Nov 9, 2017

Tata Ruang Geo-Ozon



TATA RUANG GEO-OZON MENEKAN IKLIM GLOBAL
Oleh : M. Anwar Siregar

Membuat suatu wilayah atau kota yang bebas dari bencana alam adalah sesuatu yang tidak mungkin karena bencana alam berkaitan dengan proses alam yang tidak bisa dihindari. Yang dapat dilakukan adalah meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana alam melalui upaya mitigasi, diantaranya adalah penyediaan sistem peringatan dini dan penataan ruang wilayah/kota yang berbasis pada informasi kerentanan geologis dan pemetaan seismotektonik dan berbasis ekologi hijau serta kerentanan terhadap bencana alam berwawasan lingkungan. Mitigasi bencana merupakan upaya preventif yang harus diterapkan di lokasi rawan gempa, tsunami, banjir dan longsor.

Seperti kita ketahui, Indonesia adalah sebuah negeri kepulauan yang rentan bencana gempa. Ini terjadi karena Indonesia terletak pada sabuk gunung berapi yang terbentuk oleh pertemuan lempeng-lempeng bumi. Sabuk gunung berapi aktif ini dibentuk oleh tumbukan Lempeng India-Australia di sebelah selatan, Lempeng Eurasia di sebelah utara barat, Lempeng Laut Philipina dan Lempeng Pasifik di sebelah utara timur. Pergerakan ketiga lempeng ini menyebabkan Indonesia sangat rentan terhadap bencana alam yang diakibatkan aktivitas di dalam bumi seperti gempa bumi dan gunung meletus sehingga mempertegas keadaan hubungan dengan lapisan geosfer.
MEMINIMALKAN OZON
Agar pembangunan di suatu kawasan dapat berjalan optimal dan berkelanjutan, terlebih dahulu harus dilakukan survei untuk menyediakan data dan informasi yang berkaitan dengan faktor-faktor geologi tersebut berupa geomorfologi atau kondisi permukaan bumi, sumberdaya air, sumberdaya mineral dan energi, sumber bahan bangunan, daya dukung tanah dan batuan untuk pondasi dan bencana geologi dalam menghadapi adaptasi perubahan iklim global di lapisan ozon.
Data dan informasi ini harus digabungkan dan dianalisis sehingga bisa menghasilkan kajian holistik yang disesuaikan dengan penataan ruang dan pengembangan wilayah. Dengan demikian, penggunaan lahan seperti untuk kawasan permukiman, perdagangan, industri, pertanian atau pariwisata, ditetapkan dengan memperhatikan kondisi lingkungan geologi sebagai faktor pendukung maupun kendala. Banyak lahan yang penggunaannya tidak sesuai peruntukannya. Misalnya, daerah sumberdaya air justru dikembangkan untuk tempat aktivitas manusia sehingga mengurangi cadangan air tanah
Penataan ruang sangat penting dalam menjaga lapisan ozon sebagai satu kesatuan wilayah baik ruang darat, laut maupun udara, termasuk juga di dalam bumi perlu dilakukan secara bijaksana, berdaya guna dengan berpedoman kepada kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang wilayah dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan bagi seluruh masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim secara ekstrim.
Pesatnya pembangunan wilayah di Indonesia yang ditandai dengan semakin meluasnya area terbangun dan pemekaran beberapa provinsi, kabupaten dan kota telah menimbulkan berbagai permasalahan yang terkait dengan penataan ruang dan pengelolaan lingkungan, seperti konflik pemanfaatan lahan, degradasi lingkungan hidup dan meningkatnya kebutuhan sumber daya geologi. Salah satu upaya penyelesaian permasalahan tersebut adalah dengan penyediaan informasi geologi lingkungan. seperti penentuan data informasi lokasi-lokasi seperti tempat penyimpanan karbon di dalam bumi (CCS), tapak pembangkit listrik tenaga nuklir, tempat pembuangan Iimbah, kawasan konservasi atau cagar alam, geowisata, dan lainnya, akan membutuhkan lingkungan dan tataan geologi yang spesifik hanya terdapat pada tempat-tempat tertentu. Tempat-tempat tersebut secara geologi terdapat di wilayah Indonesia, sehingga merupakan aset ekonomi yang sangat berharga dan strategis dalam meredam dan menekan kerusakan lingkungan hijau agar tidak berdampak luas terhadap lapisan ozon.
DAMPAK EMISI
Penurunan kualitas dan perubahan kondisi tata ruang lingkungan, baik dalam skala lokal maupun global dapat meningkatkan sebaran dan intensitas ancaman (hazard), seperti meningkatnya intensitas hujan dan pancaran sinar matahari yang dapat berakibat pada banjir, longsor, kekeringan dan juga angin kencang serta puting beliung (destructive winds). Dampak perubahan tata ruang lingkungan umumnya terjadi karena kurangnya upaya pengendalian dampak atas perubahan fisik yang terjadi karena proses pembangunan.
Indonesia merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ke tiga di dunia. Maka jelas Indonesia sedang menghadapi berbagai dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. WWF Indonesia (1999) memperkirakan, temperatur akan meningkat antara 1.3 oC sampai dengan 4.6 oC pada tahun 2100 dengan trend sebesar 0.1oC–0.4oC per tahun. Selanjutnya, pemanasan global akan menaikkan muka air laut sebesar 100 cm pada tahun 2100. Dan terdapat 43 kota besar dan sedang disepanjang ring pasifik di Indonesia yang mudah terpapar bencana banjir penenggelaman akibat dampak perubahan temperatur dan kenaikan permukaan air laut dan ini bukan lagi perlu direnungkan namun harus diimplementasikan dalam bentuk tata ruang hijau.
Akumulasi kejadian dampak emisi akan mempengaruhi infrastruktur fisik, bangunan gedung, dan kegiatan manusia saat ini dan masa mendatang. Pemanasan global akan meningkatkan temperatur, memperpendek musim hujan, dan meningkatkan intensitas curah hujan. Kondisi ini juga dapat mengubah kondisi air dan kelembaban tanah yang akhirnya akan mempengaruhi sektor pertanian dan ketersediaan pangan.
KOTA EMISI
Kota adalah salah satu dalam bentuk ruang merupakan penghasil dan memperangkap emisi gas rumah kaca. Sumber utama emisi gas rumah kaca di dalam ruang kota adalah penggunaan bahan bakar fosil untuk listrik, transportasi, industri, rumah tangga. Rumah tangga di Pulau Jawa memberikan kontribusi emisi CO2 terbesar yang bersumber dari penggunaan energi lebih dari 100 juta ton per tahun. Industri di Pulau Jawa memberikan kontribusi emisi CO2 terbesar, meningkat dari 13 juta ton pada tahun 2003 menjadi 24 juta ton pada tahun 2005. Pada tahun 2007, penggunaan kendaraan bermotor di Pulau Jawa memberikan kontribusi emisi CO2 terbesar sebesar 40 juta ton, 16 juta ton diantaranya berasal dari Provinsi DKI Jakarta.
Fenomena Urbanisasi juga memicu berbagai persoalan tata ruang di perkotaan, khususnya di saat ini dimana 52,03 % penduduk Indonesia tinggal di kawasan perkotaan yang telah mencerabut kawasan hijau yang penting sebagai penekanan kawasan tata ruang di geostasioner ozon. Yang memberikan kontribusi bagi kawasan perkotaan terhadap perubahan iklim antara lain adalah urbanisasi, pemanfaatan SDA dan Emisi Karbon (GRK). Akibat dari hal-hal tersebut adalah penurunan lahan hijau produktif dan penurunan kualitas ruang yang terindikasi dari terjadinya banjir, kemacetan, polusi, krisis infrastruktur, dan bencana panas esktrim. Lebih lanjut lagi, perubahan iklim di Indonesia berdampak pada terjadinya kekeringan, peningkatan jumlah hari panas, badai tropis, tingginya frekuensi curah hujan, dan kenaikan muka air laut.
Pembangunan yang berdasar pada keuntungan ekonomi, tanpa menghiraukan dampak ekologis terbukti menyebabkan emisi gas rumah kaca yang tinggi. Fenomena ini menjadi salah satu penyebab deviasi iklim. Konsep Low Carbon Economy (LCE) atau green growth menjadi fokus penting dalam kerangka kerja pengendalian deviasi iklim dalam suatu tata ruang kota demi membebaskan kota dari sekumpulan emisi maut.
Konversi hutan atau bagian daerah tangkapan air menjadi parkir air bagi perkotaan perlu diimbangi dengan upaya pemeliharaan fungsi ekologis dan hidrologis, baik melalui konservasi kawasan sensitif maupun dengan pembuatan struktur buatan seperti penahan aliran maupun penampung air sehingga dengan demikian fungsi ekologis dan faktor geologis tata ruang kota dapat meredam robekan lebih luas di dalam tata ruang lapisan ozon di atmosfir dan membahayakan lebih luas ke bumi.
M. Anwar Siregar
Enviroment Geolog, Pemerhati Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer

No comments:

Post a Comment

Related Posts :