Dec 31, 2013

Banjir dan Okupasi Pelestarian RTH

BANJIR DAN OKUPASI PELESTARIAN RTH
Oleh M. Anwar Siregar
Derasnya urbanisasi ke wilayah kota-kota besar di Indonesia telah memacu perkembangan pemukiman yang cenderung menyimpang dari RUTRK dan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Banyaknya kawasan-kawasan rendah seperti rawa dan danau yang semula berfungsi sebagai tempat penampungan air serta bantaran sungai yang berubah menjadi pemukiman, ditambah dengan kebiasaan masyarakat yang membuang sampah ke sungai makin memperburuk kondisi lingkungan.
AKAR BANJIR
Jika dilihat dari akar permasalahan, banjir yang terjadi di berbagai kawasan di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh faktor biofisik seperti curah hujan yang tinggi dan bentuk topografi lahan, tetapi juga sangat terkait dengan masalah sosial, ekonomi dan politik. Secara teknis masalah tersebut menyebabkan perubahan penggunaan dan penutupan lahan oleh berbagai pembangunan fisik konstruksi seperti pengembangan pemukiman baru yang menyebabkan fungsi peresapan air oleh keterbatasan zonasi ekologi hijau pada daerah hulu dan fungsi atusan pada daerah tengah dan hilir tidak berfungsi secara optimal akibat telah mengalami gangguan perambatan lahan hijau sehingga aliran permukaan semakin deras melaju tanpa hambatan.
Daerah aliran sungai kini telah banyak mengalami fungsi, dan diperlukan upaya untuk menekan dan merehabilitasi keadaan DAS dan bantaran sungai ke sedia kala agar fungsi utama dalam peresapan tetap normal dan optimal dalam menjaga keseimbangan tata ruang siklus air. Perencanaan pembangunan kawasan ekologi di DAS merupakan rencana tindak lanjut jangka panjang mengingat sebaran masyarakat yang mendiami  dan menggunakan lahan yang seharusnya merupakan wilayah konservasi telah berubah fungsi menjadi basis produktivitas ekonomi yang banyak terlihat di kota-kota besar di Indonesia.
Gambaran ini dapat di lihat pada kasus kejadian banjir di Medan, tata ruang wilayahnyanya di apit dan dibelah oleh tiga sungai besar dengan beberapa cabang anak sungai. Kondisi fisik bantaran sungai di kota Medan telah mengalami perubahan fungsi hutan dan merupakan gambaran banjir tahunan dengan laju kepadatan bangunan dan urbanisasi penduduk cukup tinggi. Coba perhatikan, ada bangunan nekat di bangun di sekitar bantaran sungai tanpa ada dukungan zona ekologi sebagai zona sanggahan banjir atau sebagai fungsi zona hutan. Karakter hutan di sekitar sungai telah hilang dan berganti menjadi dinding beton yang tidak akan pernah mampu mendukung fungsi utama dari karakteristik ekologi hutan.
Akar permasalahan lain yang menyebab banjir tahunan adalah aktivitas produksi manusia berupa penambangan bahan galian C yang mengakibatkan erosi sehingga terjadi bencana banjir dan longsor bukan hanya berlangsung diwilayah resapan air di hulu sungai melainkan juga di wilayah DAS yang mengarah ke hilir sehingga luas sungai bergeser dan mengalami penyempitan DAS ini dikarenakan semakin meluasnya wilayah pemukiman dan pembangunan gedung perhotelan di pinggiran sungai dan juga perubahan fungsi tanah yang telah mengalami pengurugan ke tanah dasar bagi suatu lahan pertanian.
OKUPASI RTH
Dari yang telah dikemukan di depan, tergambar suatu dilema dalam pengembangan penataan ruang kota bagi persoalan pengendalian kerusakan ruang terbuka hijau terutama mencegah bencana banjir di perkotaan, pengendalian kerusakan Daerah Aliran Sungai [DAS] dengan laju urbanisasi di kota-kota besar di Indonesia sebagai akibat dari pembangunan lebih berorientasikan pada daerah perkotaan. Dengan pola pembangunan yang demikian menjadikan laju urbanisasi berjalan cepat, dan terjadi proses transformasi sosial yang mengubah morfologi fisik perkotaan oleh beberapa faktor, yaitu aksesbilitas dari peningkatan pembangunan infrastruktur fisik bagi akses ekonomi masyarakat urban menuju ke kota seperti pembangunan pelabuhan dan jalan darat. Aksesbilitas aliran investasi yang mendorong peningkatan produktivitas kota seperti penanaman saham swasta dalam pembangunan mall, dan pusat-pusat kegiatan yang mendorong laju kerusakan/okupasi ruang terbuka hijau dan akses terbuka dalam sistim pemerintahan otonomi sehingga mendorong masyarakat terkonsentrasikan ke pusat-pusat kota di Ibukota Provinsi, mendorong pengalih fungsikan ruang perkotaan yang menimbulkan dilematis bagi pelestariannya.
Secara tegas, pelarangan okupasi terhadap ruang terbuka hijau dan hutan bantaran DAS di berbagai wilayah kota telah diatur dalam peraturan perundangan, baik UU pengairan, UU Tata Ruang, UU kehutanan, dan UU Pertambangan dan Geologi serta UU Lingkungan, yang inti dari aturan tersebut hampir seragam dan bermuara dalam satu kesatuan penyelamatan sumber daya hijau, bahwa pelarangan, pelanggaran, perusakan dan penghancuran kawasan hijau di kanan-kiri suatu sungai, hutan lindung, penentuan koefisien zona bangunan dan zonasi sanggahan bencana harus tersedia suatu ”ruang hijau” dengan meminimalisir interior bangunan fisik, jarak ruang hijau harus tersedia minimal 50 meter dari suatu DAS, atau 100 meter untuk zona sanggahan bencana pertambangan dari segala aktivitas pembangunan fisik dan kehidupan manusia yang tidak boleh diganggu gugat oleh kegiatan apapun.
PELESTARIAN RTH
Hutan tropis di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini telah mengalami penurunan luasan hutan, kini tinggal 123,46 juta hektar dengan perincian kawasan suaka alam dan perairan hanya sekitara 23.239.815,57 ha, hutan lindung 29.100.016,02 ha, hutan produksi dan hutan konservasi 13.670.535.00 ha dan lain-lain 14 juta ha. Dari data tersebut, maka perkembangan penurunan luas kawasan hutan dalam dua dasawarsa telah terjadi konversi kawasan hutan (termasuk taman hutan nasional yang masuk dalam RTH) menjadi kawasan non hutan seluas hampir 34 juta hektar. Berarti setiap tahun rata-rata laju kerusakan hutan mencapai 1.7 juta hektar (sumber Kementerian Kehutanan, 2003 dan 2007).
Dari gambaran penyebaran luas hutan, dapat disimpulkan besarnya konstribusi pengelolaan dan pemanfaatan taman hutan yang menjadi ruang terbuka hijau di perkotaan sebagai salah satu kerangka pembangunan tata ruang lingkungan nasional saat ini perlu diupayakan langkah untuk menekan arus urbanisasi agar daerah RTH tidak mengalami okupasi semakin luas dengan pola pembangunan yang seimbang dan merata di perdesaan. Masyarakat desa dapat meningkatkan kualitas diri melalui pengembangan berbagai keterampilan ekonomi serta berbagai inovasi pembangunan sumber daya manusia.
Selain tersebut diatas, langkah pelestarian ruang terbuka hijau dari dampak okupasi dapat kita lakukan dengan sederhana antara lain : pertama, dari diri kita untuk lingkungan, dengan cara 1. Tanam tanaman yang disenangi dan tidak membahayakan warga kota, 2. Tanaman yang ditanam mampu tumbuh pada lingkungan marjinal dan tahan terhadap gangguan serta tidak mudah tumbang.
Kedua, Mematuhi tata ruang lingkungan yang telah ditetapkan, dengan cara 1. Tidak melebihi batas koefisien bangunan yang terbangun di daerah sempadan sungai, dan jika perlu sisipkan ruang semeter untuk mencegah longsoran tebing dengan menanam pohon yang akar yang kuat dan menyerap air dan oksigen untuk daerah sekitarnya. 2. Menyisipkan ruang terbuka untuk pelebaran ruang hijau terbuka pada kawasan pemukiman padat sebagai antisipasi daerah resapan air hujan dan biopori air. Ketiga. Menjaga dan mensosialisasikan taman unik yang memiliki catatan sejarah masa lalu seperti geopark atau biodiversity serta mempertahankan sekuatnya keberadaan taman kota yang ada, agar ditemukan kondisi keserasian antara bangunan dan ekologi lingkungan.
Sesungguhnya RTH memainkan peran dalam pengendalian bahaya banjir di perkotaan, yang sangat krusial bagi sistim lingkungan global adalah sebagai paru-paru kota, sebagai pemenuhan konsentrasi karbon, sekaligus wadah interaksi sosial dan aset ekonomi untuk kegitan rekreasi.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer, Tulisan ini sudah dimuat pada Harian ANALISA Medan Bulan November 2013

No comments:

Post a Comment

Related Posts :