TATA RUANG BOTOL, KNIA DIKAMBINGHITAMKAN
Oleh M. Anwar Siregar
Dilihat dari perkembangan kemajuan kota Medan saat ini benar-benar luar biasa, dari sebuah Dusun menjelma menjadi kota Metropolitan terbesar ke tiga di Indonesia, dalam usia 423 tahun Medan ternyata kini menjadi kota banjir tahunan, kota dengan seribu masalah, baik transportasi lalu lintas, infrastruktur utilitas, ekologi hijau, pemukiman fisik dan master plan tata ruang khusus rehabilitasi lahan tidak ada serta pemetaan jaringan hunian akibat eskalasi urbanisasi ke daerah sanggahan bencana.
Tingkat kesemrawutan transportasi semakin memuncak dalam lima tahun terakhir sejak pembangunan lebih terpusat kedalam inti kota , kemudian melingkar ke wilayah pinggiran, pola pembangunan ini tidak terealisasi dengan baik. Kehadiran bandara baru yaitu Kuala Namu International Airport (KNIA) ternyata lambat diantisipasi bagi para perencana pembangunan fisik Pemko Medan terutama bagaimana mengantisipasi kepadatan lalu lintas di kawasan Lapangan Merdeka dan Jalan Bukit Barisan ke perbatasan, bukankah Bandara KNIA itu sudah di siapkan bersatu dengan pembangunan jaringan transportasi lain?
Perlu dipertanyakan kenapa hal itu bisa terjadi? Bukankah visi pembangunan ke depan sudah tergambarkan dari pembangunan terpusat ke dalam, sehingga ada tata ruang tidak seimbang dengan pembangunan dipinggiran. Menyebabkan terbatasnya lahan hijau didalam wilayah kota Medan, akhir dari semua ini dapat Anda lihat sejak tahun 1997 Medan sudah mulai berlangganan kemacetan menuju ke inti kota, begitu juga ketika menuju ke daerah perbatasan kota satelit atau kota sub urban terdekat.
MANAJEMEN TATA RUANG
Faktor prasarana jalan penghubung ke KNIA disebut-sebut sebagai faktor biang keladi dari kemacetan dimana-mana diwilayah Medan seperti terlihat kemacetan hingga saat ini sebenarnya bagian dari keterlambatan antisipasi sejak Kuala Namu mulai dibangun. Kalau mau cari akar permasalahan kemacetan di kota Medan dapat dilihat dari kualitas manajemen perencanaan jalan jembatan atau transportasi, manajemen penataan ruang lingkungan ekologi, manaejemen tata ruang hunian dan pemerintahan, manajemen penataan lingkungan industri serta manajemen rehabilitasi keseimbangan tata ruang terpakai untuk pengembangan sumber-sumber daya kota.
Manajemen perencanaan jalan transportasi dan pembangunan infrastruktur fisik seperti fly over di kawasan inti kota Medan ini paling terlambat dipikirkan dan seharusnya sudah masuk daftar pembangunan sebagai antisipasi kedatangan penumpang dari luar kota sehingga kemacetan di kawasan pusat pemerintahan kota Medan itu dapat diminimalisasi, bukan menghancurkan zona hijau yang kini berubah menjadi kawasan kuliner jika melihat letak posisi geografis Kuala Namu berada di kawasan yang menghadap Selat Malaka dengan prasarana angkutan kereta api yang terdapat di kawasan inti Medan, dan kita sudah mengetahui bahwa di kawasan itu termasuk kawasan paling tersibuk di inti kota Medan.
Sepanjang tengah badan jalan protokol utama di wilayah Medan seharusnya sudah dibangun jalur fly over seperti jembatan fly over Pasupati Bandung dikawasan jalan Balai Kota, Iman Bonjol, Raden Saleh ataupun Putri Hijau ke Gabsut, yang memanjang dan melingkar serta menghubungkan titik-titik kemacetan dengan beberapa pintu masuk keluar ke stasiun besar kereta api Medan maupun ke kawasan Belawan serta jalan tol Tembung, tidak mengorbankan lahan milik masyarakat hanya untuk pelebaran jalan. Wilayah koridor sisi badan jalan dapat juga berguna untuk keselamatan pejalan kaki dan pedestrian lainnya,
Manejemen penataan ruang lingkungan hijau salah satu sumber kemacetan di Medan, hujan satu jam saja dapat “membangun model sungai terbaru” di dalam kawasan inti kota. Ini salah satu indikator kerentanan geologis lokal yang dapat membahayakan situasi transportasi menuju ke stasiun atau halte terdekat ke bandara KNIA, terlihat kurangnya pemahaman mitigasi yang digunakan dalam membangun antar ruang hijau dengan bangunan fisik masyarakat dan pemerintahan serta swasta. Persentase kawasan terbangun harus ada ruang hijau diantara beberapa bangunan fisik dengan perbandingan 1 hektar lahan RTH terpisah diantara 10-15 bangunan fisik terbangun, selain itu kepadatan bangunan harus terdapat ruang biopori, jarak bangunan konstruksi dengan jarak sempadan sungai harus diberi ruang maksimal 12 meter. Fungsi daerah ini sebagai media keseimbangan daerah air dan dapat juga dimanfaat dalam zona terbatas untuk jaringan utilitas bawah tanah serta jaringan PDAM.
Model tata ruang ekologi zaman Belanda kini tidak ada lagi di kawasan Petisah, Kesawan dan Sambu, ketika itu dibuat selalu ada kawasan hijau yang menganut sistim keseimbangan antara luas bangunan yang memisahkan lokasi pemerintahan, lokasi hunian, kuliner dan parkir dengan luas kawasan hijau serta pedestrian sehingga tidak akan ditemukan lahan saling tumpang tindih. Yang nampak sekarang disekitar stasiun besar kereta api itu sudah semakin berkurang dan Medan telah diidentifikasi hanya memiliki daerah resapan hijau sebanyak 12 persen, jauh dari yang diamanahkan UU seluas 30 persen. Sehingga berdampak bencana banjir musiman, memperparah situasi transportasi antar ruang dalam kota.
KOORDINASI BOTOL
Perlu koordinasi antar Pemda disekitar wilayah tempat keberadaan bandar KNIA sangat penting, bertujuan untuk mengendalikan kemacetan di perbatasan kota terutama efek peningkatan kapasitas jasa transportasi dalam suatu tata ruang Mebidang, memerlukan kajian terhadap dampak pembangunan jalan dan infrastruktur yang menyertainya yaitu sistim kesatuan drainase dan pola banjir yang melibatkan pergeseran dan perusakan atau okupasi ruang terbuka hijau di segala lini yang berhubungan dengan lingkungan air, ruang parkir dan median jalan yang berhubungan dengan jaringan utilitas yang masih tumpang tindih
Koordinasi tata ruang transportasi sangat penting dalam memetakan persoalan kesemrawutan infrstruktur jalan dengan kondisi pemukiman, drainase, dan sistim perparkiran tanpa harus menghancurkan ekologi hijau. Dengan memetakan desain pola pergerakan kawasan suatu geografis yang membentuk suatu kondisi hunian maka pembuatan master plan akan lebih mudah sehingga dinamika transportasi akan ditemukan solusi yang tepat bagi proyek besar berikutnya tanpa harus mencari kambing hitam akibat terjadinya kemacetan seperti sekarang.
Kemacetan mulai nampak di inti kota Medan, menerus ke kawasan selatan Medan terutama sebelas titik ruang kemacetan yang penulis catat antara lain dikawasan PDAM menerus dan melewati Rumah Sakit ke Simpang Raya hingga Makam Pahlawan, selanjutnya ke Simpang Limun menerus ke Sp. Samsat dan Sp. Marindal menerus ke fly over Amplas. Lalu pergerakan lambat terjadi lagi di kawasan perbatasan mulai dari Poldasu jika terjadi banjir, menerus ke Simpang Ujung Serdang-wilayah Deli Serdang lalu ke gerbang tol Tamora dan Simpang kayu besar menerus ke Simpang Kota Tamora melewati jembatan Belumai.
Kemacetan terjadi juga dari arah Sp. Pos Padang Bulan ke Kampung Baru-Deli Tua terus ke Sp Marindal untuk ke Tamora, semua pergerakan tersebut menuju ke satu titik dan mengingatkan penulis pada bentuk leher botol, menyumbat, sempit dan tidak ada ruang alternatif, bukan berpencar dengan beberapa ruas terbuka menuju ke KNIA.
Jadi, ketika KNIA beroperasi terjadi kemacetan dan diperparah lagi oleh tata ruang wilayah di kota Sub Urban di perbatasan kota Medan, pemerintahan di kota tersebut tidak memiliki pola tata ruang yang mengantisipasi perkembangan kemajuan fisik transportasi kota Medan terutama dalam pembangunan fly over dan jalan lingkar dalam maupun lingkar luar yang masih terbatas dan dapat mengantisipasi masuk kendaraan ke dalam kota Medan serta menuju ke KNIA. Jadi, janganlah mencari kambinghitam dengan membidik KNIA, yang diperlukan sangat ini adalah pembangunan beberapa fly over di perbatasan Medan dengan kota satelitnya.
 
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, Tulisan ini sudah di publikasi di HARIAN ANALISA MEDAN Bulan Oktober 2013