Sep 1, 2016

Bahasa Kekerasan Unjuk Rasa



UNJUK RASA DAN BAHASA KEKERASAN
Oleh M. Anwar Siregar

Aksi yang mengerahkan orang banyak memang diperlukan untuk mengembangkan suatu produk demokrasi yang menyumbat aspirasi rakyat, bila lembaga yang mewakilinya telah mengalami posisi yang tidak berkutik alias tak mampu dan mati. Seperti yang terjadi pada awal reformasi dalam menumbangkan Soeharto pada Mei 1998.
Aksi massa akhir-akhir ini kembali menggelegarkan di Indonesia terpicu oleh beberapa factor, factor kenaikan BBM, tariff dasar listrik (TDL), dan perseteruan elite belum juga berakhir membuat situasi keamanan nasional mengalami kekacauan. Apalagi saat ini mahasiswa sedang liburan akademis maka dipastikan beberapa mahasiswa di daerah akan mengumbarkan orasi tuntutan terhadap pengunduran Gus Dur dari singgana kepresidenan.
Aksi unjuk rasa antara dua pendukung yang berbeda dipastikan saling unjuk kekuatan. Unjuk rasa di era reformasi jarang berlangsung dengan tertib, munculnya euforia yang cenderung tidak tertib dan tak terkendalikan dan bahkan menyimpang dari maksud awal terjadinya reformasi. Dalam era reformasi ini ditafsirkan menjadi kemauan, keinginan dan nafsu masing-masing orang, kelompok dan parpol tertentu yang mempunyai target tertentu.
Jika dicermati, aksi unujk rasa massa sudah menjadi wahana yang paling disukai masyarakatdi era reformasi, terjadi perbedaan sedikit saja telah menimbulkan gelombang demo dimana-mana. kenaikan tarif BBM, tuntutan pengunduran Gus Dur adalah contoh yang mengundang demonstrasi. Berbagai cara mereka lakukan dalam mewujudkan keinginan agar tuntutan terpenuhi, ada yang menggunakan unjuk rasa dengan mogok makan, tanpa peduli dengan kesehatan seperti yang dilakukan mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di tanah air.
Semaraknya aksi-aksi ini mungkin disebabkan oleh ketidakpercayaan masyarakat terhadap wakil-wakil rakyat, hukum, dan lembaga peradilan di negeri ini, juga dipicu oleh ketidakaktifan para elite politik yang selalu memperlihatkan suatu perdebatan konfrontasi yang tiada habisnya yang dipublikasi media massa secara terus menerus. Pertikaian dan ”perkelahian” telah mengantarkan terjadinya perang pendukung dengan bahasa kekerasan berupa ancaman intimidasi terhadap anggota dewan belum lama ini dan juga melakukan perusakan bangunan-bangunan milik umum. Keberingasan massa semakin tak terkendalikan dengan munculnya pasukan berani mati, memperparah kondisi ekonomi tambah semakin terpuruk. Secara realitas, masyarakat itu sendirilah yang mengalami penderitaan akibat tindak kekerasan dari unjuk rasa.
EUFORIA DEMOKRASI
Perbandingan unjuk rasa di luar negeri, terutama negara-negara yang demokrasinya telah maju, akan terlihat sangat jelas berbeda dibandingkan unjuk rasa di tanah air. Di Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan juga Perancis unjuk rasa akan berjalan dengan tertib, menoton, sehingga tidak akan menimbulkankerusakan milik umum, lalu lintas tak akan macet berjam-jam. Yang ada Cuma teriakan tuntutan dan spanduk berisi aspirasi kepada penonton. Selanjutnya dihadapkan kepada pihak berwenang (wakil rakyat), tidak akan terlihat intimidasi terhadap pihak keamanan, lemparan batu dan pembakaran ban-ban tak akan terlihat dominan. Dan membiarkan pengunjuk rasa tetap aman karena yakin tuntutan akan terpenuhi dan diumumkan keesokan harinya.
Tetapi lihatlah di Indonesia, begitu keras demokrasi di buka, maka muncullah euforia yang menggelegarkan tanpa mengenal etika lagi, padahal di zaman orba, tindakan bruntalisme tidak atau jarang muncul selama 32 tahun kekuasaan ini berlangsung, yang ada pawai kampanye dan demokrasi sandiwara dengan sutradaranya adalah Tuan Soeharto dengan menggunakan petunjuk tangan besi. Unjuk rasa di Indonesia telah banyak menelan korban, harta dan nyawa sampai pembakaran seperti kejadian Mei tahun 1998, mampu melumpuhkan roda perekonomian dan bisnis karena beberapa pusat perdagangan memilih tutup, lalu lintas sampai terjadi antrian panjang sejauh lebih 10 kilometer, tidak segan melakukan pemblokiran dengan cara menebang pohon yang menghambat perjalanan. Euforia demokrasi dalam era reformasi ini telah mengalami sisi negatif atas perbuatan yang bertentangan dengan nilai-niai agama dn perbuatan deviatif yang tidak beradap telah mengarahkan kepada penghancuran semangat persatuan bangsa ini. Nilai pluralitas telah lenyap dalam waktu sekecap.
Bila dilihat dalam ilmu sosial dan psikologi, perbuatan-perbuatan tersebut diatas tergolong tindakan yang berlebihan yaitu tindakan yang melewati ambang batas toleransi/kewajaran. Tindakan-tindakan ini disebabkan oleh status perubahan percaturan politik dan demokrasi Indonesia, yang juga merupakan akumulasidari rasa tertekan dalam pemerintahan otoriter represif.
Era reformasi membuka koridor demokrasi seperti bangsa yang telah kembali setelah jati diri yang hilang, orang bebas dalam mengungkapakan aspirasinya, tanpa ada yang menekan, hidup terasa senang dan bahagia lahir bathin (euforia). Namun dalam pelaksanaan sangat berlebihan. Budaya kekerasan adalah akhir dari sebuah tuntutan unjuk rasa bila tidak terpenuhi aspirasi mereka.
                                                                                                 KONFLIK KEKERASAN
Terjadinya konflik kekerasan diberbagai tempat didaerah akhir-akhir ini merupakan contoh konkret betapa rendahnya kadar resolusi konflik yang timbul dari unjuk rasa, sebagian pengunjuk rasa telah berubah menjadi masyarakat yang rentan tergadap provokasi, hasutan dan fitnah yang menyesatkan. Gejala konflik itu terjadi dipicu oleh berbagai macam konflik yang menghasilkan tindakan kekerasan dari hasil rekayasa provokasi. Tak pernah turun intesitasnya tetapi meningkat terus dengan menelan korban diatas 100 korban jiwa. Sekarang kekerasan konflik horizontal kini terjadi di Poso bergejolak lagi.
Konflik itu terjadi juga dipicu oleh suhu politik nasional yang tidak menentu dan selalu berfluktuasi, gerakan-gerakan tertentu dari kelompok tertentu untuk melakukan manuver politik yang mempunyai tujuan tertentu untuk menciptakan intastabilitas sosial politik di tengah-tengah masyarakat, dengan melakukan pembentukan antara berbagai komponen masyarakat dan lembaga pemerintahan dan diperparah dengan pemberontakan seperatisme. Membuat pemerintah harus bekerja keras dalam menuntaskan peristiwa konflik, agar dapat menghindari instabilitas wilayah dihindarkan lebih jauh, tidak terjadinya perang saudara diseluruh wilayah. Namun,resolusi pemecahan belum juga ditemukn, hal ini disebabkan para elite sibuk mengurus ”perkelahian” mereka. Seperti dilakukan Abdurrahman Wahid sibuk dengan ancaman-ancamannya, dekrid, pemilu dipercepat, gagasan kompromi dan pelimpahan wewenang yang mengalami kegagalan dan manuver-manuver lawan politiknya juga tak pernah berakhir.
Maka jelas, intensitas unjuk rasa, konflik dengan disertai kekerasan tidak pernah menurun, membuat pemulihan ekonomi semakin jauh disertai ancaman berbagai disintegrasi di era reformasi yang telah mengalami perubahan tujuan, distori, menjadi perubahan untuk kepentingan diri sendiri. Dengan intensitas konflik, seperti di Sampit, Kalimantan Barat, dan Poso semakin sukar di uraikan dan diselesaikan dalam waktu singkat, karena akat permasalahannya saling kait mengkait dengan persoalan lainnya.
                                                                                                   BAHASA KEKERASAN
Anarkis, itulah kata paling akrab di telinga orang Indonesia, selain istilah politik seperti dekrit, anarkis, kata yang jarang muncul zaman orba selain subversif. Masyarakat luar negeri mungkin sudah menganggap kita bangsa barbar. Penyiksaan korban telah melewati ambang batas prikemanusiaan, tindakan aparat dalam menyelesaikan kasus sangat lamban malah membiarkan keadaan itu semakin bergejolak.
Mencermati munculnya budaya kekerasan akhir-akhir ini terjadi di beberapa daerah di tanah air disebabkan adanya upaya konspirasi dari kelompok tertentu dan sikap otoriter pemerintah sejak orla, orba berlanjut ke pemerintahan sekarang. Esensi demokrasi untuk berpendapat dan berserikat selalu diharamkan dan mengalami puncak ledakan kemarahan pada era reformasi ini. Semangat keberagamaan (relegiutas) kini telah mengalami degradasi. Agama seakan-akan tidak lagi dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat oleh pemeluk-pemeluknya dalam menjalankan kehidupannya di dalam berbangsa.
Salah satu contoh bahasa/budaya kekerasan yang kini milik masyarakat adalah dengan munculnya perang spanduk (perang kata-kata menghujat), selain mendukung figur elite juga mengancam pihak lain yang tidak sejalan. Disadari atau tidak, psikologi massa tergiring pada penggunaan kekerasan bahasa, politik maupun politik yang tidak berkesesuaian dengan apa yang saat ini mendesak dibutuhkan bangsa supaya lepas atau keluar dari krisis politik, krisis ekonomi dan keuangan, moral, hukum, budaya dan etika kesatuan yang mulai luntur dari kehidupan berbangsa.
Dikalangan elite bahkan ada anggota DPR yang menganggap halalnya darah Amin Rais dan Akbar Tanjung (walau sudah di minta maaf) untuk diminum setidaknya bahasa kekerasan tersebut, membuktikan moralitas tokoh-tokoh elite betul-betul telah mendekati sifat hewani. Mudah melakukan provokasi bagi rakyat yang tingkat pendidikannya masih terbelakang dan rendah mampu membuat suatu pertikaian kecil apapun dan memancing pergerakan massa dalam jumlah yang besar dan berakhir dengan tindakan kekerasan dengan korban jiwa yang lebih besar seperti kejadian di Sampit, Sambas, Maluku dan sekarang Poso.
                                                                                           PENYELESAIAN KONFLIK
Oleh karena itu penyelesaian masalah konflik dan pertikaian yang terjadi, memerlukan pendekatankeagamaan, bukan dengan senjata. Semua persoalan bangsa yang penuh konflik dan melahirkan budaya kekerasan sangat memerlukan persatuan berbagai komponen dari elite politik, masyarakay, tokoh agama, dan masyarakay atau mahasiswa untuk mencari penyelesaia persoalan bangsa beradap, menghentikan perdebatan konfrontasi antara elite, memiliki etike pekerti yang luhur agar Indonesia tetap damai.
Diterbitkan HARIAN ANALISA MEDAN,  Mei 2005           

No comments:

Post a Comment

Related Posts :