Aug 1, 2017

Tapsel-Padang Sidimpuan diatas Patahan Gempa Maut

TAPSEL-PADANG SIDIMPUAN DIATAS PATAHAN GEMPA MAUT
Oleh : M. Anwar Siregar

Dalam selang dua hari berturut wilayah Propinsi Sumatera Utara terus mengalami gempa cukup kuat, di mulai dari gempa Samosir dengan kekuatan 5.2 Skala Richter dengan kedalaman 8 km hingga ke gempa Padangsidimpuan-Tapsel dengan kekua­tan gempa 5.5 SR, dengan kedalaman 10 km yang berada tepat diatas patahan Angkola dan terlihat ada peningkatan kekuatan gempa di wilayah Propinsi Sumatera Utara, dan diketahui selama ini pusat gempa biasanya berlangsung diwilayah Mandai­ling Natal ke batas wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.
Namun pada kejadian gempa yang terjadi Jumat 14 Juli 2017, gempa berlangsung pada zona Patahan Angkola Padang Sidimpuan-Sipirok, yang tepatnya pada jalur lanjutan patahan Aek Latong ke barat daya Angkola Barat (Tapsel) melengkung menyudut tajam ke Angkola Julu yang secara kasat mata, dapat tergambarkan oleh zona patahan geologi berupa graben-graben kecil dengan jurang tajam, di zona itu terdapat timbunan zona patahan tidak aktif melajur memanjang beberapa meter yang membelah tata ruang Kota Sipirok dan Kota Padang Sidim­puan yang perlu diwaspadai saat ini, apalagi data menyebut­kan kejadian gempa tersebut berlangsung selama 20 detik (Sumber BMKG) dan terasa goncangannya hingga Provin­si Riau.
Di zona mematikan
Wilayah tata ruang Kota Padang Sidim­puan dan Sipirok dilintasi zona gempa yang mematikan, dari zona patahan ini masing-ma­sing memiliki sebaran yang mengancam ka­wasan yang terdekatnya serta memiliki dimensi sesar yang cukup pan­jang untuk membangkitkan responsibilitas seismik yang berkelan­jutan. Dan wilayah Tabagsel (Tapa­nuli bagian Selatan yang meliputi Madina, Tapsel, Padangsidimpuan, Palas dan Paluta) serta sebagian wilayah Rohil dan Pasaman Sumatera Barat memiliki lajur yang sama dalam tata ruang pergerakan seismik batuan yang mengalami pergeseran kerak bumi. Lajur patahan yang memanjang itu memiliki ruas-ruas yang mem­bahaya­kan tata ruang kota-kota tersebut.
Sebabnya, Kota Sipirok dan sekitarnya tepat di atas zona patahan Renun-Toru-Angkola lajur panjang sesuai dengan lekukan tubuh Pulau Sumatera, jejak longsoran purba yang telah tertimbun oleh material tufa Toba Purba dan material tan­ah endapan alluvial serta pelemparan material vulkanik dari letusan gunungapi Sibual-buali, menerus ke titik hunjaman patah­an Renun dan Toru berada tepat di kawasan Aek Latong sekitar­nya. Daerah ini terlihat sebuah lembah daratan yang meng­alami penurunan, sedang pusat kota berada dalam jalur-koridor sesar/patahan yang tidak aktif akibat penimbunan mate­rial gunungapi purba Sibual-buali dan Toba Purba.
Di masa depan, beban pikul massa batuan dan percepatan puncak dasar batuan akan mengalami pergeseran jika terus ada beban tambahan karena mengingat lapisan batuan telah meng­alami penguraian massif sehingga sering kita lihat ada longsoran kecil, ada undakan akibat tekanan dalam bumi dan pelengkung sarana infrastruktur secara tiba-tiba, penulis sudah mengamati per­kem­bangan ini sejak Aek Latong baru di bangun dan bukti itu terlihat pada undakan dan longsoran hingga menuju daerah Simanguban-Tapanuli Utara.
Ke arah selatan  Kota Padangsidimpuan, lajur patahan dari Sipirok terlihat melengkung ke arah tinggian Sitinjak di Kecama­tan Angkola Barat-Tapsel, melajur terus memasuki wilayah kota Padangsidimpuan terutama di Angkola Julu yang merupa­kan sebagian lanjutan Graben Padangsidimpuan-Sayur Matinggi. Pusat gempa darat yang terjadi disekitaran ini.
Lanjutan Patahan Angkola dari wilayah Angkola Barat dan Angkola Julu jelas kentara berada tepat di wilayah Kota Padang Sidimpuan yang memanjang melewati Padang Mating­gi hingga ke batas Lubuk Sikaping di Sumatera Barat dan sebagian melengkung lagi ke wilayah Palas hingga Rokan Hulu dan Rokan Hilir di Riau. Getaran gempa yang terjadi pada ruas patahan Angkola di barat daya dan barat laut sekitar 9 km dari kota Padangsidimpuan dan 11 km dari wilayah Ang­kola Timur-Tapsel memang terasa kuat karena tatanan geologi di daerah tersebut serta merupakan sumber bencana di masa mendatang karena sebelum kejadian gempa, terjadi ben­cana longsor dan banjir bandang di wilayah Angkola Julu beberapa bulan lalu.
Getaran kuat sangat terasa walau skala pada kisaran 5.5 SR karena pusat gempat yang sering terjadi pada patahan Angkola adalah kedalaman 10 klm termasuk gempa dangkal, Segmen Ang­kola adalah bagian ruas patahan besar Sumatera dan sejarah mencatat kalau terjadi gempa pada segmen Angkola sering pada kedalaman dangkal, dan pusat tata ruang kota di Tabagsel berada dalam jangkauan gempa dangkal dan ini penyebabnya kenapa masyarakat begitu mudah panik dan goyangan terasa lama berhenti hingga kadang mencapai lebih 20 detik walau kekua­tan gempa tidak kuat.
Aktivitas gempa pada zona sesar Sumatera sering membang­kitkan seismik pada patahan Angkola adalah mekanisme sesar mendatar atau strike slip faul dan sesar-sesar kecil yang ter­cacah-cacah itu membelah semua tata ruang Tapsel dan Padang Sidimpuan dapat terbangkitkan untuk menghasilkan gempa yang mematikan. Dan perlu kita ketahui bahwa lajur panjang Segmen Angkola mencapai 214 km hingga masuk wilayah Sumatera Barat.
Intropeksi tata ruang
Perlu pemetaan zonasi tata ruang sebagai bagian introspeksi tata ruang yang selama ini beberapa daerah di Tabagsel belum mewujud­kan tata ruang tahan bencana dengan melibatkan unsur dasar informasi geologi fisik secara mendalam sehingga menelan korban jiwa yang besar jika gempa terjadi, terabaikan­nya data geologi terutama data bawah permu­kaan dimana wilayah Sipirok dan Padang­sidimpuan telah diidentifikasi memiliki kerentanan bencana gempa yang tinggi.
Peta seismotektonik selama ini belum digu­nakan secara detail yang mencakup segala jenis level kerentanan zona gem­pa dan mencatat sejarah kegempaan yang berulangkali ter­jadi gempa bumi di wilayah yang sama.
Bertitik tolak dari fakta tersebut ada be­berapa poin ilmiah yang mesti menjadi pem­belajaran dan harus menjadi PR serta pemi­kiran yang sungguh-sungguh bagi segenap pelaku bisnis, masyarakat dan pemerintah atau stake holder untuk melakukan intro­speksi etika tata ruang antara lain pertama, Indonesia mungkin belum dapat menciptakan teknologi mutakhir seperti Jepang yang telah mencip­takan berbagai teknologi untuk meng­antisipasi terjadinya bencana. Akan tetapi apa yang telah diterapkan Jepang, dapat dijadikan contoh dan referensi bagi Indonesia untuk langkah penyelamatan daerah rawan bencana seperti di Tapanuli bagian Selatan, Samosir, Aceh, Sumatera Barat dan Gorontalo Sulawesi.
Kedua, sebaiknya kita merenung dan mengimplementasikan secepat­nya paradigma pembangunan yang berwawasan ling­kungan dengan mengendalikan hawa nafsu untuk merusak lingkungan, menegakkan konsistensi aturan-aturan zonasi yang telah dibuat, menjaga etika aturan tata ruang, belajar untuk selalu mengem­bangkan diri dengan meng­gunakan SOP (standar operation prosedure) yang cepat dan berman­faat serta ma­na­je­men mitigasi bencana yang tepat, cepat dan akurat kepada masyarakat
Contoh ini dapat dilihat pada kejadian gempa Pidie yang baru terjadi bulan Desember 2016 lalu itu karena faktor batuan­nya yang tidak kompak dan terbentuk usia kuater atau batuan yang masih mudah sehingga rambatan gelombang berli­pat ganda dan melipat gandakan ke­rusakan bangunan yang ada diatasnya walau kekuatan gempa tidak kuat.
Implementasi pada kejadian yang lewat belum “terprakte­kan” pada kota-kota yang mengalami gempa kemudian, gempa Padang Sidimpuan dan Tapsel banyak rumah mengalami kerusa­kan dan aktivitas tata ruang utama kota berada di atas lajur patahan mematikan dengan jumlah penduduk yang mulai padat.
Ketiga, etika kewaspadaan dalam bentuk pendidikan ilmiah, masya­rakat dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, mema­hami literatur kota tempat mereka berada, peta-peta, UU Tata Ruang dan pemerintah wajib terus mensosialisasikan peta ilmiah tata ruang, meningkatkan mitigasi tata ruang dan pen­didikan kebencanaan di daerah rawan gempa.
Sesungguhnya Tapsel dan Pa­dang­sidimpuan memang berada diatas patahan yang mematikan, perlu introspeksi untuk mengen­dalikan jumlah korban dan kerugian materi karena bencana yang sekarang me­ru­pa­kan gambaran ke masa depan.***
Telah dipublikasi di Harian ANALISA MEDAN. 27 Juli 2017
Penulis adalah Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer.

No comments:

Post a Comment

Related Posts :