Oct 29, 2016

Kompleksitas Tata Ruang Banjir-Longsor

KOMPLEKSITAS TATA RUANG BANJIR DAN LONGSOR
Oleh M. Anwar Siregar
Bukti ilmiah mengindikasi bahwa aktivitas manusia menurunkan sistim daya dukung fundemental lingkungan di Bumi, kerusakan yang terjadi bukan saja di biofesr atau daratan bumi tetapi juga telah melewati atmosfer dan hidrosfer. Kerusakan ini telah menimbulkan kompleksitas bencana dalam suatu tata ruang lingkungan di kota-kota yang ada di Indonesia termasuk juga imbasnya ke negara tetangga oleh bencana kabut asap di atmosfer bumi Asia Tenggara.
Data BMKG, menyebutkan juga bahwa bencana banjir dan longsor maupun bencana geologi lainnya ada hubungan dengan perubahan di atmosfir Indonesia dampak dari perusakan lingkungan sehingga menimbulkan efek tahunan  yang luas dan berulang.
Gejala kerusakan daya dukung lingkungan di kota-kota Indonesia sebenarnya sudah sangat mengkhwatirkan dengan hilangnya daya resap yang terbesar yaitu hilanganya berbagai macam keanekaragaman hayati akibat perusakan oleh manusia dengan aktivitas yang menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan terutama perubahan iklim global, sehingga memberikan efek domino bagi perkembangan iklim dunia, peningkatan dan penurunan air dan es samudera, mengancam kelangsungan sumber daya kehidupan generasi penerus, sebuah dilema yang akan dialami berbagai kota di Indonesia.
KOMPLEKSITAS POPULASI
Pertumbuhan populasi manusia yang cepat, menyebabkan kebutuhan akan sumber-sumber pangan, bahan baku, tempat pemukiman dan kebutuhan hidup membutuhkan pola perencanaan tata ruang yang kompleks untuk menekan tumpang tindihnya ruang kebutuhan hidup, karena pertumbuhan populasi manusia itu telah mengakibatkan perubahan besar bagi kompleksitas tata ruang kota, menyebabkan perubahan dan peningkatan laju kerusakan lingkungan hidup dengan timbulnya krisis lingkungan, seperti kerusakan hutan, pencemaran, erosi dan lain-lain karena manusia pada sifatnya selalu memiliki sifat sebagai makhluk sosial dan makhluk individu akan membutuhkan interaksi dengan benda mati dan dalam suasana lingkungannya. Dilakukan agar manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, dalam upaya atau lebih tepatnya untuk mempertahankan jenis dan keturunannya.
Pertambahan penduduk di pusat-pusat perkotaan di Pulau Jawa kian cepat, dapat dilihat dari pembangunan infrastruktur fisik di kawasan pantai bagian utara Pulau Jawa dan menekan juga laju aspek pembangunan di kawasan bagian selatan Pulau Jawa, yang sesungguhnya telah menggerus lahan-lahan hijau dan merusak kawasan resapan air dari hulu ke hilir, sehingga bencana banjir dan longsor bukan saja oleh dampak langsung populasi manusia melainkan juga dari aspek kebijakan pembangunan tata ruang infrastruktur fisik seperti pembangunan jalan, jalan tol dan rel kereta cepat ganda.
 Gambar 1 : Sarana Jalan yang tertimbun longsor dampak dari berubahanya kawasan Hulu akibat pemotongan geometri Perbukitan dan beban getaran a-seismik di daerah zona patahan yang banyak terjadi dikawasan Jateng dan Sumatera Utara serta Jawa Barat (Dokumen Foto Penulis).
Nampak jelas di Indonesia, model pembangunan tata ruang infrastruktur kota-kota di Pulau Jawa menuju ke arah Timur Pulau Jawa dengan motor penggeraknya adalah Jakarta, maka tidak mengherankan dampak bencana banjir dan longsor di Jawa Tengah itu bukan murni akibat hujan, tetapi dampak laju populasi dan kerusakan tata ruang yang tidak mampu lagi menerima beban parsial dari pembangunan infrastruktur fisik disertai sepertiga jumlah penduduk Indonesia tinggal di kota besar di Pulau Jawa. Lihatlah kondisi kota di Provinsi Jawa Tengah, dari Solo, Surakarta, Purworejo, Kebumen dan lain-lain dengan tingkat kepadatan populasi yang sangat tinggi dan kegiatan ekonomi terpusat merupakan ”undangan” untuk melakukan urbanisasi yang akan menyumbangkan kepadatan lebih parah bagi keseimbangan tata ruang yang semakin kompleks
TATA RUANG BANJIR
Hampir semua lokasi banjir yang terjadi di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) akibat dari bencana ekologi yang berupa banjir, hampir merata di Provinsi Jawa Tengah merupakan efek dari kompleksitas pembangunan tata ruang yang menggerus kawasan hijau, sehingga amanah UU RTH dalam mencegah banjir dan longsor semakin jauh dari harapan, sehingga musibah berulang lagi.
Kompleksitas tata ruang bencana tercermin dari hasil identifikasi, bahwa 90 persen wilayah Prov Jawa Tengah merupakan daerah dengan tingkat Kerentanan Gerakan Tanah Sangat Tinggi, yang bermula dari akumulasi kerentanan daerah yang bercurah hujan tinggi, zona ancaman abrasi sangat tinggi ROB dan zona kerentanan ancaman lahar dingin sangat tinggi dan 90 persen tanahnya hasil pembentukan daur ulang berbagai tipe gunungapi. Potensi banjir terdapat di 12 kabupaten yang berisiko sangat tinggi di Provinsi Jawa Tengah dan DIY, berhadapan langsung dengan dua lautan yang menghasilkan ancaman bencana banjir ROB dan intrusi atau abrasi (longsor) dinding permukaan pada sisi pantai, sisanya merupakan daerah yang beresiko banjir dan gerakan tanah dengan zona kerentanan sedang.
Akibat dari berbagai bencana ini, akan berulang kembali gerakan tanah seperti yang telah terjadi di Banjarnegara, bukan disebabkan oleh curah hujan tinggi, sedangkan daerah yang mengalami bencana ekologi banjir yang terjadi di Surakarta, Solo dan Kendal diakibatkan oleh kebijakan atau perizinan-perizinan yang merusak kelangsungan tata ruang hidup, negara tidak pernah hadir untuk melindungi masyarakat sehingga masyarakat menanggung akibatnya. Curah hujan tinggi hanya sebagai pelumas untuk menguji ketahanan tata ruang akibat kebijakan perizinan.
Kompleksitas tata ruang lainnya adalah minimnya tata ruang hijau, alih fungsi rawa untuk pembangunan tol di kawasan pantura di wilayah Jawa Tengah secara massif, selain itu tidak efektifnya tata ruang drainase sebagai kolam retensi dan tingkat holistik masyarakat dalam membuang sampah yang menjadi salah satu faktor pemicu banjir berulang kembali, hal ini juga dialami Kota Padang dan Kota Bandung Barat dan berbagai kota di Indonesia mengalami musibah banjir dan longsor serta kegiatan awal perencanaan pembangunan fisik seperti pembangunan kawasan perumahan, mal dan hotel yang tidak bertumpuk pada faktor utama yaitu kaidah fisik geologi suatu tata ruang kota dan dipastikan tidak memperhatikan faktor kedua yaitu keberlangsungan lingkungan hidup sehingga dilema masalah klasik bencana banjir dan longsor akan terus terjadi.
Kompleksitas tata ruang banjir dari sudut eksploitasi kekuasaan ekonomi dan politik sangat kentara dalam pembangunan fisik di Indonesia, eksploitasi antar kawasan di Jawa sangat jelas, banjir di Jateng bisa bersamaan dengan DIY, karena dikawasan ini telah tergerus sumber-sumber alam karena dieksploitasi dan dialih fungsikan sebagai sentra ekonomi berupa pembangunan sarana jalan untuk kemajuan ekonomi lokal dan global. Buktinya dengan terganggu sistim hidrologis sungai-sungai besar seperti Sungai Bengawan Solo yang terdapat pusat ekonomi dan kekuatan politik, daya dukungnya tidak mampu mengendalikan air, yang akan berdampak semakin kompleks berupa akan terjadi kekeringan, banjir, longsor dan perubahan iklim global, terjadi pergeseran musim dan hujan salah musim seperti yang terjadi sekarang, semua disebabkan hilangnya sumber-sumber daya penyerap air.
 Gambar 2 : Banjir lima ini telah membuat kota seperti Bandung, Medan, Jawa Tengah dan DIY akibat sarana drainase ruang hijau mengalami penyumbatan di daerah DAS yang mengalir ke inti jalan protokol kota. Gambar banjir ini adalah wilayah Kota Medan (Dokumen Penulis)
TRADISI BANJIR
Tradisi kutukan banjir dan longsor akan terus ditanggung generasi selanjutnya, mereka pasti akan sangat menyesal kenapa para moyang-moyang mereka itu tidak mengerti kalau daerah hulu yang terbuka lalu dibersihkan kemampuan daya serapnya untuk menyerap air hujan menjadi air tanah yang hilang, berakibat semua air hujan menjadi aliran permukaan yang menuju ke sungai-sungai seperti Sungai Bengawan Solo yang membelah sebagian Jawa Tengah tidak akan mampu membendung semua air hujan sehingga meluap ke pemukiman menjadi bak raksasa banjir dengan efek bonus berupa longsor akibat ada pelicin yang menggeroti kekuatan tanah. Selain itu, bahan rombakan berupa sedimentasi akan semakin memperparah lintasan tanah menjadi sangat jenuh dan membutuhkan waktu yang lama untuk pemulihan dalam menyerap air permukaan ke dalam tanah dan karena hutan semakin gundul sehingga laju kutukan bencana akan ada hadir sepanjang hidup kita.
Seperti itulah gambaran bencana banjir dan longsor di mana-mana di Indonesia sekarang.
M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, bertugas di Padangsidimpuan
Tulisan inbi surdah dipurblikasi di Harian ANALISA MEDAN Tanggal 23 Oktober 2016

No comments:

Post a Comment

Related Posts :