Pelajaran Gempa Itali & Burma Bagi Indonesia
PELAJARAN GEMPA ITALIA DAN
BURMA BAGI INDONESIA
Oleh M. ANWAR SIREGAR
Dalam waktu hampir
bersamaan terjadi gempa bumi di kawasan yang berbeda, menunjukkan bumi adalah
makhluk hidupo yang terus bergerak dengan evalusi berjalan menurut kodratnya.
Bumi menggeliat itu adalah tanda bahwa bumi memerlukan evolusi ruang dan waktu
bagi dirinya untuk menujuk ketitik seimbangan. Dan bangunan yang berada
diatrasnya harus menyesuai kondisi geraka bumi dalam hal ini adlah tubuh bumi
berupa lempeng yang terdiri tujuh lempeng besar dan beberapa sub lempeng kecil
yang mengapung atau bergerak dipermukaan bumi. Gerak lempeng bumi itu ada
berbagai variasi kecepatanya dan kadang menimbuuklan seperti sentakan yang
digeraka dalam bentuk tubukan, bersegekan dan menjauh sehingga bangunan
diatasnya akan merasakan getaran seperti manusia jika mengalami penekanan lalu
salah melepaskan akan jatuh karena tekanan keseimbangan yang hilang
.
.
GEMPA BURMA-ITALIA
Penjalaran seismik sangat
mudah menjangkau wilayah Italia, terlihat dari efek perubahan batimetri dan
topografi Benua Eropa yang terus mengalami tekanan akibat pembenturan antar
lempeng bumi Eurasia dengan Lempeng Afrika. Selain itu, hasil penemuan beberapa
zona patahan yang terdapat di wilayah Balkan dengan adanya mobilisasi lempeng
kecil yang dikenaka sebagai lempeng Adria Selatan yang terus menuju ke selatan
Balkan.
Proses pembenturan itulah
penyebab Italia sering mengalami bencana dalam rentang 7 tahun terakhir dengan
kekuatan gempa kuat mencapai 6.0-7.0 Skala Richter karena kepulaauan Italia
berada dalam lajur tumbukan dan tatanan geologinya berada dipinggiran lempeng,
sehingga akumulasi tekanan akan membentur ujung lempengan sebagai pusat energi
seismik. tatanan geologi lainnya, adalah terjadinya ruas terkunci di ujung
utara Italia yang berbatas langsung dengan daratan Benua Eropa.
Gempa Burma dalam waktu
enam bulan Burma juga sering mengalami gempa, sebagian daratan berada dalam
posisi ruas terkunci bila akumulasi gerak lempeng Pasifik ke Daratan Asia
melalui zona kegempaan negar-negara Ras Kuning dan selain tekanan tahunan dari
lempeng Indo-Australia.
Gempa Bumi Burma sering
terjadi dikawasan yang berbatas dengan India-Nepal, merupakan bagian dari
rangkaian kaki Pegunungan Himalaya yang melintas Patahan Besar sagaing dan
menekan ruas patahan lokal Chauk, patahan di Burma masih berkorelasi dengan zona
patahan di semenanjung Malaya serta Patahan di Patahan Barat Sumatera.
Kerusakan Pagoda di Myanmar Akibat Gempa 6,8 SR (Foto: REUTERS/Stringer)
PELAJARAN MITIGASI
GEMPA
Melalui pengalaman sejarah
panjang bencana besar yang pernah terjadi di Nias, Aceh, Chili. Jepang,
Tiongkok dan Italia dapat ditarik hikmah dan pembelajaran. Yang paling penting
adalah bagaimana membangun tata ruang kota yang berbasis gempa dan lingkungan.
Indonesia yang termasuk paling rentan terhadap getaran seismik seharusnya telah
memiliki sistim perencanaan tata ruang geologi fisik yang berketahanan bencana.
Perencanaan pembangunan dari pelajaran bencana sudah harus tertanam sejak
dimulainya pembangunan dan komitmen pembangunan sumber daya manusia yang tangguh
menghadapi bencana.
Pembangunan kapsitas SDM
masyarakat sangat perlu ditingkatkan karena saat ini masih dalam posisi yang
terbawa dibandingkan dalam struktur penanganan bencana, sedangkan SDM
penelitian tentang bencana alam justrunya lebih cepat, selain itu kualitas SDM
dalam penanganan bencana juga masih belum optimal terlatih sehingga perlu
diperbanyak pengembangan kualitas penanganan SDM sebelum terjadi bencana,
karena selama ini konsep yang selalu digunakan adalah pra bencana, setelah dan
pasca bencana. Kondisi ini harus diubah dengan melalui pengambangan sebelum
pernah terjadi bencana.
Darinya, melalui
perencanaan yang berkomitmen dan pendidikan dengan materi yang tepat seyogianya
dapat dibentuk karakter ketahanan masyarakat terhadap bencana yang kelak
membentuk budaya ketahanan berbasis kearifan. Hal ini bukan saja demi mitigasi
dan perlindungan diri, tetapi juga secara kreatif kelak dapat menjadi model dan
rujukan bagi wilayah lain. Artinya, kerentanan bencana gempa di Indonesia
terhadap bencana kiranya dapat ditransformasi menjadi keunggulan wilayah.
Seperti keberhasilan Jepang. Mudah-mudahan kita terbangunkan dalam hal ini.
Antisipasi dampak bencana bisa dimulai
dari masyarakat. Caranya beragam, baik dengan memasukkannya ke dalam kurikulum
sekolah atau setidaknya melakukan simulasi menghadapi bencana secara berkala di
daerah-daerah yang rawan. Di sisi lain, untuk mengoptimalkan kinerjanya,
pemerintah pun perlu meningkatkan pengetahuan dalam menangani bencana dengan
belajar dari negara lain terutama, sekali lagi dari Jepang.
Ruang mitigasi, atau ruang
evakuasi memang perlu. Sering kali kita lupa menyediakan ruang ini, sehingga
saat bencana datang kita gamang dimana wilayah area aman tempat korban harus
dievakuasi. Di saat keadaan normal, mungkin area ini dapat difungsikan sebagai
wilayah publik seperti sebagai taman kota, atau lapangan olah raga. Perencanaan
penataan ruang harus meliputi identifikasi zona-zona kegempaan, sehingga
mitigasi efektif. Perencanaan pembangunan fasilitas seperti pemukiman, rumah
sakit, gedung pemerintahan yang vital dibangun ditempat yang tepat.
Posisi Lempeng yang mengelilingi Indonesia
seharusnya sudah memberikan pembelajaran building code, dan peningkatan
kualitas dan kapasitas SDM untuk bersiap menghadapi berbagai elemen bencana
alam. Namun paradigma ini belum dioptimal oleh pemerintah.
Sayangnya, tata ruang wilayah yang berketahanan
gempa di Indonesia belum ada satupun, yang baru ada pengembangan dan pengenalan
pengetahuan tentang bagaimana menghadapi gempa dalam bentuk pamplet, museum
atau non strukturan dan belum membumi untuk mendidik masyarakat agar
menambahkan dalam struktural fisik
KETAHANAN BANGUNAN
Pelajaran gempa Italia dan
Burma bagi Indonesia adalah ketahanan bangunan fisik, sarana peribadatan, rumah
tempat tinggal, gedung pemerintah dan publik dan bangunan infrastruktur fisik
jalan harus sudah berstandar building code.
Banyak bangunan tua di
Tanah Air sudah saatnya di cek kekuatan fisiknya mengingat pembangunan itu
telah memasuki umur rata-rata diatas 100 tahun. Banyak bangunan tua sudah
jadikan cagar budaya yang berupa museum atau juga kota wisata tua. Jelas hal
ini akan membahaya kondisi sekitarnya dan mengingat 70 persen lokasi kota dan
bangunan tua di Indonesia berada dijantung bencana gempa, dan kekuatan yang
gempa disekitar bangunan itu dapat mencapai resonasi seismik ke bangunan puncak
6.6-7.0 SR.
Dan perlu diketahui juga,
kekuatan tanah dapat mempercepat responsibilitas seismik lebih kencang lagi
karena umumnya tanah di kota-kota besar di Indonesia adalah tanah yang belum
terpadat dengan baik dan berusia geologi kuarter atasu sekitar 50-70 juta tahun
lalu terbentuk dan kini sudah dipastikan banyak mengalami penurunan akibat laju
pembangunan fisik dengan bangunan berumur ratusan tahun, laju penurunan dapat
mencapai 5 cm pertahun.
Terlihat dari bencana
gempa Burma dan Italia, banyak bangunan hancur umumnya adalah bangunan tua yang
berumur ratusan bahkan ada berumur ribuan tahun. Dan kita tahu di Indonesia
rancangan bangunan umumnya tidak berbasis seismik gempa dan memudahkan akan ada
efek likuafaksi dan efek guncangan berganda bagi bangunan yang rubuh disekitar
sehingga pembebanan tanah semakin tertekan dapat menghasilkan longsoran.
Kekuataan tanah di
Indonesia dapat juga terjadi penurunan karena ada laju pengambilan air dan
berkurangnya daerah resapan air berupa daerah hijau atau ruang terbuka hijau.
Keduanya memiliki fungsi sebagai sabut pengaman bagi kekuatan pondasi bangunan
yang tertancap di dalam tanah.
Saatnya pembangunan fisik
tol, jalan, kereta cepat, bendungan dan gedung serta kawasan industri dan
pemukiman berbasis building code, baik berupa basis banjir, basis hijau dan
basis peredam seismik. Peningkatan kapasitas bangunan melalui retrofing
bangunan, perkuat elemen tanah dengan meningkatkan stabilitas pengakaran serta
membuat perisai tsunami dipantai serta penyebaran teknologi peringatan dini
secara merata.
Khususnya pembangunan
kereta cepat gempa sudah harus bertumpuk pada analisa dampak mengenai
lingkungan serta apakah Indonesia dan Tiongkok sudah memiliki teknolgi canggih gempa?
Dan khususnya Tiongkok sebagai pendamping apakah sudah mampu mengatasi gempa
karena mengurus gempa bumi dinegerinya saja tidak mampu.
M. Anwar Siregar
Geolog.
Komentar
Posting Komentar