Oct 6, 2016

Disintegrasi Dan Euforia Demokrasi Pilkada

DISINTEGRASI DAN EUFORIA DEMOKRASI PILKADA
Oleh : M. Anwar Siregar

Zaman berganti, begitu juga periode perjuangan demokrasi di Indonesia terus diperjuangkan, muncullah apa yang dinamakan beragam partai politik dengan semangat masing-masing yang tercetus namun bermuara kepada kepentingan rakyat dan Negara. Perkembangan partai politik demokrasi di Indonesia, baik dari orba hingga sekarang tidak jauh berbeda dalam menyambut hari “berdemokrasi”, ykni ramai dan panas serta silih berganti kabinet. Mosi kepercayaan kadang-kadang mampu menurunkan seorang tokoh sekaliber apapun ia miliki, dimulai dari era orde lama, orde baru dan berlanjut ke orde reformasi silih berganti model demokrasi di Indonesia.
Euforia demokrasi berlangsung lagi dalam lingkup local yakni pemilihan gubernur, bupati dan walikota untuk tingkat Propinsi, Kabupaten dan Kotamadya. Pesta berpolitik ditanah air sekarang telah berubah total, orang sekarang berani melontarkan kritikan tajam sampai membuat kuping panas dan menimbulkan pro dan kontra, dapat juga menguraikan kebanggaan kolektif Negara yang mengalami kemorosotan tajam, disertai anarkis. Dan kerusuhan dapat terjadi disebabkan oleh kondisi sebelumnya telah mengalami penyumbatan karena sistim-sistim lembaga tak terpakai. Namun sekarang ini, sistim ketatanegaraan mulai lebih baik dan demokratik karena pola pemerintah tidak lagi dominant di pusat tetapi berada di daerah dengan sistim otonomi, telah mengajarkan Negara ini berdemokrasi lebih baik daripada bertumpuk pada satu orang pengambilan keputusan yang dominant.
VISI KEKUASAAN
Tujuh tahun seudah berlalu dengan tumbangnya junta orde baru, ketika pergerakan demokrasi oleh mahasiswa telah memberikan masa kehidupan demokrasi terbaru bagi bangsa terbesar ketiga dalam demokrasi di dunia. Namun kenyataan ini, demokrasi di era reformasi ini belum menghasilkan pemerintahan yang berwujud ideal dan bersih, karena masih ada penyelewengan dan perebutan kekuasaan antara sisa-sisa orba dan reformis. Selain itu, terjadinya kesalahan bangsa dari visi demokrasi yang pernah dipegang oleh pemegang kekuasaan, karena banyak persoalan bangsa belum terselesaikan terutama dibidang ekonomi, HAM dan penegakan supremasi hokum, yang menyebabkan visi kekuasaan mengalami “goyangan” oleh runtuhnya integritas antara elite politik dengan diperparah oleh sikap yang tidak simpatik oleh beberapa kalangan pemegang jabatan dengan melakukan korupsi. Menumbuh suburkan rasa ketidaksenangan rakyat akibat keadaan Negara dari hari ke hari semakin krisis, demo-demo di Indonesia tidak pernah “berlibur”, yang menimbulkan kerugian dan waktu berakhir dengan kekerasan.
Maka visi kekuasaan sangat ini tidak lagi bersifat mutlak, karena kekuasaan itu bersifat relative dan terikat pertanggung jwaban kepada rakyat. Perubahan politik terjadi di Indonesia selalu muncul dan berkembang serta menguap selaras dengan munculnya masalah baru. perseteruan kekuasaan terus berkembang dan sangat membahayakan Negara/rakyat, karena telah berubah menjadi isu nasional. Rakyat kini telah lelah menyaksikan show of force yang dilakukan oleh para elite untuk menggiring rakyat memberikan dukungan, karena isu yang lebih dominan dibahas mengakibatkan persoalan yang krusial terlupakan. Masalah subsidi BBM, batas-batas Negara, HAM, dan sekarang kumpulan penipu ulung yang ada di komisi pemilihan umum, korupsi di Bank Mandiri dengan kredit macet turut mencuat sebagai isu nasional dengan menimbul tenggelamkan masalah bencana.
karena itu, para elite yang maju ke Pilkada, harus mengubah paradigma ini, terutama dalam memandang kekuasaan adalah amanah yang diberikan oleh rakyat dan harus dijalanakan sebaik-baiknya. Mengasah kepakatan nurani terhadap kondisi rakyat didaerahnya agar terhindar dari preseden buruk yang dapat membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa. Agar krisis kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dapat direbut kembali, agar sesuai dengan semboyan demokrasi.
DISINTEGRASI POLITIKUS
Terjadinya disingrasi suatu bangsa dapat disebabkan oleh salah satunya adalah akibat tuntuhnya integritas anta relit politik itu sendiri. Mereka bicara atas nama rakyat, namun ini untuk “berdagang” politik. Apabila ada perbedaan pendapat akan berlanjut dengan perdebatan sampai konfrontasi politik disertai intimidasi. Pengerahkan massa dan kekerasan politik didalam Pilkada dapat menimbulkan kekerasan konflik horizontzl. Hal ini telah terjadi di Maluku Utara akibat perbedaan persepsi sekaligus menimbulkan ”pemanasan” sebelum dimulainya Pilkada (pemilihan langsung kepala daerah).
Yang harus dihindari dalam euforia Pilkada adalah konspirasi politik yang sangat mengancam keselamatan bangsa, yang dapat menjalar dan mengganggu kestabilan ekonomi, hankam, dan penegakkan hukum. Yang berkaitan erat  bagi kelangsungan demokrasi karena semuanya tidak dapat dipisahkan.
Yang harus diperhatikan juga dalam Pilkada adalah disintegrasi politikus, yang dapat membawa keberlangsungan demokrasi semakin pelik jika ditegakkan dalam waktu yang bersamaan, karena dapat menunjukkan kegagalan pemerintah mengartikulasikan stabilitas dan demokrasi politik dalam konsep kehidupan berbangsa dan bernegara, karena stabilitas dianggap sebagai indikator dalam proses demokralisasi akhir.
Selain itu, untuk menghindari disintegrasi politik dalam pelaksanaan Pilkada, calon gubernur, bupati dan walikota harus menghindarkan diri untuk kepentingan sesaat, harus mampu mengakomodasi kepentingan rakyat, bersikap simpatik atas nasib rakyat terutama kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan, tidak memberatkan ekonomi rakyat. Disintegrasi antara elite dalam Pilkada dapat juga dikendalikan bila ada kemauan kompromi, adanya rasa persatuan dan kesatuan dari seluruh komponen masyarakat agar bersatu bahu membahu mempererat persatuan dan kesatuan, bukannya dengan melakukan kepentingan pribadi yang sesaat yang tidak ada artinya.
                                                                                                     HINDARI KONFLIK
Sejarah kekerasan hampir sama umurnya dengan kehidupan manusia dimuka bumi, sampai sekarang masih berlangsung tanpa ada tahun yang terlewat dengan kekerasan. Pertikaian antara etnis sangat rawan dalam era demokrasi Pilkada di Sumatera Utara, seperti kita ketahui Sumatera Utara terdiri beberapa etnis (heterogen) dengan karakteristik yang berbeda memiliki kadar resolusi konflik yang tinggi.
Suasana panas  telah melannda beberapa daerah di Indonesia yang akan menggelarkan Pilkada, beberapa kabupaten telah mengalami ketegangan dengan KPUD (komisi pemilihan umum daerah) karena calon mereka yang ada tidak lolos verfikasi awal dan merasa dirugikan hingga berakhir dengan bentrok fisik, seperti yang terjadi di Maluku Utara, juga terjadi di Tapanuli Selatan (TapSel). Mengerahkan massa untuk memprotes keputusan KPUD Tapsel atas salah satu calon yang dinyatakan tidak lulus verfikasi.
Masalah utama sebelum konflik terjadi adalah para pemimpin politik ikut larut dalam ”perkelahian” untuk mengejar kepentingan sendiri. Perbedaan yang terjadi justru dipertajam dan dikondisikan dalam dialektika yang terus menerus, maka terjadilah sebuah konflik yang tidak habisnya, terimbaskan kebawah dengan konflik horizontal. Apalagi kondisi yang belum tertib di Indonesia, maka para elite bersikap arif dan bijaksana dalam pelaksanaan Pilkada nanti.
                                                                           EUFORIA SPANDUK DUKUNGAN
Persolan lain yang dapat membuka perang konflik adalah perang pedukung yang membawa simbol kebanggan yang belebihan, apalagi menggunakan bahasa kekerasan. Karena bersikap euforia (bersikap gembira sekali tanpa mau dikontrol) yang dapat menjerumuskan rakyat dalam konflik. Bentrokan pendukung dalam Pilkada sangat membahayakan kondisi keamanan. Bentrokan akan dimulai dari demonstran anti korupsi, kepada calon yang terindikasi korupsi. Calon Bupati, walikota dan gubernur yang gagal verfikasi dengan KPUD dengan mengerahkan massa serta aparat keamanan bila tak mendapat respon dari salah satu pihak tersebut diatas akan berlanjut dengan benturan fisik.
 Dan puncak kekerasan akan bertambah apabila pihak/massa yang kalah tidak memahami arti kekalahan dalam Pilkada. Bila massa tidak memahami arti kekalahan akan berakibat terjadinya kerusuhan lokal antar pendukung, perang terbuka antar etnis karena kedekatan psikologis massa dengan ”jagoan”nya. Ini bisa terjadi dibeberapa daerah yang pluralitas politiknya sangat tinggi seperti Sumut, Malut, NTT, Sulbar, Sulteng, dan Sulut. Telah berlangsung sebelum dimulai pilkada karena tidak bisa menerima kekalahan awal, apalagi bila telah berlangsungnya pilkada sehingga melakukan gerakan yang mengganggu stabilitas lokal, akan berdampak pada kerugian material karena dipastikan prasarana umum akan ada yang menjadi ”korban” sebagai ciri khas demonstrasi di Indonesia.
Dan hal ini tidak dibenarkan dan bembahayakan kelangsungan demokrasi dan keutuhan integritas bangsa, elite sudah harus mempersiapkan diri dan berjiwa besar dari semua pihak untuk memahami dan menerima kekalahan.
                                                                               PEMBELAJARAN DEMOKRASI
Indonesia membutuhkan waktu yang lama untuk membentuk tatanan kenegaraan dan etika berpolitik yang baik, mantap dan bersih. Karena proses pembejaran demokrasi membutuhkan kesabaran dan tinkat budaya yang tinggi untuk menimbulkan rasa menghormati perbedaan agar dapat dicegah. Sebab Indonesia adalah negara pluralis sangat rentan benturan budaya, agama dan sosial, sangat membutuhkan pembangunan yang adil, merata untuk segala bidang pembangunan. Dengan pola emosional konfrontatif dan pemaksaan kehendak tidak akan menghasilkan demokrasi yang dewasa. Pembelajaran demokrasi harus mementingkan kepentingan rakyar agar tidak menghasilkan kontraproduktif karena akan menimbulkan korban kepada rakyat. Hanya dengan proses konstitusi, damai, demokratik, bisa mengendalikan konflik.
                                                                                                            KETELADANAN
Untuk menghindari kekerasa didalam pelaksanaan Pilkada adalah bersedia berkampanye secara damai dan menghindari saling menghujat, serta harus menunjukkan suatu keteladanan sebagai orang terpilih, tidak menciptakan ketegangan tetapi menciptakan suasana harmonis bagi iklim demokrasi yang sehat. Menyelesaikan masalah dengan semangat demokrasi politik.
Untuk ini, diperlukan pembelajaran demokrasi yang arif, bijaksana dalam pilkada agar terbentuknya etika politik yang baik, mantap dan bersih. Maka sloga Bhinneka Tunggal Ika atau berbeda tetap satu tidak lagi hanya menjadi ”slogan” tetapi menjadi saksi sejarah perjalanan kebesaran demokrasi di Indonesia, akan tetap terjaga dan berlanjut dengan aman.
M. Anwar Siregar
Karyawan Swasta Konstruksi Site Civil and Geologi Engineering (dulu). Sekarang bekerja sebagai ASN di Padangsidimpuan Tapsel.

Dipublikasi di Harian Analisa Medan tgl 3 juni 2005.

Dipublikasi ulang kembali di blog ini karena sebentar lagi beberapa elite daerah mengobral janji manis namun banyak beracun. Tulisan ini masih relevan sesuai perkembangan zaman demokrasi Indonesia

No comments:

Post a Comment

Related Posts :