Sep 19, 2017

Banjir, Penurunan Daya Dukung Lingkungan



BANJIR, PENURUNAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN
Oleh M. Anwar Siregar

Banjir terjadi lagi disertai dengan bencana longsor, merupakan fenomena dalam dua bulan di tahun ini, dampak dari pembangunan yang mengabaikan dan melebihi daya dukung alam hanya akan membawa kehancuran pada kehidupan manusia saat ini dan generasi mendatang. Terlihat banjir di Sumatera Barat, yang memutuskan lintasan jalan ke Riau, selain itu Ibukota Jakarta dan sekitarnya juga mengalami musibah banjir kiriman, Bogor dan Bandung serta beberapa kota lainnya di Jawa dan Sumatera ”menikmati musibah banjir”. Fenomena ini dampak dari pembangunan yang hanya menitikberatkan pada ekonomi semata sudah ketinggalan zaman. Paradigma pembangunan sekarang ini justru harus bergerak maju dengan mengutamakan pembangunan sosial dan ekologi, sebab saat ini kondisi ekologi di hulu hutan di pegunungan telah mengalami penurunan daya dukung lingkungan.
 
Analisa/ferdy. BAHAYA BANJIR: Hujan yang berkepanjangan pada pekan lalu mengakibatkan banjir di sejumlah wilayah kabupaten dan kota di Sumut. Tingginya curah hujan disertai angin kencang merupakan dampak dari siklon tropis dahlia yang melanda Sumut dan Aceh.
Dalam kenyataannya, alam tempat makhluk hidup manusia dan lingkungan yang seharusnya selaras ini justru ternoda. Pemanfaatan sumber daya alam di hulu dengan mengacuhkan pelestarian seolah jadi kebiasaan yang dilakukan semua pihak.
Pada akhir tahun lalu, misalnya, Badan Pemeriksa Keuangan membuktikan adanya kerusakan lingkungan yang disebabkan pemerintah daerah lebih memprioritaskan kenaikan pendapatan asli daerah daripada melestarikan lingkungan alamnya.

Hal itu mengingat banyak kepala daerah yang merusak lingkungan melalui pemberian izin bagi perluasan perambahan di kawasan hutan lindung, hutan produksi, dan kawasan perkebunan, serta kawasan permukiman, saat ini terjadi kerusakan yang sangat signifikan pada sumber daya alam hutan, lahan, air, pesisir, dan laut kita. Sekitar 43 juta hektar hutan yang tadinya hijau telah berubah menjadi lahan kritis yang tidak dapat lagi menunjang berbagai fungsi lingkungan termasuk di Pulau Sumatera yang telah diidentifikasi luasan hutannya telah mendekati sakaratul maut karena kini tinggal sekitar 12 juta hektar akibat pembakaran dan perluasan perkebunan.
Laju kerusakan hutan di Indonesia diperkirakan sedikitnya dua juta hektar per tahun. Di kawasan pesisir, hutan mangrove mengalami kerusakan yang telah mencapai 5,3 juta hektar atau sekitar 60 % dari seluruh hutan mangrove Indonesia.
Rusaknya hutan mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan daerah aliran sungai (DAS), sehingga DAS kritis semakin meningkat dari sekitar 22 DAS pada 1992 menjadi 62 DAS pada 2005 lalu meningkat lagi menjadi 70 DAS tahun 2014. Sementara upaya konservasi alam berjalan lamban, tidak sebanding dengan laju kecepatan kerusakan alam.
Tidak heran apabila alam yang terbatas daya dukungnya itu pada akhirnya bisa murka juga. Bencana banjir dan longsor di Kab. Limah Puluh Kota dan Jabodetabek memang tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia. Bencana justru akan semakin parah jika manusia sendiri tak menjaga alamnya.
Semua pihak menyadari bahwa ketika alam dirusak, ketika lingkungan hidup diabaikan, berarti kehancuran di depan mata. Masalahnya, mengapa bangsa ini tidak mau belajar dari pengalaman dan melakukan pengelolaan risiko dengan baik? Mengapa yang dilakukan justru penanggulangan bencana, bukannya mencegahnya
Bencana banjir, tanah longsor, dan kekeringan akan silih berganti menjadi bencana yang melanda Nusantara ini akibat daya dukung lingkungan yang tak mampu lagi menahannya. Bencana lingkungan yang terjadi hingga saat ini bahkan dirasakan lebih sering dan parah, tidak serta-merta terjadi begitu saja.
Lingkungan hidup yang diartikan luas yaitu tidak hanya lingkungan fisik, tetapi juga lingkungan ekonomi, sosial budaya. Sedangkan lingkungan secara umum meminjam istilah Emil Salim diartikan sebagai tempat yang terdapat dalam ruangan yang kita tempati, dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan manusia.
Hubungan timbal balik antara manusia dengan komponen-kompenen alam harus berlangsung dalam batas keseimbangan (Zein, 1985). Apabila hubungan timbal balik tersebut terlaksana tidak seimbang, maka akan mengakibatkan adanya kerusakan lingkungan fisik, ekonomi, sosial dan budaya.
Jika kita melihat pada satu masalah lingkungan hidup yaitu disektor kehutanan,  maka akan banyak problematika yang ditemukan. Permasalahan deforestasi penggundulan) hutan, seperti penebangan liar (illegal logging) memiliki dampak sangat mengerikan. Dapat mengakibatkan erosi lahan, terancamnya berbagai aneka satwa didalamnya, hingga mengakibatkan global warming atau pemanasan global. Bahkan jika tidak dihentikan, tidak menutup kemungkinan dapat menghilangkan hutan di masa depan dan menyisakan kenangan. Menurut data Kementerian Kehutanan, pada tahun 2009, luas kawasan hutan Indonesia mencapai 138 juta hektare. Dengan laju deforestasi hutan pada periode 2005-2009 mencapai 5,4 juta hektare, yang secara finansial juga menyebabkan timbulnya kerugian. Data ini sudah meningkat hingga ke tahun 2016 sekarang semakin berkurang akibat fenomena kabut asap dari pembakaran hutan-hutan di Sumatera dan Kalimantan.
Dampak dari perubahan iklim tersebut saat ini dan mendatang dapat menjadi ancaman serius bagi kehidupan kita semua terutama bagi negara pantai seperti wilayah Indonesia yang banyak memiliki pulau-pulau yang dikelilingi lautan dengan topografi rendah. Di lain pihak juga sangat berpengaruh pada sektor pertanian. Karena itu, perlu dilakukan upaya mitigasi melalui pengendalian berbagai aktivitas yang dapat menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang ditargetkan sebesar 26 % di tahun 2020. Sedangkan adaptasi dilakukan antara lain melalui upaya kita untuk menyesuaikan dengan pola perubahan yang terjadi.
Salah satu dampak dari perubahan iklim berupa naiknya suhu permukaan bumi yang berakibat pada terjadinya kekeringan di beberapa wilayah di Indonesia. Selain itu, dengan terus berkurangnya tutupan lahan, padatnya kegiatan pembangunan dan penduduk semakin memberikan tekanan terhadap ekologi daya dukung lingkungan hidup yang pada akhirnya menimbulkan masalah semakin tingginya tingkat kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup.
Kemerosotan kualitas Lingkungan Hidup (LH) tersebut tidak dapat diselesaikan melalui pendekatan parsial. la memerlukan instrumen pengelolaan LH yang memungkinkan penyelesaian masalah yang bersifat berjenjang (dari pusat ke daerah), lintas wilayah, antar sektor/lembaga, dan sekuensial sifatnya. Selain pentingnya instrumen pendekatan komprehensif tersebut di atas, hal penting lain yang harus difahami adalah bahwa degradasi kualitas LH terkait erat dengan masalah perumusan kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan yang tidak ramah lingkungan.
Upaya mitigasi bertujuan untuk meningkatkan kapasitas penyerapan karbon dan pengurangan emisi gas-gas rumah kaca (GRK) ke atmosfir yang berpotensi menipiskan lapisan ozon. Untuk itu, upaya mitigasi terutama difokuskan untuk 5 (lima) sektor yakni:
Upaya adaptasi merupakan tindakan penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi dampak negatif dari Perubahan Iklim. Namun upaya tersebut akan sulit memberikan manfaat secara efektif apabila laju Perubahan Iklim melebihi kemampuan beradaptasi. Upaya ini bertujuan untuk: (1) mengurangi resiko bencana atau kerentanan sosialekonomi dan lingkungan yang diakibatkan dari Perubahan Iklim, (2) meningkatkan daya tahan (resilience) masyarakat dan ekosistem, sekaligus (3) meningkatkan keberlanjutan pembangunan nasional dan daerah.
Indonesia dalam adaptasi Perubahan Iklim ini memiliki tantangan yang sangat besar, terutama karena wilayah Nusantara merupakan negara kepulauan, berada di daerah tropis, dan memiliki posisi strategis di antara dua benua besar dan dua samudera yang sangat besar. Kondisi ini menyebabkan Indonesia sangat rentan terhadap Perubahan Iklim. Beberapa fakta yang sangat mungkin dipengaruhi oleh Perubahan Iklim, antara lain adalah ancaman ketahanan pangan akibat kekeringan dan banjir, ancaman wabah penyakit, ancaman kerusakan infrastruktur dan prasarana perkotaan di pesisir, serta ancaman kerusakan permukiman dan perumahan akibat bencana yang semakin tinggi frekuensinya. Maukah anda hidup terus menghadapi bencana?
M. Anwar Siregar
Enviroment Geologist.
Dipublikasi di Harian ANALISA MEDAN, Tanggal 10 Desember 2017

No comments:

Post a Comment

Related Posts :