Sumut Belum Tangguh : Geologi Disaster
SUMUT
BELUM TANGGUH MENGHADAPI BENCANA
Oleh
M. Anwar Siregar
Ketika terjadi bencana lingkungan, masyarakat
mudah mengalami kepanikan, mudah termakan isu-isu akan terjadinya bencana gempa
dan tsunami, tingkat kesadaran masyarakat ketika terjadi bencana masih sangat
rendah, sehingga situasi tersebut mudah dimanfaatkan oknum yang tidak
bertanggung jawab, menimbulkan euphoria ketakutan dan masing-masing tidak ada
lagi rasa solidaritas, semuanya ingin menyelamatkan diri dan malas belajar
untuk memahami mitigasi dan kearifan alam, sosialisasi daerah bencana serta
simulasi bencana jadinya tidak sesuai yang diharapkan.
ANCAMAN MENTAWAI
Siapkah masyarakat
Sumut dalam menghadapi kegetiran bencana yang lebih dahsyat, dalam menghadapi alam
keganasan gempa dari seberang pulau Sumatera melalui getaran seismik dengan
sentakan keras dentuman di dalam bumi bagaikan gebukan drummer oleh Lempeng
Indo-Australia (yang membenturkan) ke tubuh Lempeng Sumatera (Eurasia) yang
dianggap sebagai yang “digebuk”, sebagai persembahan pahit dari Mentawai?
Gempa Sumatera
Barat 30 September 2009, gempa Mentawai Oktober 2010, gempa Simeulue Januari 2012 dan gempa Pidie Januari
2013 merupakan gempa dengan titik bidik yang lebih kuat di tujukan ke tata
ruang kota-kota besar di Sumatera Utara di bagian barat yang memiliki kontur
topografi yang rendah dimasa mendatang. Dalam rentang empat tahun kejadian
gempa, ancaman gempa Mentawai belumlah final, melainkan masih dalam taraf
pemanasan, diperkirakan sebelum tahun 2033, siklus pelepasan energi yang hebat
sebenarnya menunggu waktu, Dengan kata lainnya, periode kegempaan di Mentawai
relatif masih ada karena kemampuan menyimpan energi lebih tinggi. Yang terendah
adalah kepulauan Batu diantara Nias dan Siberut dengan daya menahan dibawah 30
persen. Karena daerah itu tidak ada pengumpulan energi gempa. Ini ditunjukkan
oleh frekuensi gempa yang banyak namun intensitas rendah.
BELUM TANGGUH
Dalam rentang
waktu itu pemerintah kota/kabupaten di Sumatera Utara sebaiknya mempersiapkan
tata ruang pesisir yang berbasis kegempaan lokal dan sudah seharusnya
meningkatkan kewaspadaan dini karena masih ada waktu, sebab setiap berulang
gempa besar di Patahan Mentawai maka ada efek relaksasi bumi yang berupa
pengangkatan pulau di Sumatera dan penurunan permukaan pantai ataupun batimetri
kelautan pulau-pulau vulkanik di utara Mentawai atau juga pengangkatan pulau
Mentawai itu sendiri mencapai sekitar 2 meter.
Lihatlah dampaknya
dimasa kini sebagai gambaran di masa mendatang, dimana-mana dalam tata ruang
lingkungan dalam suatu kota di Sumut mudah ditemukan “kubangan banjir”, ancaman
penggusuran dan “tata ruang kumuh”, lokasi penyakit lingkungan, kebakaran,
longsoran tanah dan lain-lain. Jadinya Sumut sepertinya akan mengikuti Sumbar
sebagai “ladang korban maut yang besar”,
Bila dilihat dari
sebaran jumlah penduduk yang mendiami Pantai Barat Sumatera, maka urutan
teratas dalam jumlah korban besar di mulai dari Kota Padang dengan penduduk
yang padat (900 ribu jiwa) memiliki resiko yang sangat tinggi jika tsunami
besar terjadi. Bandingkan dengan populasi Aceh sebelum tsunami yang kira-kira
400 ribu jiwa dimana pada tahun 2004 gempa berkekuatan 9.2 membangkitkan
tsunami dan menelan korban jiwa hampir 130 ribu orang. Lalu disusul Kota di
Sibolga-Tapteng dengan kepadatan penduduk telah mencapai lebih 300.000 jiwa,
kota di Kabupaten Mandailing Natal dengan kepadatan penduduk mencapai 150 ribu
jiwa, kota di Punggung Bukit Barisan hingga menurun ke Pantai Timur Sumatera
mencapai 7 juta jiwa lebih. Jangan menunggu bencana datang, siapkan tata ruang
tangguh sekarang.
KEARIFAN MASYARAKAT
Berbagai kasus
bencana akibat keteledoran dan tumpah tindih kelembagaan riset serta kemampuan
sumber daya manusia dalam mengimpulsasikan serta mengimplementasikan
perencanaan pembangunan tata ruang masih diperparah juga oleh perilaku esensi
sikap kritis para elite dalam memahami berbagai persoalan bancana yang melanda
bangsa ini terutama menyangkut sikap dalam pemahaman kondisi lokal yang
berhubungan kondisi lingkungan yang belum juga menjadi bagian dari religiusitas
kehidupan karena masih ada saja masyarakat beranggapan bahwa lingkungan hutan
dan laut bumi dapat kembali ke wujud semula.
Masyarakat Sumatera Utara masih perlu diingatkan
dan sadarkan untuk memahami kearifan alam bahwa mereka tinggal di kawasan yang
rentan bencana, kearifan masyarakat sangat diperlukan terutama mengubah kultur
atau budaya yang harus diarahkan agar masyarakat saip-siaga terhadap bencana
alam. Masyarakat Sumut harus menyingkapi hal tersebut secara serius ancaman bahaya
gempa dan tsunami serta banjir karena posisi Indonesia yang rentan bencana
alam. Masyarakat Sumut harus memahami juga standar prosedur tetap jika tinggal
di kawasan rawan bencana. Namun hal ini belum menunjukan budaya siaga bencana,
dengan kata lainnya masyarakat Sumut belum tangguh menghadapi berncana alam.
SOP MANDIRI
Pemberdayaan masyarakat dengan tujuan agar
masyarakat selalu siap dan waspada apabila sewaktu-waktu terjadi bencana sangat
penting. Masyarakat publik Sumut perlu dipersiapkan secara berkala agar benar-benar
siap-siaga terhadap bencana dan salah satunya dengan cara melakukan pelatihan.
Dan menyusun suatu program SOP dan edukasi massal,
apa itu gempa (dan bencana alam lainnya), bagaimana mitigasi bencana, serta
apa-apa yang harus dilakukan. Edukasi ini mulai dilakukan di tingkat sekolah dasar
sampai dengan pendidikan tinggi. Jika ini dilakukan, maka akan memberikan
kesadaran kolektif, serta kompetensi kolektif kepada masyarakat mengenai
mitigasi bencana, dan ujung-ujungnya jika terjadi bencana, jumlah korban bisa diminimalkan.
Pemerintah daerah Sumut seharusnya sudah
membiasakan masyarakatnya berlatih dan simulasi bencana 4 kali per triwulan dan
bukan 1 kali dalam setahun, bertujuan mengendalikan kepanikan dan isu-isu bisa
diredam. Hal ini menyebab kenapa masih banyak masyarakat belum tergerak untuk
proaktif mengikuti program pelatihan simulasi bencana dan banyak belum patuh
pada ketaatan terhadap daerah bencana yang sudah disosialisasikan, lihatlah
pemaksaan masyarakat pada evakuasi letusan gunung berapi dan diakibatkan juga
oleh ketidakadaan SOP mandiri dan kontigensi planning gunungapi.
Pemerintah di tiap Kabupaten di Sumatera Utara
ternyata banyak belum memiliki standart operating procedure [SOP] atau standar
prosedur tetap [protap] koordinasi dalam mitigasi berbagai bencana alam dan
penataan ruang yang berwawasan lingkungan, RTRW yang ada juga belum
menyesuaikan kondisi existing yang sebenarnya dengan kondisi karakteristik
geologi tiap daerah di Sumut. Sumut termasuk sekian propinsi di Indonesia tidak
memiliki standar baku SOP baik untuk gempa, tsunami, letusan gunungapi, gerakan tanah dan banjir.
RESCUE SAR
Di Jepang,
pengenalan tsunami dan latihan cara menyelamatkan diri berlangsung teratur di
sekolah dan kelompok masyarakat, tetapi di Indonesia tidak berlaku dan jarang
diadakan secara kontinu, yang ada terasa seperti acara seremonial yang banyak
menghabiskan waktu dan dana yang sebenarnya sangat berguna untuk mengantisipasi
berbagai jenis bencana geologi. Hal ini menyebabkan mengapa begitu banyaknya korban
gempa masih terjadi sehingga bumi Indonesia masih bergelimangan nyawa yang
meninggal dengan kesedihan yang luar biasa.
Pelatihan mitigasi
berbasis masyarakat adalah pelatihan yang dapat dimanfaatkan dan diikutkan
serta dalam kelompok yang lebih luas di mulai dari tingkatan terbawah yaitu
keluruhan atau Desa yang berdekatan di lokasi daerah rawan bencana, pembiayaan
Tim rescue atau SAR dapat dilakukan secara mandiri atau swadaya dalam meningkatkan
pengetahuan sumber daya masyarakat untuk meningkatkan kapasitas daya tahan
dalam menghadapi bencana dengan koordinasi dan terstruktur dengan jelas di BNPB
atau BPBD untuk mengatasi permasalahan mitigasi bencana baik dari segi aturan
kontigensi SOP maupun penyelamatan koordinasi, sehinggga akan tergambarkan sebuah
perencanaan dan koordinasi SOP mandiri di lapangan. Hal ini juga dapat menekan
korban apabila bantuan SAR belum tiba dan mengupayakan kelancaran tim SAR jika
tiba di lapangan.
Ada baiknya
masyarakat Sumut meningkatkan kualitas diri melalui berbagai pengatahuan dan
mendorong pemerintah meningkatkan pengetahuan mitigasi, SOP, dan pengenalan EWS
agar tidak “gagap” dalam menghadapi bencana. Sumut benar-benar belum tangguh
menghadapi bencana unirversal.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan
Energi-Geosfer, Diterbitkan HARIAN ANALISA MEDAN, Maret 2013
Komentar
Posting Komentar