Aug 14, 2013

Non Fosil Terabaikan

POTENSI ENERGI NON FOSIL TERABAIKAN
Oleh : M. Anwar Siregar

Sepanjang sejarah, pertumbuhan penduduk dan perkembangan teknologi telah menuntut ditingkatkannya persediaan energi. Dewasa ini kebutuhan energi di Indonesia dari non fosil masih terkendala produksi massal dan pemakaiannya masih sangat terbatas. Pemakaian dan pemanfaatan keunggulan energi non fosil sangat dibutuhkan dalam mengurangi ketergantungan pada energi minyak dan gas bumi yang semakin menurun tingkat produksi dan cadangannya di Indonesia.
Selain itu, kemampuan teknologi pemboran minyak di Indonesia masih menggunakan teknologi yang terbatas karena menyangkut kemampuan SDM yang ada juga masih terbatas sehingga kemampuan menemukan sumber minyak, dan gas bumi [migas] yang lebih besar dari yang ada sebelumnya juga semakin terbatas sehingga produksi minyak cenderung menurun dalam lima tahun terakhir, dan final sebagai negara pengimpor migas terbesar Asia Tenggara dengan kebutuhan pasokan BBM telah mencapai diatas 1,5 juta per barrel.
AGAR SEHAT
Bahan bakar minyak bersubsidi telah lama merugikan perekonomian Indonesia yang dilakukan oleh kebijakan Pemerintah Indonesia dengan dalih melakukan penghematan itu tidak menghasilkan kompensasi menyejahterakan kehidupan masyarakat, oleh pengamatan sosial justrunya memberikan kemanjaan, rasa malas berinovasi dan terlalu berharap tanpa mau berusaha keras, seringkali dapat menimbulkan gejolak ditengah masyarakat sebenarnya dapat dihilangkan atau disembuhkan melalui berbagai upaya pendekatan pengurangan subsidi BBM yaitu diversifikasi energi, melakukan konservasi energi, efisiensi sistim infrastruktur penyediaan BBM serta menguranginya lamanya kebijakan harga energi nasional.
Harus ada strategi untuk menekan laju pemakaian energi fosil [minyak, solar, gas dan batubara] dengan mengubah manajemen energi yang ada pada kebijakan pemerintah di sektor energi. Berbagai upaya dapat dilakukan antara lain penghapusan subsidi dengan meregulasi energi non fosil yang masih terabaikan secepatnya dengan memberikan intensif keringanan pajak agar terlaksana investasi pembangunan pusat-pusat distribusi energi bahan bakar terbarukan, menekan penghapusan liberalisasi UU minyak dan gas bumi [migas] tahun 2001, memperkuatkan industri pertambangan dan energi dalam negeri dengan memberikan kemudahan investasi energi serta kebebasan pemakaian berbagai jenis energi alternatif bagi kalangan industri produktif dalam negeri yang banyak melibatkan tenaga kerja dengan harga murah dan ketat dalam pengawasan terhadap aktivitas ke lingkungan.
POTENSI TERABAIKAN
Migas memainkan peranan penting dalam menjaga keseimbangan ekonomi Indonesia ketika menghadapi krisis ekonomi sebagai pilar utama penyumbang terbesar devisa yang mendorong juga pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum mengalami krisis ekonomi pada tahun 1970an hingga ke dekade tahun 1990-an.
Memasuki millenium ke tiga abad 21, sumber daya energi di Indonesia semakin stagnan akibat berbagai kebijakan di seketor energi oleh dorongan dan tekanan kapitalisme, salah satu bentuk karya yang sangat merugikan Indonesia adalah UU Migas No. 22 tahun 2001, mempersempit kekuatan bangsa dalam penguasaan sumber-sumber migas dengan munculnya kekuatan asing menguasai hayat hidup negeri ini hingga mencapai 80 persen di sektor hulu migas, dan mendekati 70 persen di sektor hilir non pertambangan dan energi.
Pemerintah jangan mengabaikan keunggulan potensi sumber daya energi alternatif non fosil yang di bagi tiga jenis antara lain, energi alam terbarukan misalnya panas bumi 27.000 MG, energi surya, energi air, energi gelombang. Energi nabati/biofuel antara lain biodiesel, bioetanol yang setiap tahun menghasil 415 ribu ton/tahun dari pabrik gula, jagung diatas 1 juta ton /tahun dan belum lagi hasil perkebunan lainnya, dan biomassa yang dapat dihasilkan setiap tahun160 miliar ton/tahun dari areal pertanian dan 80 miliar ton /tahun dari areal perhutanan. Energi non nabati atau energi cair seperti energi sampah, energi katalis lempung.
Semua energi tersebut adalah energi hijau yang tidak akan pernah habis dan termasuk energi yang dapat dibudidayakan [energi nabati], dan merupakan pilihan yang tepat bagi kondisi lingkungan Indonesia sebagai negara penghasil CO2 terbesar di dunia dan berusaha menjaga ancaman ekologi global oleh efek CO2 yang dikenal sebagai pemicu polusi udara ke geosfer.
Dimasa mendatang, energi non fosil sebagai pilar utama kekuatan dan ketahanan bangsa dalam menghadapi berbagai gejolak ekonomi energi dan pembentuk karakter bangsa yang selalu memanfaatkan keunggulan sumber daya alamnya. Sebab, kondisi lahan dan iklim yang sangat mendukung faktor keberhasilan pembangunan energi karena Indonesia adalah negara agraris dan kehutanan maka harus diversifikasi dan dikonservasi sebagai energi unggulan kedepan dan bukan lagi energi terpinggirkan ataupun dialternatifkan.

M. Anwar Siregar
Geologist-Enviromentalist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer. Publikasi Khusus Blog. Tgl 14 Agustus 2013.

Pertambangan Hijau Berbasis Local Genius: Geologi Recources


PERTAMBANGAN HIJAU BERBASIS LOCAL GENIUS
Oleh M. Anwar Siregar

Gambar : Dua wanita lokal sedang berdialog, menunjukkan wanita bisa kerja di "dunia laki-laki", dalam pertambangan emas di Batang Toru Tapanuli Selatan (Dok Foto Penulis, 2012)
Sudah saatnya perusahaan pertambangan dan energi di Indonesia mengubah perilaku yang mementingkan bisnis semata dengan mengumandangkan konsep kualitas lingkungan hijau berkelanjutan, perilaku ekonomi berbasis dan budaya masyarakat setempat.
PERMASALAHAN
Peranan utama pertambangan dan energi di dalam pembangunan di Indonesia sangat penting, usaha yang ditujukan pada pengembangan dan penggunaan energi, bahan bakar fosil mendominasi kebutuhan energi di Indonesia telah mencapai 82 persen ke tahun 2009, jumlah kebutuhan BBM akan semakin meningkat tajam jika deregulasi energi alternatif dalam bentuk produk massal masih diabaikan maka pertumbuhan akan permintaan sumber daya energi terhadap maju pesatnya perkembangan industri dan masyarakat, mengakibatkan ketimpangan distribusi global dalam memenuhi kebutuhan konsumsi energi primer di Indonesia, dan semakin parah apabila tidak dibarengi oleh peningkatan kualitas industri pertambangan energi terhadap berbagai permasalahan dengan kondisi lingkungan.
Permasalahan dunia pertambangan di Indonesia sangat kompleks terutama terhadap kondisi lingkungan serta pasokan dan kebutuhan energi primer, semakin diperberat lagi oleh posisi target lifting migas, pertumbuhan ekonomi, asumsi harga minyak, elastisitas energi, dan subsidi BBM dalam APBN yang sangat menentukan ekonomi negara kita. Sebagai contoh, setiap penurunan produksi minyak dalam orde ribuan barrel per hari dari asumsi dalam APBN dapat menyebabkan defisit anggaran dalam orde ratusan milyar rupiah.
Sedangkan permasalahan energi di Indonesia meliputi ketergantungan yang masih tinggi pada minyak bumi, penggunaan Energi Baru Terbarukan yang belum optimal, peluang terjadi berbagai kendala kerusakan lingkungan berdampak pada pencemaran udara oleh kelompok gas-gas karbondioksida dari pembakaran bahan bakar fosil menyebabkan perubahan iklim akibat adanya efek rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfir dari industri pertambangan, kerusakan tata ruang air permukaan dan bawah permukaan, serta kualitas penjernihan. Resiko yang ditimbulkan oleh kerusakan dan kecelakaan industri pertambangan dan energi seperti dampak kebakaran reaktor energi nuklir ataupun kebocoran kilang migas.
EFEK LIMBAH AIR
Air limbah pertambangan memberikan efek dan gangguan buruk baik terhadap manusia maupun lingkungan. Efek buruk dan gangguan antara lain gangguan terhadap kesehatan, keindahan dan benda. Beberapa efek zat kimia dari pencemaran air limbah pertambangan dan rumah tangga yang dapat menyebabkan pengaruh negatif bagi kehidupan antara lain : Amoniak dalam konsentrasi 0.3 ppm dapat mengganggu penurunan kandungan oksigen dalam darah. Nitrit yang mempunyai pengaruh yang dapat mengikat haemoglobin dalam darah dan akan menghambat perjalanan oksigen yang dibutuhkan dalam tubuh manusia. Sulfida, mempunyai pengaruh bau dan bersifat racun, nomor satu terbanyak ditemukan dalam sisa air limbah pengelolahan bahan pertambangan yang dibuang ke sungai, Chromium dan Fenol menyebabkan gangguan pada tubuh pada dosis 0.4 sampai 0.8 ppm, Chlorine mempunyai pengaruh terhadap sistim pernapasan dan selaput mata. Phosgenes mempunyai pengaruh gangguan tubuh berupa batuk-batuk dan gatal-gatal pada paru-paru serta Mercury yang dapat menyebabkan kondisi lingkungan tercemar, berbau dan merusak unsur-unsur kehidupan ekosistim air serta udara sekitarnya.
Masyarakat yang tinggal disekitar DAS maupun dihilir sungai wajib memahami hal ini, apabila sungai dianggap sebagai sumber kehidupan, harus memelihara, menjaga dan melestarikan dari bencana akibat sisa air limbah berbagai usaha industri pertambangan.
LINGKUNGAN HIJAU
Pada saat usia planet Bumi masih mudah, kondisi temperatur maupun kemampuannya untuk membersihkan diri berjalan secara wajar dan alamiah. Pencemaran lingkungan oleh letusan gunung api, badai dan pembusukan kimiawi dapat diatasi dengan sendirinya oleh alam. Namun sejak sekitar dua abad terakhir ini, komposisi atmosfer bumi mengalami perubahan yang sangat nyata sebagai akibat dari aktivitas manusia dipermukaan bumi. Aktivitas dimulai sejak revolusi industri mengenal dan menggunakan pemakaian bahan bakar fosil terutama penemuan besar-besaran lokasi bahan tambang batubara dengan laju yang sangat pesat untuk memenuhi kebutuhan manusia dan industri serta transportasi.
Gambar : Pertambangan sangan berkaitan dengan dunia hutan yang mengalami penggundulan, nampak daerah hutan yang sebelumnya merupakan lokasi hutan konservasi, saat ini telah direhabilitasi. (Dok. Foto Penulis, 2011)
Dunia pertambangan di Indonesia wajib memahami kondisi lingkungan, budaya dan sumber daya masyarakat bumi Indonesia sebagai upaya menekan konflik, konflik bisa juga diredam melalui pendekatan kebijakan ekonomi lingkungan hijau, yaitu memberikan kesempatan kepada masyarakat sekitar untuk meningkat taraf kehidupan ekonomi yang lebih baik melalui upaya partisipasi ekologi hijau selain pendidikan dan pelatihan ekonomi genius lokal antara lain : menyediakan bibit-bibit tumbuhan untuk rehabilitasi dan reklamasi pertambangan yang berkonstribusi sebagai penggerak ekonomi yang rendah karbon karena kita ketahui bahwa negeri kita adalah penghasil CO2 terbesar di dunia dan merupakan jantung paru paru bumi yang terbesar dan terpenting dimuka bumi.
Pembangunan pertambangan hijau adalah merupakan jawaban yang paling tepat dalam upaya untuk mencegah kerusakan lingkungan dan pembangunan yang berbasis masyarakat, dan merupakan salah satu cara mewujudkan keadilan bagi masyarakat ulayat dan merupakan kesadaran perusahaan pertambangan dalam memanfaatkan sumber-sumber daya terbatas secara berkelanjutan karena ekosistim bumi yang kita huni ini menanggung beban yang sangat berat akibat dari dampak pertambangan yang tidak berbasis lingkungan hijau, penipisan lapisan ozon yang membentuk lubang ozon di Antartika disebabkan oleh berbagai reaksi kimia antara polutan yang mengandung senyawa kimia yang dilepaskan ke udara.
EKONOMI LOCAL GENIUS
Untuk mengurangi dampak negatif dalam pembangunan pertambangan di Indonesia yang tidak menganut sistim pertambangan dan ekonomi hijau berbasis masayarakat pada kehidupan sosial lingkungan akan tumbuh kegagalan mekanisme produksi, penjualan, dan pasar akibat dua isyarat sederhana yaitu aspek kehidupan sosial dan budaya kearifan lokal yang menjadi sumber kehidupan masyarakat dimasa lalu ke masa sekarang.
Ekonomi local genius berbasis partisipasi masyarakat lokal dapat juga diupayakan melalui pendidikan dan pelatihan manajemen pengelolaan daur ulang sampah melalui sistim manajemen bank sampah, diklat bahan-bahan tambang sisa yang dapat didaur ulang oleh masyarakat untuk dijadikan sebagai bahan industri bangunan, rumah tangga, misalnya untuk pembuatan cat berbagai warna, bantuan alih teknologi dan pengetahuan tentang bahan baku industri pertambangan sangat penting dalam peningkatan kecerdasan dan penggalian sumber-sumber ekonomi baru antara lain memberikan lokakarya teknis pembuatan alat mesin pemrosesan berbagai jenis pemisahan bahan utama dan bahan ikutan mineral tambang, memberikan bantuan modal padat karya dalam menciptakan lapangan kerja bagi investasi peralatan pertambangan dan perbengkelan alat berat, memberikan diklat manajemen pengenalan dan fungsi berbagai jenis bahan tambang dan energi yang dapat dimanfaatkan sebagai industri kreatifitas kerajinan tangan, souvenir khas daerah pertambangan yang masih banyak belum terkelola dengan baik, diklat pengetahuan partisipasi visualisasi dan hubungan masyarakat tentang proses-proses pertambangan hijau dalam bentuk pembuatan video komunikasi, penggambaran proses kerja instalasi limbah dan pengetahuan standart prosedur keselamatan operasional kerja bagi industri pertambangan kecil yang belum pernah dilakukan oleh berbagai perusahaan pertambangan di Sumut, serta memberikan pelatihan tentang proses konservasi dan reklamasi daerah pertambangan, tidak secara langsung telah meningkatkan kecerdasan masyarakat lokal, yang mungkin suatu kelak dapat menciptakan teknologi mesin, proses penghancuran bahan tambang yang keras, menciptakan teknologi transportasi hemat energi, menciptakan teknologi informasi dan perekaman data geologi bawah permukaan serta teknologi limbah yang lebih baik dari yang ada sekarang.
Kreatifitas pemanfaatan sumber-sumber daya yang berhubungan dengan ekonomi genius local bagi keberlangsungan ekologi lingkungan tergantung visi dan misi kualitas Sumber Daya Manusia yang dimiliki oleh suatu perusahaan pertambangan dalam penguasaan IPTEK.

M. Anwar Siregar
Pemerhati Masakah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer, Tulisan ini sudah di muat pada Harian ANALISA MEDAN.

Musim Bakar Asap


MUSIM BAKAR HUTAN, MUSIM KABUT ASAP LAGI
Oleh M. Anwar Siregar
Musim kabut asap datang lagi, kebakaran yang lalu belum padam, datang lagi kebakaran di Sumatera dan Kalimantan disertai musim kemarau menyebabkan berkabut asap udara di negeri jiran Singapura, dan juga kawasan perbatasan Riau dengan Sumatera Utara.
Polusi udara atau kabup asap merupakan masalah tetap di ratusan kota-kota besar dan bahkan hingga ke desa di daerah pendalaman terpencil diseluruh dunia. Polusi udara dan hujan asam telah merusak panenan dan hutan-hutan yang disebabkan oleh pembakaran hutan, batubara dan gembut yang mengandung belerang dalam konsentrasi tinggi yang menghasilkan hujan asam. Akibat pembakaran hutan menimbulkan kabut asap terbesar di Asia Tenggara telah memompakan 2 milyar ton unsur hidrokarbon ke dalam atmosfer turut mengubah iklim global, kandungan karbon dioksida terperangkap cukup panjang, menimbulkan ktidakpastian cuaca, terjadi efek musim hujan mendadak ke musim kemarau yang berkepanjangan yang menyebabkan perubahan siklus si El Nino Southern Oscilation (ENSO).
Kejadian kabut asap di Asia Tenggara telah berlangsung sejak tahun 1980-an dan merupakan dasawarsa terpanas hingga memasuki periode abad ke 21 bumi di kawasan ini telah mengalami peningkatan panas dari 100 tahun yang lalu akibat dari pembakaran hutan-hutan tropis di Kalimantan, Sumatera dan Papua, sudah berlangsung rutin dalam kurun 25 tahun terakhir ini.
SUMBER DAYA TERBATAS
Hutan Indonesia dari tahun 1980 hingga menjelang akhir 1990-an terdapat 120 juta hektar. Sebelumnya, pada tahun 1960-an luas hutan Nasional terdapat keseluruhan sekitar 220 juta hektar. Namun saat ini, diperkirakan hutan asli/lindung di Indonesia terdapat 32 juta hektar telah mengalami perusakan, belum lagi yang telah mengalami kebakaran sepanjang 2003 hingga 2004 sebesar 45.000 hektar per tahun. Pada periode 2001 hingga 2005, hutan nasional Indonesia mengalami penggundulan sekitar 2,8 juta per tahun, berarti tersisa 73,7 juta hektar. Pada tahun 2007-2008 terjadi lagi kebakaran hutan di Kalimantan seluas 15.000 hektar dan Riau seluas 17.000 hektar lebih. Hutan Papua terpangkas rata 7.000 hektar per tahun.
Puncak perlakuan terhadap hutan Indonesia terjadi menjelang 2009, hutan Indonesia menjadi “botak” terutama di Sumatera saat ini diambang krisis dan diperkirakan tinggal 10 juta hektar hingga pada tahun 2012.
Penyebab kerusakan dan perubahan kondisi iklim selama empat tahun akibat kebakaran di Riau adalah tidak seimbang antara keperluan pemasokan kayu tropis dengan reboisasi atau penghijauan dalam menahan laju kerusakan hutan di Indonesia.
Kebutuhan industri kayu gelondongan tropis tidak pernah menurun permintaannya di pasaran dunia. Indonesia justrunya menghabisi sumber daya terbatas ini untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Data dari tahun 1998 menunjukkan konsumsi kayu bulat Nasional sebesar 78,1 juta meter kubik. Sedangkan produksi hutan nasional Indonesia hanya mampu menghasilkan 21,4 juta meter kubik. Artinya, 56,6 juta meter kubik disuplai oleh penebangan liar dari hutan lindung. Pada tahun 2003 hingga 2009 meningkat konsumsi kayu bulat menjadi 83,7 juta meter kubik atau sekitar 62,3 juta meter kubik dari hutan lindung. Peningkatan ini disebabkan penebangan liar merambat wilayah hutan lindung yang ada di Propinsi Papua Barat yang menyebabkan terjadinya penurunan daya dukung lingkungan di habitat hutan-hutan lindung di Indonesia dengan bukti terjadinya longsor dan banjir di Wasior, Aceh, Riau dan Kalsel.
ANALISIS PENYEBAB
Dari hasil pemantauan aktivitas kebakaran oleh satelit NOAA hingga pertengahan bulan Juni ini, penyebaran titik api terparah ada di wilayah Riau terdapat 100 lebih, meningkat tiap kali musim bakar hutan atau pembukaan lahan perkebunan baru dan terbakarnya hutan lahan gambut di Riau dan Kalimantan dapat mencapai diatas 700 titik api.
Ada beberapa analisis yang menyebabkan mengapa terjadi lagi musim kabut asap. Analisis pertama, penyebab kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan juga Kalimantan yang memberikan julukan bagi Indonesia sebagai “Raja Polutan terbesar” di Asia Tenggara lebih disebabkan oleh kemajuan bisnis dan industri kayu, pertambangan dan perkebunan yang mendominasi usaha penanaman modal investasi di kedua pulau terbesar Indonesia.
Analisis kedua, penyebab kebakaran adalah perencanaan tata ruang investasi yang tumpang-tindih dengan areal perkebunan untuk jangka panjang dengan sarana infrastruktur fisik pertambangan dan pemukiman serta pusat-pusat industri kayu terjadi pemanfaatan lahan yang berdekatan atau terdapat sumber daya dalam suatu kawasan tertentu pada zona peruntukan lahan dalam tata ruang kota. Contohnya pusat industri perkayuan dan pabrik pulp dekat dengan pusat perkotaan tanpa zona sanggahan hijau terbuka, pusat perkotaan terletak didaerah tata ruang pertambangan resevoir migas dan lokasi perkebunan melingkari pusat ruang pemerintahan dengan pemukiman yang tertekan ke dalam, sehingga akan ada jalan pintas yang harus dilakukan semua untuk mengejar kepentingan bisnis.
Analisis ketiga, penyebab kebakaran lebih dominan disebabkan oleh faktor lapisan tanah yang mengandung bahan bakar fosil di daerah yang kaya sumber daya alam minyak dan gas bumi. Sekitar 40 % tanah yang mengandung karbon terdiri lapisan gambut, batubara dan kayu yang mengandung gas dan partikel yang memungkinkan menghasilkan CO2 ke udara untuk membentuk kabut/polutan yang pekat. Umumnya daerah yang terbakar dari kebakaran hutan di Pulau Sumatera dan Kalimantan yang menimbulkan asap adalah berasal dari kebakaran lapisan hidrokarbon yang mengandung kapasitas 7 juta ton yang tertimbun dalam lapisan karbon muda dari kedua Pulau Indonesia.
Analisis keempat, penyebab kebakaran hutan yang menimbulkan kabut asap maut adalah membakar langsung alang-alang liar dan pohon-pohon muda sebagai jalan akhir percepatan perluasan lahan didaerah rawa-rawa yang mengandung lapisan gambut muda yang mudah terbakar dan merupakan bahan energi pengganti “bensin dan minah” sehingga pihak pembakar tidak memerlukan “bahan baku jadi” untuk menuntaskan pekerjaan mereka.
Analisis kelima, penyebab kebakaran yang mengakibatkan berkabutnya udara Asia Tenggara adalah terjadi kebakaran pipa-pipa penyalur migas yang melintasi daerah lahan perkebunan baru dan ada ladang sumur dari perusahaan minyak menyemburkan api setiap hari sehingga membentuk kawasan berkabut. Analisis Keenam, adalah kecepatan angin rata-rata kencang di wilayah Indonesia sehingga mendorong kabut asap bergerak dan bersatu padu membentuk kawasan “hitam” ke Malaysia dan Asia Tenggara lainnya.
AKIBAT KABUT ASAP
Kabut asap telah menimbulkan dampak kerugian yang cukup besar bagi Indonesia. Dampak kabut asap ke lingkungan, Indonesia mengalami kerugian 45 trilin per tahun akibat penggundulan hutan seluas, 1.4-2.8 juta hektar. Terjadi deforestasi hutan yang luas, rusak sarana infrastruktur akibat banjir, daya dukung lingkungan merosot tajam, membutuhkan triliun rupiah untuk mengembalikan kesediakala.
Akibat kabut asap bagi kesehatan makhluk hidup, Indonesia merasakan dampak lebih besar dengan timbulnya berbagai penyakit akibat banjir, rusaknya sistim kekebalan tubih karena ketebalan polusi udar mencapai 300 dari maksimal 500 EMI (electromagnetic interferenci), pengotoran sumber-sumber daya air bersih dan musim kemarau dan hujan tidak pasti menyebabkan hasil panenan merosot tajam, harga bahan pokok meningkat tajam dan terbatas. Kerugian bisnis transportasi perekonomian sekitar $ 9.0 milyar.
KABUT ASAP LINTAS NEGARA
Kabut asap telah menjadi fenomena tahunan di Asia Tenggara dan kini merupakan masalah lintas negara, bukan sebatas ekonomi dan politik. Jika ada protes masyarakat negara tetangga bukan pada tempatnya memprotes Indonesia, karena selama ini masyarakat Asteg telah menikmati “kebersihan udara” dari hutan-hutan Indonesia yang luasnya sepertiga dari luas hutan dunia dan berusaha keras selalu di jaga dengan baik (sendirian) karena berfungsi sebagai paru-paru dunia bagi atmosfer Asia Tenggara.
Masalah lintas kabut asap antar negara bukan seharusnya ditangani oleh Indonesia, tetapi juga oleh negara di Asia Tenggara, karena wilayah hutan dan laut Indonesia telah berjasa dalam memberikan udara bagi Asia Tenggara. Sumbangan oksigen bagi Asia Tenggara yang selama ini di “sewa” gratis para warga Asia Tenggara berasal dari laut Indonesia sepanjang 86.000 kilometer atau sekitar 70 persen dari luas wilayah Indonesia. Yang berasal dari binatang plankton yang dilepaskan ke udara hampir 90 persen dari kehidupan laut. Dan kontribusi hutan di perbatasan di wilayah Kalimantan Timur seluas 17 juta hektar menyumbangkan oksigen 10 % yang cukup signifikan.
Mawas diri bagi warga Asia Tenggara untuk melakukan protes keras ke Indonesia, sudah rusak hutan, dicuri, digundul, dibakar pula, ditinggal begitu saja tanpa ada reboisasi. Jadi siapa yang lebih parah mengalami kerugian?
 
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer, Tulisan ini sudah di muat di Harian ANALISA MEDAN

Related Posts :