Sep 13, 2012

PELAJARAN DARI GEMPA BUMI YOGYA : Geologi Gempa

PELAJARAN DARI GEMPA BUMI YOGYA 
Oleh : M. ANWAR SIREGAR
Kerentanan geologis dari tubuh bumi Indonesia sangat embutuhkan perhatian ekstra dalam usaha mengendalikan jumlah korban-korban bencana, serta diperlukan kesadaran masyarakat untuk memahami jenis-jenis bencana yang ada dalam satu wilayah di daerah masing-masing karena siklus geologi masih terus berlangsung. Seperti yang sudah disepakati oleh ahli Geologi Asia Pasifik salah satu daerah di Sumatera akan mengalami bencana dahsyat baik dalam wujud gempa bumi tektonik di daratan maupun di lautan. Daerah ini berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Disini Pemerintah Pusat dan Daerah wajib membangun kota dengan bertumpukan informasi geologi yang dianggap perlu sebelum pembangunan fisik dimulai agar efek traumatic bencana tidak terus menerus menjalar ke daerah yang lain. Perlu diketahui juga di wilayah Indonesia tidak aman dari berbagai ancaman alam. Sekali lagi ditegaskan, perlunya informasi geologi untuk pembangunan agar dapat mengurangi jumlah kehancuran bangunan dan manusia. Pembangunan yang berbasis kerentanan geologis sangat diperlu di era globalisasi sekarang ini.
PERLUNYA SABUK HIJAU 
Untuk pembangunan kawasan hunian di Nias, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Padang, Bengkulu, Lampung, Liwa, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Bali, NTB, NTT, Kepulauan Maluku, Manado, dan Minahasa, Palu dan Irjabar sebaiknya berkoordinasi dengan dinas ESDM dan Bappeda guna mendapatkan data-data geologi detail ruang wilayah, penentuan zonasi wilayah yang layak atau tidak untuk dibangun. Sebab, hamper 70 persen bangunan di Indonesia dibangun didaerah bahaya dan banyak menelan korban. Selain gempa, gerakan tanah (longsoran) termasuk bencana alam yang banyak terjadi di Indonesia karena tanah di Indonesia umumnya jenis tanah lempung yang berkarakteristik mudah lepas. 
Untuk pembangunan kawasan bisnis pada daerah pantai sekarang ini, sudah harus diwajibkan adanya kawasan penyangga (buffer zone) yang berfungsi sebagai “sabuk hijau” yang ditanami mangrove untuk kawasan pantai berawa, memiliki serabut akar yang kuat dan mampu meredam dan memecahkan gelombang (break water). Penegakan hukum lingkungan dan perizinan bangunan sebaiknya diperketat lagi agar hutan dan terumbu karang tidak mengalami penghancuran yang lebih parah. Terbukti Aceh dan Nias hampir hancur karena tidak adanya pengaman bencana. 
Dan sekarang berlanjut dengan musibah banjir dan bencana longsor akibat dari kebandelan kita yang menghancurkan ekologi bumi yang berfungsi sebagai keseimbangan ekosistim. Ini sudah harus dijadikan pelajaran yang berharga dalam merencanakan pembangunan infrastruktur dan pemanfaatan hasil alam. Salah satunya adalah tidak melakukan penghancuran kawasan hijau terutama hutan mangrove disekitar pantai dalam mengantisipasi bencana yang lebih dari kehancuran Aceh dan Nias. Hutan mangrove (hutan bakau) dapat digunakan sebagai pengaman bencana, karena kemampuan akar yang rapat dapat meredam 50 % energi gelombang, lebar jalur mangrove dapat sekitar 200 meter dari pantai dengan ketingginya sekitar 10-15 meter. Hutan mangrove di Indonesia sangat ini sama dengan terumbu karang mengalami tahap penghancuran fisik dan pertumbuhannya karena pembangunan hotel menjorok ke laut. Jarak atau lebar untuk pembangunan fisik yang ideal ke pantai minimal 5 kilometer sebagai daerah sanggahan yang tidak boleh di huni. Dan berfungsi sebagai media jalan bagi penduduk ke daerah amandari tsunami. 
Yang perlu diwaspadai adalah terumbu karang. Terumbu Karang dapat menceritakan sejarah gempa bumi dan naik turunnya pulau karena gempa dan pergerakan lempeng. Pemantauan sejarah gempa di pantai dapat dilihat dari bentuk karang-karang laut yang disebut mikroatol yang tumbuh di perairan dangkal seperti pantai. Tetapi kenyataan yang terjadi sekarang, terumbu karang di Indonesia justrunya telah mengalami kehancuran akibat bisnis penjualan karang untuk keindahan taman di suatu kimpleks perumahan elite tertentu.
Seharusnya terumbu karang di Indonesia dapat memberikan aset yang berharga bagi keterlindungan dan meredam (pemecah gelombang) dari pembunuh alamiah seperti tsunamis ke daratan. Terumbu karang juga dapat memberi keterlindungan tanah-tanah di dekat pantai dari kekuatan erosi laut. Terumbu Karang memang akan mati bila dasar laut tempatnya berpijak terangkat ke atas permukaan air. Namun bila masih ada bagian dibawah air, maka karang yang terendam itu akan tumbuh . Bila permukaan air laut turun hingga meredam seluruh karang karena proses geologis dan tektonis, maka bagian atas koral tumbuh lagi.
KERENTANAN GEOLOGIS 
Pelajaran dari gempa tsunami di Aceh dan Nias telah mengingatkan kita untuk mempersiapkan segalanya, karena bencana sebenarnya sudah sering berlangsung di Indonesia ternyata kita masih lamban. Akibatnya banyak korban, kehancuran ekologi, kehancuran infrastruktur dan menambah beban keuangan untuk pembangaunan serta menumpukkan beban utang Negara menyebabkan jurang kemiskinan semakin tinggi dan berakhir dengan kemerosotan sumber daya manusia. 
Sekarang Yogyakarta mengalami bencana, bukan karena kedahsyatan tsunami, melainkan kelemahan bangunan dan kekuatan tanah tempat berpijaknya bangunan itu, mengalami amplifikasi seismik karena jenis tanah umumnya dari lapisan tanah lempung dan skiss yang mudah rapuh. Padahal sudah ada data-data geologis daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah yang detail dari hasil penelitian dan pemetaan kerentanan geologis, bahwa di daerah ini ada zona batuan yang mengalami penguncian, kalau di Sumatera gerak lempeng daratan terdorong dari Selatan kea rah Utara hingga ke batas Aceh-Sumatera Utara, maka di Jawa berarah dari Barat- Baratdaya ke Timur-Timurlaut di Jawa Timur, akibatnya Yogyakarta yang ada di wilayah ini mengalami pendesakan, seperti yang dialami Aceh terutama di daerah Tapak Tuan dan Kutacane, dan arah pusat gempa ada dilautan dengan pusat kedalaman gempa sekitar 33 km dan termasuk gempa dangkal yang sangat merusak.
MENINGKATKAN SDM 
Pemerintah harus mendorong semangat pemuda untuk meningkatkan SDM dibidang penelitian, dengan meningkatkan anggaran pendidikan dan kesejahteraan para peniliti agar mau terjun ke bidang pekerjaan yang “kering” karena untuk bidang penelitian kebumian masih rendah terutama di bidang disiplin ilmu geologi dan geofisika. 
Lulusan sarjana di dua bidang ini di Indonesia sekitar 90 persen hanya mau bekerja di bidang yang berkaitan dengan pertambangan dan perminyakan pada perusahaan perminyakan yang banyak menyebar di wilayah tanah air, karena suatu bidang “basah” yang menjanjikan kehidupan mewah karena pendapatan yang melimpah. Sedangkan penelitian tentang gempa bumi dan gunung berapi yang berisiko tinggi menjadi lapangan yang gersang. Sangat berbanding terbalik dengan bencana yang terjadi sekarang dan menyebabkan negeri ini makin tertinggal jauh dengan Negara-negara tetangganya.

Diterbitkan oleh Surat Kabar Harian “WASPADA” Medan, Tanggal 5 Juni 2006

No comments:

Post a Comment

Related Posts :