Sep 8, 2016

Membunuh Kota dengan Kebijakan Politis

MENEROPONG KEBIJAKAN YANG MEMBUNUH KOTA
Oleh M. Anwar Siregar
Sudah sejak beberapa tahun silam dikumandangkan fenomena "bunuh diri ekologis"
(ecological suicide) dan "bunuh diri perkotaan" (urbicide atau urban suicide). Disebut bunuh diri karena tokoh-tokoh yang notabene dipercaya rakyat untuk mengelola kota justru yang "melukai" dan "membunuh" kotanya dengan aneka kebijakan yang merusak keseimbangan alam-manusia-lingkungan binaan (kutipan kalimat dari berbagai sumber). Buktinya lihatlah kota Jakarta, Medan dan Bandung sebagai kota besar sering mengalami kutukan banjir tahunan yang tidak pernah surut berhenti.
Latar belakang untuk meneropong kutukan bencana dapat dilihat dari kaitan kebijakan yang diambil selalu penuh muatan kepentingan diri dan politis sehingga sangat merugikan perkembangan tata ruang kota yang kadang para politikus banyak bermental “lembek” sehingga bukan saja melukai hati rakyat namun juga melukai “lingkungan” dan Tuhan Yang Maha Esa menurunkan azab bagi kesombongan manusia yang menjegal bumi menjadi banjir bencana.
KEPENTINGAN KEBIJAKAN
Pemerintah punya uang, punya wewenang, punya orang, jadi jangan bilang ‘susah mengatur masyarakat’. Tidak bisa mereka bilang seperti itu, Pemerintah punya wewenang, karena Pemerintah punya polisi, punya Pamong Praja, yang susah itu adalah memiliki pemikiran yang jernih dalam mengambil keputusan tanpa kepentingan politis diri sendiri.
Namun kenapa sekarang Jakarta , Medan dan beberapa kota di Indonesia mengalami musibah banjir dan longsor berulang? Saya jadi teringat Kota Jakarta yang begitu menyenangkan era tahun 1980an, ketika itu keindahan sekitar pantai utara Jakarta yang belum separah sekarang dengan isu reklamasinya yang dipimpin langsung oleh Gubernur Ali Sadikin, serta Sumatera Utara khususnya Kota Medan belum sekumuh sekarang dengan sungai-sungai kecilnya saja sudah menyebabkan banjir besar ke rumah penulis walau masih jauh dari Sungai Deli/Teladan, para Gubernur era itu sangat tegas dalam menjalankan implementasi aturan yang dibuat sehingga mereka tidak mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan. Itu terlihat dari beberapa publikasi era itu karena tidak penuh kepentingan pribadi sehingga tidak sulit mengambil keputusan.
Namun di era sekarang sangat susah mencari pemimpin yang ikhlas untuk membangun kota hijau tanpa mematikan kota dengan kebijakan yang dibuatnya. Coba lihatlah penataan ruang kota Anda di sekitar bantaran sungai ataupun lihatlah kondisi hulu di pegunungan sana , apakah ada pembangunan fisik berat yang seharusnya tidak dibangun? Jadi kita harus curiga kalau pemerintah sulit mengambil keputusan, punya kepentingan apa?. Asal jelas untuk kepentingan umum dan jangka panjang, dan saya rasa itu mendesak juga, kemendesakan juga penting, memang kita mau tenggelam bareng-bareng.
Perlu kita ingat, beberapa kota besar di Indonesia umumnya terletak pada posisi topografi rendah menghadap ancaman abrasi dan banjir ROB dari laut dan perubahan iklim global yang disebabkan oleh pemanasan global dengan naiknya permukaan air laut sehingga banyak sekali daerah yang harus dikorban, dengan melakukan pergusuran untuk apa? Kalau melihat gambaran Jakarta di era Ahok sekarang rasanya terlalu banyak kepentingan dibelakang semua ini menyebabkan kondisi ekologis kota dapat menyebabkan berbagai bencana dengan efek domino yang mengikutinya karena kemampuan untuk melakukan penataan tidak jadi penting. Sebaliknya sangat melukai masyarakat dan lingkungan di bumi.
Karena ruang khusus untuk masyarakat di negara-negara yang sedang berkembang seperti di Jakarta, Indonesia, hampir selalu kurang dan bahkan ada yang mulai diinvasi oleh private sector, dijadikan ruang publik milik privat. Tapi itulah kenyataan yang terjadi, lihatlah mall yang menyediakan ruang publik, demikian juga perumahan mahal yang menyediakan taman dan hutan kota yang orang mesti bayar jika ingin menggunakannya. Hal ini belum pernah ditemukan di era 1980-an dan 1990an, sehingga adanya dampak global di era sekarang dalam jangka panjang seperti perubahan iklim dan punahnya beberapa spesies langka. Penggundulan hutan dan pertambahan penduduk dan konsumsi sumber daya global serta pertumbuhan industri yang menyerobot lahan hijau maupun pertanian yang menghasilkan masalah tambahan bagi pelestarian jangka panjang bagi lingkungan.
MENEROPONG KOTA MATI
Abainya para pemangku keputusan dalam menjalankan kebijakan itu mengakibatkan beberapa elemen ekologis dalam ancaman besar, dapat menyebabkan kota menuju sakaratul maut dengan segala isinya yang ada didalamnya.
Terlihat beberapa kebijakan yang merusak kota dengan abainya otoritas politik dalam memperhatikan analisis mengenai dampak lingkungan. Bencana banjir yang melanda beberapa kota besar seperti Jakarta, Manado, Medan, Semarang dan Bandung tidak terlepas dari pelanggaran terhadap batas-batas keseimbangan lingkungan didaerah rawan dan tanpa informasi geologi fisik sehingga merancukan kekuatan daya dukung lingkungan.
Banjir yang terjadi karena bukan karena faktor cuaca yang masuk dalam daftar teratas dalam permasalahan banjir namun karena alih fungsi dari kasus-kasus masalah tata ruang lingkungan yang penuh kepentingan politis dan ekonomi bisnis yang menggurita karena no pro nature, no pro jobs, no pro-people and no pro culture.
Semakin sakitnya sebuah kota yang telah diidentifikasi menjadi calon kota tenggelam seperti Semarang, Jakarta ataupun sebentar lagi kota-kota besar di Sumatera seperti Medan, Padang ataupun juga Sibolga yang menghadap langsung ke lautan dapat dilihat dari kebijakan Pemerintah yang lamban dalam mengeluarkan aturan sanksi bagi mereka yang merambat dan merusak tata ruang hijau, parahnya kadang tidak ada sanksi, jika pun ada tidak menimbulkan efek jera.
Terlihat dari kelemahan UU Penataan Ruang Nomor 24 tahun 1992 karena tidak ada pasal mengenai sanksi, sedangkan UU No 26 Tahun 2007 belum mampu menekan pemerintah untuk memberikan sanksi pemenuhan amanah tata ruang hijau seluas 30% dan diperparah juga oleh begitu singkatnya moratorium untuk mencegah deforestasi serta pembubaran Badan REDD+, padahal semua tahu sumber utama permasalahan kerusakan hutan di kota adalah kebijakan pemerintah itu sendiri.
Calon kota mati akibat tenggelam karena ancaman perubahan iklim dari dampak ROB, Abrasi pantai dan Tsunami dan kota penuh sungai besar yang membelah tata ruangnya bisa sebagai jalur lintasan tsunami yang perlu diteropong dengan banyaknya ancaman banjir tahunan yang menjadi trade mark saat ini adalah Jakarta, Semarang, Medan, Banda Aceh, Batam, Padang, Lampung, Makassar, Manado dan Samarinda. Kota yang tidak dalam ancaman dari laut tetapi sering menjadi lautan banjir adalah Bandung dan Palembang .
Masih banyak kebijakan Negara tidak berpihak pada tata ruang lingkungan dan keberlajutan perberdayaan masyarakat sehingga mereka kadang membalas dendam dalam bentuk tidak patuh kepada aturan dan penguasa termasuk para wakil rakyat.
REFLEKSI KEBIJAKAN
Perlu refleksi kebijakan dalam mengurai bencana banjir dan longsor yang sering terjadi. Bencana banjir akibat hilangnya kemampuan sungai di hulu kota, saat ini hanya bisa menyerap air sampai 45%, selebihnya diluluskan dalam air aliran (run off), sebab sungai di hulu saat ini bukan lagi lokasi tempat daerah reservoir air, kini telah berubah menjadi ancaman banjir tiap tahun menuju ke daerah hilir. Sistim yang merusaknya adalah etika kebijakan pembangunan ekonomi yang tidak green ecologi, terlihat dengan berubahnya sistim pertanian dan kehutanan menjadi daerah yang sangat gersang.
Perlu refleksi kebijakan dalam pembangunan berkelanjutan dengan mengubah menjadi masyarakat berkelanjutan, bertujuan menekan terjadinya dampak perusakan lingkungan, karena sangat ini pergusuran kawasan hijau lebih dominan dibandingkan perusakan lingkungan oleh masyarakat, justrunya para pengambil keputusan itu lebih dominan melakukan pergusuran kawasan hijau yang rusak, kuburan bisa juga dibongkar untuk menjadi kawasan perkantoran, pantai diuruk lalu dikapling-kapling setelah direklamasi lebih dulu (contoh Jakarta) dan sebentar lagi beberapa kota lainnya mengikuti jejaknya.
Perlu renungan kebijakan dalam pemberian izin dikawasan hijau seperti kawasan perkebunan dan pertambangan dalam kawasan hutan lindung yang sudah diterbitkan dengan mencabut izin bagi pelanggar pembangunan di kawasan hulu dan pendekatan bioregion demi menjaga aset lingkungan hijau kota agar tidak terjadi konflik horizontal.
M. Anwar Siregar
Geolog, Bertugas di Padangsidimpuan
Tulisan ini sudah di Publikasi di Harian ANALISA MEDAN. Tgl 6 September 2016

No comments:

Post a Comment

Related Posts :