Jul 28, 2017

Kompleksitas Ruang Bencana di Indonesia

Tajuk Paluemasgeolog 17

KOMPLEKSITAS RUANG BENCANA DI INDONESIA
Oleh M. Anwar Siregar
 Bukti ilmiah mengindikasi bahwa aktivitas manusia menurunkan sistim daya dukung fundemental lingkungan di Bumi, kerusakan yang terjadi bukan saja di biofesr atau daratan bumi tetapi juga telah melewati atmosfer dan hidrosfer. Kerusakan ini telah menimbulkan kompleksitas bencana dalam suatu tata ruang lingkungan di kota-kota yang ada di Indonesia termasuk juga imbasnya ke negara tetangga oleh bencana kabut asap di atmosfer bumi Asia Tenggara.
Gejala kerusakan daya dukung lingkungan di kota-kota Indonesia sebenarnya sudah sangat mengkhwatirkan dengan hilangnya daya resap yang terbesar yaitu hilanganya berbagai macam keanekaragaman hayati akibat perusakan oleh manusia dengan aktivitas yang menyebabkan terkadinya perubahan lingkungan terutama perubahan iklim global, sehingga memberikan efek domino bagi perkembangan iklim dunia, peningkatan dan penurunan air dan es samudera, mengancam kelangsungan sumber daya kehidupan generasi penerus, sebuah dilmema yang akan dialami berbagai kota di Indonesia.
POPULASI
Pertumbuhan populasi manusia yang cepat, menyebabkan kebutuhan akan sumber-sumber pangan, bahan baja, tempat pemukiman dan lain kebutuhan hidup. Pertumbuhan populasi manusia telah mengakibatkan perubahan besar bagi kompleksitas tata ruang kota yang menyebabkan perubahan peningkatan laju kerusakan lingkungan hidup dengan timbulnya krisis lingkungan. Seperti kerusakan hutan, pencemaran, erosi dan lain-lain selalu berinteraksi dengan makhluk hidup lainnya dalam lingkungan.
Pertambahan penduduk di pusat-pusat perkotaan juga kian cepat. Diperkirakan setidaknya setengah populasi di dunia hidup di kawasan perkotaan. Di Indonesia, jumlah penduduk yang hidup di perkotaan mencapai 22,2 persen dari total jumlah penduduk pada 1980 dan meningkat pesat menjadi 48,3 persen pada 2004. Kegiatan ekonomi di perkotaan diprediksi menyumbang hampir 60 persen dari struktur Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Kegiatan ekonomi yang berpusat di kota menjadi pengungkit pertambahan penduduk di kawasan perkotaan sekaligus menjadi tantangan untuk mewujudkan penataan kota yang lebih komprehensif dari berbagai sektor (Kirmanto, 2005).
KOMPLEKSITAS BENCANA

Bencana ekologi berupa banjir yang tersebar hampir di seluruh wilayah kota di Indonesia. Tidak hanya mengganggu kenyamanan, banjir juga telah merugikan banyak hal di masyarakat. Kerugian secara ekonomi akibat perabotan rumah tangga yang rusak, anak sekolah harus diliburkan, terhambatnya arus lalu lintas di jalan, dan berbagai kerugian lainnya harus ditanggung masyarakat.
Dalam berbagai bencana ekologi yang ada, termasuk banjir, sudah jelas masyarakat yang menanggung akibatnya. Sementara penyebab sesungguhnya adalah kebijakan atau perizinan-perizinan yang merusak kelangsungan hidup, tidaklah pernah disentuh.
Di Kota-lota besar di Indonesia sampai saat ini belum mampu memenuhi amanah UU Tata Ruang sebesar 30 persen bagi tata ruang terbuka hijau, dengan minimnya ruang tata hijau (RTH), alih fungsi rawa secara massif, tidak efektifnya keberadaan drainase termasuk kolam retensi dan sampah menjadi pemicu banjir permanen, jika tidak segera diatasi. Belum lagi berbagai kegiatan usaha seperti hotel, mal, rumah sakit, perkantoran, perumahan dan lainnya dipastikan hampir seluruhnya tidak memperhatikan lingkungan hidup yang menimbul berbagai bencana alam secara sistimastis di era global sekarang.
Sangat mendesak saat ini, perlu integrasi multi manajemen dan sistim peringatan dini terhadapa bencan di berbagai kota di Indenesia dengan menekan kepada pemerintah kota-kabupaten agar segera mencari solusi untuk mengantisipasi banjir di kota ini dengan memperhatikan aspek-aspek lingkungan di perkotaan. Seperti, perluasan RTH, konversi rawa yang tersisa, memperbaiki sistem drainase, membangun pengelolaan sampah berbasis komunitas, serta dengan tegas menindak atau mencabut izin usaha yang tidak memperhatikan lingkungan.
Adanya eksploitasi antar kawasan baik itu dalam artian eksploitasi oleh pusat-pusat kekuasaan ekonomi dan politik terhadap kawasan-kawasan penghasil sumber-daya alam baik itu eksploitasi oleh pusat kekuasaan nasional (Jakarta) terhadap daerah-daerah serta oleh eksplotasi oleh pusat-pusat ekonomi global terhadap Indonesia.
Bencana kerusakan ekologis hutan oleh manusia, misalnya akan mengganggu sistem hidrologis yang mengakibatkan menurunya daya ikat tanah dalam mengendalikan air. Dampak kerusakan ini pada ujungnya dapat berdampak pada kekeringan atau banjir. Bencana ini juga diperparah lagi dengan adanya perubahan iklim. Akibat adanya perubahan iklim, kondisi tidak seperti biasanya, terjadi pergeseran musim, misalnya ada kecenderungan musim kemarau yang lebih panjang dan tak beraturan, akan tetapi hujan cenderung pendek namun intensitasnya tinggi.
KUTUKAN BANJIR
Kompleksitas banjir di mulai di daerah tangkapan air diwilayah hulu dialih fungsikan dari hutan menjadi hutan tanaman, perkebunan sawit dan pertambangan.  Akibatnya daya dukung lingkungan menjadi sangat rendah sehingga bencana cepat datang. 
Daerah hulu yang terbuka dan di land clearing kemampuannya untuk menyerap air hujan menjadi air tanah menjadi hilang. Akibatnya semua air hujan menjadi aliran permukaan yang kemudian masuk ke sungai-sungai. Ini menyebabkan sungai tidak mampu menampung semua air  hujan sehingga meluap. Kondisi ini diperburuk dengan tingginya sedimentasi di alur sungai yang terbawa dari kawasan hutan yang sudah digunduli.
Selain perubahan di daerah tangkapan air, kebanyakan tata ruang kota-kota di Indonesia memang telah di “desain” untuk rentan terhadap bencana. Meski dalam UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang mengharuskan untuk menyisakan kawasan hutan minimal 30 persen dari tiap Daerah Aliran Sungai, guna keseimbangan ekosistem. Namun hal ini  tidak diindahkan dan terabaikan.  Sejauh ini pemerintah berdalih ada hutan 30 persen, tetapi perlu dilihat apakah hutan itu “berhutan”?  Ini yang penting, kadang pemerintah berdalih Hutan Jambi atau di Medan maupun di Jakarta masih 2 juta ha, angka ini merujuk ke luas kawasan hutan yang ada tetapi pertanyaannya, pohonnya ada semua atau tidak?
Uniknya meski sudah dalam satu dekade terakhir selalu di dera banjir di musim hujan,  penghancuran hutan di hulu masih terus terjadi.  dengan melakukan land Clearing. Secara izin banyak perusahaan secara sah karena memegang iizn dari kementerian kehutanan, namun yang perlu dipertanyakan tentu bagaimana proses izin itu bisa keluar, bagaimana bisa yang dijadikan HTI adalah kawasan yang berhutan dengan tutupan rapat, kalau mau jujur HTI harusnya diberikan kawasan yang tidak produktif alias kerapatan pohon rendah. Namun kenyataannya dilapangan kayu-kayu dengan diameter lebih dari 60 cm bertumbangan dan ditumpuk di lokasi land clearing.
Kondisi ini menyebabkan kota menjadi rawan bencana. Hujan sedikit langsung banjir dan kemarau langsung kekeringan. Pada akhirnya masyarakat yang paling menderita akibat sistem pengelolaan sumber daya alam yang sudah berlangsung.
Untuk penanganan dan pengelolaan bencana yang dilakukan pemerintah saat ini masih bersifat sektoral dan tidak mengarah pada pencarian solusi permanen. Masyarakat korban banjir hanya diberi sumbangan, dan begitu surut semuanya seperti kembali seperti semua. Nanti  musim  hujan tahun depan kondisi ini akan kembali lagi, sumbangan lagi. Hanya berputar-putar disitu saja. Masyarakat ‘dipaksa’ pasrah dan di doktrin ini adalah musibah. Sedangkan upaya kongkrit untuk mengatasinya tak dilakukan.
Palu emas geolog

No comments:

Post a Comment

Related Posts :