Aug 25, 2017

Kabut Asap Lagi

KABUT ASAP LAGI
Oleh : M. Anwar Siregar
 ”waduh, panas sekali Medan ini” keluh seorang pengendara motor perempuan ketika melintas ke wilayah Amplas pagi hari jelang sekitar jam 8-an (26-27/7), penulis juga merasakan panas pada hari itu bukan jaket penulis tetapi memang panas, panas yang lebih terik dari hari biasanya jika penulis melewati fly over amplas menuju Tanjung Sari atau Padang Bulan. Panas kota Medan benar-benar membuat saya harus menguras tiga botol aqua disebabkan kondisi jalan di Medan sudah hampir botak pohonnya bukan akibat kebakaran.
”ya, begitulah medan rumah kita” celetuk kawannya bercanda mengutip jargon yang kebetulan ada pamplef yang masih tersisa di sebuah pohon, dan penulis mendengar lalu menimpali ”koq, bu, bisa botak ya?” sembari menunjukkan jalan-jalan yang sedang dibangun itu tidak ada peneduh yang menyejukan. ”ya, namanya juga ini medan, bung” jawabnya bercanda rupanya menghilangkan rasa sebal melihat jalan yang semakin macet menambah injeksi panas dan itu belum cukup
Fenomena panas di Medan itu walau masih pagi rupanya diperparah oleh bencana asap dari propinsi tetangga yang rupanya sudah tersirat diantara hujan menghasilkan banjir dengan kebakaran lahan dan hutan yang menghasilkan kabut asap. Fenomena antara banjir dan kabut asap sudah ditakdirkan untuk dihadapi setiap tahun selama semangat mental pelaku, pemilik lahan dan penegak hukum masih menggunakan metode persuasif.
”Bah, bukan itu dik, tetapi kabut asap importir asap tetangga kita” sahut kawan saya dan bersiaplah menghadapi kabut asap bersamaan dengan panas terik di Medan Rumah Kita.
MUNCUL TITIK API
Belum selesai musim hujan menghasilkan banjir datang lagi kabut asap. Meskipun masih  musim hujan sebagian daerah di Indonesia, kabut asap di Sumatra sudah mulai muncul. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mendeteksi 19 titik api di Sumatera sejak 20 Juli sebanyak 12 titik api di Riau, lalu ditemukan 9 titik api di lahan gambut dekat pembangunan tol di Sumatera Selatan, 12 titik api di Jambi dan peningkatan deteksi api berlanjut diwilayah Aceh sejumlah titik api (hotspot) sebanyak 19 titik api pada munggu ke empat juli lalu ditemukan lagi 11 titik api menjelang akhir bulan juli 2017 yang terpantau aktif dengan terbakarnya lahan gambut mencapai puluhan hektar.
Dikhawatirkan, titik-titik api itu berpotensi memicu ke­ba­karan hutan dan lahan, teru­tama di sebagian Sumatera, dengan muncul kabut asap menyelimuti kawasan Mebidang yang terlihat jelas di wilayah Amplas hingga ke Tanjung Morawa. Apakah ini berulang kembali kejadian kabut asap yang berkepanjangan? Sedang musim hujan belum juga tuntas dengan efek banjir yang ditinggalkan akan menambah beban hidup yang semakin berat di negeri ini.
Ironisnya, seperangkat aturan dan sanksi hukum belum juga memberikan efek bagi pelaku dan perusahaan pemilik lahan untuk mencegah karhutla, sehingga kita terus menghadapi efek kabut asap menahun.
Apakah sudah mengetahui kalau Indonesia sudah menghasilkan 6 juta ton ekspor asap ke atmosfir? Kenapa juga menghasilkan bencana kabut asap lagi? Bencana kebakaran gambut di lima Propinsi di Sumatera edisi 2017 telah memberi efek kabut asap disebagian Mebidang, apalagi sudah beberapa hari tidak hujan dan cende­rung mengalami musim kering dan cu­rah hujan yang terbatas me­nye­babkan lahan mudah terbakar maka bersiaplah menghadapi musim kabut asap berulang.
ULAH MANUSIA
Bencana kabut asap yang terjadi di Sumatera akibat ulah manusia yang tidak menjaga keseimbangan alam, membakar lahan gambut sembarangan dapat menghasilkan bencana kebodohan SDM, kabut asap dapat menyebabkan penurunan indeks prestasi belajar, karena dipastikan akan ada ”libur asap panjang”.
Hasil pembakaran hutan hanya dinikmati segelintir orang, lantas kenapa masyarakat masih ada mau menjadi bemper kepanjangan tangan oknum untuk melakukan pembakaran hutan? Bahwa kabut asap dibeberapa Provinsi di Sumatera dapat menimbulkan kerugian bukan saja untuk Indonesia tetapi juga masyarakat Dunia, kondisi Bumi serta masyarakat itu sendiri karena tidak dijaganya keseimbangan alam, bahkan dirusak dengan cara membakar, membuang limbah di hutan serta buang sampah B3 kadang juga di hutan..
”woh, lebih panas dari tadi pagi dibanding siang ini” gerutu seorang kakek yang melintas di bahu badan jalan simpang Deli Tua ke Asrama Haji. ”debu beterbangan dan belum lagi macet, bah” kesal seorang kawan yang sedang menunggu lampu hijau
”nyesel aq, bah! kenapa gak make masker tadi kalau tahu Medan akan sepanas ini dan macet parah” sungut kawan saya itu. Dan saya cuma sibuk mencatat omelan mereka. Ini hanya protes kecil warga.
Ironisnya, pencegahan kebakaran gambut belum memberikan efek jera bagi pelaku dan upaya penyelesaian yang signifikan terhadap kasus pembakaran hutan yang lalu, dimana sudah ditetapkan tersangka pembakaran dan dibebaskan oleh pengadilan ternyata justrunya dapat memberikan efek jera bagi kota Medan oleh peningkatan suhu panas yang tinggi menjelang sore, sehingga warganya menjadi ”kepanasan” yang bukan hasil kerja mereka.
Bencana kabut asap berulang kembali merupakan salah satu contoh pengelolaan lingkungan hidup yang tidak tepat. Terjadinya alih fungsi hutan secara serampangan tanpa ada upaya pencegahan dan penegakan hukum karena belum terbangunnya pemahaman yang sama antara pemerintah, penegak hukum dan masyarakat dalam menangani kasus kebakaran hutan, penggundulan, pencemaran dan illegal logging serta berjalan dengan pemahaman masing-masing.
Tidak terbentuknya kemitraan yang baik antara pemerintah, penegakan hukum dan masyarakat penyebab utama berulangnya kembali kabut asap di Sumatera.
KEMANA ANTISIPASI
Kenapa antisipasi penanganan musibah kabut asap selalu lambat, bukankah pola musim hujan di Riau sudah terpantau teratur? Yang seharusnya di manfaatkan untuk menyimpan air di lahan gambut? Begitu juga di Aceh dan Jambi. Ironisnya, terjadi banjir beberapa bulan lalu di Kampar tidak memberikan hikmat pelajaran karena air bandang itu sebenarnya dapat juga di simpan sebagai kantong parkir air dengan menyesuaikan faktor geologis air sehingga dapat mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan namun tidak dimaksimalkan sebelum terjadinya musibah banjir bandang.
Di Kampar dan Bengkalis banyak terdapat sungai yang seharusnya dapat dibangun sekat kanal, kantong air dengan memahami geologis pembentuk gambut agar intensitas air di lahan gambut tidak terbuang ke laut.
Lebih ironis lagi, pemerintah tidak berkonsentrasi untuk benar-benar mencegah lolos air hujan yang terbuang percuma dari hilir, pemimpin di negeri penghasil asap ini lebih fokus mencegah permukaannya saja dan rehabilitasi serta reboisasi daerah yang mengalami pembakaran sangat lambat sehingga banjir tak dapat dikendalikan. Pembangunan sekat kanal merupakan solusi hilir dari kebakaran hutan dan lahan. Namun yang lebih penting, kenapa pemerintah dan swasta tidak secara intensif melakukan perbaikan kubah gambut yang selama ini hilang akibat kanalisasi sehingga tidak mampu lagi menyimpan air. Alhasil, hutan gambut jadi mudah terbakar.
Kala musim hujan adalah waktu yang tepat dalam mengantisipasi sumber kebakaran atau dapat digunakan sebagai gudang air untuk menghadapi musim panas sehingga tidak kewalahan dalam menghadapi amukan sijago merah setelah pola musim hujan lewat sehingga gambut memiliki cadangan air dapat mengurangi dampak kekeringan.
Target penurunan emisi versi era SBY tahun 2020 rasanya sudah terlambat. Target versi Jokowi emisi turun sebelum 2025 masih ada waktu namun tetap lambat dengan munculnya kabut asap sejak periode mereka memimpin negeri ini hingga ke tahun 2017. Sebenarnya pemerintah selama ini dinilai sebagai sumber masalah kehutanan dengan kebijakan perijinan yang dikeluarkan menyebabkan banyak dampak bencana dan mungkin sebagai pembunuh utama kota-kota di Indonesia dan tidak mengherankan kalau banyak warga di Medan mengeluh dan saya harus banyak membawa botol air putih dari biasanya sebotol aqua.
M. Anwar Siregar
Geologist. Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer
Dipublikasi HARIAN ANALISA MEDAN,  3 Agustus 2017

No comments:

Post a Comment

Related Posts :