Jan 12, 2018

Waspada, Giliran Jawa Barat Arisan Gempa

WASPADA, GILIRAN JAWA BARAT “ARISAN GEMPA”
Oleh : M. Anwar Siregar
Bencana alam seakan tidak pernah berhenti menimpa wilayah Indonesia, gempa bumi, gerakan tanah (longsoran), tsunami dan banjir sering kerap datang bergantian bagaikan “ibu-ibu yang sedang arisan bulanan”. Gempa yang terjadi lagi di Jawa Barat merupakan akumulasi dari berbagai tekanan dari gerak relaksasi bumi yang belum seimbang, karena tekanan gempa akibat tumbukan lempeng di Samudera Hindia-Mentawai sepanjang tahun ini dari Aceh hingga selatan Jawa telah mengalami tekanan dan mengalihkan responsibilitas energi seismik kearah selatan Pulau Jawa bagi Barat terutama kearah tekanan sesar-sesar di Jawa Barat. Dimana pantai Selatan Jawa terdapat Patahan yang membelah Pulau Jawa menjadi tiga bagian utama zona blok batuan yang melingkupi Jawa bagian Barat, Jawa bagian Tengah dan Jawa bagian Timur dengan kompleksitas probabilitas energi gempa yang sangat rumit dan saling berlawanan.
Gempa di Jawa Barat dan Jateng Berkekuatan 7,3 SR, BMKG Imbau Warga Tetap Tenang! 
Gambar : gempa Jawa Barat di selatan Jawa
Pulau Jawa merupakan bagian dari suatu busur kepulauan yang dikenal sebagai busur Sunda (Sunda Arc) yang terletak di tepi Asia Tenggara dan terbentang mulai dari kepulauan Andaman-Nicobar di barat sampai busur Banda (Timor) di timur. Busur Sunda merupakan busur kepulauan hasil dari interaksi lempeng samudera (disini lempeng India-Australia yang bergerak ke utara dengan kecepatan 7 cm pertahun) yang menunjam di bawah lempeng benua (Lempeng Eurasia). Penunjaman lempeng terjadi di selatan busur Sunda berupa palung (trench) yang dikenal sebagai palung Jawa. Disamping itu, penunjaman lempeng juga menghasilkan sepasang busur volkanik dan non-volkanik. Busur volkanik terdiri dari rangkaian gunung berapi yang menjadi tulang punggung pulau-pulau busur Sunda, sedangkan busur nonvolkanik merupakan rangkaian pulau-pulau yang terletak di sisi samudera busur volkaniknya.Seperti Nias dan Kepulauan Mentawai, Simeulue hingga ke Pulau-pulau NTT.
Berdasarkan posisinya diatas, Pulau Jawa termasuk daerah kerentanan gempa yang sangat tinggi dan ini merupakan daerah berikutnya setelah Sumatera yang akan mudah mengalami perobekan (rupture) dan penghancuran blok-blok batuan yang menyusun bentangalamnya di bandingkan Kepulauan Maluku dan Halmahera yang tiap bulan mengalami guncangan diatas 6.0 Skala Richter.
Hal ini disebabkan percepatan gelombang dasar batuan umumnya maksimun 300 tahun sekali, tersusun oleh 90 persen batuan vulkanik berumur kuarter, siklus energi kegempaan di Pulau Jawa tidak pernah mencapai 50 tahun sekali melepaskan energi kegempaan dengan intensitas magnitude maksimun 7 SR. Dan disebelah Selatan Jawa itu terdapat palung yang sangat dalam mencapai 2500 km, penekanan efek lempeng ke sesar-sesar daratan Jawa Barat merupakan jawaban kenapa gempa masih berlangsung di Provinsi Jawa Barat.
PALUNG JAWA
Sebelumnya kita sudah mengetahui bahwa Jawa Barat pada tahun 2007 telah mengalami gempa di pantai  Pangadaran disertai tsunami. Kekuatan gempa Pangadaran itu mencapai kekuatan 6,9 SR dengan tekukan yang menunjam zona patahan di Palung Jawa sehingga akan ada cermin peringatan sebenarnya bahwa Jawa Barat masih akan berlangsung gempa-gempa besar seperti yang dialami Provinsi Aceh. Dan gempa Tasikmalaya 2017 dengan kekuatan mencapai 6.9 SR itu semakin memberikan informasi kuat bagi daerah sekitarnya untuk mempersiapkan tata ruang berketanan bencana gempa bumi dan gunungapi, sebab Jawa Barat memiliki potensi kedua bencana geologis tersebut.
Data citra geologi yang penulis gunakan yaitu melalui satelit google dan Satelit Lansat-NOAA tampak jelas mencerminkan hal itu, karena Gempa Yogyakarta telah memberikan suatu penjalaran energi ke sesar-sesar yang telah lama tidur dan adanya perubahan batimetri kelautan di pantai Selatan Jawa pasca gempa Yogyakarta yang akan memudahkan penekanan pada sungai-sungai purba yang menutup sesar-sesar di tiga zona blok patahan Jawa.
Palung Jawa merupakan tempat menunjamnya lempeng samudera. Selama penunjaman berlangsung, lempeng samudera bergesekan dengan lempeng yang menumpang diatasnya. Gesekan antar lempeng ini menimbulkan aktifitas seismik atau gempa tektonik yang bersumber di permukaan lempeng yang menunjam. Kedalaman sumber gempa tergantung jarak horisontalnya terhadap sumbu palung, makin menjauhi palung ke arah daratan sumber gempa akan semakin dalam (deep earthquke) dan sebaliknya mendekat ke palung gempanya merupakan gempa dangkal (shallow earthquake). Oleh karena itu distribusi aktifitas seismik secara spasial dan temporal di suatu wilayah mencerminkan dinamika palungnya.
Jadi gempa di Jawa Barat sebenarnya sudah ada bukti yang jelas karena posisi gempa di daratan pulau Jawa lebih sering mengalami gempa dangkal. Dua faktor penyebabnya kemungkinan adalah: Pertama, sumber gempa dangkal di Sumatra lebih berasosiasi dengan aktifitas sesar-mendatar Sumatra; sedangkan di Jawa tidak terdapatnya suatu sistem sesar utama mengakibatkan gempa dangkal yang terjadi berasosiasi dengan aktifitas penunjaman lempeng di palung sehingga lebih mungkin ditransmisikan ke seluruh pulaunya. Kedua, jarak palung ke daratan di Sumatra lebih jauh dibandingkan dengan yang di Jawa. Sementara itu jalur gunung-api aktif (yang biasanya berkaitan dengan kedalaman zona subduksi sekitar 100 km) di pulau Jawa terutama Jawa barat terletak di bagian tengahnya, sedangkan di Sumatra jalur gunung-api aktifnya terletak di sisi barat dekat dengan pantai Samudera India. Hal ini menyebabkan aktifitas seismik di bagian kontinen yang dangkal lebih besar di Jawa daripada di Sumatra.
PERIODE GEMPA JAWA BARAT
Gempa sudah pernah terjadi di Tasikmalaya pada tahun 2000 dengan intensitas sama, yang menelan 26 korban yang tewas, seharusnya pengamatan periode kegempaan didaerah ini dan juga diseluruh Indonesia sudah memiliki standar perhitungan matematis, walau prediksi gempa masih susah diramalkan namun sudah harus memperhitungkan faktor sejarah gempa yang pernah berlangsung. Kerusakan bangunan yang ada lebih disebabkan kekuatan bangunan banyak tidak memenuhi zonasi percepatan gelombang batuan dasar, tidak jauh berbeda pada kejadian gempa Yogya tahun 2006 dan genpa Aceh Pidie 2016.
Sebagai contoh, gempa Bengkulu yang sama kekuatannya dengan gempa pada 4 Juni 2000 di Bengkulu pernah terjadi dua kali pada 1833, 1914. Sehingga banyak yang setuju dengan teori peramalan (forcasting) gempa dengan metode perioda ulang berkisar 80 tahun. Disamping itu terdapat juga gempa yang ukurannya lebih kecil dengan periode ulang lebih pendek. Perhitungan matematis periode ulang gempa bumi di Sumatra oleh peneliti BMG (Rasyidi Sulaiman dan Robert Pasaribu, 2000) menunjukkan bahwa periode ulang di Sumatra Selatan berkisar antara 8-34 tahun dengan nilai tengah 21 tahun. Gempa pada tahun 1979 di Bengkulu yang cukup besar dengan M=5.8, MMI=VIII, sedangkan gempa berikutnya adalah Juni 2000 (1979+21tahun). (Sumber Fauzi MSc, PhD, Pusat Gempa Nasional-Badan Meteorologi dan Geofisika).
Demikian juga gempa berkekuatan 7,3 SR di Tasikmalaya, Jawa Barat, 2 September 2009 lalu. Menurut para pakar, banyaknya korban dan kerusakan dalam peristiwa itu akibat struktur tanah. Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono mengatakan, struktur tanah di wilayah Jawa Barat bagian Selatan dan struktur bangunan yang dibuat masyarakat menjadi penyebab banyaknya korban jiwa. Dan berulang pada kejadian gempa 2017 dengan kekuatan mencapai 6.9 SR yang terasa hingga ke batas Jakarta.
Dengan demikian dapat diupayakan mitigasi keseluruhan wilayah untuk mengurangi dampak yang terjadi pada periode ulang gempa berikutnya. Dan tingkatkan kewaspadaan dini karena sesungguhnya Jawa Barat itu dalam kepenatan gempa bagi kota di sekitarnya.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geofer
Dipublikasi Harian ANALISA MEDAN, 23 DESEMBER 2017

No comments:

Post a Comment

Related Posts :