Kompleksitas Ruang Bencana di Indonesia
Tajuk Paluemasgeolog 17
KOMPLEKSITAS
RUANG BENCANA DI INDONESIA
Oleh M.
Anwar Siregar
Bukti
ilmiah mengindikasi bahwa aktivitas manusia menurunkan sistim daya dukung
fundemental lingkungan di Bumi, kerusakan yang terjadi bukan saja di biofesr
atau daratan bumi tetapi juga telah melewati atmosfer dan hidrosfer. Kerusakan
ini telah menimbulkan kompleksitas bencana dalam suatu tata ruang lingkungan di
kota-kota yang ada di Indonesia termasuk juga imbasnya ke negara tetangga oleh
bencana kabut asap di atmosfer bumi Asia Tenggara.
Gejala
kerusakan daya dukung lingkungan di kota-kota Indonesia sebenarnya sudah sangat
mengkhwatirkan dengan hilangnya daya resap yang terbesar yaitu hilanganya
berbagai macam keanekaragaman hayati akibat perusakan oleh manusia dengan
aktivitas yang menyebabkan terkadinya perubahan lingkungan terutama perubahan
iklim global, sehingga memberikan efek domino bagi perkembangan iklim dunia,
peningkatan dan penurunan air dan es samudera, mengancam kelangsungan sumber
daya kehidupan generasi penerus, sebuah dilmema yang akan dialami berbagai kota
di Indonesia.
POPULASI
Pertumbuhan
populasi manusia yang cepat, menyebabkan kebutuhan akan sumber-sumber pangan,
bahan baja, tempat pemukiman dan lain kebutuhan hidup. Pertumbuhan populasi
manusia telah mengakibatkan perubahan besar bagi kompleksitas tata ruang kota
yang menyebabkan perubahan peningkatan laju kerusakan lingkungan hidup dengan
timbulnya krisis lingkungan. Seperti kerusakan hutan, pencemaran, erosi dan
lain-lain selalu berinteraksi dengan makhluk hidup lainnya dalam lingkungan.
Pertambahan penduduk di pusat-pusat perkotaan juga
kian cepat. Diperkirakan setidaknya setengah populasi di dunia hidup di kawasan
perkotaan. Di Indonesia, jumlah penduduk yang hidup di perkotaan mencapai 22,2
persen dari total jumlah penduduk pada 1980 dan meningkat pesat menjadi 48,3
persen pada 2004. Kegiatan ekonomi di perkotaan diprediksi menyumbang hampir 60
persen dari struktur Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Kegiatan ekonomi
yang berpusat di kota menjadi pengungkit pertambahan penduduk di kawasan
perkotaan sekaligus menjadi tantangan untuk mewujudkan penataan kota yang lebih
komprehensif dari berbagai sektor (Kirmanto, 2005).
KOMPLEKSITAS
BENCANA
Bencana ekologi berupa banjir yang tersebar hampir
di seluruh wilayah kota di Indonesia. Tidak hanya
mengganggu kenyamanan, banjir juga telah merugikan banyak hal di masyarakat.
Kerugian secara ekonomi akibat perabotan rumah tangga yang rusak, anak sekolah
harus diliburkan, terhambatnya arus lalu lintas di jalan, dan berbagai kerugian
lainnya harus ditanggung masyarakat.
Dalam berbagai bencana ekologi yang ada, termasuk banjir, sudah
jelas masyarakat yang menanggung akibatnya. Sementara penyebab sesungguhnya
adalah kebijakan atau perizinan-perizinan yang merusak kelangsungan hidup, tidaklah
pernah disentuh.
Di Kota-lota besar di Indonesia sampai saat ini belum mampu memenuhi
amanah UU Tata Ruang sebesar 30 persen bagi tata ruang terbuka hijau, dengan minimnya
ruang tata hijau (RTH), alih fungsi rawa secara massif, tidak efektifnya keberadaan
drainase termasuk kolam retensi dan sampah menjadi pemicu banjir permanen, jika
tidak segera diatasi. Belum lagi berbagai kegiatan usaha seperti hotel, mal,
rumah sakit, perkantoran, perumahan dan lainnya dipastikan hampir seluruhnya
tidak memperhatikan lingkungan hidup yang menimbul berbagai bencana alam secara
sistimastis di era global sekarang.
Sangat mendesak saat ini, perlu integrasi multi manajemen dan sistim
peringatan dini terhadapa bencan di berbagai kota
di Indenesia dengan menekan kepada pemerintah kota-kabupaten agar segera
mencari solusi untuk mengantisipasi banjir di kota ini dengan memperhatikan aspek-aspek
lingkungan di perkotaan. Seperti, perluasan RTH, konversi rawa yang tersisa,
memperbaiki sistem drainase, membangun pengelolaan sampah berbasis komunitas,
serta dengan tegas menindak atau mencabut izin usaha yang tidak memperhatikan
lingkungan.
Adanya eksploitasi antar kawasan baik itu dalam artian eksploitasi
oleh pusat-pusat kekuasaan ekonomi dan politik terhadap kawasan-kawasan penghasil
sumber-daya alam baik itu eksploitasi oleh pusat kekuasaan nasional (Jakarta) terhadap daerah-daerah serta oleh eksplotasi oleh
pusat-pusat ekonomi global terhadap Indonesia.
Bencana kerusakan ekologis hutan oleh manusia, misalnya akan mengganggu
sistem hidrologis yang mengakibatkan menurunya daya ikat tanah dalam
mengendalikan air. Dampak kerusakan ini pada ujungnya dapat berdampak pada
kekeringan atau banjir. Bencana ini juga diperparah lagi dengan adanya
perubahan iklim. Akibat adanya perubahan iklim, kondisi tidak seperti biasanya,
terjadi pergeseran musim, misalnya ada kecenderungan musim kemarau yang lebih
panjang dan tak beraturan, akan tetapi hujan cenderung pendek namun
intensitasnya tinggi.
KUTUKAN BANJIR
Kompleksitas
banjir di mulai di daerah tangkapan air diwilayah hulu dialih fungsikan dari
hutan menjadi hutan tanaman, perkebunan sawit dan pertambangan. Akibatnya
daya dukung lingkungan menjadi sangat rendah sehingga bencana cepat
datang.
Daerah
hulu yang terbuka dan di land clearing kemampuannya untuk menyerap air hujan
menjadi air tanah menjadi hilang. Akibatnya semua air hujan menjadi aliran
permukaan yang kemudian masuk ke sungai-sungai. Ini menyebabkan sungai tidak
mampu menampung semua air hujan sehingga meluap. Kondisi ini diperburuk
dengan tingginya sedimentasi di alur sungai yang terbawa dari kawasan hutan
yang sudah digunduli.
Selain
perubahan di daerah tangkapan air, kebanyakan tata ruang kota-kota di Indonesia
memang telah di “desain” untuk rentan terhadap bencana. Meski dalam UU 41 tahun
1999 tentang Kehutanan dan UU 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang mengharuskan
untuk menyisakan kawasan hutan minimal 30 persen dari tiap Daerah Aliran
Sungai, guna keseimbangan ekosistem. Namun hal ini tidak diindahkan dan
terabaikan. Sejauh ini pemerintah berdalih ada hutan 30 persen, tetapi
perlu dilihat apakah hutan itu “berhutan”? Ini yang penting, kadang
pemerintah berdalih Hutan Jambi atau di Medan maupun di Jakarta masih 2 juta
ha, angka ini merujuk ke luas kawasan hutan yang ada tetapi pertanyaannya,
pohonnya ada semua atau tidak?
Uniknya
meski sudah dalam satu dekade terakhir selalu di dera banjir di musim
hujan, penghancuran hutan di hulu masih terus terjadi. dengan
melakukan land Clearing. Secara izin banyak perusahaan secara sah karena
memegang iizn dari kementerian kehutanan, namun yang perlu dipertanyakan tentu
bagaimana proses izin itu bisa keluar, bagaimana bisa yang dijadikan HTI
adalah kawasan yang berhutan dengan tutupan rapat, kalau mau jujur HTI
harusnya diberikan kawasan yang tidak produktif alias kerapatan pohon rendah.
Namun kenyataannya dilapangan kayu-kayu dengan diameter lebih dari 60 cm
bertumbangan dan ditumpuk di lokasi land clearing.
Kondisi
ini menyebabkan kota menjadi rawan bencana. Hujan sedikit langsung banjir dan kemarau langsung
kekeringan. Pada akhirnya masyarakat yang paling menderita akibat sistem
pengelolaan sumber daya alam yang sudah berlangsung.
Untuk
penanganan dan pengelolaan bencana yang dilakukan pemerintah saat ini masih
bersifat sektoral dan tidak mengarah pada pencarian solusi permanen. Masyarakat
korban banjir hanya diberi sumbangan, dan begitu surut semuanya seperti kembali
seperti semua. Nanti musim hujan tahun depan kondisi ini akan
kembali lagi, sumbangan lagi. Hanya berputar-putar disitu saja. Masyarakat
‘dipaksa’ pasrah dan di doktrin ini adalah musibah. Sedangkan upaya kongkrit
untuk mengatasinya tak dilakukan.
Palu emas geolog
Komentar
Posting Komentar