Mar 9, 2017

Budaya Gempa Yang Belum Membudaya

BUDAYA GEMPA YANH BELUM MEMBUDAYA
Oleh M. Anwar Siregar
Mengingat keberadaan kota-kota di Indonesia yang unik sekitar 80 persen terletak di daerah pesisir, 25 persen di wilayah rawan gempa bumi, dan 28 persen wilayah rawan tsunami, 49 persen daerah yang terpapar gerakan tanah dengan zona kerentanan sangat tinggi serta 82 persen masyarakat tinggal didaerah rawan bencana dari berbagai elemen bencana. Maka perlunya membangun kota waspada bencana merupakan sebuah keharusan seperti yang dibangun dikota-kota besar di Jepang.
Mengingat wilayah Indonesia khusus daratan Sumatera rawan terjadi gempa lagi perlu suatu perencanaan dan budaya yang memahami lingkungan tempat beraktivitas hidup dengan membangun dan mengelola kerentanan bencana sebagai pengurangan trauma bencana dan Aceh sekali lagi masih akan terus tercabik gempa karena memang daerah rawan bencana, perlu kapasitas dan mitigasi bencana sebagai budaya kehidupan,
Pembenahan kota pascabencana gempa melalui tahap pemulihan dan pembangunan kembali fisik dan jiwa kota harus sesuai dengan semangat kekhasan lokal (bufaya lokal) kota-kota yang rusak dan harus menjadi paradigma pembangunan lokal di berbagai kota di Nusantara.
Kota yang terkonsep seharusnya berdasarkan pada pengalaman/kejadian bencana yang terus terjadi. Kejadian di titik-titik rawan bencana dianalisis dan dijadikan bahan penyusunan rencana strategis dan program kegiatan pembangunan yang terarah tepat sasaran untuk rencana mitigasi berbagai jenis bencana

Kota Aceh harus dibangun kembali dengan mengalokasikan lebih banyak ruang terbuka hijau (RTH), mengakomodasi kepentingan perlindungan, evakuasi, atau pertahanan hidup atas bencana. Ini sama halnya dengan membangun sistem peringatan dini secara alamiah untuk mengantisipasi bencana alam yang penting bagi kota dan paling murah untuk dibangun.
Bencana gempa jangan dipandang lagi sebagai peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba yang terpisah dari kehidupan normal manusia, tetapi lebih dari itu harus dipandang sebagai sesuatu yang merupakan bagian dari kehidupan normal manusia dan tidak serta merta terjadi dengan tiba-tiba (dikutip dari Blaikie et al, 1994).
Sifat atau penyebab bencana gempa, tidak semata-mata dilihat sebagai peristiwa yang bersifat alamiah (natural disaster) tetapi sesuatu resiko (risk) yang tidak tertangani (unmanaged) oleh manusia dalam berbagai dimensi, yang berakar dari manusianya sendiri, baik secara pribadi, sosial maupun lembaga. Yodmani (2001) menjelaskan dengan istilah yang lebih tepat bahwa bencana tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang murni natural tetapi sebagai problema pembangunan yang tidak terselesaikan (unresolved problems of development).
KAPASITAS MASYARAKAT
Peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana harus segera diprogramkan dan diimplementasikan di daerah sebagai amanah dari UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Jadi, bagaimana mengintegrasikan program-program pengurangan risiko bencana di daerah ke dalam pelbagai kegiatan/sektoral adalah suatu keharusan? Sehingga di sini diperlukan dana/anggaran yang memadai. Dari pada dana investasi pembangunan akan segera musnah bila terjadi bencana alam seperti sekarang ini.
Jadi, analisis risiko bencana merupakan analisis potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harga dan bahkan gangguan terhadap kegiatan masyarakat. Apabila suatu wilayah telah melakukan analisis risiko bencana, maka dapat dibuatkan skala prioritas daerah mana yang harus diantisipasi dan dilakukan upaya mitigasi bencana, agar nilai risiko dapat diminimalisasi.
Sayang, kebanyakan di antara kita mudah melupakan suatu bencana yang terjadi di waktu lampau. Padahal secara geomorfologis-kebencanaan, bencana masa lampau akan terulang kembali pada masa mendatang.
Mengelola risiko bencana adalah mutlak, bila tak ingin anggaran pemerintah tersedot habis untuk penanggulangan bencana. Model pengelolaan konvensional yang reaktif harus segera ditinggalkan menuju pengelolaan risiko pro-aktif. Program pengurangan risiko bencana sebelum terjadi harus berbasis dan mengakar pada masyarakat dengan didukung dana memadai. Pusat riset kebencanaan di universitas/PT, Litbang Departemen serta LSM harus dapat diimplementasikan langsung ke masyarakat atau melalui pendidikan kebencanaan formal maupun non-formal. Sekolah perlu Komite Sekolah untuk Pengurangan Risiko Bencana, masyarakat perlu membentuk Community Disaster Risk Management Group, Pramuka dan lainnya. UNESCO, Badan Keswadayaan Masyarakat Nasional maupun melalui CSR BUMN/BUMD dan swasta lain dapat memberikan sumbangan bantuan dan pelatihan demi generasi penerus bangsa.
REDUKSI PSOKOLOGIS
Aktivitas keseharian korban perlu segera dinormalisasi, seperti warung atau pasar, sekolah, bekerja disamping aktivitas lain yang juga besar yaitu membersihkan puing-puing reruntuhan atau material, memperbaiki jalan dan sarana pembuangan limbah. Dapur umum dibuka untuk melayani warga yang membutuhkan bantuan dengan tetap memperhatikan kearifan lokal.
Reduksi stress atau trauma healing dilaksanakan sedini mungkin, terutama pada anak-anak dan wanita hamil atau menyusui. Reduksi stres atau trauma healing dilaksanakan sedini mungkin agar rehabibiltasi mental korban bencana bisa dipulihkan untuk menerima kenyataan dan melakukann aktivitasnya yang baru. Menanamkan nilai-nilai atau re-orientasi budaya termasuk didalam keterampilan yang diperlukan untuk melanjutkan hidupnya (disari dari berbagai pustaka).
Strategi re-orientasi budaya pada korban bencana dapat dilakukan sebagai berikut : 1. Strategi akomodasi budaya, 2. Strategi negosiasi budaya, 3. Strategi restrukturisasi budaya.
Strategi akomodasi budaya, dilakukan bila korban bencana telah memiliki nilai-nilai, norma-norma dan perilaku yang positif untuk keberlanjutan hidupnya dimasyarakat. Nilai, norma dan perilaku tersebut agar dipertahankan dan korban bencana pada kategori ini perlu dilibatkan secara aktif dalam pemulihan korban bencana yang lain. Pengalaman menolong korban bencana, mereka pada umumnya memiliki persepsi yang menyempit, untuk itu bahasa yang mungkin tepat adalah instruktif dengan persuasif yang santun. Strategi negosiasi budaya dilakukan bila korban bencana telah memiliki nilai-nilai, norma-norma dan perilaku yang kurang menguntungkan untuk keberlanjutan hidupnya di masyarakat. Misalnya, terdapat korban bencana yang mempunyai kebiasaan merokok, pemenuhan kebutuhan membeli rokok yang kurang menguntungkan tersebut perlu diganti dengan membeli bahan makanan untuk dirinya dan keluarganya. Petugas trauma healing menegosiasikan contoh-contoh budaya seperti ini. Strategi restrukturisasi budaya, dilakukan bila korban bencana telah memiliki nilai-nilai, norma-norma dan perilaku yang merugikan untuk keberlanjutan hidupnya di masyarakat. Misalnya, kebiasaan tangan dibawah, malas berusaha, hobi mencuri barang milik orang lain. Pada siatuasi ini, petugas merestrukturisasi budaya korban bencana dengan budaya baru yang jauh lebih baik.
Bila ketiga strategi ini dapat diterapkan oleh petugas bencana, maka saat memasuki tahap rekonstruksi akan lebih tertib dan pada saat telah tertata masyarakat korban bencana memiliki budaya baru yang lebih unggul. Pada sisi ini, kita memandang bencana sebagai peluang emas menata kembali budaya Indonesia yang sudah mulai runtuh. Re-orientasi budaya perlu menjadi pertimbangan membangun Indonesia yang lebih baik agar mampu mandiri dan bersaing sehat serta cerdas hidupya.
Sungguh naif bila kita selalu tergugah dan membangkitkan kesolidaritas dalam berkota yang ramah lingkungan dan tanggap bencana jika harus menunggu setiap datangnya bencana. Sikap solidaritas seperti ini sering kali surut dan cepat terlupakan seiring dengan berlalunya waktu rutinitas kehidupan sehingga PR penanggulangan bencana ikut terpupus, hilang bagaikan tertiup debu tanpa bekas dan tidak pernah tuntas dikerjakan bersama.

M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, bertugas di Medan-Sumatera Utara

No comments:

Post a Comment

Related Posts :