Euforia Demokrasi Di Indonesia
EUFORIA DEMOKRASI DIINDONESIA
Oleh M. Anwar Siregar
Eskalasi politik di Indonesia
telah bergerak cepat melebihi kecepatan waktu, politikus di Indonesia betul-betul memanfaatkan momen ini
dengan tumbangnya junta orde baru (orba) dengan keluarnya peraturan yang
mengizinkan terbentuknya berbagai macam partai politik di Indonesia. Eskalasi ini terus
bergerak lagi dengan banyaknya perubahan-perubahan yang timbul di masyarakat
dengan berbagai tuntutan terhadap rezim orba. Salah satunya adalah membawa
mereka ke pengadilan rakyat ataupun koneksitas. Namun dipihak lain, perubahan
ini telah banyak merenggut korban akibat keganasan politik yang memanas demi
mempertahankan rezim yang telah tumbang dengan dibuktikan kekacauan pada era
reformasi. Pergerakan ini telah mengundang pihak luar terus mengawasi demokrasi
yang mengalir seperti air hujan yang tak terbendung. Terus merangsek untuk
memenuhi deklarasi reformasi yang dicetuskan oleh para mahasiswa, selanjutnya
mereka dikenal pahlawan reformasi untuk memutuskan segala aspek penyelewengan
yang pernah terjadi selama pemerintahan orla maupun orba. Salah satu yang
paling menonjol adalah penangkapan pertanggung jawaban terhadap pelanggaran HAM
di berbagai daerah seperti di Papua, Kalimantan,
Riau, Aceh maupun Maluku.
JUNTA ORBA
Selama junta orba memimpin negeri ini, Soeharto berhasil menata
perangkat-perangkat ketatanegaraan, mengatur segala strategis dengan dalih
menjalankan amanat rakkyat, pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen,
pengaturan pemilu dan penjaringan
anggota DPR/MPR harus melalui pihak
eksekutif, tujuannya dapat mencabut hak anggota legislative yang vocal, agar
tatanan yang sudah diatur atau dibuat tidak mengalami gangguan, serta
keselamatan dan kesinambungan kekuasaan tetap berlangsung. Segala aspirasi
rakyat, lembaga atau institusi mengalamipenymbatan yang luar biasa ketat,
sampai rakyat dan politikus yang vocal akan dikenakan undang-undang subversive,
mereka dianggap perusak negara. Demi
terjaganya kestabilan dan keamanan negara mereka perlu dimasukkan ke dalam
penjara. Inilah yang menimbulkan amarah rakyat, dilain pihak lembaga yudikatif
tak diberi peluang untuk berkembang dan menjalankan fungsinya. Soeharto dengan
rezim kekuasaan betul-betul menjalankan pemerintahan ini seperti ”tangan besi”,
ia rupanya belajar dari kejatuhan presiden RI pertama dimana unjuk rasa
pembubaran PKI dan terbentuknya mahasiswa kritis lebih dikenal sebagai angkatan
66.
Seluruh aktivitas pemerintahan
harus melalui sentralistik yaitu di Jakarta, segala aspek keputusan pemerintahan,
pemilihan kepala pemerintahan, pembagian perimbangan keuangan, sumber daya alam
semuanya melalui pengontrolan rezim orba seampai terjadinya ketimpangan
kemajuan, keadilan dan kemakmuran yang sangay tajam dan meruncing sehingga
menimbulkan kecemburuan di era reformasi sekarang. Sedang para kroni-kroni
Soeharto hidup berfoya-foya diatas penderitaan rakyat, tidak salah jika
mahasiswa menuntut diadakan pengadilan rakyat bila pihak yudikatif tak mampu
menjalankan fungsinya.
Kran demokrasi ditutup dikarenakan
rezim ini tak menginginkan rakyatnya menjadi pintar, maka dilakukan pembodohan
dan penindasan bagi rakyat yang vokal. Dalam proses demokrasi di suatu negara
seperti Indonesia, akan terjadi penjegalan bagi mereka yang terpelajar. Bila
rakyat cerdas, akan susah mengatur orang yang cerdas-cerdas ini karena
menyangkut kebijakan pemerintahan akan mendapat koreksian, dan pendapat berupa
kritikan yang tajam membuat peraturan itu tak akan berjalan dan membahayakan
kelangsungan pemerintahan, ini disadari Soeharto yang memang sangat alergi yang
nama unjuk rasa, maka kita lihat sekarang dimana euforia demokrasi berlangsung
tanpa batas di Indonesia.
GELEGAR PARLEMEN
Sejak Mr. Gus Dur terpilih
menjadi orang nomor satu di negeri nomor saterbesar di Asia Tenggara ini,
pentas politik Indonesia langsung berubah cepat dari mulut yang ”diberendel”
sampai terjadi euforia yang menggelagar ke sudut-sudut di belahan bumi lainnya
membuat Indonesia semakin terkenal selain krisis ekonominya. Riuh rendahnya
politik yang bergema di parlemen sangat jauh terasa ketika rezim orba berkuasa,
mereka hanya datang, duduk, diam, lalu duit (4D) tanpa berbuat apa-apa yang
terpenting bagi rakyat, kecuali hanya mengangguk-angguk seperti anak kecil,
ketika suara dinyatakan dengan koor yang panjang seperti pengambilan keputusan,
terdengarlah suara menggelagar di parelemen ”setuju” ketika Soeharto terpilih
lagi menjadi presiden.
Namun suara itu masih
terdengar namun konteksnya sudah berbeda, yang terdengar dari anggota wakil
rakyat ini hanya suara interupsi, protes ketikpuasaan, saling berdebat dengan
tangan tak pernah diam bergerak. Mulut melontarkan kritikan tajam dan pedas,
yang menunjukkan agresivitasnya sebagai wakil rakyat.
Perilaku anggota parlemen ini
betul-betul berubah, sebelumnya mereka terkenal julukan 4 D, sekarang
berperilaku agresif kadang mendekati suatu pertentangan yang tidak umum, karena
seperti ingin saling menjatuhkan dan berkuasa. Euforia ini benar-benar sudah
terjangkiti tanpa menggunakan akal yang jernih dan malah menimbulkan pertikaian
antar elite yang sangat berambisi untuk menunjukkan sebagai partai yang layak
membawa suara rakyat.
Puncak gelegar demokrasi yang
ada di parlemen diperuncingkan dengan konflik antar pendukung, setiap hari
datang membanjiri Senayan. Titik konflik itu semakin memuncak dengan keluarnya
pansus DPR dan berakhir dengan keluarnya memorandum I dan menunggu memo II.
Konflik inilah yang membuat parlemen riuh rendah dan penuh intrik-intrik, tipu
muslihat untuk melakukan hantaman keras terhadap lawan politik, ujung-ujungnya
rakyatlah yang jadi korban.
Agresivitas anggota parlemen
(DPR) memang sangat diharapkan rakyat agar kontrol terhadap eksekutif dapat
berjalan dengan baik asalkan euforia yang tidak berlebihan, karena hal ini
dapat menggeser kepercayaan rakyat terhadap lembaga tinggi negara dan berakibat
hancurnya negara ini. namun begitu, kontrol ini sudah lebih baik dan beradab
dari kepemimpinan sebelumnya untuk menunjukkan etika politik modern yang lebih
beradab, terukur dan rasional, suatu kondisi bangsa yang baru lepas dari rezim
yang otoriter karena bangsa Indonesia setelah setengah abad merdeka tak pernah
diberikan kecerdasan dalam berpolitik, perakayasaan disana-sini oleh rezim orba
guna menuju kepada demokrasi (banyak negara mengalami hal ini, kacau, kerusuhan
dan anarkis seperti di India, Philipina dan terakhir Indonesia).
EUFORIA
DEMOKRASI
Euforia demokrasi di Indonesia
kini bukan lagi dilakukan oleh mahasiswa sebagai pencetus orde reformasi dengan
menumbangkan junta orde baru sampai menelan korban, tetapi juga kini lapisan
masyarakat vawah berjuang untuk menuntut hak dan keadilan dalam demokrasi.
maraknya demokrasi yang
terjadi sekarang dikalangan mahasiswa berimbas juga kepada adik-adiknya yang
masih pelajar. Aksi mengerahkan orang banyak untuk berdemo di jalan telah
merasuki pelajar untuk unjuk “gigi” mengeluarkan pendapat dan ganjalan yang
mereka dapat.
Jika dicermati, aksi-aksi
massa yang berlangsung sangat ini di Jakarta menjadi tren dan wahana yang
paling disukai segala lapisan masyarakat tadi. Entah demokrasi itu dilakukan
untuk kepentingan atau mungkin ikut-ikutan agar tidak dianggap kuno oleh
rekannya, atau juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Seperti dilakukan oleh
pelajar-pelajar baik di Jakarta maupun daerah yang akhir-akhir ini marak dengan
demonstrasi, dengan cara dan pola pikiran mereka. Kita lihat pengaruh
lingkungan dapat membetuk karakter seseorang, bila hal itu terjadi di
lingkungan seorang pelajar atau masyarakat banyak terdapat demo, maka
masyarakat atau pelajar yang akhir-akhir ini berdemo dipastikan melakukan
peniruan.
Hal ini juga merupakan
perwujudan dengan terbukanya kran demokrasi, menginginkan rakyat melakukan
pengoreksian nilai-nilai yang dianggap merugikan, selain itu wujud dari
akumulasi kekecewaan rakyat dalam kurun 32 tahun orba karena mulut di
“berendel”.
Maka, begitu fenomena
demokrasi bergema di Indonesia, terjadilah euforia demokrasi yang bisa
dilakukan siapa pun, asal masih dalam koridor demokrasi yang sehat, aman, tanpa
melakukan anarkis, tak perlu beradu otot dan perang mulut dalam memanfaatkan
euforia demokrasi di Indonesia agar aksi-aksi massa dapat terkendalikan dengan
baik sebagai implementasi awal dari proses euforia demokrasi dan pembelajaran
demokrasi di masa depan
(Diterbitkan
harian Analisa Medan 2002), dipublikasi kembali untuk mengingat perjalanan
politik Indonesia ke era sekarang, masih ada gambaran kemiripan dengan kondisi
saat ini.
Komentar
Posting Komentar