Jul 4, 2012

Integrasi Laut pulau Perbatasan : Geologi Kelautan


INTEGRASI LAUT PULAU PERBATASAN 
Oleh : M. Anwar Siregar 
Pola pembangunan daratan saat ini tidak menunjukan sesuatu yang dapat dibanggakan, Indonesia gagal dalam meredam tingkat kerawanan tata ruang daratan dalam mengendalikan jumlah korban bencana bila terjadi gempa, dan semua gempa dahsyat lebih dominan terjadi di lautan. Pola pembangunan riset dan ketataruangan kelautan adalah jawaban yang dapat menegaskan bahwa Indonesia bisa menjadi bangsa yang disegani karena visi bahari yang telah lama dikembangkan oleh nenek moyang dengan membuktikan hal tersebut sebagai bangsa ulung yang menguasai teknologi dan perencanaan ketataruangan pelabuhan pulau terpencil yang terintegrasi dengan daratan. 
INTEGRASI LAUT 
Dengan datangnya bencana bertubi-tubi di daratan dan gagal seluruh pembangunan yang berorientasi daratan seharusnya pemerintah pusat dan daerah yang memiliki pulau-pulau terluar diperbatasan mengalihkan dan mengubah paradigma perencanaan pembangunan ketataruangan kewilayahan dengan fokus pada peningkatan pembangunan sarana dan prasarana di daerah kepulauan dan pulau-pulau terluar, dapat dilakukan dengan meningkatkan dana anggaran pembangunan dengan persentase besarannya untuk pembangunan infrastruktur yaitu Tanah (daratan) sebesar 35 persen dari total dana pembangunan yang dialokasi dari APBN-APBD, sisanya untuk pembangunan Air (laut) di kepulauan perbatasan sehingga kompleksitas permasalahan pembangunan perbatasan teratasi dan laut tidak dianggap pemisah antara pulau tetapi dijadikan sebagai perekat secara geografis dan historis. 
Untuk memperkuat integrasi Tanah Air (Darat-Laut) terutama memperkuat laut yang selama ini kurang perhatian sehingga mengundang Negara-negara sekitar untuk melakukan tindakan invasi secara de facto dan yuridiksi kedaulatan seperti dilakukan Malaysia, pemerintah sewajarnya meningkatkan pembangunan prasarana pelabuhan baru di pulau terpencil perbatasan yang berbatas langsung dengan pertumbuhan ekonomi antar kawasan dan juga jalur lalu lintas pelayaran “potong kompas” di beberapa wilayah antara lain kawasan Sangihe (Sulawesi Utara), Biak (Papua), Tarakan (Kalimantan Timur), Pulau Bintan dan Natuna (Kepri), Kupang (NTT), Kepulauan Maluku, dan beberapa gugusan pulau-pulau di sebelah barat pantai sumatera, semua bertujuan untuk mempersingkat rentan waktu dan pengendalian pengawasan keutuhan NKRI sekaligus menegaskan Indonesia adalah Negara Bahari, bukan mengandalkan pelabuhan besar yang ada seperti pelabuhan Belawan di Medan, pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta, pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya, pelabuhan Tanjung Mas di Semarang, dan pelabuhan Soekarno-Hatta di Makassar. 
Bertitik tolak dari peningkatan pembangunan dikawasan pertumbuhan ekonomi antar kawasan dan mengingat sangat luas wilayah Indonesia yaitu 5,8 juta km2 atau hampir sepanjang Benua Eropa dan panjang pantai sekitar 81.000 kilometer atau mendekati 25 persen panjang pantai samudera di dunia seharusnya Pemerintah Pusat mengembangkan pola pembangunan integrasi laut lingkar luar ke dalam, karena halaman depan RI sebagai pemersatu harus diperbanyak pengembangan pembangunan pelabuhan (hub port). 
Sebagai perbandingan antara Indonesia-Jepang, di Indonesia: terdapat 5 pelabuhan besar perikanan samudera, 68 pelabuhan sedang, luas laut kedaulatan Indonesia 3,1 juta km2, luas laut zona ekonomi ekslusif (ZEE) sekitar 2,7 juta km2, rasio perbandingan antara luas panjang pantai dengan jumlah pelabuhan yaitu 1 pelabuhan melayani 4500 kilometer panjang pantai. Sedang di Jepang memiliki panjang pantai 34.000 terdapat 4000 pelabuhan yang memberi pelayanan untuk sepanjang 11 kilometer panjang pantai dan menghasil sumbangan GDP 54 % dari total GDP Jepang. Dengan rasio tersebut, sudah jelas tidak menjangkau luas wilayah maritim Indonesia sehingga pengembangan pembangunan pelabuhan antar kawasan antar Negara diperbanyak untuk mengintegrasikan menjadi “perekat” darat-laut di pulau terpencil perbatasan. 
Dan sampai sekarang pola pembangunan tersebut setengah hati ditindak lanjuti serta sangat ironis bagi Indonesia dan semboyan nenek moyangku pelaut tinggal cerita pedih. Selain tersebut diatas, yang paling penting dan utama dalam konsep pembangunan kelautan yang berwawasan Nuasantara dari semua tersebut diatas adalah peningkatan alutista (alat utama sistim pertahanan) TNI AL perlu ditingkatkan untuk pengamanan perairan Indonesia sehingga TNI AL tidak perlu mengandalkan peta-peta kerawanan, apalagi menggeser kapal perangnya ke titik-titik terdepan atau lingkar luar RI tetapi mampu menggelarkan kekuatan kapal perangnya disepanjang pantai Indonesia. maka tingkat pencurian ikan oleh nelayan asing dapat ditekan dan kalau perlu dijadikan saja kapal nelayan itu sebagai “sasaran latihan”. Kelemahan ini telah sering dimanfaatkan Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam memasuki laut teritorial Indonesia karena beranggapan teknologi kapal Indonesia sudah “kuno”. 
PERMASALAHAN PERBATASAN 
Urgensi dari permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia terutama menyangkut perbatasan dengan Negara lain antara lain adalah pertama, bentangalam geologi landas kontinen diperbatasan antara RI dengan 10 negara tetangga sangan luas dan tipologinya bervariasi, batas-batas landas kontinen yang menyangkut aspek geologi kelautannya dan sejarah pembentukan wilayah itu sangat rumit. 
Kedua, kawasan perbatasan merupakan daerah yang sangat terpencil dan rata-rata jarak ke wilayah dalam RI cukup jauh, sedangkan ke wilayah Negara tetangga sangat dekat sehingga daerah ini menghadapi tantangan dan kendala yang cukup berat dalam penanganan kawasan, sehingga potensi sumber daya geologi kelautannya kurang di kelola, terutama dalam mendatangkan inevestor swasta. Ketiga, pendataan administratif nama-nama pulau yang belum terdata dengan baik sehingga memerlukan suatu pemetaan geologi-geodesi batas laut dan data historis sosial dan budaya diwilayah terdepan saat menyulitkan bagi penentuan segmen garis batas dengan Negara tetangga baik batas darat maupun batas laut, dan masih banyak batas wilayah Indonesia menggunakan batas ilustratif. 
Keempat, faktor kesenjangan pembangunan dikawasan perbatasan Indonesia merupakan kawasan tertinggal dengan sarana dan prasarana infrastruktur, komunikasi, sosial dan ekonomi yang terbatas sehingga pengelolaan sumber daya kelautan semakin terbatas, produkvitas sangat rendah, dan menyebabkan masyarakat diwilayah perbatasan lebih berorientasi ke Negara tetangga, misalnya Malaysia telah membangun pusat-pusat pertumbuhan di koridor perbatasannya melalui berbagai kegiatan ekonomi dan perdagangan, dapat menimbulkan suatu aspek degradasi psikologis terutama nasionalisme. 
Kelima, dengan kesenjangan pembangunan tersebut, akan berdampak pada peningkatan aktivitas illegal di wilayah perbatasan antara Negara dengan meningkatnya eksploitasi sumberdaya alam dan manusia yang tidak terkendalikan seperti illegal logging, illegal worker, illegal trading, illegal finishing dan illegal trafficking sehingga dapat mengancam kedaulatan wilayah Negara akibat belum jelasnya batas teritorial, batas geologi landas kontinen dan batas daratan. 
Keenam, belum adanya lembaga yang mengatur prinsip-prinsip kadaster di wilayah laut, yaitu mencatat batas-batas dan penggunaan ruang laut oleh masyarakat dan pemerintah, perlindungan ruang laut, konservasi, taman laut nasional. Lembaga ini merupakan sistim Negara dalam mengadministrasikan sumber-sumber kekayaan kelautan dalam konteks UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea). 
M. Anwar Siregar Geolog, Pemerhati Masalah Lingkungan-Geosfer, Tulisan ini sudah dipublikasi

Related Posts :