Dec 31, 2013

Mitigasi Budaya Lokal Benteng Bencana : Gelogi Mitigasi

MITIGASI BUDAYA LOKAL, BENTENG TANGGUH BENCANA LINGKUNGAN
Oleh M. Anwar Siregar
Sejarah selalu berulang, justru kita yang tidak pernah sadar dan malas belajar, apakah yang dilakukan ketika terjadi gempa, tusnami, gerakan tanah, banjir dan gunung api meletus dan pemerintah berkewajiban menunjukkan kinerja dalam pembangunan sistim manajemen darurat dan mitigasi yang lebih baik, sehingga kejadian bencana letusan gunung api Sinabung tidak menimbulkan permasalahan psikologis bagi masyarakat di daerah rawan bencana.
Namun terjadi lagi hal tragis menimpa masyarakat, yang sebenarnya sejarah telah berulangkali mengingatkan agar bangsa ini untuk mempersiapkan segala-galanya, dan pemerintah memiliki tingkat kepekaan untuk merenungkan suatu kehidupan yang baik bagi rakyatnya bahwa bangsa Indonesia akan selalu terus hidup dan akrab dengan bencana.
Kondisi alam dan keberagaman budaya di Indonesia merupakan kekayaan dan sekaligus potensi bencana jika tidak dikelola dengan tepat, terkait dengan potensi bencana alam merupakan ancaman kehilangan sumber generasi penerus, jika di kaitkan dengan kondisi budaya maka elemen ini perlu diperkuat dalam upaya pengendalian korban dan kehancuran lingkungan. Indonesia memiliki keragaman sosial budaya, etnis, agama, kepercayaan serta kondisi ekonomi dan politik yang merupakan kekayaan bangsa. Kemajemukan ini sekaligus juga berpotensi sumber bencana lingkungan, jika dikelola dengan baik dengan kearifan yang menjadi sumber budaya karakter bangsa.
KETAHANAN SOSIAL
Francis Fukuyama dalam bukunya Trust: The Social Virtues and The Creation of Properity yang diterbitkan tahun 1995, menjelaskan bagaimana pengalaman berbagai bangsa bahwa hanya masyarakat dengan kepercayaan sosial yang tinggi dan memelihara keeratan sosial komunitasnya yang akan mampu mencapai kejayaan ekonomi pada zaman kompetisi bebas saat ini. Jika di lihat dari sudut budaya timur, terutama dalam konteks ketahanan masyarakat Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan bencana alam yang selalu terjadi sepanjang tahun, maka kepercayaan dan keeratan sosial bisa menjadi benteng yang kuat dalam harmonisasi dengan lingkungan dan pemimpin untuk bersama menghadapi berbagai persoalan yang melanda bangsa terutama menghadapi secara berutun musibah bencana alam.
Keeratan sosial merupakan dasar yang erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, jika pemerintah memberi contoh yang baik maka masyarakat akan memberikan suatu kepercayaan yang utuh.
Twigg, J. 2007 dalam bukunya Characteristics of A Disaster-Resillient Community, mendefinisikan ketahanan masyarakat sebagai : Pertama, kapasitas untuk meyerap tekanan atau kekuatan-kekuatan yang menghancurkan melalui perlawanan atau adaptasi. Kedua, kapasitas untuk mengelola atau mempertahankan fungsi-fungsi dan struktur-struktur dasar tertentu, selama kejadian-kejadian yang mendatangkan malapetaka, dan ketiga kapasitas untuk memulihkan diri atau melenting balik setelah terjadinya bencana.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka ketahanan yang melingkupi suatu masyarakat yang membentuk karakater yang telah tertanam dari suatu bangsa perlu dijadikan budaya hidup dalam menghadapi berbagai macam ancaman bahaya. Untuk memenuhi karakter tersebut perlu diupayakan identifikasi pengembangan sosial kemasyarakatan sebagai agenda tindak lanjut untuk membangun kapasitas negara yang bersinergi dengan penguatan kapasitas masyarakat.
KEARIFAN BUDAYA LOKAL
Masyarakat kita sesungguhnya masih memiliki warisan berharga peninggalan nenek moyang yakni tradisi yang beragam dalam menjaga keseimbangan alam atau dikenal sebagai kearifan lokal [local wisdom] ini dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat dalam mitigasi bencana alam dalam mengembangkan dan meningkatkan kewaspadaan masyarakat. Pelajaran sejarah yang telah banyak ditinggalkan oleh masyarakat ternyata masih mumpuni di era canggih adalah tentang memahami kondisi pembangunan rumah tempat tinggal didaerah rawan gempa dan tsunami seperti di Nias dan Simeulue, merupakan parameter budaya lokal yang sangat penting di era pembangunan saat ini.
Pengalaman masyarakat di Pulau Simeulue di Aceh dan Nias perlu mendapatkan perhatian. Mereka memiliki semacamfolklore yang terinternalisasi menjadi kearifan lokal, apa yang harus dilakukan jika terjadi gempa. Makanya, sewaktu terjadi tsunami, jumlah korban agak minimal di sana. Rumah tradisional Nias tidak satupun mengalami kehancuran ketika terjadi gempa-tsunami maut Aceh-Nias tahun 2004, 2005 dan 2007.
Pemahaman terhadap kearifan lokal masyarakat menyangkut bencana akan menjadi satu input penting dalam proses mitigasi bencana. Diperlukan upaya untuk mensinergikan rancangan-rancangan aktivitas yang didesain dengan pertimbangan-pertimbangan ilmiah serta nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang ada di masyarakat. Melalui proses tersebut, akan terjadi transfer pengetahuan mengenai kebencanaan kepada masyarakat
Selain pemahaman kearifan lokal tsunami berupa Rumah Adat di Nias dan Simeulue, kita dapat belajar kearifan lokal dari budaya Bali yang menghormati keharmonisasi dengan ekologi lingkungan tempat mereka beraktivitas, yaitu konsep Tri Hita Karana atau tiga penyebab kebaikan yang dianut dan digunakan oleh masyarakat Bali dalam kaitan yang berhubungan dengan tata lingkungan dan perumahannya yang sangat kental dengan kearifan alam dalam menjaga keseimbangan ekologis.
Kearifan lokal masyarakat Sulawesi Selatan, yang membangun konstruksi kaki rumah berbentuk panggung tinggi diatas tanah yang dibangun disekitar pantai, yang diselaras dengan arah kedatangan arus gelombang laut dan mengurangi efek penjalaran seismik ke bangunan, begitu juga rumah-rumah adat dan kearifan yang membungkus budaya masyarakat Dayak Kalimantan. Semua hal ini seharusnya dijadikan introspeksi dalam membangun konstruksi rumah tahan gempa serta harmonisasi dengan alam.
BENTENG TANGGUH
Kemudian parameter penting lainnya adalah kebijakan prinsip keadilan lingkungan yang melibatkan masyarakat yang merupakan asumsi yang paling mendasar dalam menyusun upaya mitigasi. Karena semakin banyak masyarakat yang terlibat, akan semakin muda melakukan upaya mitigasi. Salah satu bentuknya adalah memberikan peran serta kepada masyarakat dan berusaha menjelaskan tentang mitigasi itu dengan cara sederhana, Rancangan kebijakan yang hanya sekedar merespon persoalan jangka pendek bukanlah solusi yang tepat dalam menjaga kesinambungan daya tahan masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di wilayah rentan bencana. Perumusan visi dan perencanaan agenda dalam penyusunan kebijakan bukan hanya sekedar melihat konteks ‘bencana’ dan kerusakan lingkungan sebagai masalah ekologis dan ekonomi semata, melainkan juga masalah yang bersifat sosial, politis dan kultural.
Artinya, prinsip ‘keadilan lingkungan’ memuat pula norma dan nilai kultural dalam penerapan aturan dan regulasi yang mendukung pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Parameter ketiga yaitu prinsip keadilan sosial, justru akan memiliki ‘daya guna’ ketika masyarakat mulai menyadari potensi yang mereka miliki, baik potensi yang berpengaruh pada kerentanan maupun kekuatan dalam mengelola hubungan produktifnya dengan lingkungan alam. Efek ‘daya guna’ itu hanya akan muncul apabila masyarakat merasa bahwa ‘prinsip keadilan lingkungan’ adalah ‘kebutuhan’ mereka, bukan suatu ideologi yang dipaksakan tanpa memberikan daya manfaat apapun bagi keberlanjutan hidup dan kesejahteraan mereka sendiri.
Oleh karena itu, diperlukan upaya gerakan sosial yang bertujuan untuk mereformasi lingkungan hidup juga berorientasi pada upaya untuk mereformasi struktur kuasa yang melingkupi berbagai kebijakan yang berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung pada lingkungan hidup dan lingkungan manusia itu sendiri dalam membentuk benteng tangguh bencana sosial dan bencana alam.
Dengan mengedepankan pendekatan mobilisasi partisipasi masyarakat yang memiliki basis di dalam komunitas, maka masyarakat akan memiliki kesadaran kritis, daya sensitif dalam mewaspadai potensi bencana alam di wilayah mereka tinggal, termasuk bagaimana menangani dampak bencana alam melalui upaya peningkatan kemampuan kapasitas sumber daya untuk mengkonsolidasikan sumber daya di tingkat lokal.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer, Tulisan ini sudah diterbitkan Pada Harian ANALISA Medan bulan Oktober 2013

No comments:

Post a Comment

Related Posts :