Ironi UU Hijau Di Era Kabut Asap
IRONI UU “HIJAU” DI ERA KABUT ASAP
Oleh M. Anwar
Siregar
Dalam konteks daya dukung lingkungan, ketersediaan lahan di
beberapa pulau besar dalam pengembangan investasi perluasan lahan perkebunan
telah mengalami overshoot, yakni terlampauinya kapasitas dan kemampuan
ketersediaan lahan sehingga mendorong invasi ke daerah terlarang ke kawasan
hutan lindung dan sempadan sungai untuk memenuhi kebutuhan perluasan areal
konsesi perkebunan.
Data kajian Kementerian Lingkungan Hidup, mengindikasikan
bahwa beberapa Propinsi di Sumatera telah melampaui daya dukung untuk perluasan
perkebunan sehingga pemanfaatan ruang lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan
lahan [land capability]. Lahan rawan pada areal longsor, seharusnya tidak
dibuka untuk pertanian tanaman pangan tanpa bantuan teknologi secara tepat atau
pemanfaatan yang tidak sesuai akibatnya, terjadi kerusakan lahan yang sangat
sulit untuk direhabilitasi, efek dominonya adalah bencana banjir, longsor serta
krisis pangan seperti yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia.
Gambar 1 Kiri : Penambangan pasir di daerah hutan untuk perluasan perkebunan dan penimbunan badan jalan, dan gambar 2 kanan, bekas penambangan tanah di bukit yang belum direklamasi, keduanya merupakan lokasi yang penambangan yang sama (Dok Foto Penulis, 2013)
DILEMA UU HIJAU
Fenomena
berkurangnya fungsi kawasan hutan lindung di Indonesia memang tidak mudah
diatasi. Mengingat terdapat hierarki kewenangan maupun hubungan horizontal
antar pemerintahan, yang selama ini belum mempunyai sinergi yang kuat untuk
memecahkan masalah-masalah di lapangan. Disamping itu juga terdapat sejumlah
peraturan perundangan yang belum mendukung terwujudnya sinergi dimaksud, bahkan
cenderung implementasinya tidak sinkron satu sama lain
Disharmonisasi UU
yang berhubungan tata kelola dengan lingkungan hijau dapat dilihat dari
beberapa penafsiran aturan UU dalam beberapa pasal oleh pelaku usaha dan
masyarakat antara lain; UU Pertambangan [izin kuasa pertambangan umum], UU
Penataan Ruang terhadap pemanfaatan ruang disekitar kawasan hutan [RTH], UU
kehutanan terhadap izin pinjam dan pelepasan areal kawasan Hutan Pakai [HP] dan
Hutan Lindung [HL] untuk peruntukan lain dan UU Perkebunan terhadap izin usaha
perkebunan bagi perusahaan perkebunan dengan ketersediaan luas konsesi dan UU
Lingkungan Hidup terhadap sanksi bagi pelaku pencemaran, perusakan dan
pembakaran hutan di kawasan RTH yang tidak efektif, belum lagi beberapa
peraturan daerah yang masih tumpang tindih dengan kegunaan ruang hijau publik.
Jika disimak
beberapa pasal dan ayat setiap UU Penataaan Ruang No 26 Tahun 2007 dan UU No 41
Tahun 1999 tentang kehutanan khususnya dalam hal pemahaman tentang Kawasan Penataan
Ruang Wilayah/Daerah, Ruang Terbuka Hijau [RTH] didalam kawasan hutan sangat
bertentangan dengan kondisi sangat ini dan menguntungkan bagi penguasaan areal
hutan yang lebih luas. Banyak pemanfaatan ruang tidak sesuai implementasi
dilapangan untuk kebutuhan aktivitas kehidupan termasuk kedalam pemanfaatan
ruang-ruang bagi kebutuhan konservasi alam yang sering berbenturan dengan
kebutuhan areal perluasan konsesi pertambangan dan perkebunan dalam suatu
kawasan hutan dengan variasi jenis eksploitasi ruangnya dapat dipandang
sebagian mendekati nol untuk pemulihan kesediakala, yang berkaitan dengan
tujuan pelestarian alam hutan.
Begitu juga dalam
pemanfaatan ruang-ruang areal kebutuhan hutan industri untuk budidaya mengalami
eksploitasi yang begitu kejam demi perluasan kegiatan pertanian atau sebaliknya
untuk perluasan pengembangan kawasan industri serta pengembangan kawasan lahan
perkotaan sehingga menimbulkan beban tinggi bagi kebutuhan ruang pemukiman,
aktivitas serta mobilitas manusia dengan kawasan hutan sehingga menimbulkan
masalah yang rumit karena beralihfungsinya lahan hutan untuk kegiatan-kegiatan
pengembangan ekonomi industri dan pertambangan.
Dalam UU
pertambangan, banyak izin perusahaan pertambangan di Indonesia dicabut karena
melanggar aturan izin perlindungan lingkungan, izin usaha pertambangan [IUP] dicabut
karena tidak melaksanakan aturan dan kajian amdal, karena biasanya perusahaan
pertambangan tidak mau membuang waktu jika telah mendapatkan izin eksplorasi,
yang diartikan sebagai mulainya operasi pertambangan sejak izin diterbitkan
dengan melakukan pengeboran di titik-titik eksplorasi secara sepihak tanpa menunggu
izin pinjam pakai kawasan HL atau HP dalam kawasan hutan. Selain itu, sedikit
sekali perusahaan pertambangan mau melakukan penghijauan kembali atau reboisasi
pada lereng hutan dan pengawasan secara ketat terhadap pembuangan limbah.
Hal ini telah
menimbulkan ironi, kawasan hutan berubah menjadi kawasan pertambangan, kawasan
pertambangan berubah menjadi kawasan pemukiman ilegal dalam suatu kawasan
pertambangan yang tidak sesuai perencanaan tata hunian wilayah, mengalami
penurunan kualitas daya dukung lingkungan dan luas ruang daerah mengalami
penurunan seluas 30 persen hingga 55 persen dari zona peruntukkan daerah hijau.
Dalam kaitan hal tersebut
diatas, terjadi tumpang tindih penafsiran dalam UU No. 24 Tahun 1992 menjadi UU
No. 26 Tahun 2007 tentang Pengaturan Ruang yang sangat berkaitan dengan
keberadaan fungsi hutan dengan berlandaskan pada peraturan dan kebijakan
kehutanan seperti UU No. 5 Tahun 1998 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Keanekaragaman
Hayati dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Begitu juga Peraturan
Pasal 36 UU No 4 Tahun 2009 tentang perizinan pertambangan yang harus dipahami
para pengusaha pertambangan dengan aturan izin pinjam pakai kawasan hutan,
aturan Wilayah Izin Usaha Pertambangan [WIUP] dalam PP 23 Tahun 2010 Pasal 14 Ayat
2 harus tetap mengikuti aturan yang dikeluarkan UPT kehutanan dan sesuaikan
dengan peta Tata Guna Hak Kesepakatan [TGHK].
IRONI KABUT
ASAP
Yang lebih ironis
lagi adalah koordinasi perizinan perkebunan dan pertambangan di dalam kawasan
hutan antar instansi terkait tidak sesuai dengan aturan perundangan sehingga
menimbulkan masalah pelik. Terlihat dari UU Pertambangan No. 4 Tahun 2009 tidak
menyebutkan koordinasi dengan Kementerian Kehutanan jika calon areal tambang
bersentuhan dengan kawasan hutan. Parahnya lagi diperkuat dengan PP No. 23 Tahun
2010 tentang pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara tidak
menyebutkan rekomendasi Kementerian Kehutanan dalam penerbitan izin usaha
pertambangan. Demikian juga UU Perkebunan No. 18 Tahun 2004 yang hanya mengurus
status tanah areal perkebunan [Pasal 9].
Diperparah lagi, Unit
Pelaksana Teknis kehutanan di daerah yang rawan kabut asap sering tidak dilibatkan
dalam pengurusan izin perkebunan dan pertambangan yang berada di kawasan hutan
sehingga memunculkan kisruh dalam pendayagunaan sumber daya alam berdampak pada
terkeruknya sumber daya hutan secara illegal dan berkurangnya luas areal hutan.
Contoh kasus di Bima, Madina dan beberapa daerah lainnya
Jika menelaah
berbagai pasal dan ayat ataupun aturan izin usaha, baik untuk izin usaha
pertambangan dan izin usaha perkebunan yang ada dalam beberapa aturan
perundangan yang berhubungan dengan daerah hijau, maka inilah sebagian aturan
pemerintah yang sangat berjasa mengantarkan negeri ini sebagai raja polutan
terbesar di Asia Tenggara. Sebagian besar peraturan perundangan yang ada
termasuk peraturan daerah/perda yang berhubungan dengan lingkungan hijau saat
ini umumnya bersifat eksploitatif dan tidak koloboratif dengan kondisi
permasalahan yang ada.
Sebab, jika
dilihat dari faktor ekonomi, semua aturan UU tersebut tidak satupun memberikan
keuntungan dalam pemulihan lebih luas bagi daya dukung ekologi akibat tekanan
kapitalisme dan liberalisasi yang justrunya memberikan penurunan pendapatan
karena produksi tidak berlanjut karena areal pemanfaatan telah mengalami
pengrusakan, contoh paling jelas adalah pemanfaatan areal perkebunan dan
kehutanan. Apabila terjadi ketidakseimbangan daya dukung ekologis maka
akan terjadi kerusakan tata ruang ketersediaan air.
Jika hal ini masih berlanjut ke 10 tahun mendatang, maka akan
dikhawatirkan menimbulkan bencana kabut asap tahunan tanpa surut dan berbagai
elemen kehidupan dan tata ruang Indonesia
akan mengalami dampak yang lebih parah dengan kehilangan luas daratan, cuaca
semakin buruk menghantui kehidupan manusia.
M.
Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan,
Energi-Geosfer,
Tulisan ini sudah di Publikasi di HARIAN ANALISA MEDAN, Bulan September 2013
Tulisan ini sudah di Publikasi di HARIAN ANALISA MEDAN, Bulan September 2013
Komentar
Posting Komentar