MUSIM BAKAR HUTAN, MUSIM KABUT ASAP LAGI
Oleh M. Anwar Siregar
Musim kabut asap datang lagi, kebakaran yang lalu belum padam, datang lagi kebakaran di Sumatera dan Kalimantan disertai musim kemarau menyebabkan berkabut asap udara di negeri jiran Singapura, dan juga kawasan perbatasan Riau dengan Sumatera Utara.
Polusi udara atau kabup asap merupakan masalah tetap di ratusan kota-kota besar dan bahkan hingga ke desa di daerah pendalaman terpencil diseluruh dunia. Polusi udara dan hujan asam telah merusak panenan dan hutan-hutan yang disebabkan oleh pembakaran hutan, batubara dan gembut yang mengandung belerang dalam konsentrasi tinggi yang menghasilkan hujan asam. Akibat pembakaran hutan menimbulkan kabut asap terbesar di Asia Tenggara telah memompakan 2 milyar ton unsur hidrokarbon ke dalam atmosfer turut mengubah iklim global, kandungan karbon dioksida terperangkap cukup panjang, menimbulkan ktidakpastian cuaca, terjadi efek musim hujan mendadak ke musim kemarau yang berkepanjangan yang menyebabkan perubahan siklus si El Nino Southern Oscilation (ENSO).
Kejadian kabut asap di Asia Tenggara telah berlangsung sejak tahun 1980-an dan merupakan dasawarsa terpanas hingga memasuki periode abad ke 21 bumi di kawasan ini telah mengalami peningkatan panas dari 100 tahun yang lalu akibat dari pembakaran hutan-hutan tropis di Kalimantan, Sumatera dan Papua, sudah berlangsung rutin dalam kurun 25 tahun terakhir ini.
SUMBER DAYA TERBATAS
Hutan Indonesia dari tahun 1980 hingga menjelang akhir 1990-an terdapat 120 juta hektar. Sebelumnya, pada tahun 1960-an luas hutan Nasional terdapat keseluruhan sekitar 220 juta hektar. Namun saat ini, diperkirakan hutan asli/lindung di Indonesia terdapat 32 juta hektar telah mengalami perusakan, belum lagi yang telah mengalami kebakaran sepanjang 2003 hingga 2004 sebesar 45.000 hektar per tahun. Pada periode 2001 hingga 2005, hutan nasional Indonesia mengalami penggundulan sekitar 2,8 juta per tahun, berarti tersisa 73,7 juta hektar. Pada tahun 2007-2008 terjadi lagi kebakaran hutan di Kalimantan seluas 15.000 hektar dan Riau seluas 17.000 hektar lebih. Hutan Papua terpangkas rata 7.000 hektar per tahun.
Puncak perlakuan terhadap hutan Indonesia terjadi menjelang 2009, hutan Indonesia menjadi “botak” terutama di Sumatera saat ini diambang krisis dan diperkirakan tinggal 10 juta hektar hingga pada tahun 2012.
Penyebab kerusakan dan perubahan kondisi iklim selama empat tahun akibat kebakaran di Riau adalah tidak seimbang antara keperluan pemasokan kayu tropis dengan reboisasi atau penghijauan dalam menahan laju kerusakan hutan di Indonesia.
Kebutuhan industri kayu gelondongan tropis tidak pernah menurun permintaannya di pasaran dunia. Indonesia justrunya menghabisi sumber daya terbatas ini untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Data dari tahun 1998 menunjukkan konsumsi kayu bulat Nasional sebesar 78,1 juta meter kubik. Sedangkan produksi hutan nasional Indonesia hanya mampu menghasilkan 21,4 juta meter kubik. Artinya, 56,6 juta meter kubik disuplai oleh penebangan liar dari hutan lindung. Pada tahun 2003 hingga 2009 meningkat konsumsi kayu bulat menjadi 83,7 juta meter kubik atau sekitar 62,3 juta meter kubik dari hutan lindung. Peningkatan ini disebabkan penebangan liar merambat wilayah hutan lindung yang ada di Propinsi Papua Barat yang menyebabkan terjadinya penurunan daya dukung lingkungan di habitat hutan-hutan lindung di Indonesia dengan bukti terjadinya longsor dan banjir di Wasior, Aceh, Riau dan Kalsel.
ANALISIS PENYEBAB
Dari hasil pemantauan aktivitas kebakaran oleh satelit NOAA hingga pertengahan bulan Juni ini, penyebaran titik api terparah ada di wilayah Riau terdapat 100 lebih, meningkat tiap kali musim bakar hutan atau pembukaan lahan perkebunan baru dan terbakarnya hutan lahan gambut di Riau dan Kalimantan dapat mencapai diatas 700 titik api.
Ada beberapa analisis yang menyebabkan mengapa terjadi lagi musim kabut asap. Analisis pertama, penyebab kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan juga Kalimantan yang memberikan julukan bagi Indonesia sebagai “Raja Polutan terbesar” di Asia Tenggara lebih disebabkan oleh kemajuan bisnis dan industri kayu, pertambangan dan perkebunan yang mendominasi usaha penanaman modal investasi di kedua pulau terbesar Indonesia.
Analisis kedua, penyebab kebakaran adalah perencanaan tata ruang investasi yang tumpang-tindih dengan areal perkebunan untuk jangka panjang dengan sarana infrastruktur fisik pertambangan dan pemukiman serta pusat-pusat industri kayu terjadi pemanfaatan lahan yang berdekatan atau terdapat sumber daya dalam suatu kawasan tertentu pada zona peruntukan lahan dalam tata ruang kota. Contohnya pusat industri perkayuan dan pabrik pulp dekat dengan pusat perkotaan tanpa zona sanggahan hijau terbuka, pusat perkotaan terletak didaerah tata ruang pertambangan resevoir migas dan lokasi perkebunan melingkari pusat ruang pemerintahan dengan pemukiman yang tertekan ke dalam, sehingga akan ada jalan pintas yang harus dilakukan semua untuk mengejar kepentingan bisnis.
Analisis ketiga, penyebab kebakaran lebih dominan disebabkan oleh faktor lapisan tanah yang mengandung bahan bakar fosil di daerah yang kaya sumber daya alam minyak dan gas bumi. Sekitar 40 % tanah yang mengandung karbon terdiri lapisan gambut, batubara dan kayu yang mengandung gas dan partikel yang memungkinkan menghasilkan CO2 ke udara untuk membentuk kabut/polutan yang pekat. Umumnya daerah yang terbakar dari kebakaran hutan di Pulau Sumatera dan Kalimantan yang menimbulkan asap adalah berasal dari kebakaran lapisan hidrokarbon yang mengandung kapasitas 7 juta ton yang tertimbun dalam lapisan karbon muda dari kedua Pulau Indonesia.
Analisis keempat, penyebab kebakaran hutan yang menimbulkan kabut asap maut adalah membakar langsung alang-alang liar dan pohon-pohon muda sebagai jalan akhir percepatan perluasan lahan didaerah rawa-rawa yang mengandung lapisan gambut muda yang mudah terbakar dan merupakan bahan energi pengganti “bensin dan minah” sehingga pihak pembakar tidak memerlukan “bahan baku jadi” untuk menuntaskan pekerjaan mereka.
Analisis kelima, penyebab kebakaran yang mengakibatkan berkabutnya udara Asia Tenggara adalah terjadi kebakaran pipa-pipa penyalur migas yang melintasi daerah lahan perkebunan baru dan ada ladang sumur dari perusahaan minyak menyemburkan api setiap hari sehingga membentuk kawasan berkabut. Analisis Keenam, adalah kecepatan angin rata-rata kencang di wilayah Indonesia sehingga mendorong kabut asap bergerak dan bersatu padu membentuk kawasan “hitam” ke Malaysia dan Asia Tenggara lainnya.
AKIBAT KABUT ASAP
Kabut asap telah menimbulkan dampak kerugian yang cukup besar bagi Indonesia. Dampak kabut asap ke lingkungan, Indonesia mengalami kerugian 45 trilin per tahun akibat penggundulan hutan seluas, 1.4-2.8 juta hektar. Terjadi deforestasi hutan yang luas, rusak sarana infrastruktur akibat banjir, daya dukung lingkungan merosot tajam, membutuhkan triliun rupiah untuk mengembalikan kesediakala.
Akibat kabut asap bagi kesehatan makhluk hidup, Indonesia merasakan dampak lebih besar dengan timbulnya berbagai penyakit akibat banjir, rusaknya sistim kekebalan tubih karena ketebalan polusi udar mencapai 300 dari maksimal 500 EMI (electromagnetic interferenci), pengotoran sumber-sumber daya air bersih dan musim kemarau dan hujan tidak pasti menyebabkan hasil panenan merosot tajam, harga bahan pokok meningkat tajam dan terbatas. Kerugian bisnis transportasi perekonomian sekitar $ 9.0 milyar.
KABUT ASAP LINTAS NEGARA
Kabut asap telah menjadi fenomena tahunan di Asia Tenggara dan kini merupakan masalah lintas negara, bukan sebatas ekonomi dan politik. Jika ada protes masyarakat negara tetangga bukan pada tempatnya memprotes Indonesia, karena selama ini masyarakat Asteg telah menikmati “kebersihan udara” dari hutan-hutan Indonesia yang luasnya sepertiga dari luas hutan dunia dan berusaha keras selalu di jaga dengan baik (sendirian) karena berfungsi sebagai paru-paru dunia bagi atmosfer Asia Tenggara.
Masalah lintas kabut asap antar negara bukan seharusnya ditangani oleh Indonesia, tetapi juga oleh negara di Asia Tenggara, karena wilayah hutan dan laut Indonesia telah berjasa dalam memberikan udara bagi Asia Tenggara. Sumbangan oksigen bagi Asia Tenggara yang selama ini di “sewa” gratis para warga Asia Tenggara berasal dari laut Indonesia sepanjang 86.000 kilometer atau sekitar 70 persen dari luas wilayah Indonesia. Yang berasal dari binatang plankton yang dilepaskan ke udara hampir 90 persen dari kehidupan laut. Dan kontribusi hutan di perbatasan di wilayah Kalimantan Timur seluas 17 juta hektar menyumbangkan oksigen 10 % yang cukup signifikan.
Mawas diri bagi warga Asia Tenggara untuk melakukan protes keras ke Indonesia, sudah rusak hutan, dicuri, digundul, dibakar pula, ditinggal begitu saja tanpa ada reboisasi. Jadi siapa yang lebih parah mengalami kerugian?
 
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer, Tulisan ini sudah di muat di Harian ANALISA MEDAN