LAUT INDONESIA BUKAN TONG SAMPAH BERACUN : Geologi Lingkungan
LAUT INDONESIA BUKAN TONG SAMPAH BERACUN
oleh : M. Anwar Siregar
Gambar : Lautan sampah dibuang seenaknya, sadarlah, laut sangat berguna bagi kehidupan manusia dan makhluk lainnya. (Sumber gambar : dari berbagai sumber)
Dalam bulan Juni ada momentum yang dapat diingatkan bagi bangsa dalam pembangunannya bila ingin disebut bangsa unggul teknologi maritim dan hidup dari sumber daya kelautan yaitu hari lingkungan Bumi dan hari Laut, keduanya mempunyai hubungan erat bagi keberlanjutan sumber daya ekonomi pembangunan.
Efek pembuangan sampah limbah radioaktif ke lingkungan lautan telah menimbulkan kecemasan bagi masyarakat dunia khususnya Indonesia, terutama tempat pembuangannya di lautan Negara berkembang dan miskin.
Salah satunya di Laut Indonesia.
Indonesia yang memiliki ribuan pulau mencapai 17.840 pulau dengan luas laut 3,1 juta kilometer persegi dengan garis pantai sepanjang 95.181 kilometer atau keempat terpanjang setelah Amerika Serikat, Kanada, dan Rusia, paling banyak diincar Negara maju untuk dikirimkan sampah berupa limbah bahan bakar dan beracun dan berbahaya (B3) karena terlindung oleh ribuan pulau dan memungkinkan para penyeludup mudah membuangnya. Laut Indonesia sepertinya memang mau dijadikan tong sampah beracun.
LAUTAN LIMBAH DI INDONESIA
Belum adanya kemajuan dalam pengelolaan pembuangan sampah yang permanen bagi limbah beracun dan sampah radioaktif telah mengakibatkan terjadinya penumpukan sumber-sumber bencana baru ke lingkungan, pembongkaran dan penguburan reaktor nuklir komersil yang sudah pensiun tidak mungkin dilakukan kalau belum ada tempat-tempat yang aman untuk menyimpan sisa-sisa bahan radioaktif. Dan ini memungkinkan negara-negar maju mengincar luasnya lautan Indonesia.
Lautan sampah beracun di Laut Indonesia disebabkan longgarnya pengamanan dan pengawasan laut di perbatasan sehingga memudahkan negara-negara lain membuang drum-drum yang berisi B3 berupa seng, racun kimia, timah dan besi-besi tua dan berbagai jenis kerangka besi tua berkarat dari berbagai model transportasi dalam jumlah besar tanpa izin kementerian lingkungan hidup Indonesia yang melanggar peraturan/ketentuan konvensi BASIL, yang mengatur perpindahan limbah B3 antar negara maju.
Limbah-limbah beracun yang mencemari lautan Indonesia antara lain : Dari Australia, laut Indonesia mendapat kiriman berupa bahan non ferrous, timah bekas sebanyak 2.417 ton, butiran logam non besi, bahan zinc untuk campuran pupuk, timah baterai sebanyak 23.500 ton, sisa aki bekas sebanyak 105 ton, dan lead waste scrap mencapai 1000 ton sejak tahun 1997-2008 bercampur dengan tumpahan minyak dan sampah plastik masih ada dan terendapkan disebagian pulau terpencil terutama di dekat perairan Laut Flores hingga ke tahun sekarang.
Dari Singapura, B3 di lautan Indonesia terutama di laut Cina Selatan dan Selat Malaka di Kepulauan Riau berupa barang produk hasil elektronik yang rusak, aki mobil bekas, pembuat kulkas dalam jumlah hampir mendekati 1 juta ton sejak tahun 2000-2007. Dan mobil bekas yang tidak layak pakai sempat dibuang tidak teratur sejak akhir 1990-an sampai tahun 2011 yang sering luput dari pengawasan berwenang RI.
Dari negara-negara Eropa berupa sisa aki bekas berbagai jenis, zinc sebanyak 1000 ton sejak tahun 1996-2005 dan insinerator atau pembuat limbah yang banyak mengandung unsur beracun dari bahan bakar yaitu dioksin dan furan sejak tahun 2002-2006, dan dari Amerika Serikat menjual peralatan pemati tumbuhan pelapis permukaan tanah yaitu insinerator ke negara-negara anggota OPEC sejak tahun 1990-2004. Dan masih bertumpuk dibeberapa di laut pelabuhan di Indonesia.
Laut Indonesia selain Laut Pasifik dimungkinkan sebagai lokasi pembuangan Sampah B3 ataupun limbah radioaktif nuklir dari negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Perancis, Australia dan Singapura disebabkan kondisi palung-palung laut dalam yang berdekatan dengan zona subduksi gempa di wilayah Indonesia, memudahkan drum-drum ditelan atau menyusup ke dalam bumi secara alamiah di dalam bumi.
Laut Indonesia yang menjadi incaran pembuangan limbah B3 disekitar selatan Pulau Jawa, pantai Barat Sumatera, Utara Teluk Biak, Samudera Pasifik Papua, Laut Sulawesi, Selat Malaka dan Samudera Indonesia dekat Nusa Tenggara dan Laut Timor. Sebagian wilayah ini memang secara kasatmata daerah ideal karena terdapat zona subduksi bagi negara “pembuang” namun bahaya bencana geologis dan klimatologis bagi Indonesia.
EKSPLOITASI KEHANCURAN
Pembuangan sampah dilautan berupa B3 dan sampah barang-barang yang tidak terpakai dapat mengakibatkan hilangnya ekosistim di lautan. Eksploitasi kehancuran lautan mulai memuncak sejak perang dingin antara Blok Barat diwakili Amerika Serikat dan Blok Timur (komunis) diwakili oleh Uni Soviet/Rusia dalam uji coba rudal nukilir di lautan Pasifik.
Dampak kehancuran akibat eksploitasi limbah beracun nuklir dari uji coba peluru kendali berhulu nuklir di lautan berdampak bagi kehidupan bumi terhadap terumbu karang dan pola keseimbangan hayati dilautan sehingga terjadi ketidakseimbangan pemasokan/persediaan sumber rantai makanan bagi manusia terutama sumber tangkapan ikan dengan permintaan ikan-ikan laut dunia.
Terumbu karang Indonesia yang terbentang dari Aceh hingga ke Papua mengalami penghancuran paling tragis dari salah satu ekosistim laut itu menyediakan 12 persen dari tangkapan ikan global per tahun dari total luas terumbu karang Indonesia mencapai 18 persen atau 75.000 km2 terumbu karang dunia.
Kondisi penghancuran dilautan sangat berbahaya bagi pulau-pulau di Indonesia dan ekosistim laut dunia, sebab limbah beracun dan sisa radioaktif nuklir yang dibuang ke laut terutama di lautan Indonesia akan memicu kondisi ketidakstabilan lempeng di zona subduksi diseluruh laut Indonesia yang telah disebutkan diatas karena percepatan peledakan dapat mempercepat penguraian kondisi daya tahan kekuatan batuan yang menyusun blok kerak bumi dapat mempercepat daya rekat menjadi robek dan melemahkan serta menghasilkan pelebaran daya retak mencapai ratusan kilometer dari zona patahan atau pertumbukan antar lempeng.
Ledakan efek nuklir dilautan salah satu juga penyebabnya karena batuan juga mengandung unsur-unsur radioaktif sehingga akan ada arus panas yang memuai disekitar zona patahan yang lemah dibumi dan terpendam di lautan, menimbulkan keradioaktifan ganda dari unsur kimia radioaktif di dasar laut yang rentan bagi makhluk laut. Pendek kata, perubahan salinitas lautan dari efek B3 dan tekanan radioaktivitas nuklir dapat membahayakan segala unsur kehidupan bagi semua ekosistim lautan.
Proses pembuangan sampah nuklir di lautan Indonesia memang lebih banyak dilakukan disekitar zona penekukan untuk memudahkan terlumatkan sampah B3 dan limbah nuklir oleh proses gravitasi pergerakan lempeng seperti ban berjalan, dimana B3 dan sampah-sampah lainnya akan masuk secara alamiah oleh proses pendaur ulang kondisi tubuh kerak bumi. Namun hal ini justrunya sangat berbahaya karena akan ada proses peledakan antar radioaktif yang disebabkan gangguan termodinamika unsur-unsur kimia yang bercampur sehingga menimbulkan keretakan kekuatan batuan yang berakhir pada gempa bumi yang luas.
Efek sampingan dari peledakan ini adalah mempercepat peningkatan suhu global, peningkatan penguraian lapisan gunung es sehingga meningkatkan tinggi permukaan air laut, serta dapat menimbulkan efek ekstrim bagi lapisan ozon di geosfer, berbahaya bagi kota besar di Indonesia seperti Medan, Makassar, Manado, Sibolga, Semarang dan Jakarta karena ketinggian topografi mencapai 25 meter dari permukaan air laut.
PENGAWASAN KRI
Peningkatan suhu global yang dipicu oleh peningkatan pemakaian dan pembuangan zat kimia beracun ke lautan telah memberikan perubahan iklim dan cuaca secara ekstrim terutama di lautan Indonesia, dapat meningkatkan penenggelaman pulau-pulau kecil di tengah lautan di daerah teritorial perbatasan yang kaya kandungan minyak dan gas bumi serta keanekaragaman sumber-sumber daya hayati (biodiversity).
Dilaut Indonesia terdapat 15 ribu jenis spesies makhluk hidup dan 25 persen ikan dunia tinggal di perairan teritorial Indonesia.
Diperlukan peningkatan teknologi pengawasan kelautan bagi bangsa Indonesia dalam mengawasi segala tindak kejahatan lingkungan di Lautan Indonesia. Pemerintah wajib memperioritaskan pembangunan lingkungan kelautan Indonesia di perbatasan agar luas lautan dengan ribuan pulau tidak dijadikan “markas sementara” ataupun juga “pelabuhan tikus” untuk menyeludupkan B3 dan penangkapan ikan secara ilegal.
Rakyat sudah bosan melihat kondisi lingkungan laut Indonesia dijadikan “tong sampah beracun” harus ada tindakan untuk peremajaan peralatan kapal perang RI dilautan, maka semboyan nenek moyang tidak tinggal slogan. Maka kita dapat berjaya dilautan “ Yalesveva Jayamahe”. Sekali lagi, Laut Indonesia bukan tempat tong sampah beracun.
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer,
Tulisan ini sudah dipublikasi di Harian "ANALISA" MEDAN TGK 24 Juni 2012
Komentar
Posting Komentar