Mitigasi Lingkungan : Kearifan lokal tsunami
KEARIFAN LOKAL TSUNAMI SEMAKIN MEMUDAR
Oleh :. Anwar Siregar
Adalah sangat penting menggali kembali kearifan lokal lingkungan serta melakukan sosialisasi kepada masyarakat sebagai salah satu bentuk upaya mitigasi bencana lingkungan di era sekarang, mengingat banyak generasi mulai melupakan kearifan lokal untuk mengantisipasi bencana alam tsunami dalam menghancurkan lingkungan hidup.
Pengalaman sejarah terjadinya gempa yang berkali-kali di Nias, Aceh Simeulue, Mentawai dan kawasan Timur Indonesia telah membentuk prilaku masyarakat sejak zaman dahulu untuk cenderung mempertahankan diri terhadap dampak yang diakibatkan bencana itu sendiri. Sebagai contoh, konstruksi rumah adat yang anti gempa dan membangun perkampungan di dataran tinggi atau daerah pegunungan.
SEMAKIN MEMUDAR
Namun seiring dengan perkembangan peradaban dan pergeseran nilai-nilai budaya, generasi sekarang terkesan justru melupakan kearifan lokal yang pernah dimiliki oleh generasi pendahulunya. Perlu upaya terpadu dari semua pihak untuk menggali kembali kearifan lokal dan menerapkannya dalam kehidupan masyarakat untuk dilestarikan.
Pelatihan-pelatihan tidaklah cukup jika hanya sekedar menghabiskan anggaran yang ada, tetapi lebih kepada berbagai metode yang lebih praktis dan mudah diterima/dipahami oleh masyarakat awam. Melalui pendidikan sangatlah tepat, baik formal maupun informal.
Andai ada banyak yang berpikir sama dan mau melangkah bersama, banyak hal penting dapat dilakukan bersama untuk mengatasi persoalan kerusakan lingkungan, dan banyak persoalan dapat juga diupayakan solusinya. Ini merupakan filosofi kehidupan leluhur kita, yang semakin memudar di praktekan di era sekarang.
Mari kita mulai dari langkah kecil yang nyata dengan komitmen yang kuat dan kebersamaan, kiranya akan bergulir dan mengalir menjadi sebuah gerakan sosial bersama untuk membangun kearifan lokal dalam membangun sarana fisik dengan mengenali tanah tempat kehidupan kita dan lalu peliharalah lingkungannya dengan baik. Niscaya, keberlangsungan kehidupan di pulau-pulau pesisir maupun didaerah hulu akan dapat meminimalisasikan tingkat bahaya. Sangat penting untuk kita lalukan, demi untuk anak cucu atau generasi berikutnya.
BNPB sering mengingatkan warga di daerah rawan bencana alam agar menggali kearifan lokal untuk dapat dijadikan sebagai peringatan dini ketika ada ancaman tsunami. Penggalian kembali kearifan lokal sangat penting dalam upaya penyelamatan masyarakat dari gelombang tsunami. Kebijaksanaan lokal yang dipahami dan diterapkan sejumlah daerah sudah terbukti dalam mengurangi korban jiwa.
Gambar : Mitigasi Gempa berbasis sederhana (sumber gambar : BPPD Klaten)
Sebagai contoh di Kabupaten Simeulue, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang memahami dan mempunyai kearifan lokal yang dikenal Semong. Dari sekira 400 ribu penduduk di kepulauan itu, hanya sedikit yang meninggal akibat bencana gelombang tsunami yang terjadi pada 2004. Sekadar diketahui, Semong adalah kearifan lokal masyarakat di Pulau Simeulue dalam membaca fenomena alam pantai telah menyelamatkan banyak masyarakat dari bencana tsunami.
Teriakan Semong
merupakan peringatan dini yang diartikan adanya situasi di mana air laut surut
dan masyarakat harus lari ke bukit. Ini adalah pengetahuan yang diperoleh dari
leluhur belajar dari kejadian bencana yang pernah terjadi puluhan tahun lalu.
Semong ini yang menyelamatkan masyarakat di pulau Simeulue, padahal secara
geografis letaknya sangat dekat dengan pusat gempa. Semong bagi masyarakat
pulau Simeulue disosialisasikan turun-temurun melalui dongeng dan legenda oleh
tokoh masyarakat, sehingga istilah ini jadi melekat dan membudaya di hati
masyarakat pulau itu.
Hal seperti itulah yang mestinya
menjadi pembelajaran bagi semua pihak. Alam, selain memberikan manfaat bagi
kelangsungan umat manusia juga memberikan pelajaran berharga. Salah satunya
dengan peristiwa bencana. Manusia dengan kelebihan akalnya akan mampu menangkap
tanda-tanda sebagai bentuk proteksi dan adaptasi dari perubahan alam. Kadang kesombongan manusialah yang
memperburuk dampak dari siklus alami ini.
Nenek moyang bangsa ini berhasil membaca sinyal alam menjadi satu falsafah hidup dan melahirkan nilai-nilai kearifan lokal. Namun, manusia modern yang mendewakan teknologi banyak mengabaikan warisan luhur ini. Fenomena alam sebagai daur ulang kehidupan manusia dan alam semesta dengan periode tertentu dapat berubah menjadi bencana yang menyeramkan. Karena itu, bencana alam harus mendesak manusia lebih memahami the power of nature.
Dalam hal ini, BNPB memegang perang siginifikan. BNPB yang memegang amanat Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 dituntut mampu peran koordinasi penanggulangan bencana di pusat dan daerah dalam meningkatkan kesiap-siagaan dalam menghadapi bencana, serta membangun kesadaran masyarakat dalam upaya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. BNPB menjadi motor penggerak mewujudkan ketangguhan bangsa Indonesia dalam menghadapi bencana dan semua elemen masyarakat turut berperan aktif.
PENGETAHUAN BENCANA
Dengan demikian, bencana seyogianya membuat manusia semakin sadar pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi, menggali nilai-nilai luhur dan kearifan lokal. Lepas dari itu semua, bencana lingkungan bukanlah suatu kebetulan, seperti kelahiran, kematian, rezeki dan jodoh, semuanya tercatat di lauhul mahfudz.
Menggali potensi kearifan
lokal yang ada di dalam masyarakat dapat dilakukan melalui pendekatan
partisipatif dan melibatkan dukungan banyak pihak, seperti budayawan, sosiolog,
tokoh masyarakat dan pendidik. Kearifan lokal yang mulai kurang dikenal dan
dihayati dapat diformat dalam bahasa publik, bahasa sehari-hari yang mudah dipahami.
Pengetahuan tentang kebencanaan seyogianya menjadi muatan lokal di wilayah yang
paling rawan gempa.
Bahwa berharap semata hanya pada kearifan lokal atau local knowledge masyarakat bukan hal yang tepat. Sebaliknya, mengandalkan keakuratan sistem peringatan dini tsunami juga hal yang rentan karena waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan peringatan sampai pada perintah evakuasi akan memakan waktu lebih banyak ketimbang waktu yang tersisa untuk evakuasi itu sendiri. Diperlukan suatu sistem yang memadukan keduanya, dimana kebiasaan merespon gejala tsunami terus digalakkan dengan (misalnya) berlari ke tempat tinggi, sementara di lain pihak perlu terus dilakukan peningkatan efisiensi peringatan dini tsunami. Ini satu contoh saja bagaimana mensimetriskan hubungan antara local dan expert knowledges dalam penanggulangan bencana alam.
Peningkatan pengetahuan masyarakat tentang bencana gempa dengan kearifan lokal lingkungan sangat penting untuk peningkatan kapasitas dan harmonisasi budaya hidup di daerah rawan gempa dengan menata ulang sarana infrastruktur fisik dan saling mengingatkan masyarakat dalam kearifan lokal, untuk menjauhkan tingkat bahaya agar dapat menekan kendala besar dalam membangun fundemental pembangunan antara relasi ilmu pengetahuan gempa dengan kearifan lokal dalam menghadapi bencana alam yaitu pengetahuan kearifan lokal, merupakan pengetahuan yang melekat di masyarakat sekitar lokasi bencana yang terbangun atas dasar pengalaman mereka mengalami kejadian bencana, dan kedua, pengetahuan ilmu gempa atau expert knowledge, dibangun atas dasar serangkaian aktivitas riset yang dilakukan oleh para pakar (ilmuwan).
Relasi ideal keduanya tentu saja seharusnya simetris, dimana pengetahuan kearifan lokal bisa menjadi referensi bagi para pakar untuk menyimpulkan kondisi dan penanganan suatu bencana, begitupun sebaliknya. Resultan antara pengetahuan kearifan lokal dengan pengetahuan ilmu gempa, inilah yang kemudian bisa dijadikan pijakan penyusunan manajemen dan pembangunan tata ruang fisik kota di Indonesia.
M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Tata Ruang dan Lingkungan, Energi Geosfer
Komentar
Posting Komentar