Oct 5, 2016

Medan Memang Benar Kota Banjir

Medan Memang Benar Kota Banjir?

ilustrasi Sumber Analisa Medan, Tanggal 01 Oktober 2016
Oleh: M. Anwar Siregar.
Di masa modern seperti sekarang ini, ke­napa Medan masih juga banjir walau hujan cuma 10 menit? Dan kota Medan seharusnya mampu menga­tasi bencana musiman seperti banjir. Bu­kankah Medan sudah berumur lebih 100 tahun dan memiliki kanal banjir? Kenapa para perencana pembangunan­nya masih juga kewalahan mengatasi banjir .
Kebetulan penulis terjebak banjir di sim­pang Brimod ke dan menuju ke kam­pus USU Medan, dan ketika pulang pe­nulis pun juga melihat banjir ke arah Marelan terus menuju ke Belawan dan ma­suk menuju ke pintu gerbang tol Be­lawan. Penulis melihat disepanjang rute ke arah Tanjung Morawa ada beberapa la­han menga­lami banjir diatas 50 cm dan unik­nya lahan hijaunya seperti tidak jelas dimana posisi persisnya.
Seharusnya proses pembangunan di se­luruh wilayah kota Medan harus bertum­puh pada kajian geologi lingku­ngan dan perencanaan wilayah yang tepat dengan mengusung tujuh konsep dasar geo­­logi yang juga merupakan bagian konsep perencanaan pembangunan fisik wilayah. Seharusnya dijalankan sejak diawal suatu awal perencanaan pemba­ngu­nan fisik yang akan menjadi titik acuan bagi tata ruang dalam pembangu­n­an sekarang ini.
Faktor Dasar
Faktor dasar dari penyebab kom­plek­sitas banjir yang melanda kota besar di Indonesia adalah banyak tata ruang tidak bertumpuh pada kajian geologi lingku­ngan. Sebabnya, karena bumi pada da­sar­nya adalah sistem yang tertutup dan me­rupakan konsep utama yang harus di­ingat untuk perencanaan wi­layah. Fak­tor ini berhubungan dengan elastic rebound, dimana jika terjadi bencana akan se­lalu ada wilayah yang terobekkan, dan hubungan banjir dan longsor ataupun ban­jir bandang (kombi­nasi banjir dan long­sor) akibat adanya te­kanan pada kerak bumi.
Sehingga kota yang berdiri diatas harus memiliki sistim sabuk pengaman. Bumi itu tidak mekar, harus ada ruang un­tuk ruang baru, dan tekanan diatas per­­mukaan bumi dapat juga memper­ce­pat tekanan bagi di dalam bumi terutama jika dilihat dari tatanan perubahan iklim global.
Dan perlu ditekankan lagi bahwa bumi me­miliki kemampuan yang terbatas atau sum­ber daya yang terbatas dan meru­pa­kan konsep kedua yang harus di­per­hi­tungkan. Sebab, kita sudah mengetahui ke­mampuan ruang dalam menerima be­ban tertentu akan ada batasnya, atau de­ngan kata lainnya daya tampung ling­ku­ngan harus sebanding dengan daya du­kung lingkungan dalam suatu tata ruang wi­layah dengan menekan dan me­ni­malkan terserabutnya lahan-lahan yang men­dukung kapasitas daya tam­pung ling­kungan.
Dari amatan penulis yang sempat terjebak banjir itu selama perjalanan ke arah Tanjung Morawa di jalur tol Bel­mera. Banjir berada di daerah pemukiman padat yang memang sudah semakin jenuh lahan hijaunya dan diperparah sistim drainase lingkungan yang sangat buruk.
Kondisi ini akan mempengaruhi fisik bumi atau fisik lingkungan da­lam tata ruang kota akan mengalami perubahan yang seharusnya sudah diperhitungkan se­bagai pemikiran ketiga, karena ber­hubungan dengan kondisi fisik yang me­ngalami perubahan atau adanya peru­ba­han hasil pembangunan atau man made de­ngan berhubungan dengan bahaya geo­logi dari dalam bumi yang patuh diketahui frekuanesi yang terkirim dalam bentuk kerusakan sistim ekologi lingkungan.
Faktor buatan atau pembangunan fisik ma­sih akan berhubungan pada landasan pro­ses relaksasi gerak bumi atau per­ge­rakan lempeng bumi, proses dinamika bumi itu kadang dapat membahayakan ma­nusia, yang harus dikenal sebagai pe­ringatan bahaya sekaligus konsep ke­empat perenca­naan pembangunan ling­ku­ngan geologi untuk mengantisipasi ba­haya geologi.
Banjir yang sering melanda Medan dan Jakarta merupakan ancaman karena ada kondisi fisik lingkungan yang me­ngalami gangguan keseimbangan peru­ba­han. Untuk mengenalinya dapat di­ke­tahui dengan faktor kerentanan gerakan ta­nah yang mengalami dinamika dalam bu­mi melalui frekuensi gempa bumi. Tidak adanya lapisan penyerap yang mem­biarkan air permukaan melaju de­ngan cepat (run off), dan melihat gam­ba­ran fisik kota Medan yang sangat terbatas dae­rah sabuk hijaunya dan tergantikan oleh keseimba­ngan hutan beton, daerah pinggiran seharusnya berfungsi sebagai titik tangkap air karena daerah tetang­ga­nya yaitu Deli Ser­dang merupakan daerah de­ngan ling­kungan geomorfologi Terjal dan Medan sebagai zona perangkap ren­dah air.
Untuk menekan kerusakan daerah hi­jau di hulu perlu penyesuaian tata guna lahan dan air dengan menciptakan ke­seim­bangan sebagai konsep perencanaan ke­lima, menciptakan keseimbangan an­tara per­eko­nomian berbasis hijau dengan variabel lain­nya seperti estetika lingku­ngan.
Pembangunan berkelanjutan akan se­lalu memikirkan adanya kegiatan pe­nge­lolaan keseimbangan sumber daya alam dalam peningkatan ekonomi dan ke­seimbangan ling­kungan hidup yang se­lalu menghargai fungsi kelestarian alam yang mempunyai kemampuan ter­batas, agar tidak memicu terjadinya ben­cana alam seperti banjir saat ini dialami be­berapa kota di Indonesia. Lokasi pem­bangunan harus ada dan berada pada daerah yang aman dari bencana.
Keselarasan alam lingkungan mene­kan dampak penggunan lahan agar tidak cen­derung kumulatif. Oleh karena itu perlu mempunyai kewa­jiban dalam me­nekan pengrusakan lingkungan dan harus menanggung segala perubahan melalui perwujudan keberlanjutan pembangunan dengan melalui rekomen­dasi suatu lokasi penggunaan lahan yang sesuai dengan kondisi (daya dukung) lingkungan geologi dan agar terhindar dari bencana.  Pemikiran ini sebagai kon­sep keenam untuk keselara­san penggu­naan lingkungan yang sesuai dengan fisik bumi atau daya dukung bumi.
Pembangunan fisik Medan sebenar­nya sudah ada yang tidak benar, daerah penempatan dan perorganisasian ruang kegiatan kini tidak jelas. Di suatu daerah utara sebenarnya untuk tata ruang apa? Dan di daerah selatan untuk daerah ruang apa? Apa sudah disesuaikan dengan ke­man­tapan tanah untuk pondasi karena meng­ingat daerah ini termasuk rawan long­sor berbatas dengan daerah tetang­ganya yaitu Deli Serdang.
Ketersediaan air merupakan kendala saat ini bagi warga Medan dalam men­dapatkan air minum karena fungsi lokasi la­han telah berubah, serta ketersedian lahan di bagian timur dan barat yang te­lah mengubah titik keseim­ba­ngan di Teng­gara Medan di mana wi­layah ini sebagai pusat pengendali air yang me­lingkar searah posisi sungai-su­ngai yang mem­belah tata ruang Me­bidang (Medan, Binjai dan Deli Serdang).
Dari gambaran banjir Medan yang men­jadi faktor dasar penyebab sering ter­jadinya banjir di kota besar Medan adalah faktor sumber daya ruang geologi sebagai konsep ke tujuh, disebabkan juga semakin ter­batasnya sumber daya alam dan rendahnya pemahaman terhadap ling­ku­ngan.
Seharusnya menjadi landasan secara komperhensif dan yang pada dasarnya harus diterapkan sebagai ujung tombak informasi pembangunan fisik di kota Medan yang banyak belum dikaji secara bijaksana karena sering berbenturan dengan kebijakan ekonomi secara umum. Dan perlu diingat bahwa tatanan geologi wilayah kota Medan masih berkaitan dengan geologi wilayah Indonesia yang sangat labil.
Timbal balik proses geologi lingku­ngan akan mempengaruhi kondisi ma­nusia, kondisi tata guna lahan dengan potensi sumber daya dan kendala sumber daya alam yang di butuhkan suatu tata ruang lingkungan kota yang perlu diperhatikan selain faktor sosial budaya, faktor ekonomi dan bahaya-bahaya geologi agar menjadi rujukan untuk penanggula­ngan bencana banjir.
Terlintas suatu pertanyaan berkeca­muk, di­mana fungsi kanal banjir Medan? Apa su­dah tepat penempatannya karena pe­nu­lis lihat kanal itu tetap saja tidak mam­pu me­ngendalikan banjir yang ter­jadi tidak jauh dari pintu gerbang tol Am­plas ke Ma­­rindal? Sepertinya kurang ber­fung­si.***
Penulis   Enviroment Geologist. Pemerhati Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, bertugas di Padangsidimpuan-Tapsel. Sudah dipublikasi  Tgl 01 Oktober 2016

No comments:

Post a Comment

Related Posts :