Feb 12, 2018

Sumut Harus Tangguh Investasi Bencana Lingkungan

Sumut Harus Tangguh Investasi Bencana Lingkungan


Oleh: M. Anwar Siregar.
Sumatera Utara masih diprediksi meng­hadapi ancaman bencana lingku­ngan strategis, yang diprediksi berasal dari kegempaan besar tsunami dahsyat ke­dua dari wilayah Pantai Barat Sumatera di Mentawai menjadi an­caman yang meng­hancurkan kota-kota di Sumut. Yang patut dikhawatirkan adalah bila pusat gempa bumi berada di bawah Selat Men­tawai. Hal itu akan memicu tsunami be­sar yang mengancam Pantai di Teluk Ta­panuli yang berkontur datar dan tidak ter­lindungi oleh sistim perisai lingkungan hijau berlapis.
 
ilustrasi
Harus Siap

Sumut belum siap dan belum memper­siap­kan tatanan kehidupan kota berbasis ben­cana lingkungan terutama belum siap untuk mewaspadai megathrust dari Men­tawai dimasa mendatang, sebab bencana yang kecil saja seperti bencana banjir dan gerakan tanah belum mampu diatasi dan akan terus berlanjut karena masih ada energi stress yang belum dilepaskan di Utara di Pulau Pagai dan Sipora atau Si­berut yang berdekatan dengan zona ke­­gempaan besar Nias dan mengingat po­sisi blok Patahan Enggano-Mentawai ber­ada tepat di tengah-tengah zona sub­duksi yang dapat meng­hasilkan ke­gem­paan strategis luar biasa. Sudah siapkah kita? Harus sudah diimplementasikan da­lam pembangunan ketataruangan in­vestasi lingkungan yang tangguh ben­cana, serta peningkatan kewaspadaan dini untuk menjaga investasi lingkungan hijau yang sangat mahal.
Investasi Lingkungan
Untuk menjaga investasi properti tata ruang kehidupan yang lebih baik dari se­ka­rang, maka kota-kota besar di Sumut harus lebih siap menata tata ruangnya se­suai de­ngan karakateristik geomor­fo­loginya de­ngan bertumpuh pada kajian geohazard dan geo­risk untuk meminima­li­sasi bencana, bah­wa pelajaran bencana tata ruang ling­kungan terdahulu telah mem­berikan gam­baran kehancuran sa­rana infrastruktur lebih disebabkan oleh peletakan tata ruang berada da­lam radius an­caman gempa, letusan gu­­nung­api, ban­jir dan gerak­an tanah atau te­­patnya berada da­lam kawasan zona pa­tahan gempa bumi yang memiliki dis­ta­bi­li­tas tanah yang lembek, contohnya untuk kota Padangsidimpuan dan Sipirok berada dalam sub segmen patahan Toru-Ang­kola bagian dari pa­tahan Sumatera dan jalur vulkanik, begitu juga Tanah Karo dan Medan.
Dalam menjaga tata ruang investasi ling­kungan properti dan kawasan ling­ku­ngan industri di pesisir Sumut, be­be­rapa kota yang berada di kawasan pe­sisir de­ngan 4-5 jenis ber­ba­gai an­ca­man ben­cana harus memadukan aspek tek­nologi de­teksi dini gempa (early ear­thquaked warning), tsunami serta vul­kanik seische dan teknologi kanal banjir ki­riman. Sedangkan dalam pembagian wi­layah sistim peri­ngatan dini untuk ber­bagai jenis bencana di Sumut dapat dibagi da­lam tiga zona penyebaran di bagian ba­rat dengan pusat utama di Gunung Si­toli dan Sibolga, bagian tengah di pu­satkan di Parapat ataupun di kawasan Ta­nah Karo karena ada beberapa gunung api dan tiga segmen patahan berdekatan de­ngan dua danau kawah terbesar serta di ba­gian timur dipusatkan di Medan atau Deli Serdang.
Khusus di Pulau Nias sebaran tek­no­logi deteksi gempa dan tsunami harus ter­sebar 7 wilayah yaitu utara, barat, se­latan, timur Nias serta di Pulau Tello, Pulau Tanah Masa dan Pulau Sigintan, sistim harus berlapis mulai dari peralatan GPS, sensor broakbank, pemrosesan data, riset penelitian dan perisai pemecah ge­lombang alamiah dan buatan harus ada dal­am radius 15 km di lokasi bekas ke­ja­dian gempa dan zona patahan maupun pusat tumbukan antar lempeng di lautan hing­ga menuju ke daratan dan terintegrasi de­ngan EWS di Daratan Sumut. Hingga tu­lisan ini di buat, tata ruang untuk tek­no­­logi perlindungan tersebut belum dite­rap­­kan secara maksimal dan sebagian juga sudah ada rusak dan dicuri.
Pusat pengumpulan dan penelitian pe­ru­bahan anomali kelautan seharusnya te­lah lengkap di pelabuhan laut Sumut agar data EWS tersebar cepat dan real time, stasiun peng­amatan pasang surut air laut diberbagai pelabuhan Sumut ha­rus ditingkatkan lagi karena jumlahnya ma­sih terbatas termasuk di pelabuhan be­­sar Belawan dan pusat pertum­buhan ka­­wasan industri baru seperti Sei Mang­ke, pemerintah Sumut harus terus me­revisi data dan memonitoring perala­tan diberbagai instansi terkait dengan sis­tim kebencanaan ling­kungan yang di se­ner­gis­kan dengan penempatan tata ruang hu­nian jauh dari ancaman bencana geo­logi dan klimatologi.
Setiap daerah Kota/Kabupaten di Nias dan Sumut harus terdapat 15-25 seismo­graf gempa dan vulkanik bukan dalam jum­lah 2-3 seismograf, memiliki 15 pusat sta­siun sensor broadbank di darat dan ke­pulauan, infrastruktur fisik jalan-jem­batan harus tahan gempa dengan peredam gun­cangan disisi badan dan jembatan di dae­rah di pesisir pantai dan kepulauan Nias, sedangkan di daerah pegunungan ha­rus di tambahkan dengan disertakan dae­rah jalan alternatif tidak jauh dari zona jalan arteri, tidak berada dalam ra­dius 25 km zona patahan bumi sebagai upa­ya zonasi rehabilitasi dan penambah­an kekuatan struktur bangunan yang telah ada (refrofit),
Menjaga barang investasi berharga se­perti perumahan, arsip negara, pusat per­dagangan bisnis dan pendidikan-ke­sehatan sangat penting dalam mengu­rangi jumlah kerugian dan menekan biaya re­konstruksi dapat diupayakan melalui pe­metaan daerah kegempaan lokal untuk ba­sis aturan zonasi rehabilitasi keruangan seb­agai agunan masa depan tata ruang yang harus tersedia dan dipatuhi. Daerah tata guna lahan lingkungan yang telah meng­alami bencana gempa dan letusan gu­nungapi sebaiknya difungsikan se­bagai daerah rehabilitasi pertanian dalam jangka tertentu sebagai upaya penekanan laju kerusakan lingkungan serta tindakan pencegahan kekurangan sandang pangan atau ketahanan pangan berkelanjutan.
Pemetaan dan perlindungan zonasi dae­­rah wisata sebagai investasi devisa ha­­rus telah tersedia peta daerah aman bagi lintasan jalur logistik serta taman depo ketahanan bencana dan jalur lin­tas­an evakuasi yang jelas, Kota/Kabu­pa­ten yang memiliki keunggulan wisata per­airan pantai, kelautan dan panorama pe­gu­nungan sebaiknya menjadikan zona ter­besar wisata alam itu sebagai keseim­ba­ngan lingkungan daerah tangkapan air ber­sih dengan menekan laju spasial inte­rior bangunan raksasa dengan mem­per­siap­kan sebagian besar menjadi kawasan khusus taman hijau, daerah siklus air dan bio-geodiversity, yang akan meng­gam­bar­kan wilayah itu sebagai paru-paru alam, menekan ancaman berat terhadap ke­­anekaragaman hayati secara global dengan dipadukan dengan sistim sirene lokal di berbagai tempat di setiap kota ke­camatan dalam satu kabupaten. Tata ruang lingkungan wisata ini dapat dimulai dari Pesisir pantai Barat Sumatera di Nias, Tapteng dan Timur dari Langkat hing­­ga Belawan.
Yang terakhir dan sangat berperan pen­ting dalam jalur investasi bencana ling­­kungan adalah kesiapsiagaan masya­rakat lebih intensif dengan meningkatkan pe­latihan mitigasi Tim Rescue atau SAR dan masyarakat secara berkala 4 kali da­­lam setahun maupun pusat penyebaran in­formasi dan komunikasi pada interval 10 km dalam tiap kecamatan. Pe­ning­kat­an pelatihan sebagai upaya menekan laju kehi­langan sumber daya manusia yang berkualitas, sumber daya manusia di Sumut termasuk paling rentan meng­alami korban akibat bencana alam.
Karena itu, bahwa gambaran bencana lingkungan setiap tahun belum mencer­min­kan kemampuan pemerintah daerah di Sumut mengendalikan kehancuran tata ruang infrastruktur lingkungan serta pe­latihan bencana lingkungan masih belum op­timal sehingga masih akan ada banyak kor­ban bencana. Sejujurnya, sebenarnya Su­mut belum siap menghadapi  “tan­ta­ngan” Mentawai sebelum tahun 2033 atau bencana banjir kecil di masa men­datang dan mungkin lebih cepat terja­di?.***
Penulis adalah Pemerhati Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer.
Dipublikasi di HARIAN ANALISA MEDAN, 27 JANUARI 2018

No comments:

Post a Comment

Related Posts :