Sep 6, 2017

Melihat Sistim Perusak Lingkungan Danau Toba

MELIHAT SISTIM PERUSAK LINGKUNGAN DANAU TOBA
Oleh : M. Anwar Siregar
Untuk sekian kali penulis datang lagi ke Danau Toba, kondisi fisik Danau Toba tidak banyak berubah ketika berlibur di Parapat hingga Tomok, lalu dilanjutkan ke daratan tinggi Tanah Karo untuk menikmati keindahan air terjun Sipiso-piso, namun apa yang dilihat sungguh membuat miris, banyak ditemukan sampah dan kondisi perparkiran sedikit semrawut karena memang jalan sempit dan lahan terbatas, namun sebaliknya perkembangan perumahan dan permukiman justrunya yang sangat pesat dan sepertinya kurang terkendali dan tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan konsep pembangunan yang berkelanjutan berbasis lingkungan hijau dan apalagi Danau Toba sudah dimasukkan sebagai kawasan wisata strategis nasional, mengakibatkan banyak kawasan-kawasan rendah yang semula berfungsi sebagai tempat parkir air (retarding pond) dan bantaran sungai telah berubah menjadi daerah permukiman yang dihuni penduduk.
Gambaran itu dapat juga kita lihat di jalinsum ke Danau Toba, banyak bangunan menjorok disisi tebing Danau Toba. Kondisi ini akhirnya meningkatkan volume air permukaan yang masuk ke saluran drainase dan sungai karena semakin menyempitnya luasan lahan yang memiliki daya serap atas air hujan yang turun di sekitar lingkaran pegunungan Bukit Barisan yang ada di wilayah Danau Toba, kondisi ketinggian permukaan air Danau Toba merosot, kontras sekali dari gambaran dokumen foto yang penulis kumpulkan ketika penulis masih mahasiswa untuk mengabadikan geologi parapat yang kebetulan Danau Toba (DT) sebagai basis ”ilmu pengetahuan geologi” pada era awal tahun 1990-an, air DT ketika itu masih sangat jernih dan rimbuan pohon masih menghijau dan di era sekarang seperti gundul sebelah menyebelah mirip potongan rambut anak-anak punk, ada botak bekas tebang dan di tengah hijau dan satu lagi kering mungkin terbakar. Bukti menurunnya kemampuan kapasitas dalam mengantisipasi kerusakan di lingkungan di Danau Toba. 
Gambar : Kerambah gondok banyak di Danau Toba (sumber ilustrasi :Berita Simalungun)
PERUSAK DANAU TOBA
Anda pernah merasakan bencana longsor disekitar lingkaran Danau Toba? Longsor secara tiba-tiba sebagai bukti ada peningkatan penghancuran fisik di hulu pegunungan yang melingkari delapan kota/kabupaten yang ada disekitar Danau Toba, sehingga membuat perjalanan kita ke Danau Toba mengalami kendala dan antrian panjang kendaraan bisa mencapai 2-5 kilometer, yang seharusnya kita nyaman dan refreshing untuk menikmati keindahan Danau Toba, dan longsor dalam suatu tata ruang hijau di daratan tinggi Toba terutama di jalur lintas sumatera sesungguhnya adalah bukti perusak tata ruang lingkungan dan bukan saja beban kendaraan yang melintas, Anda pasti sudah tahu apa penyebabnya? Semua disebabkan oleh aturan yang tidak dipatuhi.
Padahal kita tahu hampir satu dasarwarsa peraturan UU No 26 tahun 2007 tentang penataan tata ruang telah di undangkan namun belum memenuhi target yang diamanahkan yaitu target ruang hijau terbuka seluas 30% dari total luas wilayah setiap kota kabupaten di lingkaran Danau Toba, belum memenuhi amanah UU tersebut.
Kenyataan kita lihat, masih berlanjutnya kerusakan lingkungan dibeberapa kawasan disekitar lingkaran Danau Toba, tetap saja membangun daerah pemukiman. Termasuk juga dikawasan yang telah dinyatakan sebagai kawasan budidaya dengan bermunculan tambak-tambak dan air limbah industri, dan merupakan indikator yang paling utama dalam merusak sistim kekuatan yang merusak lingkungan Danau Toba.
Salah satu indikator lainnya yang merusak aturan tata ruang lingkungan yang menyebabkan merosotnya ketinggian air permukaan di Danau Toba adalah tidak berjalannya proses pengendalian pemanfaatan ruang yang sudah diatur dalam Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) yang dimasukkan dalam UU No 28 tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung baik pada tingkat kabupaten/kota di lingkaran Danau Toba, terletak kepada kemampuan mental yang menjadi kelemahan utama untuk menjalankan proses implementasi dan pengendalian pemanfaatan yang tidak sesuai dengan rencana, justrunya lebih besar ada pada kelemahan Pemerintah kota/kab di sekitar Danau Toba, belum mampu meredam eskalasi penyerobotan kawasan lindung hijau di Hulu dan Tengah Hulu disebabkan terlalu lama mengimplementasikan UU dan penegakkan serta penindakkan jika sudah berhubungan dengan faktor izin ekonomi dan bisnis di daerah kawasan hijau di hulu di lingkaran Danau Toba
Sehingga banyak masyarakat ikut juga langsung tidak mematuhi aturan UU hukum dan memanfaatkan lahan tanpa merasa takut dengan ancaman hukuman yang ada, bukti itu dapat dilihat dari penggundulan hutan, membangun pemukiman di sempadan DAS yang di delapan Kota/kabupaten di pinggiran Danau Toba.
Indikator perusak lingkungan Danau Toba berikutnya adalah kurangnya pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang merupakan awal dari tidak diindahkannya rencana tersebut oleh masyarakat.
Kasus ini dapat dilihat dari munculnya “tata ruang tandingan” yang terdapat pada kawasan DAS dengan melewati pengaturan lebar garis sempadan yang telah ditetapkan dan beberapa kawasan tertentu yang membentuk kawasan “tata ruang dalam tata ruang” di berbagai daratan tinggi di Bukit Barisan yang di mana air mengalir ke Danau Toba semakin kompleks harus segera ditertibkan.
Ironisnya, sistim pengendalian, penataan dan rehabilitasi ruang dan lingkungan skala mikro (micro zoning) untuk pengurangan resiko bencana pada dasarnya dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen RTBL ini, namun hal ini belum banyak diimplementasikan oleh kalangan masyarakat khususnya di Propinsi Sumatera Utara dan kita dapat melihatnya dengan “bertamasya keluar kota” di lingkaran kota di Danau Toba sehingga resiko kerawanan semakin tinggi dengan bukti ancaman banjir bandang dari hulu setiap saat datang mengancam, longsoran sisi tebing serta merosotnya kualitas sumber daya air untuk peningkatan daya listrik semakin terbatas.
TANTANGAN SISTIM KEBIJAKAN
Memperkuat sistim mitigasi terhadap perusakan lingkungan Danau Toba memang membutuhkan kekuatan komprehensif dalam mengendalikan berbagai faktor kerusakan di berbagai tata ruang lingkungan kota di Sumatera Utara, mengingat laju kerusakan hutan di Danau Toba mencapai 15.000 ha per bulan.
Tidak mengherankan kenapa topografi tinggian Danau Toba jika di teropong dari jauh ibarat seperti kepala manusia yang dipangkas mirip model punk, gundul pacul cul disebelah sini, lain kota berikutnya ada bukit namun berikutnya tandas licin bergaris-garis zebra.
Dalam setahun kita terus melihat izin pembukaan dan pembersihan lahan-lahan hutan dan alih fungsi beberapa tata ruang hijau yang sebelumnya telah diidentifikasi sebagai kawasan hijau di sejumlah 13 kota Kabupeten lingkar dalam dan luar Danau Toba.
Tantangan utama yang dihadapi Danau Toba sebagai destinasi wisata unggulan dalam upaya mengurangi resiko bencana lingkungannya serta dalam melakukan adaptasi perubahan iklim yang terkait dengan faktor-faktor resiko mendasar (underlying risk factors) terhadap bencana lingkungan di Danau Toba yang sudah seringkali kita lihat jika “refreshing” antara lain, misalanya pertama masih lemahnya kerangka hukum dan pelaksanaan panatagunaan lahan dan pengendalian ruang di kota-kota di Danau Toba untuk dapat diarahkan pembangunan permukiman menjauhi wilayah-wilayah rawan bencana dipinggir Danau Toba agar dapat menurunkan pajanan (exposure) penduduk terhadap bencana;
Kedua, belum masuknya unsur pencegahan bencana (disaster proofing) di dalam program investasi pembangunan daerah lingkar dalam dan luar Danau Toba, khususnya pada pembangunan sarana fisik perkotaan dan pedesaan, penerapan standar bangunan, dan penataan permukiman untuk pencegahan dan kesiapsiagaan bencana.
Aturan kebijakan dalam memberikan izin-izin itulah salah satu faktor kekuatan yang paling utama dalam merusak lingkungan dari hulu ke hilir di berbagai kota di Sumatera Utara maupun di Indonesia secara umum.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer 
Tulisan ini sudah dipublikasi di HARIAN ANALISA MEDAN, Tgl 23 Agustus 2017

No comments:

Post a Comment

Related Posts :