Sep 17, 2016

Pelajaran Gempa Itali & Burma Bagi Indonesia



PELAJARAN GEMPA ITALIA DAN BURMA BAGI INDONESIA
Oleh M. ANWAR SIREGAR

Dalam waktu hampir bersamaan terjadi gempa bumi di kawasan yang berbeda, menunjukkan bumi adalah makhluk hidupo yang terus bergerak dengan evalusi berjalan menurut kodratnya. Bumi menggeliat itu adalah tanda bahwa bumi memerlukan evolusi ruang dan waktu bagi dirinya untuk menujuk ketitik seimbangan. Dan bangunan yang berada diatrasnya harus menyesuai kondisi geraka bumi dalam hal ini adlah tubuh bumi berupa lempeng yang terdiri tujuh lempeng besar dan beberapa sub lempeng kecil yang mengapung atau bergerak dipermukaan bumi. Gerak lempeng bumi itu ada berbagai variasi kecepatanya dan kadang menimbuuklan seperti sentakan yang digeraka dalam bentuk tubukan, bersegekan dan menjauh sehingga bangunan diatasnya akan merasakan getaran seperti manusia jika mengalami penekanan lalu salah melepaskan akan jatuh karena tekanan keseimbangan yang hilang
.
GEMPA BURMA-ITALIA
Penjalaran seismik sangat mudah menjangkau wilayah Italia, terlihat dari efek perubahan batimetri dan topografi Benua Eropa yang terus mengalami tekanan akibat pembenturan antar lempeng bumi Eurasia dengan Lempeng Afrika. Selain itu, hasil penemuan beberapa zona patahan yang terdapat di wilayah Balkan dengan adanya mobilisasi lempeng kecil yang dikenaka sebagai lempeng Adria Selatan yang terus menuju ke selatan Balkan.
Proses pembenturan itulah penyebab Italia sering mengalami bencana dalam rentang 7 tahun terakhir dengan kekuatan gempa kuat mencapai 6.0-7.0 Skala Richter karena kepulaauan Italia berada dalam lajur tumbukan dan tatanan geologinya berada dipinggiran lempeng, sehingga akumulasi tekanan akan membentur ujung lempengan sebagai pusat energi seismik. tatanan geologi lainnya, adalah terjadinya ruas terkunci di ujung utara Italia yang berbatas langsung dengan daratan Benua Eropa.
Gempa Burma dalam waktu enam bulan Burma juga sering mengalami gempa, sebagian daratan berada dalam posisi ruas terkunci bila akumulasi gerak lempeng Pasifik ke Daratan Asia melalui zona kegempaan negar-negara Ras Kuning dan selain tekanan tahunan dari lempeng Indo-Australia.
Gempa Bumi Burma sering terjadi dikawasan yang berbatas dengan India-Nepal, merupakan bagian dari rangkaian kaki Pegunungan Himalaya yang melintas Patahan Besar sagaing dan menekan ruas patahan lokal Chauk, patahan di Burma masih berkorelasi dengan zona patahan di semenanjung Malaya serta Patahan di Patahan Barat Sumatera.


Kerusakan Pagoda di Myanmar Akibat Gempa 6,8 SR (Foto: REUTERS/Stringer)
PELAJARAN MITIGASI GEMPA
Melalui pengalaman sejarah panjang bencana besar yang pernah terjadi di Nias, Aceh, Chili. Jepang, Tiongkok dan Italia dapat ditarik hikmah dan pembelajaran. Yang paling penting adalah bagaimana membangun tata ruang kota yang berbasis gempa dan lingkungan. Indonesia yang termasuk paling rentan terhadap getaran seismik seharusnya telah memiliki sistim perencanaan tata ruang geologi fisik yang berketahanan bencana. Perencanaan pembangunan dari pelajaran bencana sudah harus tertanam sejak dimulainya pembangunan dan komitmen pembangunan sumber daya manusia yang tangguh menghadapi bencana.
Pembangunan kapsitas SDM masyarakat sangat perlu ditingkatkan karena saat ini masih dalam posisi yang terbawa dibandingkan dalam struktur penanganan bencana, sedangkan SDM penelitian tentang bencana alam justrunya lebih cepat, selain itu kualitas SDM dalam penanganan bencana juga masih belum optimal terlatih sehingga perlu diperbanyak pengembangan kualitas penanganan SDM sebelum terjadi bencana, karena selama ini konsep yang selalu digunakan adalah pra bencana, setelah dan pasca bencana. Kondisi ini harus diubah dengan melalui pengambangan sebelum pernah terjadi bencana.
Darinya, melalui perencanaan yang berkomitmen dan pendidikan dengan materi yang tepat seyogianya dapat dibentuk karakter ketahanan masyarakat terhadap bencana yang kelak membentuk budaya ketahanan berbasis kearifan. Hal ini bukan saja demi mitigasi dan perlindungan diri, tetapi juga secara kreatif kelak dapat menjadi model dan rujukan bagi wilayah lain. Artinya, kerentanan bencana gempa di Indonesia terhadap bencana kiranya dapat ditransformasi menjadi keunggulan wilayah. Seperti keberhasilan Jepang. Mudah-mudahan kita terbangunkan dalam hal ini.
Antisipasi dampak bencana bisa dimulai dari masyarakat. Caranya beragam, baik dengan memasukkannya ke dalam kurikulum sekolah atau setidaknya melakukan simulasi menghadapi bencana secara berkala di daerah-daerah yang rawan. Di sisi lain, untuk mengoptimalkan kinerjanya, pemerintah pun perlu meningkatkan pengetahuan dalam menangani bencana dengan belajar dari negara lain terutama, sekali lagi dari Jepang.
Ruang mitigasi, atau ruang evakuasi memang perlu. Sering kali kita lupa menyediakan ruang ini, sehingga saat bencana datang kita gamang dimana wilayah area aman tempat korban harus dievakuasi. Di saat keadaan normal, mungkin area ini dapat difungsikan sebagai wilayah publik seperti sebagai taman kota, atau lapangan olah raga. Perencanaan penataan ruang harus meliputi identifikasi zona-zona kegempaan, sehingga mitigasi efektif. Perencanaan pembangunan fasilitas seperti pemukiman, rumah sakit, gedung pemerintahan yang vital dibangun ditempat yang tepat.
Posisi Lempeng yang mengelilingi Indonesia seharusnya sudah memberikan pembelajaran building code, dan peningkatan kualitas dan kapasitas SDM untuk bersiap menghadapi berbagai elemen bencana alam. Namun paradigma ini belum dioptimal oleh pemerintah.
Sayangnya, tata ruang wilayah yang berketahanan gempa di Indonesia belum ada satupun, yang baru ada pengembangan dan pengenalan pengetahuan tentang bagaimana menghadapi gempa dalam bentuk pamplet, museum atau non strukturan dan belum membumi untuk mendidik masyarakat agar menambahkan dalam struktural fisik
KETAHANAN BANGUNAN
Pelajaran gempa Italia dan Burma bagi Indonesia adalah ketahanan bangunan fisik, sarana peribadatan, rumah tempat tinggal, gedung pemerintah dan publik dan bangunan infrastruktur fisik jalan harus sudah berstandar building code.
Banyak bangunan tua di Tanah Air sudah saatnya di cek kekuatan fisiknya mengingat pembangunan itu telah memasuki umur rata-rata diatas 100 tahun. Banyak bangunan tua sudah jadikan cagar budaya yang berupa museum atau juga kota wisata tua. Jelas hal ini akan membahaya kondisi sekitarnya dan mengingat 70 persen lokasi kota dan bangunan tua di Indonesia berada dijantung bencana gempa, dan kekuatan yang gempa disekitar bangunan itu dapat mencapai resonasi seismik ke bangunan puncak 6.6-7.0 SR.
Dan perlu diketahui juga, kekuatan tanah dapat mempercepat responsibilitas seismik lebih kencang lagi karena umumnya tanah di kota-kota besar di Indonesia adalah tanah yang belum terpadat dengan baik dan berusia geologi kuarter atasu sekitar 50-70 juta tahun lalu terbentuk dan kini sudah dipastikan banyak mengalami penurunan akibat laju pembangunan fisik dengan bangunan berumur ratusan tahun, laju penurunan dapat mencapai 5 cm pertahun.
Terlihat dari bencana gempa Burma dan Italia, banyak bangunan hancur umumnya adalah bangunan tua yang berumur ratusan bahkan ada berumur ribuan tahun. Dan kita tahu di Indonesia rancangan bangunan umumnya tidak berbasis seismik gempa dan memudahkan akan ada efek likuafaksi dan efek guncangan berganda bagi bangunan yang rubuh disekitar sehingga pembebanan tanah semakin tertekan dapat menghasilkan longsoran.
Kekuataan tanah di Indonesia dapat juga terjadi penurunan karena ada laju pengambilan air dan berkurangnya daerah resapan air berupa daerah hijau atau ruang terbuka hijau. Keduanya memiliki fungsi sebagai sabut pengaman bagi kekuatan pondasi bangunan yang tertancap di dalam tanah.
Saatnya pembangunan fisik tol, jalan, kereta cepat, bendungan dan gedung serta kawasan industri dan pemukiman berbasis building code, baik berupa basis banjir, basis hijau dan basis peredam seismik. Peningkatan kapasitas bangunan melalui retrofing bangunan, perkuat elemen tanah dengan meningkatkan stabilitas pengakaran serta membuat perisai tsunami dipantai serta penyebaran teknologi peringatan dini secara merata.
Khususnya pembangunan kereta cepat gempa sudah harus bertumpuk pada analisa dampak mengenai lingkungan serta apakah Indonesia dan Tiongkok sudah memiliki teknolgi canggih gempa? Dan khususnya Tiongkok sebagai pendamping apakah sudah mampu mengatasi gempa karena mengurus gempa bumi dinegerinya saja tidak mampu.
M. Anwar Siregar
Geolog.



No comments:

Post a Comment

Related Posts :