sumber daya air dari beberapa wilayah, banyak hal yang menjadi
masalah. Pertama, menyamakan lapisan batuan pembawa air (akuifer) mulai dari hulu hingga ke hilir wilayah
gunung api tanpa mempertimbangkan kerumitan batuan di wilayah gunung api yang sangat berbeda-beda dibanding pola endapan batuan sedimen, baik struktur maupun tekstur. Pada jarak yang relatif dekat batuan bisa berubah jenisnya yang berarti berubah permeabilitas (tingkat kemampuan meloloskan air) dan kesarangan atau porositas. Peta yang diacu memang sangat terbatas, yakni peta geologi dan hidrogeologi regional. Kedua, dalam penentuan daerah resapan air masih banyak menggunakan cara konvensional (kualitatif) dan masuk ke dalam kebijakan tata ruang. Sebagai akibat dari masalah-masalah itu, perhitungan nilai atau potensi bersih (net potency) sumber daya air jenis air tanah ini menjadi terlalu tinggi (overestimate), atau sebaliknya terlalu rendah (underestimate) untuk air permukaan. Akibat lebih lanjut, kebijakan untuk pembuatan resapan buatan (artificial recharge) dan reboisasi pun menjadi tidak tepat lokasi.
Pengelolaan sumber daya air di wilayah gunung api memerlukan penelitian yang rinci. Air mengalir melalui ruang antar butir batuan (sistem media berpori) atau rekahan (sistem media terekahkan), sehingga pengetahuan dan pemahaman sistem recharge-discharge atau sistem input-output air di wilayah ini harusnya sangat jelas. Namun, rujukan (buku-buku, makalah ilmiah, dll) yang mengetengahkan hidrogeologi gunung api masih sangat terbatas, kalaupun ada boleh dibilang dengan jari tangan, dan itu pun hanya bersifat umum.
Oleh karena itu, Asosiasi Hidrogeologi Internasional (IAH) sangat mendorong dan mendukung pemunculan
makalah-makalah hidrogeologi gunung api.
Studi Komprehensif Air Tanah di Wilayah Gunung Api
Penelaahan beberapa sistem resapan-luahan (rechargedischarge) daerah volkanik telah dilakukan sejak 18 tahun terakhir. Daerah penelitiannya antara lain wilayah Cekungan Bandung, G. Salak, lereng G. Gede Pangrango, Jawa Barat; daerah G Karang, Banten; Gunung Sibayak (Brastagi) dan Binjai, Sumatra Utara; gunung api sekitar Magelang, Jawa Tengah; dan wilayah Gunung Batur (Bali). Melalui pemantauan yang relatif panjang, yaitu setahun di setiap wilayah tersebut, diperoleh sejumlah model yang dapat menjadi dasar pengelolaan sumber daya air di wilayah gunung api.
Penelitian air tanah gunung api yang rinci di suatu wilayah perlu ditunjang oleh beberapa studi sebagai alat
analisis hidrogeologi, yaitu survei topografi, analisis GIS (geographic information system), dan lainnya. Survei topografi merupakan kegiatan pengukuran setiap titik studi yang didasarkan pada peta topografi dan peta citra
satelit, dan pengolahan datanya dilakukan dengan metode analisis GIS. Penelusuri daerah aliran sungai (DAS) dan identifikasi ukuran-ukuran jaringan air yang terdapat didalamnya juga perlu dilakukan. Untuk itu, surveinya didekati dengan studi hidrologi.
Dengan demikian, sistem air permukaan dan interaksinya dengan sistem air tanah yang berkembang di daerah penelitian dapat ditelaah. Berikutnya, dilakukan kajian geologi wilayah gunung api yang didukung oleh kajian geofisika guna mengetahui gambaran kondisi bawah permukaan tanah secara akurat. Dengan cara ini maka informasi struktur geologi maupun lapisan pembawa air (akuifer) yang berkembang dapat diketahui dengan jelas. Selanjutnya, studi hidrokimia dan hidro-isotop air tanah dilakukan agar dapat diketahui asal air tanah dan perilaku dari air tanah yang mengalir. Sintesa atas berbagai kajian tersebut akan memberikan pengetahuan hidrogeologi yang komprehensif dengan pemahaman yang baik mulai dari kondisi sistem resapanluahan air tanah, laju resapan air tanah, sampai konsep model hidrogeologi daerah penelitian.
Geologi dan Geofisik Wilayah Gunung Api
Pendekatan pemetaan geologi di lapangan dilaksanakan melalui traversing, yaitu suatu kegiatan observasi singkapan batuan. Pengambilan contoh untuk diuji di laboratorium dalam rangka identifikasi batuan jugadilakukan. Pengelompokan batuan sebagaimana menurut Bronto (2006), mengacu pada pembagian oleh Bogie & Mackenzie, 1998. Dalam klasifikasi ini fasies gunung api dibagi ke dalam fasies sentral, fasies proksimal, fasies medial, dan fasies distal. Istilah “fasies” batuan bermakna suatu tubuh batuan yang memiliki kombinasi ciri yang khas berdasarkan batuan penyusun dan struktur sedimen, bahkan struktur biologinya, sehingga dapat dibedakan fasies atas, tengah, dan bawah; atau, fasies terdekat (proksimal), fasies medial (pertengahan), dan fasies distal (terjauh) dari sumber asal, yaitu pusat letudan gunung api, dalam kaitannya dengan endapan wilayah gunung api.
Fasies proksimal endapan wilayah gunung api ditandai dengan asosiasi batuan sekitar puncak gunung api berupa perselingan aliran lava dengan breksi piroklastika dan terkadang tersingkap aglomerat. Di ujung fasies ini seringkali dijumpai mata air yang cukup besar debitnya dan mengairi sungai. Ke arah hilir biasanya ditemukan breksi piroklastika dan tuf sangat dominan, dan breksi lahar yang dikenal sebagai fasies medial. Pada fasies ini berkembang celah dan sistem rekahan yang cenderung ditandai dengan banyaknya resapan air ke arah batuan di bawahnya. Seiring dengan bentang alamnya yang agak melandai, di wilayah fasies medial ini biasanya berkembang permukiman penduduk. Endapan gunung api di sekitar kaki gunung disebut
fasies distal yang didominasi oleh breksi lahar, breksi fluviatil, konglomerat, batupasir, dan batulanau. Melalui
pemboran inti, perselingan batuan-batuan tersebut sering dijumpai. Pemunculan mata air dengan debit besar sering pula dijumpai saat lapisan batuan tersebut mengalami pengaruh patahan.
Hasil pemetaan geologi dan pengukuran geofisik selanjutnya dianalisis untuk melihat berbagai gambaran di bawah permukaan tanah. Satu hal yang sangat penting terkait dengan model adalah penggambaran (delineasi) batas-batas cekungan air tanah. Sebaran cekungan air tanah digambarkan secara rinci guna mengetahui perilaku air di dalam tanah atau batuan. Luasan cekungan air tanah juga memberi informasi akan cadangan dan sistem resapan-luasan sumber daya air.

Pola fasies endapan gunung api yang mengontrol aliran air tanah.

Sumber: Bogie & Mackenzie, 1998.

Analisis Hidrokimia dan Hidro-isotop Air Tanah
Pada umumnya penentuan daerah resapan air tanah di Indonesia lebih didasarkan pada pendekatan konvensional seperti tinggi rendahnya topografi dan penampang tanah dan batuan bawah permukaan saja. Beberapa penelitian memang sudah menambahkan metode delineasi daerah resapan tersebut melalui pendekatan analisis isotop air tanah – yaitu unsur yang berisfat radioaktif dan diketahui laju peluruhannya – untuk memastikan masuknya air dan mendelineasi daerah resapan (recharge zone).
Bagaimanapun, penelitian terdahulu di Indonesia yang menggunakan isotop stabil air tanah masih menimbulkan keraguan. Hal ini disebabkan pencontohan yang dilakukan tidak dilaksanakan secara periodik berdasarkan musim yang ada di Indonesia. Di pihak lain, posisi dan luas wilayah resapan akan menentukan jumlah air yang masuk ke dalam lapisan tanah batuan yang mengandung air tanah. Sebagai akibatnya, terjadi salah penaksiran, yaitu terlalu besar (overestimate) atau terlalu kecil (underestimate) dalam perhitungan kesetimbangan air (water balance). Masalah merupakan bagian akar permasalahan tulisan ini.
Fritz dan Fontes (1981) juga IAEA menyatakan bahwa melalui analisis kandungan isotof 18O (oksigen) dan isotof 2H (deuterium) dalam air tanah dan air hujan secara berkala, maka asal usul air dapat dideteksi. Hasil perhitungan analisis isotof 18O dan deuterium mengacu kepada standar internasional, yaitu SMOW (Standard
Mean Ocean Water). Standar SMOW sebagai acuan memiliki nilai rasio 18O/16O dan D/H adalah nol (0). Hasil
perhitungan analisis rasio 18O/16O dan D/H dinyatakan dalam rasio relatif (δ) dengan satuan per mil.
Dari hasil analisis data akan dapat ditentukan berturutturut indeks kandungan isotop pada tiap stasiun (amount
effect), garis meteorik lokal dan hubungan kandungan isotop terhadap elevasi (ketinggian). Kemudian indeks
kandungan isotop (meanweight) 18O dan 2H pada setiap stasiun dihitung berdasarkan suatu persamaan yang akan menganalisis kandungan isotop dan jumlah curah hujan pada pengamatan setiap bulannya.
Hasil simulasi isotop dipadukan dengan hasil kandungan
 

Pola fasies endapan gunung api yang mengontrol aliran air tanah.

Sumber: Bogie & Mackenzie, 1998.

ion yang umum dalam air alami seperti Na+, K+, Ca++, Mg++, Cl-, CO3 2-=, HCO3 - dan SO4
2-=. Dominasi kation dan anion tersebut ditentukan dengan diagram trilinear
Piper (1944). Hasilnya digunakan untuk memastikan hasil kandungan isotop stabil air tanah. Melalui metode ini, fasies air tanah yang dihasilkan dapat digunakan dalam memverifikasi penafsiran geologi. Daerah resapan yang lokasi tepatnya telah dapat ditentukan dan perhitungan sebaran luasnya cukup mendekati kenyataan akan memberikan hasil perhitungan input air yang lebih akurat. Dengan cara itu, kuantitas masukan air di suatu wilayah dapat ditetapkan. Bukan tidak mungkin bahwa data taksiran untuk penentuan besaran air yang masuk ke dalam reservoir yang

Model hidrogeologi Gunung Salak relatif mewakili model lainnya.

digunakan dalam pengelolaan sumber daya air selama ini, terlalu berlebihan. Akibatnya, terjadi ketimpangan debit aman dalam suatu wilayah yang jauh di atas kapasitas yang ada. Penting untuk diketahui bahwa data kasar air hujan yang meresap di wilayah gunung api menunjukkan 21% hingga 37% dari total air hujan yang jatuh di wilayah tersebut.
Hasil-hasil pengetahuan hidrogeologi gunung api dari penelitian yang disebutkan di atas setidaknya membuat
pengelolaan sumber daya air harus lebih hati-hati. Wilayah yang selama ini telah berkembang eksploitasi air tanah besar-besaran di daerah distal, tempat berkembang industri dan pengguna air tanah lainnya, sangat ditentukan oleh air yang berasal dari daerah fasies medial.
Sementara itu wilayah medial ini seringkali sudah menjadi pemukiman. Oleh karena itu, diperlukan kearifan lokal dalam program konservasi sumber daya air untuk menjaga air tetap meresap di wilayah tersebut. Selanjutnya, model konservasi air tanah yang didasarkan pada pengetahuan fasies batuan gunung api dan daerah resapan-luahan ini perlu menjadi bahan pertimbangan dalam penentuan tata ruang wilayah. Dengan demikian, sumber daya air yang berkelanjutan di wilayah gunung api akan memberi kemampuan dan kapasitas potensi air yang dapat dimanfaatkan oleh kegiatan manusia untuk kegiatan sosial ekonomi di sekitarnya.
Perlu Tindakan Segera
Terdapat beberapa hal paling penting tentang air tanah di wilayah gunung api. Pertama, nilai persentase terbaharui air tanah yang kecil merefleksikan kepastian kelangkaan air di musim kemarau dan air permukaan
yang bertambah besar di musim hujan (banjir). Kegiatan konservasi yang melibatkan berbagai sektor termasuk
masyarakat di dalamnya sudah tidak dapat ditunda lagi. Kedua, manajemen sumber daya air yang konvensional perlu ditunjang dengan pemahaman hidrogeologi yang terukur melalui pendekatan studi yang komprehensif.
Dengan cara ini, maka penentuan daerah resapan untuk keperluan konservasi dan luas cekungan jauh lebih akurat dan pasti alias tidak berubah-ubah. Dengan demikian, perhitungan kesetimbangan air akan lebih mendekati kenyataan, dan kepastian serta ketepatan daerah konservasi akan mendukung penentuan tata ruang wilayah. Ketiga, hasil-hasil studi atau kajian hidrogeologi di wilayah gunung api menunjukkan potensi
yang besar dalam pengelolaan sumber daya air.
Di antaranya, potensi itu menjadi dasar dalam menyelesaikan kelangkaan air di musim kemarau dan menurunkan air permukaan – sehingga tidak menjadi banjir - di musim hujan. Potensi lainnya, dilihat dari jumlah gunung api Indonesia yang mencapai 127 buah atau 30% luas dataran Indonesia. Keberadaan gunung api yang seringkali di dekat – atau tidak jauh dari - kota-kota dan wilayah perkembangan ekonomi, apabila potensi sumber daya airnya dikelola dengan baik sumber daya air, maka wilayah gunung api dapat menjadi sumber ketahanan air nasional.
Tulisan ini disarikan dari orasi pengukuhan Guru Besar penulis. Penulis adalah Guru Besar Fakultas Teknik Geologi Universitas

Sumber : Geomagz edisi 0503092015
Padjadjaran.

Related Posts :