Sep 13, 2012

Medan Belum Siap Menghadapi Bencana Dahsyat : Geologi Disaster

MEDAN BELUM SIAP MENGHADAPI BENCANA DAHSYAT 
Oleh M. Anwar Siregar 

Medan sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara, memiliki kompleksitas penataan ruang pemukiman, tata ruang hijau semakin terbatas dan penataan arus lalu lintas dan transportasi massal yang tidak efektif, peningkatan jumlah penduduk, eskalasi urbanisasi, serta potensi bencana dimasa depan seperti banjir tiap tahun, ancaman degradasi air bersih dan potensi gempa strategis setiap saat datang “menghantui” kota Medan. 
Selain itu, Medan dari segi efisiensi waktu telah mulai menurunkan produktivitas kinerja masyarakat dan industri serta investasi akibat kemacetan lalu lintas yang luar biasa, memiliki sumber bahaya kerentanan (vulnerability) sosial yang tinggi, yaitu kerapatan dan kecepatan pembangunan sarana fisik berbanding dengan laju kepadatan penduduk dengan luas tata ruang yang ada dan terbatas sehingga dapat mengganggu keseimbangan kestabilan daya dukung geoteknis tanah dan lingkungan. 
FAKTOR FISIK 
Dengan jumlah penduduk mendekati 5 juta jiwa, kota Medan terpadat ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya, Medan berpotensi mengalami ledakan sosial dalam 20 tahun mendatang. Dari perspektif geologi gempa, diperkirakan dimasa 20 tahun ke depan ada tiga patahan kritis gempa di Sumatera Utara dapat memberikan ancaman bagi kerentanan dan kerawanan geologis yang tinggi bagi kehidupan di kota Medan yang telah padat jumlah penduduk. 
Banyak faktor geologi gempa yang dapat mempengaruhi ketahanan tata ruang kota Medan terhadap ancaman bencana dan bahwa Medan harus di”reformasi” tata ruangnya agar menjadi kota yang layak dihuni dan nyaman untuk hidup beraktivitas yakni, pertama, faktor struktur tata ruang hijau kota Medan tidak mengikuti aturan tegas tentang zonasi lingkungan hijau, banyak daerah sempadan sungai atau daerah aliran sungai (DAS), membentuk “tata ruang kumuh”, pengambilan air dikawasan hijau yang merupakan bagian dari tata ruang air atau cekungan air tanah (CAT), pembangunan gedung dan hotel yang menjorok 2-3 meter ke dalam sungai, lebar sungai dipersempit sehingga ancaman banjir tiap tahun yang melanda kota Medan bersumber dari salah satu dampak tersebut. 
Selan itu, ancaman terjadinya kekeringan air disebabkan oleh laju kecepatan pembangunan fisik tidak dibarengi oleh peningkatan penataan daerah tangkapan air bersih berupa zona pembangunan ekologi berkelanjutan, penurunan permukaan tanah telah mendekati permukaan air laut di Utara Medan oleh peningkatan pembangunan infrastruktur fisik berat didaerah hijau. Kedua, Faktor struktur tektonik stratigrafi dan geoteknis fisik peletakan/posisi bangunan di Medan berada di daerah rawan bencana geologi, umumnya tidak dirancang tahan gempa, sangat berpengaruh terhadap kekuatan dan pergeseran tanah dan batuan, yaitu terdapat suatu proses geologi tata ruang Kuarter yang masih terus mengalami perubahan lingkungan oleh geodinamika tektonik dan vulkanik kegempaan di Nias, daerah limpasan banjir bandang dan erupsi vulkanik di Gunung Sinabung dan Sibayak berasal dari Tanah Karo, zona penekanan alur seismik kegempaan di patahan menyilang di Langkat dan berada dalam radius ancaman gempa patahan di daratan Aceh di perbatasan Sumatera Utara dan Aceh sejauh 200-400 km.
Faktor ketiga, Medan rentan mengalami kerusakan fisik akibat empat golongan utama gempa, yakni 1. Terjadi ground shaking, adalah gerakan tanah akibat gempa yang merupakan unsur utama penyebab keruntuhan struktur bangunan. 2. Likuafaksi, adalah kehilangan strength pada pasir yang jenuh air akibat pembebanan siklik. Kondisi ini menyebabkan penurunan dan pergerakan lateral dari pondasi, banyak bangunan di Medan dibangun di lokasi yang telah diidentifikasi berpotensi mengalami likuafaksi tanahnya terdiri dari tanah alluvial dan vulkanik. 3. Bila terjadi gempa kuat dalam radius 100 kilometer ke dalam Medan akan membangkitkan “sesar-sesar tidur” menjadi bidang patahan (fault rupteure) yang aktif, dapat mengganggu kekuatan pondasi bangunan yang tidak dirancang tahan gempa oleh pergerakan seismik dalam lajur gerak horizontal dan vertikal disekitar patahan Danau Toba dan patahan ordi (Karo-Langkat-Simalungun). 4. Terbentuknya pola landslide bawah permukaan sebagai akibat dari pergerakan terjadinya gempa, karena tanah di kota Medan adalah tanah yang bersifat “lembek” maka dipastikan struktur pondasi bangunan dan struktur geologi bawah permukaan akan ada mengalami “gangguan kekuatan” menyebabkan gerakan tanah dan likuafaksi yang luas. 
GEMPA BAWAH PERMUKAAN 
Bencana setiap saat hadir ”mengancam tata ruang Medan”. Penataan ruang Medan sangat mendesak untuk di integrasi ke dalam tata ruang multi bencana alam, karena ada kecenderungan bahwa perencana dan pengambilan keputusan seringkali mengabaikan faktor bencana geologi bawah permukaan pada pemanfaatan ruang sehingga menjadi akar permasalahan penataan ruang di kemudian hari. Tidak ada sinkronisasi dalam penataan ruang bawah permukaan dengan ruang atas permukaan dalam kajian geologi struktur seismik kegempaan lokal yang meliputi beberapa aspek keteknikan geologi antara lain : Pertama, aspek kajian teknis pembuatan peta geologi tata ruang kota bawah tanah untuk infrastruktur berat tidak disesuaikan dengan kondisi geologi tektonik dan stratigrafi yang berguna untuk mengetahui arah lintasan sesar-sesar yang tidak aktif dalam mengantisipasi kerentanan pondasi bangunan bawah dan pondasi bangunan atas terhadap gaya tekan beban maksimun pondasi bangunan. Medan belum memiliki peta rancang pembangunan infrastruktur fisik bawah permukaan, dan selama ini lebih banyak peta tata ruang fisik diatas permukaan. 
Kedua, aspek pengaturan kajian zonasi geologi terhadap peta tata ruang permukaan, banyak bangunan diletakkan di daerah hijau yang berpotensi menghasilkan bencana pada faktor geologi gempa yaitu ground shaking. Peta tersebut berfungsi sebagai arahan untuk pengendalian pemanfaatan lahan dalam mereduksi potensi bencana. 
Ketiga, aspek tingkat percepatan akselarasi seismik dalam data peta kerentanan geologis tinggi belum mencantum berbagai permodelan tingkat kecepatan rambat goyang gempa mencapai permukaan dari berbagai jenis tanah dan batuan terhadap bangunan yang telah terbangunkan. Jenis tanah Medan memiliki tingkat perambatan gelombang yang sangat tinggi dengan akselarasi tambahan energi goyang menjadi 4-5 kali lebih besar jika sudah mencapai permukaan, dapat menghancurkan bangunan terutama di inti kota yang terdiri tanah yang tidak padat. Kejadian ini dapat direfleksikan dari gempa strategis Meksiko dari pusat gempa di Pantai Barat Amerika dengan pembandingan kekuatan gempa di megatrush Nias-Aceh ataupun Andaman-Nikobar di Lempeng Burma. 
ANCAMAN BENCANA 
Sebagian masyarakat menyebutkan Medan sebagai kota “sumpet” dan memiliki tingkat kerentanan tinggi yaitu asumsi pertama, menyebutkan Medan tidak memiliki pedoman pengendalian bahaya bencana untuk pencegahan bencana banjir setiap tahun. Kanal Banjir tidaka berfungsi dan tidak sesuai pemetaan lokasi yang komprehensif sehingga tetap menimbulkan banjir. Bagaimana kalau terjadi gempa? Dipastikan akan terjadi sejumlah miskomunikasi karena mengurus banjir dan kemacetan saja sudah “cari kambing hitam”.Faktanya, kejadian banjir awal tahun 2011 tersebar di enam Kecamatan.
Gambar : Banjir dikecamatan Medan Kota, selain hujan deras, drainage sangat buruk serta penataan ruang terbuka sangat terbatas (sumber : Dokumen Foto penulis, 2011).

Asumsi kedua, Medan calon kota tenggelam, derasnya arus urbanisasi dan pembangunan yang terus menerus terbangunkan sehingga terjadi penggalian tanah di lokasi daerah tangkapan air bersih di hulu dan hilir dan zona daerah hijau sebagai zona sanggahan di kawasan Deli Serdang dan Tanah Karo sebagai daerah sabuk hijau untuk tangkapan air bersih berkelanjutan. Buktinya, banyak kawasan rawa-rawa sebagai daerah resapan air menjadi daerah hunian dan kawasan industri. 
Asumsi ketiga, menyebutkan Medan tidak memiliki tata ruang tahan gempa yang mumpuni sehingga dianggap sebagai “kota ladang pembantaian” jika terjadi bencana gempa dan tsunami strategis di Selat Malaka karena sampai saat ini kota Medan belum memiliki daerah pengaman untuk segala jenis bencana geologi dan klimatologis. Siapkah Medan menghadapi ancaman bencana di masa mendatang? 
Jika berlandaskan pada kejadian banjir beberapa hari lalu, sudah sangat membahayakan, bagaimana kalau terjadi gempa strategis melalui alur Patahan Mergui dan Patahan Sagaing di Burma atau desakan kuat Lempeng Indo-Australia di jalur subduksi Andaman-Nikobar yang membangkitkan/memicu kembali tekanan yang mengakibatkan pemecahan sekian kali bagi Lempengan Burma sejauh 150 km dari pecahan yang telah terjadi seluas 200.000 km persegi akibat gempa Aceh-Andaman 2004, untuk menghasilkan tsunami dahsyat di busur belakang (back arc basin) di Pantai Timur Sumatera dengan Selat Malaka sebagai jalan tol yang sempit? Keniscayaan asumsi masyarakat akan terbukti. 

M. Anwar Siregar, Geolog, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer Diterbitkan Harian “ANALISA” MEDAN, TGL 24 Februari 2011

No comments:

Post a Comment

Related Posts :