May 14, 2013

Sumut Belum Tangguh : Geologi Disaster

SUMUT BELUM TANGGUH MENGHADAPI BENCANA
Oleh M. Anwar Siregar

Ketika terjadi bencana lingkungan, masyarakat mudah mengalami kepanikan, mudah termakan isu-isu akan terjadinya bencana gempa dan tsunami, tingkat kesadaran masyarakat ketika terjadi bencana masih sangat rendah, sehingga situasi tersebut mudah dimanfaatkan oknum yang tidak bertanggung jawab, menimbulkan euphoria ketakutan dan masing-masing tidak ada lagi rasa solidaritas, semuanya ingin menyelamatkan diri dan malas belajar untuk memahami mitigasi dan kearifan alam, sosialisasi daerah bencana serta simulasi bencana jadinya tidak sesuai yang diharapkan.
ANCAMAN MENTAWAI

Siapkah masyarakat Sumut dalam menghadapi kegetiran bencana yang lebih dahsyat, dalam menghadapi alam keganasan gempa dari seberang pulau Sumatera melalui getaran seismik dengan sentakan keras dentuman di dalam bumi bagaikan gebukan drummer oleh Lempeng Indo-Australia (yang membenturkan) ke tubuh Lempeng Sumatera (Eurasia) yang dianggap sebagai yang “digebuk”, sebagai persembahan pahit dari Mentawai?
Gempa Sumatera Barat 30 September 2009, gempa Mentawai Oktober 2010,  gempa Simeulue Januari 2012 dan gempa Pidie Januari 2013 merupakan gempa dengan titik bidik yang lebih kuat di tujukan ke tata ruang kota-kota besar di Sumatera Utara di bagian barat yang memiliki kontur topografi yang rendah dimasa mendatang. Dalam rentang empat tahun kejadian gempa, ancaman gempa Mentawai belumlah final, melainkan masih dalam taraf pemanasan, diperkirakan sebelum tahun 2033, siklus pelepasan energi yang hebat sebenarnya menunggu waktu, Dengan kata lainnya, periode kegempaan di Mentawai relatif masih ada karena kemampuan menyimpan energi lebih tinggi. Yang terendah adalah kepulauan Batu diantara Nias dan Siberut dengan daya menahan dibawah 30 persen. Karena daerah itu tidak ada pengumpulan energi gempa. Ini ditunjukkan oleh frekuensi gempa yang banyak namun intensitas rendah.
BELUM TANGGUH
Dalam rentang waktu itu pemerintah kota/kabupaten di Sumatera Utara sebaiknya mempersiapkan tata ruang pesisir yang berbasis kegempaan lokal dan sudah seharusnya meningkatkan kewaspadaan dini karena masih ada waktu, sebab setiap berulang gempa besar di Patahan Mentawai maka ada efek relaksasi bumi yang berupa pengangkatan pulau di Sumatera dan penurunan permukaan pantai ataupun batimetri kelautan pulau-pulau vulkanik di utara Mentawai atau juga pengangkatan pulau Mentawai itu sendiri mencapai sekitar 2 meter.
Lihatlah dampaknya dimasa kini sebagai gambaran di masa mendatang, dimana-mana dalam tata ruang lingkungan dalam suatu kota di Sumut mudah ditemukan “kubangan banjir”, ancaman penggusuran dan “tata ruang kumuh”, lokasi penyakit lingkungan, kebakaran, longsoran tanah dan lain-lain. Jadinya Sumut sepertinya akan mengikuti Sumbar sebagai “ladang korban maut yang besar”,
Bila dilihat dari sebaran jumlah penduduk yang mendiami Pantai Barat Sumatera, maka urutan teratas dalam jumlah korban besar di mulai dari Kota Padang dengan penduduk yang padat (900 ribu jiwa) memiliki resiko yang sangat tinggi jika tsunami besar terjadi. Bandingkan dengan populasi Aceh sebelum tsunami yang kira-kira 400 ribu jiwa dimana pada tahun 2004 gempa berkekuatan 9.2 membangkitkan tsunami dan menelan korban jiwa hampir 130 ribu orang. Lalu disusul Kota di Sibolga-Tapteng dengan kepadatan penduduk telah mencapai lebih 300.000 jiwa, kota di Kabupaten Mandailing Natal dengan kepadatan penduduk mencapai 150 ribu jiwa, kota di Punggung Bukit Barisan hingga menurun ke Pantai Timur Sumatera mencapai 7 juta jiwa lebih. Jangan menunggu bencana datang, siapkan tata ruang tangguh sekarang.
KEARIFAN MASYARAKAT
Berbagai kasus bencana akibat keteledoran dan tumpah tindih kelembagaan riset serta kemampuan sumber daya manusia dalam mengimpulsasikan serta mengimplementasikan perencanaan pembangunan tata ruang masih diperparah juga oleh perilaku esensi sikap kritis para elite dalam memahami berbagai persoalan bancana yang melanda bangsa ini terutama menyangkut sikap dalam pemahaman kondisi lokal yang berhubungan kondisi lingkungan yang belum juga menjadi bagian dari religiusitas kehidupan karena masih ada saja masyarakat beranggapan bahwa lingkungan hutan dan laut bumi dapat kembali ke wujud semula.
Masyarakat Sumatera Utara masih perlu diingatkan dan sadarkan untuk memahami kearifan alam bahwa mereka tinggal di kawasan yang rentan bencana, kearifan masyarakat sangat diperlukan terutama mengubah kultur atau budaya yang harus diarahkan agar masyarakat saip-siaga terhadap bencana alam. Masyarakat Sumut harus menyingkapi hal tersebut secara serius ancaman bahaya gempa dan tsunami serta banjir karena posisi Indonesia yang rentan bencana alam. Masyarakat Sumut harus memahami juga standar prosedur tetap jika tinggal di kawasan rawan bencana. Namun hal ini belum menunjukan budaya siaga bencana, dengan kata lainnya masyarakat Sumut belum tangguh menghadapi berncana alam.
SOP MANDIRI
Pemberdayaan masyarakat dengan tujuan agar masyarakat selalu siap dan waspada apabila sewaktu-waktu terjadi bencana sangat penting. Masyarakat publik Sumut perlu dipersiapkan secara berkala agar benar-benar siap-siaga terhadap bencana dan salah satunya dengan cara melakukan pelatihan. Dan menyusun suatu program SOP dan edukasi massal, apa itu gempa (dan bencana alam lainnya), bagaimana mitigasi bencana, serta apa-apa yang harus dilakukan. Edukasi ini mulai dilakukan di tingkat sekolah dasar sampai dengan pendidikan tinggi. Jika ini dilakukan, maka akan memberikan kesadaran kolektif, serta kompetensi kolektif kepada masyarakat mengenai mitigasi bencana, dan ujung-ujungnya jika terjadi bencana, jumlah korban bisa diminimalkan.
Pemerintah daerah Sumut seharusnya sudah membiasakan masyarakatnya berlatih dan simulasi bencana 4 kali per triwulan dan bukan 1 kali dalam setahun, bertujuan mengendalikan kepanikan dan isu-isu bisa diredam. Hal ini menyebab kenapa masih banyak masyarakat belum tergerak untuk proaktif mengikuti program pelatihan simulasi bencana dan banyak belum patuh pada ketaatan terhadap daerah bencana yang sudah disosialisasikan, lihatlah pemaksaan masyarakat pada evakuasi letusan gunung berapi dan diakibatkan juga oleh ketidakadaan SOP mandiri dan kontigensi planning gunungapi.
Pemerintah di tiap Kabupaten di Sumatera Utara ternyata banyak belum memiliki standart operating procedure [SOP] atau standar prosedur tetap [protap] koordinasi dalam mitigasi berbagai bencana alam dan penataan ruang yang berwawasan lingkungan, RTRW yang ada juga belum menyesuaikan kondisi existing yang sebenarnya dengan kondisi karakteristik geologi tiap daerah di Sumut. Sumut termasuk sekian propinsi di Indonesia tidak memiliki standar baku SOP baik untuk gempa, tsunami, letusan  gunungapi, gerakan tanah dan banjir.
RESCUE SAR
Di Jepang, pengenalan tsunami dan latihan cara menyelamatkan diri berlangsung teratur di sekolah dan kelompok masyarakat, tetapi di Indonesia tidak berlaku dan jarang diadakan secara kontinu, yang ada terasa seperti acara seremonial yang banyak menghabiskan waktu dan dana yang sebenarnya sangat berguna untuk mengantisipasi berbagai jenis bencana geologi. Hal ini menyebabkan mengapa begitu banyaknya korban gempa masih terjadi sehingga bumi Indonesia masih bergelimangan nyawa yang meninggal dengan kesedihan yang luar biasa.
Pelatihan mitigasi berbasis masyarakat adalah pelatihan yang dapat dimanfaatkan dan diikutkan serta dalam kelompok yang lebih luas di mulai dari tingkatan terbawah yaitu keluruhan atau Desa yang berdekatan di lokasi daerah rawan bencana, pembiayaan Tim rescue atau SAR dapat dilakukan secara mandiri atau swadaya dalam meningkatkan pengetahuan sumber daya masyarakat untuk meningkatkan kapasitas daya tahan dalam menghadapi bencana dengan koordinasi dan terstruktur dengan jelas di BNPB atau BPBD untuk mengatasi permasalahan mitigasi bencana baik dari segi aturan kontigensi SOP maupun penyelamatan koordinasi, sehinggga akan tergambarkan sebuah perencanaan dan koordinasi SOP mandiri di lapangan. Hal ini juga dapat menekan korban apabila bantuan SAR belum tiba dan mengupayakan kelancaran tim SAR jika tiba di lapangan.
Ada baiknya masyarakat Sumut meningkatkan kualitas diri melalui berbagai pengatahuan dan mendorong pemerintah meningkatkan pengetahuan mitigasi, SOP, dan pengenalan EWS agar tidak “gagap” dalam menghadapi bencana. Sumut benar-benar belum tangguh menghadapi bencana unirversal.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer, Diterbitkan HARIAN ANALISA MEDAN, Maret 2013

No comments:

Post a Comment

Related Posts :